Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

" HAM DAN DEMOKRASI ISLAM"

DISUSUN OLEH

1.Yoga devi saputra (204230016)

2.Rahma dini (204230015)

3.Fitria isnain Nurhidayah (204230018)

DOSEN PENGAMPU:

Sujarwo M.PD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR PGSD

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS PGRI SILAMPARI

2023
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................I

DAFTAR ISI........................................................................................................................II

BAB 1 PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG..............................................................................................1

RUMUSAN MASALAH.........................................................................................2

TUJUAN..................................................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1.HAM.......................................................................................................................

2.12.PENGERTIAN HAM...................................................................................................3

2.1.2. HAK-HAK ASASI MANUSIA DAN SEJARAHNYA.............................................4

2.1.3. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN HAM................................................................6

2.1.4. PERSPEKTIF ISLAM TENTANG HAM...................................................................7

2.1.5. DASAR-DASAR HAM DALAM AL-QUR’AN.......................................................8

2.2 DEMOKRASI DALAM ISLAM..............................................................................9

2.2.1. PENGERTIAN DEMOKRASI..................................................................................10

2.2.2. ASAL-USUL DEMOKRASI.....................................................................................11

2.2.3. DEMOKRASI DAN ISLAM.........................................................................12

2.2.4. PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI DALAM ISLAM.............................................14

BAB 3 PENUTUP

3.1 KESIMPULAN......................................................................................................18

3.2 SARAN..................................................................................................................18

LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................................19
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmatnya, sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul HAM dan Demokrasi dalam islam tepat
pada waktunya. Penulisan makalah ini merupakan tugas yang diberikan dalam mata kuliah
Pendidikan Agama Islam di Universitas Pgri Silampari.

Kami merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Oleh kaarena itu, kami mohon kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan penulisan makalah ini.

Kami menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah
membantu dalam proses penyelesaian makalah ini, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
ini.

Akhir kata, kami berharap semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
maupun rekan-rekan, sehingga dapat menambah pengetahuan kita Bersama.

Lubuk linggau, September 2023

PENYUSUN
BAB 1

PENDAHULUAN

Latar belakang

Pada hakekatnya manusia sudah memiliki hak hak pokok dari lahir sampai
meninggal.

Hak-hak pokok tersebut adalah hak asasi manusia yang dikenal dengan HAM. Hak asasi
manusia bersifat universal. Hak asasi manusia (HAM) dalam islam berbeda dengan hak
asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban
bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah SAW pernah
bersabda:

“sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu”. Maka


negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini.

HAM dan demokrasi dalam islam berisi tentang penjelasa konsep-konsep hukum
islam, HAM menurut islam dan demokrasi dalam islam meliputi prinsip bermusyawarah
dan pengambilan keputusan sesuai dengan syariat islam.

Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan social bagi setiap


individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, status sosialnya, dan juga perbedaan
agamanya. Islam tidak hanya menjadikan itu sebagai kewajiban negara, melainkan
negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini.

Disisi lain umat islam sering kebingungan dengan istilah demokrasi. Disaat yang
sama, demokrasi bagi Sebagian umat islam sampai dengan hari ini masih belum bisa
diterima secara utuh. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa timbal balik,
sementara yang lain, justru bersikap ekstrim. Menolak bahkan mengharamkannya sama
sekali.

Sebenarnya banyak yang tidak bersikap seperti keduanya. Artinya, banyak yang tidak
mau bersikap apapun.kondisi ini dipicu dari kalangan umat islam sendiri yang kurang
memahami bagaimana islam memandang demokrasi

Kami akan membahas mengenai bagaimana sebenarnya HAM dan demokrasi


menurut ajaran dan pandangan islam dalam makalah ini.

Perumusan Masalah

Penyusunan membuat rumusan masalah antara lain:

Apakah pengertian HAM dan demokrasi dalam islam?

Bagaimana perbedaan HAM dalam pandangan islam dan barat?

Mengapa hukum, HAM dan demokrasi tidak dapat dipisahkan?

Tujuan

Penyusunan membuat identifikasi masalah antara lain:

Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan agama islam

Mengetahui tentang hak asasi manusia secara lebih luas

Mengetahui secara lebih mendalam tentang demokrasi dalam islam

Memahami dan meneladani hasil karya para ulama dan hasil pemikiran para ahli
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 HAM
2.1.1 Pengertian HAM
Hak asasi manusia adalah hak hak yang diberikan langsung oleh tuhan yang maha
pencipta (hak-hak yang bersifat kodrat). Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun
yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian, bukan berarti manusia dengan hak hak
nya dapat berbuat semuanya, sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat
dikategorikan memperkosa atau merampas hak asasi orang lain, harus mempertanggung
jawabkan semua perbuatannya.

Hak asasi yang dimiliki oleh manusia telah dideklarasikan oleh ajaran islam jauh
sebelum Masyarakat (barat) mengenalnya, melalui berbagai ayat al-qutran misalnya
manusia tidak dibedakan berdasarkan warna kulitnya, ras nya tingkat sosialnya. Allah
menjamin dan memberikan kebebasan manusia untuk hidup dan merasakan kenikmatan
dari kehidupan, bekerja dan menikmati hasil usahanya’ memilih agama yang diyakininya.

Musyawarah

Kedaulatan mutlak dan keesaan tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan
peranan manusia yang terkandung dalam konsep kilafah memberikan kerangka yang
dengannya para cendikiawan belakang ini mengembangkan teori politik tertentu yang
dapat dianggap demokratis

Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual islam, banyak


perhatian diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah social dan politik. Demokrasi
islam dianggap sebagai system yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah
lama berakar, yaitu musyawarah, konsesus (ijma’) dan ijtihad. Masalah musyawarah ini
dengan jelas telah disebutkan dalam QS.42:28, yang berisi perintah kepada para
pemimpin dalam kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan mereka yang
dipimpinya dengan cara bermusyawarah. Dengan demikian, tidak akan terjadi
kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya.

Konsesus atau ijma’

Disamping musyawarah, ada hal lain yang sangat penting dalam masalah

demokrasi, yakni consensus atau ijma’. Konsep consensus memberikan dasar bagi
penerima system yang mengakui suara mayoritas.

Selain syura dan ijma’ ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi
islam, yaitu ijtihad. Ini merupakan Langkah kunci menuju penerapan perintah allah,
berkaitan dengan tempat dan waktu.

Dalam pengertian politik murni, Muhammad Iqbal dalam tulisannya menuliskan


tentang hubungan antara consensus, demokratisasi, dan ijtihad, bahwa tumbuhnya
semangat legislative di negara- negara muslim merupakan Langkah awal yang besar.

Pengalihan wewenang ijtihad dan individu-individu berbagai madzab kepada


suatu majelis legislative muslim yang dalam kondisi kemajemukan madzab merupakan
satu-satunya bentuk ijma’ yang dapat diterima dizaman modern, akan terjamin kontribusi
dalam pembahasan hukum dari kalangan rakyat yang memiliki wawasan yang tajam.

2.1.2 Hak-hak asasi manusia dan sejarahnya

Kedatangan islam dimuka bumi yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW

Bertujuan untuk membawa Rahmat bagi makhluk seisi bumi termasuk didalamnya
manusia. Menurut ajaran islam, manusia tidak hanya menjadi objek tapi sekaligus
menjadi subjek bagi terciptanya keselamatan dan kedamaian itu. Oleh karena itu, setiap
muslim dituntut pertanggungjawaban atas keselamata diri dan lingkungannya. Seorang
muslim harus dapat memberikan rasa aman bagi orang lain baik dari ucapan maupun
tindak-tanduknya.
Berdasarkan ini, maka penghargaan tinggi kepada kepada manusia dan
kemanusiaan menjadi perhatian yang paling utama dan prinsipil didalam islam.
Penghargaan yang tidak dibatasi oleh kesukuan, ras, warna kulit, kebangsaan dan agama.
Misalnya nilai persamaan, persaudaraan, dan kemerdekaan merupakan nilai-nilai
universal islam yang berlaku pula untuk seluruh umat manusia dijagat raya ini. Hal ini
tercermin dari penegasan allah didalam kitab suci al-qur’an :

“Sesungguhnya kami telah memuliakan bani Adam (manusia) dan kami angkat
mereka di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan” (Q.S. Al-isra’/17:70).

Hal itu sesungguhnya manusialah yang diberikan kebebasan memilih antara hal-
hal yang baik dan yang buruk, benar dan salah, bermanfaat dan mendatangkan mudarat
dan sebagainya. Kunci dari itu semua adalah manusia dikaruniai akal pikiran dan hati
Nurani (qalb).

Untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi kekhalifahan itu setiap manusia harus
mengerti terlebih dahulu hak-hak dasar yang melekat pada dirinya seperti kebebasan,
persamaan, perlindungan dan sebagainya. Hak-hak itulah yang kemudian disebut dengan
Hak Asasi Manusia (HAM)

Tanpa memahami hak hak tersebut mustahil ia dapat menjalankan tugas serta
kewajibannya sebagai khalifah Tuhan. Namun persoalannya, apakah setiap manusia dan
muslim sudah menyadari hak-hak tersebut? Jawabannya, mungkin belum setiap orang,
termasuk umat islam menyadarinya. Hal ini mungkin akibat rendahnya Pendidikan atau
system social politik dan budaya di suatu yang tidak kondusif untuk anak dapat
perkembang dengan sempurna.

2.1.3 Latar belakang pemikiran tentang HAM

Manusia pada dasarnya berasal dari satu ayah dan satu ibu, yang kemudian
menyebar ke berbagai penjuru dunia, membentuk aneka ragam suku dan bangsa serta
bahasa dan warna kulit yang berbeda-beda. Karena itu manusia menurut pandangan islam
adalah umat yang satu “ummatu wahidatun”.

Karena itu manusia bersaudara yang saling mengasihi dan sama derajatnya,
manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia lain. Manusia bebas dalam kemauan dan
perbuatan, bebas dari tekanan dan paksaan orang lain. Manusia menurut islam, hanya
milik Allah dan hamba Allah (‘Abd Allah ) dan tidak boleh menjadi hamba dari makhluk
-nya, termasuk hamba dari manusia.

Dari ajaran dasar persaudaraan, persamaan dan kebebasan ini pula timbul manusia

yang lainnya. Seperti kebebasan dari kekurangan, rasa takut, menyalurkan


pendapat, bergerak, kebebasan dari penganiyayaan dan penyiksaan. Hal ini mencakup
semua sisi dari apa yang disebut hak-hak asasi manusia seperti hak hidup, hak memiliki
harta, hak berfikir, hak berbicara dan mengeluarkan pendapat, mendapat pekerjaan, hak
memperoleh pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak berkeluarga dan hak
diperlakukan sebagai manusia yang terhormat (mulia) dan sebagainya.

HAM dalam pandangan Islam dan Barat

Hukum menurut islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-nya,
dalam Al-Quran dijelaskan nabi muhammad saw sebagai rasulnya melalui sunah beliau
yang kini terhimpun dengan baik dalam al-qur’an dan hadist.[6] HAM terbagi menjadi 2
HAM menurut barat dan menurut islam.

HAM barat bersifat anthroposentris: segala sesuatu berpusat pada manusia sehingga
menempatkan manusia sebagai tolak ukur segala sesuatu. HAM islam bersifat theosentris:
segala sesuatu berpusat pada Allah. Dalam konsep demokrasi modern, kedaulatan rakyat
merupakan inti dari demokrasi sedang, demokrasi islam meyakini bahwa kedaulatan
Allah-lah yang menjadi inti dari demokrasi.

2.14. Perspektif Islam tentang HAM


HAM sebagai tuntunan fitrah manusia

Manusia adalah puncak ciptaan tuhan. Ia dikirim kebumi untuk menjadi khalifah

atau wakilnya. Oleh karena itu setiap perbuatan yang membawa perbaikan manusia
oleh sesama manusia sendiri mempunyai nilai kebaikan dan keluhuran kosmis,
menjangkau batas-batas jagad raya, menyimpan kebenaran dan kebaikan universal,
suatu nilai yang berdimensi kesemestaan seluruh alam.

Berdasarkan pandangan ini, maka manusia memikul beban serta tanggung jawab
sebagai individu dihadapan Tuhan nya kelak, tanpa kemungkinan untuk
mendelegasikannya kepada pribadi lain. Punya pertanggung jawaban yang dituntut
dari seseorang haruslah didahului oleh kebebasan memilih. Tanpa adanya kebebasan
itu lantas dituntut dari padanya pertanggung jawaban, adalah suatu kezaliman dan
ketidak adilan, yang jelas hal itu bertentangan sekali dengan sifat allah yang maha
adil.

Berkaitan dengan penggunaan hak hak individu itu, yang mempunyai hak
dianggap menyalahgunakan haknya apabila:

Dengan perbuatannya dapat merugikan orang lain.

Perbuatan itu tidak menhasilkan manfaat bagi dirinya, sebaliknya menimbulkan kerugian
baginya.

Perbuatan itu menimbulkan bencana umum bagi masyarakat.

Perimbangan antara hak-hak individu dan masyarakat

Untuk menjaga keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat, didalam islam


tidak dikenal adanya kepemilikan mutlak pada manusia. Oleh karena itu, didalam
syariat islam apabila disebut hak allah, maka yang dimaksud adalah hak masyarakat
atau hak umum. Allah adalah pemilik yang sesungguhnya terhadap alam semesta,
termasuk apa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh firman-
Nya antara lain:
“Ketahuilah bahwa milik Allah lah apa-apa yang ada dilangit dan dibumi” (Q.S.
Yunus/10:55)

“Dan Dialah yang menciptakan bagimu semua yang terdapat dibumi” (Q.S. Al-
Baqarah/2:29)

“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah dikaruniakan-nya
kepadamu” (Q.S. An-Nuur/24:33)

“.......di dalam harta mereka tersedia bagian tertentu bagi orang yang miskin yang
meminta dan tak punya” (Q.S. Al-Ma’arij/70:24:25)

2.1.5. Dasar-dasar HAM dalam Al-Qur’an

A. Hendak berekspresi dan mengeluarkan pendapat

1. Al-Qur’an menegaskan:

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yangma’ruf dan menvcegah dari yang mungkar.
Dan merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Ali-Imran/3:104)

“Hendaklah kamu saling berpesan kepada kebenaran dan saling berpesan


dengan penuh kesabaran” (Q.S. Al-Ashr/103:3)

Ayat ayat diatas menegaskan bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya kepada
orang lain, mengingatkan kepada kebenaran, kebajikan serta mencegah kemungkaran. Bahkan
hal itu disampaikan bukan saja karena ada hak tapi sekaligis merupakan suatu kewajiban sebagai
orang beriman.

Hak kebebasan memilih agama

Sehubungan dengan kebebasan memilih agama dan kepercayaan, Al-Qur’an


menyebutkan antara lain:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam), sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang Ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S Al-Baqarah/2:256)

“Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir…” (Q.S Al-kahfi/18:29)

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang dimuka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?“ (Q.S. Yunus/10:99)

Berdasarkan ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa masalah menganut suatu agama atau
kepercayaan sepenuhnya diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk memilihnya.
Didalam islam, kita hanya diperintah untuk berdakwah yang bertujuan menyeru,
mengajak dan membimbing seseorang kepada kebenaran itu. Dakwah bertujuan juga
untuk menegakkan “Al-Amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar” (menyeru
kepada kebajikan serta mencegah dari kemjungkaran).

Hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sosial

Sehubungan dengan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama ini Al-
Qur’an menyebutkan sebagai berikut :

“ Dialah orang yang menjadikan segala yang ada dibumi ini untuk kamu…..” (Q.S Al-
Baqarah/2:29)

Ayat ini menjadi dasar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dari apa-apa yang sudah disiapkan Allah dipermukaan
bumi ini. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk mendapatkan Rezki yang halal
dan baik hal ini di tegaskan dalam firman-Nya :
“ Hai sekalian Manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi…..”
(Q.S Al-Baqarah/2:168)

2.2 Demokrasi Dalam Islam

2.2.1 Pengertian Demokrasi

Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan


tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-
wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863)
menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”. Dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang
membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat harus melaksanakan apa yang telah
ditetapkan rakyat tersebut.

Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh


dalam hal :

a. Kebebasan beragama

b. Kebebasan berpendapat

c. Kebebasan kepemilikan

d. Kebebasan bertingkah laku

Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua
negara yang ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami variasi-
variasi tertentu yang dilatar belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang
dominan di suatu negara. Namun, variasi yang ada hanyalah terjadi pada bagian
cabang bukan pada prinsip tersebut.

2.2.2 Asal-usul Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia “kekuasaan rakyat”,


yang dibentuk dari kata demos “rakyat” dan kratos “kekuasaan”, merujuk pada sistem
politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota Yunani Kuno,
khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.

Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana


dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa
Sumeria memiliki beberapa kota yang independen. Di setiap kota tersebut para rakyat
seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun
diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.

Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem


pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu
terdiri dari 1.500 kota (poleis) yang kecil dan independen. Kota tersebut memiliki
sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga
demokrasi. Salah satunya Athena, kota yang mencoba sebuah model pemerintahan
baru yaitu demokrasi langsung.

Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan
negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar
bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi
baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan
Athena.

Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya


setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih
kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang
dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur,
demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad
Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan
peran agama dalam kehidupan manusia.

Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap
masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya
tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah
berdemokrasi.

Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil


menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba
mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar
belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.

2.2.3 Demokrasi dan Islam

Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan
peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka yang
dengannya para cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu
yang dapat dianggap demokratis. Didalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan
terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan kewajiban
rakyat sebagai pengemban pemerintahan.

Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual islam, banyak


perhatian diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik.
Demokrasi islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami
yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan penilaian
interpretative yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep dalam tradisi politik Barat,
istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai
banyak konteks dalam wacana Muslim dewasa ini. Namun, lepas dari konteks dan
pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut
demokratisasi dikalangan masyarakat muslim. Perlunya musyawarah merupakan
konsekuensi politik kekhalifahan manusia.

Oleh karena itu perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama
dalam doktrin musyawarah. Hal ini disebabkan menurut ajaran Islam, setiap muslim
yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita adalah khalifah Allah di
bumi.

Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada


penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara.
Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyyah, dalam
surat Al-syura ayat 3 :

“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.(QS Asy-Syura :
38).

Disamping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah
demokrasi, yakni konsensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang
menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat
besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Dalam pengertian yang lebih luas,
konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi
demokrasi Islam modern.

Selain syura dan ijma’, ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi
Islam, yakni ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci
menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Hal ini dengan jelas
dinyatakan oleh Khursid Ahmad: “Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama
dan memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dengan
arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya”. Itjihad dapat berbentuk
seruan untuk melakukan pembaharuan, karena prinsip-prinsip Islam itu bersifat
dinamis, pendekatan kitalah yang telah menjadi statis.

Oleh karena itu sudah selayaknya dilakukan pemikiran ulang yang mendasar
untuk membuka jalan bagi munculnya eksplorasi, inovasi dan kreativitas. Dalam
pengertian politik murni, Muhammad Iqbal menegaskan hubungan antara konsensus
demokratisasi dan ijtihad.

Dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam ia menyatakan


bahwa tumbuhnya semangat republik dan pembentukan secara bertahap majelis-
majelis legislatif di negara-negara muslim merupakan langkah awal yang besar.
Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting
bagi artikulasi demokrasi islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-
kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya.

2.2.4 Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam

Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan


yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As
-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang
paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman
khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih
kepala negara atau khalifah.

Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan


tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan
begitu, setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung
jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian
penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi
pertimbangan bersama.

Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk


rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan
bijaksana. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini
ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:
90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan seterusnya.

Prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan
yang berbunyi “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir,
sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan)
Islam”.
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih
tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa
memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif.
Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari hegemoni
penguasa atas rakyat.

Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi
wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk
melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh
sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar dihadapan rakyat demikian juga
kepada Tuhan.

Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat
dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai
konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang
sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13.

Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan


seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus
dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang
diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut
dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil
seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.

Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa
diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah
bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam. Kelima, al-Masuliyyah adalah
tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah
amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa
tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.

Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah
yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus
dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah,
bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan
sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya.

Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan


masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi
masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi
sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah
(pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi
pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan
sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.

Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga
masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya.
Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-
karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak
ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya.

Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi
pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika
sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin
merajalela. Ada beberapa alasan mengapa islam disebut sebagai agama demokrasi,
yaitu sebagai berikut:

Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama islam berlaku bagi semua orang
tanpa memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi hingga rakyat jelatah
dikenakan hukum yang sama. Jika tidak demikian, maka hukum dalam islam tidak
berjalan dalam kehidupan.

Islam memiliki asas permusyawaratan “amruhum syuraa bainahum” artinya perkara-


perkara mereka dibicarakan diantara mereka. Dengan demikian, tradisi bersama-
sama mengajukan pemikiran secara bebas dan terbuka diakhiri dengan kesepakatan.

Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan manusia tarafnya tidak boleh tetap,
harus terus meningkat untuk menghadapi kehidupan lebih baik di akhirat.
Jadi, prinsip demokrasai pada dasrnya adalah upaya bersama-sama untuk memperbaiki
kehidupan, kareana itulah islam dikatakan sebagai agama perbaikan “diinul islam”
atau agama inovasi. Untuk itu, islam selau menghendaki demokrasi yang merupakan
salah satu ciri atau jati diri islam sebagai agama hukum.

Hukum, HAM, dan demokrasi adalah tiga konsep yang tidak dapat dipisahkan.
Hal ini dikarenakan salah satu syarat utama terwujudnya demokrasi ialah adanya
penegakkan hukum dan perlindungan HAM. Demokrasi akan rapuh apabila HAM
setiap masyarakat tidak terpenuhi.

Sedangkan pemenuhan dan perlindungan HAM dapat terwujud apabila hukum


ditegakkan. Dalam ajaran Islam, hukum, HAM dan ddemokrasi disebutkan dengan
jelas di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian manusia sebagai khalifah
Allah dimuka bumi ini dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar apabila ia
seelalu berpegang pada aturan-aturan pada Al-Quran dan As-Sunnah.
BAB 3

PENUTUP

3.1 Simpulan

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme pemerintahan negara yang menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat.

Demokrasi menurut islam dapat diartikan seperti musyawarah, mendengarkan pendapat orang
banyak untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai-nilai keagamaan.

HAM adalah hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia ada di dalam kandungan.

HAM dalam islam didefinisikan sebagai hak yang dimiliki oleh individu dan kewajiban bagi
negara dan individu tersebut untuk menjaganya.

3.2 Saran

Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat membedakan antara demokrasi di Indonesia dan
demokrasi Islam dan dapat melihat sisi baik dan buruknya.

Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat memahami pentingnya HAM dalam kehidupan
kita dan kewajiban kita untuk menjaganya.

LAMPIRAN-LAMPIRAN
Daftar pustaka

Kosasih, Ahmad. 2003. HAM dalam perspektif ISLAM. Jakarta: Salemba Diniyah

Azra, Azyumardi, dkk.2002. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta:
dir. Perguruan Tinggi Agama Islam

Fanani, Sunan. 2010. Lembar Kerja Mahasiswa Pendidikan Agama Islam. Sidoarjo: PT. Al
Maktabah.

Mansoer, Hamdan, dkk. 2004. Materi instruksional pendidikan agama islam di perguruan tinggi
umum. Jakarta : dir. Pt. Agama Islam

· Husain, syekh syaukat, 1991, Hak asasi – manusia dalam islam, Jakarta. Gema Insani
perss

· Lopa, Baharuddin, 1999. Al Qur’an dan Hak Azasi Manusia, Yogyakarta, PT. Dana Bakti
Prima Yasa.

· Ilyas, Muhtarom, 2009. Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.

· Pramudya, Willy, Cak Munir, Engkau Tak Pernah Pergi, Jakarta: GagasMedia 2004

Anda mungkin juga menyukai