Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HUKUM ISLAM, HAM DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM

DOSEN : Bpk. MUDZAKIR, S. Pd. I., M. Ag

Disusun oleh :

1. Ahmad Fathudin ( 2110109000 )


2. Fais Jahlas ( 211010900027 )

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PAMULANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul HAM dan
Demokrasi dalam Islam tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini merupakan
tugas yang diberikan dalam mata kuliah Pendidikan Agama di Universitas
pamulang

Kami merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan


maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu,
kami mohon kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
penyempurnaan penulisan makalah ini.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang


telah banyak membantu dalam penyusunan makalah ini, baik secara langsung
ataupun tidak langsung, terutama kepada Bapak Mudzakir, S. Pd. I., M. Ag selaku
dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

Penulis juga menyadari bahwa makalah yang dibuat memiliki banyak


kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi tercapainya penulisan laporan yang lebih baik dan juga
mendekati kesempurnaan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dijadikan
bahan evaluasi untuk pembuatan makalah-malakah lain.

Tangerang, 24 April 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................I

DAFTAR ISI II

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG...............................................................................1

1.2 PERUMUSAN MASALAH.............................................................2

1.3 TUJUAN..........................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 HAM

2.1.1 PENGERTIAN HAM.......................................................................3

2.1.2 HAK-HAK ASASI MANUSIA DAN SEJARAHNYA...................4

2.1.3 LATAR BELAKANG PEMIKIRAN HAM.....................................6

2.1.4 PERSPEKTIF ISLAM TENTANG HAM........................................7

2.1.5 DASAR-DASAR HAM DALAM AL-QUR’AN.............................8

2.2 DEMOKRASI DALAM ISLAM

2.2.1 PENGERTIAN DEMOKRASI.......................................................10

2.2.2 ASAL USUL DEMOKRASI..........................................................11

2.2.3 DEMOKRASI DAN ISLAM..........................................................12

2.2.4 PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI DALAM ISLAM...................14

BAB 3 PENUTUP

3.1 KESIMPULAN..............................................................................18

3.2 SARAN.........................................................................................18

LAMPIRAN-LAMPIRAN.....................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

ii
iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakekatnya manusia sudah memiliki hak-hak pokok dari lahir sampai
meninggal. Hak-hak pokok tersebut adalah hak asasi manusia yang dikenal dengan
HAM. Hak asasi manusia bersifat universal. Hak asasi manusia ( HAM ) dalam Islam
berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak
merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan.
Rasulullah saw pernah bersabda:

"Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu”. Maka


negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai
kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.

HAM dan demokrasi dalam Islam berisi tentang penjelasan konsep-konsep hukum
Islam, HAM menurut Islam dan demokrasi dalam Islam meliputi prinsip bermusyawarah
dan pengambilan keputusan sesuai dengan sya’riat Islam.

Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap


individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, status sosialnya, dan juga perbedaan
agamanya. Islam tidak hanya menjadikan itu sebagai kewajiban negara, melainkan negara
diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini.

Disisi lain umat Islam sering kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang
sama, demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum bisa
diterima secara utuh. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa timbal balik,
sementara yang lain, justru bersikap ekstrim. Menolak bahkan mengharamkannya sama
sekali.

1
Sebenarnya banyak yang tidak bersikap seperti keduanya. Artinya, banyak yang
tidak mau bersikap apapun. Kondisi ini dipicu dari kalangan umat Islam sendiri yang
kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi.

Kami akan membahas mengenai bagaimana sebenarnya HAM dan Demokrasi


menurut ajaran dan pandangannya Islam dalam makalah ini.

1.2 Perumusan Masalah

Penyusun membuat rumusan masalah antara lain:

1) Apakah pengertian HAM dan Demokrasi dalam Islam?


2) Bagaimana perbedaan HAM dalam pandangan Islam dan Barat?
3) Mengapa Hukum, HAM dan Demokrasi tidak dapat dipisahkan?

1.3 Tujuan

Penyusun membuat identifikasi masalah antara lain:

1) Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam


2) Mengetahui tentang hak asasi manusia secara lebih luas
3) Mengetahui secara lebih mendalam tentang demokrasi dalam Islam
4) Memahami dan meneladani hasil karya para ulama dan hasil pemikiran para ahli
secara positif

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 HAM

2.1.1 Pengertian HAM

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh tuhan yang
maha pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). oleh karena itu, tidak ada
kekuasaan apa pun yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian, bukan berarti
manusia dengan hak-haknya dapat berbuat semaunya, sebab apabila seseorang
melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan memperkosa atau merampas hak
asasi orang lain, harus mempertanggung jawabkan perbuatanya.

Hak asasi yang dimiliki oleh manusia telah dideklarasikan oleh ajaran Islam
jauh sebelum masyarakat (barat) mengenalnya, melalui berbagai ayat Al-Qur’an
misalnya manusia tidak dibedakan berdasarkan warna kulitnya, rasnya tingkat
sosialnya. Allah menjamin dan memberi kebebasan pada manusia untuk hidup
dan merasakan kenikmatan dari kehidupan, bekerja dan menikmati hasil
usahanya, memilih agama yang diyakininya.

1. Musyawarah

Kedaulatan mutlak dan Keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep


tauhid dan peranan manusia yang terkandung dalam konsep kilafah
memberikan kerangka yang dengannya para cendikiawan belakangan ini
mengembangkan teori politik tertentu yang dapat dianggap demokratis

Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual islam,


bayak perhatian diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan
politik. Demokrasi islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-
konsep islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah, konsensus (ijma’)
dan ijtihad. Masalah musyawarah ini dengan jelas telah disebutkan dalam QS.

3
42:28, yang berisi perintah kepada para pemimpin dalam kedudukan apapun
untuk menyelesaikan urusan mereka yang dipimpinnya dengan cara
bermusyawarah. Dengan, demikian, tidak akan terjadi kesewenang-wenangan
dari seorang pemimpi terhadap rakyat yang dipimpinnya.

2. Kosensus atau Ijma’

Disamping musyawarah, ada hal lain yang sangat penting dalam masalah
demokrasi, yakni consensus atau ijma’. Konsep consensus memberikan dasar
bagi penerima system yang mengakui suara mayoritas.

Selain syura dan ijma’ ada konsep yang sangat penting dalam proses
demokrasi islam, yaitu ijtihad. Ini merupakan langkah kunci menuju penerapan
perintah Allah, berkaitan debgan tempat dan waktu.

Dalam pengertian politik murni, Muhammad iqbal dalam tulisanya


menegaskan tentang hubungan anatara consensus, demokratisasi, dan ijtihad,
bahwa tumbuhnya semangat legislatif di Negara – Negara muslim merupakan
langkah awal yang besar.

Pengalihan wewenang ijtihad dan individu-individu berbagai madzab


kepada suatu majelis legislatif muslim yang dalam kondisi kemajemukan
madzabmerupakan satu-satunya bentuk ijma’ yang dapat diterima di zaman
modern, akan terjamin kontribusi dalam pembahasan hukum dari kalangan
rakyat yang memliki wawasan yang tajam.

2.1.2 Hak-hak Asasi Manusia dan Sejarahnya

Kedatangan Islam di muka bumi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
bertujuan untuk membawa rahmat bagi makhluk seisi bumi termasuk di dalamnya
manusia. Menurut ajaran Islam, manusia tidak hanya menjadi objek tapi sekaligus
menjadi subjek bagi terciptanya keselamatan dan kedamaian itu. Oleh karena itu,
setiap muslim dituntut pertanggungjawaban atas keselamatan diri dan
lingkungannya. Seorang muslim harus dapat memberikan rasa aman bagi orang
lain baik dari ucapan maupun tindak-tanduknya.

4
Berdasarkan ini, maka penghargaan tertinggi kepada manusia dan
kemanusiaan menjadi perhatian yang paling utama dan prinsipil di dalam Islam.
Penghargaan yang tidak dibatasi oleh kesukuan, ras, warna kulit, kebangsaan dan
agama. Misalnya nilai persamaan, persaudaraan, dan kemerdekaan merupakan
nilai-nilai universal Islam yang berlaku pula untuk seluruh umat manusia di jagad
raya ini. Hal ini tercermin dari penegasan Allah didalam kitab suci al-qur’an :

“Sesungguhnya kami telah memuliakan Bani Adam (manusia) dan Kami


angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Q.S. Al-Isra’/17:70).

Hal itu sesungguhnya manusialah yang diberikan kebebasan memilih antara


hal-hal yang baik dan yang buruk, benar dan salah, bermanfaat dan mendatangkan
mudarat dan sebagainya. Kunci dari itu semua adalah manusia dikaruniai akal
pikiran dan hati nurani (qalb).

Untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi kekhalifahan itu setiap manusia
harus mengerti terlebih dahulu hak-hak dasar yang melekat pada dirinya seperti
kebebasan, persamaan, perlindungan dan sebagainya. Hak-hak tersebut bukan
merupakan pemberian seseorang, organisasi, atau Negara tapi adalah anugerah
dari Allah yang sudah dibawanya sejak lahir ke alam dunia. Hak-hak itulah yang
kemudian disebut dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

Tanpa memahami hak-hak tersebut mustahil ia dapat menjalankan tugas serta


kewajibannya sebagai khalifah Tuhan. Namun persoalannya, apakah setiap
manusia dan setiap muslim sudah menyadari hak-hak tersebut? Jawabnya,
mungkin belum setiap orang, termasuk umat Islam menyadarinya. Hal ini
mungkin akibat rendahnya pendidikan atau sistem sosial politik dan budaya
disuatu tempat yang tidak kondusif untuk anak dapat berkembang dengan
sempurna.

5
2.1.3 Latar Belakang Pemikiran tentang HAM

Manusia pada dasarnya berasal dari satu ayah dan satu ibu, yang kemudian
menyebar ke berbagai penjuru dunia, membentuk aneka ragam suku dan bangsa
serta bahasa dan warna kulit yang berbeda-beda. Karena itu manusia menurut
pandangan Islam adalah umat yang satu “ummatun wahidatun”.

Karena manusia itu bersaudara yang saling mengasihi dan sama derajatnya,
manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia lain. Manusia bebas dalam
kemauan dan perbuatan, bebas dari tekanan dan paksaan orang lain. Manusia,
menurut islam, hanya milik Allah dan hamba Allah (‘Abd Allah) dan tidak boleh
menjadi hamba dari makhluk-Nya, termasuk hamba dari manusia.

Dari ajaran dasar persaudaraan, persamaan dan kebebasan ini pula timbul
manusia yang lainnya. Seperti kebebasan dari kekurangan, rasa takut, meyalurkan
pendapat, bergerak, kebebasan dari penganiayaan dan penyiksaan. Hal ini
mencakup semua sisi dari apa yang disebut hak-hak asasi manusia seperti hak
hidup, hak memiliki harta, hak berfikir, hak berbicara dan mengeluarkan
pendapat, mendapat pekerjaan, hak memperoleh pendidikan, hak memperoleh
keadilan, hak berkeluarga dan hak diperlakukan sebagai manusia yang terhormat
(mulia) dan sebagainya.

 HAM dalam pandangan Islam dan Barat


Hukum menurut Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-
Nya, dalam Al-Quran dijelaskan nabi Muhammad saw sebagai rasulnya melalui
sunah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam al-qur’an dan hadist.[6]
HAM terbagi menjadi 2 HAM Menurut barat dan menurut islam.

HAM barat bersifat anthroposentris: segala sesuatu berpusat pada manusia


sehingga menempatkan manusia sebagai tolak ukur segala sesuatu. HAM islam
bersifat theosentris: segala sesuatu berpusat pada Allah. Dalam konsep demokrasi
modern, kedaulatan rakyat merupakan inti dari demokrasi sedang demokrasi islam
meyakini bahwa kedaulatan Allah-lah yang menjadi inti dari demokrasi.

6
2.1.4 Perspektif Islam tentang HAM

A. HAM sebagai tuntutan fitrah manusia


Manusia adalah puncak ciptaan tuhan. Ia dikirim kebumi untuk
menjadi khalifah atau wakil-Nya. Oleh karena itu setiap perbuatan yang
membawa perbaikan manusia oleh sesama manusia sendiri mempunyai
nilai kebaikan dan keluhuran kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya,
menyimpan kebenaran dan kebaikan universal, suatu nilai yang berdimensi
kesemestaan seluruh alam.

Berdasarkan pandangan ini, maka manusia memikul beban serta


tanggung jawab sebagai individu dihadapan Tuhan-Nya kelak, tanpa
kemungkinan untuk mendelegasikannya kepada pribadi lain. Punya
pertanggung jawaban yang dituntut dari seseorang haruslah didahului oleh
kebebasan memilih. Tanpa adanya kebebasan itu lantas dituntut dari
padanya pertanggung jawaban, adalah suatu kezaliman dan ketidakadilan,
yang jelas hal itu bertentangan sekali dengan sifat Allah yang maha adil.

Berkaitan dengan penggunaan hak-hak individu itu, yang mempunyai


hak dianggap menyalahgunakan haknya apabila:

1. Dengan perbuatannya dapat merugikan orang lain.


2. Perbuatan itu tidak menghasilkan manfaat bagi dirinya, sebaliknya
menimbulkan kerugian baginya.
3. Perbuatan itu menimbulkan bencana umum bagi masyarakat.

B. Perimbangan antara hak-hak individu dan masyarakat


Untuk menjaga keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat,
didalam islam tidak dikenal adanya kepemilikan mutlak pada manusia.
Oleh karena itu, didalam syariat islam apabila disebut hak Allah, maka
yang dimaksud adalah hak masyarakat atau hak umum. Allah adalah
pemilik yang sesungguhnya terhadap alam semesta, termasuk apa yang

7
dimiliki oleh manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh firman-nya antara
lain:

1. “Ketahuilah bahwa milik Allahlah apa-apa yang ada dilangit dan


dibumi” (Q.S Yunus/10:55)
2. “Dan Dialah yang menciptakan bagimu semua yang terdapat dibumi”
(Q.S Al-Baqarah/2:29)
3. “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah
dikaruniakan-Nya kepadamu” (Q.S An-Nuur/24:33)
4. “……..di dalam harta mereka tersedia bagian tertentu bagi orang
miskin yang meminta dan tak punya” (Q.S Al-Ma’arij/70:24:25)

2.1.5 Dasar-dasar HAM dalam Al-Qur’an

A. Hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat


Al-Qur’an menegaskan:

 “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
Dan merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S Ali-Imran/3:104)
 “Hendaklah kamu saling berpesan kepada kebenaran dan saling berpesan
dengan penuh kesabaran” (Q.S Al-Ashr/103:3)
 “Berilah berita gembira kepada hamba-Ku yang mendengarkan perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang
yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal” (Q.S Az-Zumar/39:17:18)
Ayat-ayat diatas menegaskan bahwa setiap orang berhak menyampaikan
pendapatnya kepada orang lain, mengingatkan kepada kebenaran, kebajikan serta
mencegah kemungkaran. Bahkan hal itu disampaikan bukan saja karena ada hak
tapi sekaligus merupakan suatu kewajiban sebagai orang beriman.

8
B. Hak kebebasan memilih agama
Sehubungan dengan kebebasan memilih agama dan kepercayaan, Al-
Qur’an menyebutkan antara lain:

 “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam), sesungguhnya telah


jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa
yang Ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus
dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S Al-Baqarah/2:256)
 “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin
(kafir) biarlah ia kafir…” (Q.S Al-kahfi/18:29)
 “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang
dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?“ (Q.S.
Yunus/10:99)
Berdasarkan ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa masalah menganut suatu agama
atau kepercayaan sepenuhnya diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk
memilihnya. Didalam islam, kita hanya diperintah untuk berdakwah yang
bertujuan menyeru, mengajak dan membimbing seseorang kepada kebenaran itu.
Dakwah bertujuan juga untuk menegakkan “Al-Amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an
al-munkar” (menyeru kepada kebajikan serta mencegah dari kemjungkaran).

C. Hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sosial


Sehubungan dengan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama ini Al-
Qur’an menyebutkan sebagai berikut :

“ Dialah orang yang menjadikan segala yang ada dibumi ini untuk kamu…..”
(Q.S Al-Baqarah/2:29)

Ayat ini menjadi dasar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dari apa-apa yang sudah disiapkan Allah

9
dipermukaan bumi ini. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk mendapatkan
Rezki yang halal dan baik hal ini di tegaskan dalam firman-Nya :

“ Hai sekalian Manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
dibumi…..” (Q.S Al-Baqarah/2:168) 

2.2 Demokrasi Dalam Islam

2.2.1 Pengertian Demokrasi

Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan


tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-
wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863)
menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”. Dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang
membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat harus melaksanakan apa yang
telah ditetapkan rakyat tersebut.

Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh


dalam hal :

a. Kebebasan beragama

b. Kebebasan berpendapat

c. Kebebasan kepemilikan

d. Kebebasan bertingkah laku

Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua
negara yang ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami
variasi-variasi tertentu yang dilatar belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta
agama yang dominan di suatu negara. Namun, variasi yang ada hanyalah terjadi
pada bagian cabang bukan pada prinsip tersebut.

10
2.2.2 Asal-usul Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia “kekuasaan rakyat”,


yang dibentuk dari kata demos “rakyat” dan kratos “kekuasaan”, merujuk pada
sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota
Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.

Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk


sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika
itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa kota yang independen. Di setiap kota
tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu
permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.

Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem


pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu
terdiri dari 1.500 kota (poleis) yang kecil dan independen. Kota tersebut memiliki
sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan
juga demokrasi. Salah satunya Athena, kota yang mencoba sebuah model
pemerintahan baru yaitu demokrasi langsung.

Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair
dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi
dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan.
Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang
bangsawan Athena.

Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan


sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat
dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya
seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem


Kufur, demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat

11
selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk
mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia.

Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja


terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama,
dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai
kaidah-kaidah berdemokrasi.

Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil


menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba
mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar
belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.

2.2.3 Demokrasi dan Islam

Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid
dan peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan
kerangka yang dengannya para cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori
politik tertentu yang dapat dianggap demokratis. Didalamnya tercakup definisi
khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat
manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintahan.

Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual islam,


banyak perhatian diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan
politik. Demokrasi islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-
konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan
(ijma’), dan penilaian interpretative yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep
dalam tradisi politik Barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata
demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam wacana Muslim dewasa ini.
Namun, lepas dari konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting
dalam perdebatan menyangkut demokratisasi dikalangan masyarakat muslim.
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia.

12
Oleh karena itu perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin
terutama dalam doktrin musyawarah. Hal ini disebabkan menurut ajaran Islam,
setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita adalah
khalifah Allah di bumi.

Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada


penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah
negara. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah
ijtihadiyyah, dalam surat Al-syura ayat 3 :

“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,


sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.(QS
Asy-Syura : 38).

Disamping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah
demokrasi, yakni konsensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang
menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan
sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Dalam pengertian yang lebih
luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif
bagi demokrasi Islam modern.

Selain syura dan ijma’, ada konsep yang sangat penting dalam proses
demokrasi Islam, yakni ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan
langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Hal
ini dengan jelas dinyatakan oleh Khursid Ahmad: “Tuhan hanya mewahyukan
prinsip-prinsip utama dan memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-
prinsip tersebut dengan arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan
zamannya”. Itjihad dapat berbentuk seruan untuk melakukan pembaharuan, karena
prinsip-prinsip Islam itu bersifat dinamis, pendekatan kitalah yang telah menjadi
statis.

Oleh karena itu sudah selayaknya dilakukan pemikiran ulang yang mendasar
untuk membuka jalan bagi munculnya eksplorasi, inovasi dan kreativitas. Dalam

13
pengertian politik murni, Muhammad Iqbal menegaskan hubungan antara
konsensus demokratisasi dan ijtihad.

Dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam ia


menyatakan bahwa tumbuhnya semangat republik dan pembentukan secara
bertahap majelis-majelis legislatif di negara-negara muslim merupakan langkah
awal yang besar. Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep
yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi islam dalam kerangka Keesaan
Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya.

2.2.4 Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam

Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan


yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS.
As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga
yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman
khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas
memilih kepala negara atau khalifah.

Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan


tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan
begitu, setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung
jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian
penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan
menjadi pertimbangan bersama.

Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum


termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara
adil dan bijaksana. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain
dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan
seterusnya.

14
Prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada
ungkapan yang berbunyi “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara
kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang
mengatasnamakan) Islam”.

Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa
lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa
tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan
eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari
hegemoni penguasa atas rakyat.

Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi
wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil
untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah
dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar dihadapan
rakyat demikian juga kepada Tuhan.

Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang
dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini
sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-
Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13.

Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan


seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut
harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah
yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan
tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan
sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.

Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa
diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan
malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam. Kelima, al-Masuliyyah
adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan

15
itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri,
maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.

Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah
yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus
dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh Ibn
Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat
manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya.

Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini


diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik
bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan
pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim
al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa
menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa,
bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.

Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap


warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya.
Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq
al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka
tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya.

Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi
pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika
sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan
semakin merajalela. Ada beberapa alasan mengapa islam disebut sebagai agama
demokrasi, yaitu sebagai berikut:

1) Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama islam berlaku bagi semua
orang tanpa memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi hingga rakyat
jelatah dikenakan hukum yang sama. Jika tidak demikian, maka hukum dalam
islam tidak berjalan dalam kehidupan.

16
2) Islam memiliki asas permusyawaratan “amruhum syuraa bainahum” artinya
perkara-perkara mereka dibicarakan diantara mereka. Dengan demikian, tradisi
bersama-sama mengajukan pemikiran secara bebas dan terbuka diakhiri dengan
kesepakatan.
3) Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan manusia tarafnya tidak
boleh tetap, harus terus meningkat untuk menghadapi kehidupan lebih baik di
akhirat.
Jadi, prinsip demokrasai pada dasrnya adalah upaya bersama-sama untuk
memperbaiki kehidupan, kareana itulah islam dikatakan sebagai agama perbaikan
“diinul islam” atau agama inovasi. Untuk itu, islam selau menghendaki demokrasi
yang merupakan salah satu ciri atau jati diri islam sebagai agama hukum.

Hukum, HAM, dan demokrasi adalah tiga konsep yang tidak dapat dipisahkan.
Hal ini dikarenakan salah satu syarat utama terwujudnya demokrasi ialah adanya
penegakkan hukum dan perlindungan HAM. Demokrasi akan rapuh apabila HAM
setiap masyarakat tidak terpenuhi.
Sedangkan pemenuhan dan perlindungan HAM dapat terwujud apabila hukum
ditegakkan. Dalam ajaran Islam, hukum, HAM dan ddemokrasi disebutkan dengan
jelas di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian manusia sebagai
khalifah Allah dimuka bumi ini dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan
benar apabila ia seelalu berpegang pada aturan-aturan pada Al-Quran dan As-
Sunnah.

17
BAB 3

PENUTUP

3.1 Simpulan

a) Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme pemerintahan negara yang


menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
b) Demokrasi menurut islam dapat diartikan seperti musyawarah, mendengarkan
pendapat orang banyak untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan
nilai-nilai keagamaan.
c) HAM adalah hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia ada di dalam
kandungan.
d) HAM dalam islam didefinisikan sebagai hak yang dimiliki oleh individu dan
kewajiban bagi negara dan individu tersebut untuk menjaganya.

3.2 Saran

a) Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat membedakan antara


demokrasi di Indonesia dan demokrasi Islam dan dapat melihat sisi baik dan
buruknya.
b) Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat memahami pentingnya HAM
dalam kehidupan kita dan kewajiban kita untuk menjaganya.

18
Daftar pustaka

Kosasih, Ahmad. 2003. HAM dalam perspektif ISLAM. Jakarta: Salemba Diniyah

Azra, Azyumardi, dkk.2002. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.
Jakarta: dir. Perguruan Tinggi Agama Islam

Fanani, Sunan. 2010. Lembar Kerja Mahasiswa Pendidikan Agama Islam. Sidoarjo: PT. Al
Maktabah.

Mansoer, Hamdan, dkk. 2004. Materi instruksional pendidikan agama islam di perguruan
tinggi umum. Jakarta : dir. Pt. Agama Islam

· Husain, syekh syaukat, 1991, Hak asasi – manusia dalam islam, Jakarta. Gema Insani
perss

· Lopa, Baharuddin, 1999. Al Qur’an dan Hak Azasi Manusia, Yogyakarta, PT. Dana
Bakti Prima Yasa.

· Ilyas, Muhtarom, 2009. Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.

· Pramudya, Willy, Cak Munir, Engkau Tak Pernah Pergi, Jakarta: GagasMedia 2004

19

Anda mungkin juga menyukai