PENDIDIKAN AGAMA
“ HAM dan Demokrasi Dalam Islam “
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmatNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam
makalah ini kami membahas “HAM dan demokrasi dalam islam”.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman mahasiswa
mengenai keimanan dan ketakwaan serta mengimplementasikannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya kami mendapatkan
bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-
dalamnya kami sampaikan kepada :
Ridwan, M. Sy selaku dosen mata kuliah “Pendidikan Agama Islam”
Rekan-rekan yang telah menyumbangkan tenaga dan pikiran sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Rekan-rekan mahasiwa yang telah banyak memberikan masukan untuk
makalah ini.
Materi yang kami paparkan dalam makalah ini tentunya jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik yang bersifat membangun sangat kami
butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini. Demikian makalah ini kami buat
semoga bermanfaat.
Penulis
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
iii
negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Salah satu pilar
demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik
negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis
lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang
sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara
ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling
mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.Ketiga jenis lembaga-
lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki
kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif,
lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan
judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang
memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini,
keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja
dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang
memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan
peraturan.Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil
penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan
umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh
warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela
mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak
untuk memilih (mempunyai hak pilih).Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini
bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota
parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan
presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara
tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara
langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.
Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum
sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian
masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem
pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun
seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa
hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara
iv
demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur
tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal,
narapidana atau bekas narapidana).
B RUMUSAN MASALAH
v
BAB II
PEMBAHASAN
2
kebijakan negara supaya tidak berjalan sewenang-wenang. Isi dari Magna Charta
ialah bermaksud untuk mengurangi kekuasan penguasa. Usaha untuk diadakannya
Magna Charta ini dimulai dari perjuangan tuan tanah dan gereja untuk membatasi
kekuasaan raja dan para anggota keluarga. Pada periode awal ini hubungan antara
isi dasar HAM adalah mengenai (hubungan) antara anggota masyarakat yang
berada dibawah kekuasaan yang diatur kebendaanya.
Sekelompok tuan tanah dan ksatria menggalang kekuatan dan mereka berhasil
mendesak raja untuk tidak lagi memberlakukan tindakan penahan, penghukuman
dan perampasan benda benda secara sewenag-wenang. Raja Jhon terpaksa
menyetujui tuntutan ini dengan memberikan cap pengesahan yang berlangsung
pada juni 1215 di Runnymede, sebuah padang rumput di pinggir sungai Thames.
Isi dari Magna Charta ini ada tiga. Pertama, raja dilarang menarik pajak sewenang
wenang. Kedua, pejabat pemerintah dilarang mengambil jagung dengan tanpa
membayar. Dan yang ketiga, tidak seorang pun dapat dipenjara tanpa saksi yang
jelas. Pengesahan ini menjadi dokumen tertulis yang pertama tentang hak-hak
tuan tanah, gereja, ksatria dan orang merdeka atau orang sipil yang belum
menikmati kebebasan.
Berlanjut setelah keberhasilan tuan tanah, bangsawan dan orang merdeka untuk
memperjuangkan hak-hak mereka di hadapan raja membangkitkan kesadaran
diberbagai kalangan masyarakat terhadap pentingnya hak-hak untuk dihormati
dan dilindungi. Pada 1628, kaum bangsawan menuntut hak-hak mereka kepada
raja. Mereka mencetuskan Petition Of Right. Yang menuntut sebuah negara yang
konstitusional, termasuk didalamnya fungsi parlemen dan fungsi pengadilan. Jhon
locke (1632-1704) bersama lord Ashley merumuskan tuntutan bagi toleransi
beragama. Selain itu, juga menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan
memiliki hak-hak alamiah yang tidak data dicabut seperti hak untuk hidup,
kemerdekaan hak milik dan hak untuk meraih kebahagiaan.Salah satu karya
Locke yang terkenal ialah second treaties on civil government yang berisi
mengenai negara atau pemerintah harus berfungsi untuk melindungi hak milik
pribadi. Pemerintah dibentuk guna menjamin kehidupan, harta benda dan
kesejahteraan rakyat. Gagasan locke ini sesuai dengan perkembangan didalam
masyarakat inggris yang mulai berubah dari nehgara kerajaan yang absolut
3
menuju kerajaan yang konstitusional.Pada 1653 instrument of government
berhasil didesakkan. Pembatasan kekuasaan raja semakin dikukuhkan dengan
lahirnya Habeas Corpus Act pada Mei 1679. Lonceng kebebasan terus berdentang
dan pada 16 desember 1689 Bill Of Rights lahir. Mereka tidak hanya berhasil
membebaskan diri dari kesewenangan raja. Dan mereka juga berhasil membentuk
parlemen yang mempunyai kewenangan untuk mengontrol kekuasaan raja. Itulah
sekilas sejarah awal dari HAM yang berkembang di barat khususnya yang
berkembang diwilayah Inggris. Ada tiga prinsip utama dalam pandangan normatif
hak asasi manusia, yaitu berlaku secara universal, bersifat non-diskriminasi dan
imparsial. Prinsip keuniversalan ini dimaksudkan agar gagasan dan norma-norma
HAM telah diakui dan diharapkan dapat diberlakukan secara universal atau
internasional. Prinsip ini didasarkan atas keyakinan bahwa umat manusia berada
dimana-mana,disetiap bagian dunia baik di pusat-pusat kota maupun di pelosok
pelosok bumi yang terpencil. Berdasar hal itu ham tidak bisa didasarkan secara
partikular yang hanya diakui kedaerahahan dan diakui secara lokal.Prinsip kedua
dalam norma HAM adalah sifatnya yang non-diskriminasi. Prinsip ini bersumber
dari pandangan bahwa semua manusia setara (all human being are equal).
Pandangan ini dipetik dari salah satu semboyan Revolusi Prancis, yakni
persamaan (egalite). Setiap orang harus diperlakukan setara. Seseorang tidak
boleh dibeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi latar belakang
kebudayaan sosial dan tradisi setiap manusia diwilayahnya berbeda-beda. Hal ini
tidak bisa dipandang sebagai suatu hal yang negatif, melainkan harus dipandang
sebagai kekayaan umat manusia. Karena manusia berasal dari keanekaragaman
warna kulit seperti kulit putih,hitam, kuning dan lainnya. Keanekaragam
kebangsaan dan suku bangsa atau etnisitas. Kenekaragaman agama juga
merupakan sesuatu hal yang mendapat tempat dalam sifat non-diskriminasi ini.
Pembatasan sesorang dalam beragama merupakan sebuah pelanggaran
HAM.Prinsip ketiga ialah imparsialitas. Maksud dari prinsip ini penyelesaian
sengketa tidak memihak pada suatu pihak atau golongan tertentu dalam
masyarakat. Umat manusia mempunyai beragam latar belakang sosial aupun latar
belakang kultur yang berbeda antara satu dengan yang lain hal ini meupakan
sebuah keniscayaan. Prinsip imparsial ini dimaksudkan agar hukum tidak
4
memihak pada suatu golongan. Prinsip ini juga dimaksudkan agar pengadilan
sebuah kasus diselesaikan secara adil atau tidak memihak pada salah satu pihak.
Pemihakan hanyalah pada norma-norma HAM itu sendiri.Terdapat dua garis besar
pembagian hak asasi manusia yaitu Hak Negatif dan Hak Positif. Pembagian hak-
hak ini berhubungan dengan dengan ukuran keterlibatan negara dalam pemenuhan
hak asasi manusia. Pembagian ini tidak berdasarkan baik atau buruk dalam hak
yang terkandung di dalamnya.Mengenai Hak Negatif adalah hak meminimalkan
peran campur tangan negara, maka semakin terpenuhi pula hak-hak sipil dan
politik. Sebaliknya, bila negara terlalu banyak melakukan campur tangan, maka
semakin terhambat pula pelaksanaan hak-hak sipil politik warganya
5
menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat.”[1]Secara teori, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap
berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat haruslah
melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.Selain itu, demokrasi juga
menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal : Kebebasan
beragama,kebebasan berpendapat,kebebasan kepemilikan,dan kebebasan
bertingkah laku.
Demokrasi Bertentangan Dengan Islam
Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak
legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh
lembaga perwakilannya, seperti DPR).Sementara dalam Islam, kedaulatan berada
di tangan syara’, bukan di tangan rakyat.Ketika syara’ telah mengharamkan
sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram walaupun seluruh rakyat sepakat
membolehkannya.
Disisi lain, kalau diyakini bahwa hukum kesepakatan manusia adalah lebih baik
daripada hukum Allah, maka hal ini bisa menjatuhkan kepada kekufuran dan
kemusyrikan. Ketika Rasulullah saw membacakan:
ُون ِم ْن أا ْر ابابًا او ُر ْه ابانا ُه ْم أاحْ اب ا
ار ُه ْم اتَّ اخذُوا َّ
ِ ّللاِ د
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
selain Allah. (QS. At Taubah : 31)
Adapun kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa pendapat seseorang
haruslah terikat dengan apa yang ditetapkan oleh syariat Islam. Artinya seseorang
tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali
perbuatan atau pendapat tersebut dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang
membolehkan hal tersebut.Islam mengharuskan kaum muslimin untuk
menyatakan kebenaran dimana saja dan kapan saja. Rasulullah saw bersabda :
berada, kami tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam
melaksanakan ketentuan Allah”. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit).
Berkaitan dengan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang hak
milik umum, seperti sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll, juga
6
melarang cara mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara’
seperti riba, judi, menjual barang haram, menjual kehormatan, dll.Adapun
kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan,
homoseksual-lesbianisme, perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan
sistem sanksi yang sangat keras untuk setiap perbuatan tersebut.Sementara
demokrasi membolehkan hal tersebut, apalagi kalau didukung suara
mayoritas.sehinggatidak aneh kalau dalam sistem demokrasi, homoseksual yang
jelas diharamkan Islampun tetap dibolehkan asalkan pelakunya sudah dewasa
(diatas 18 tahun) dan dilakukan suka-sama suka[3]. Begitu juga perzinaan asal
dilakukan orang dewasa yang suka-sama suka dan tidak terikat tali perkawinan
maka tidaklah dipermasalahkan[4].
Prinsip-prinsip Musyawarah dalam Islam
Prinsip Syura dalam Islam
Politik penuh dengan intrik, bahkan seringkali diwarnai konflik dan perebutan
kekuasaan.Demi mengejar kepentingan, terkadang orang rela mengorbankan
segalanya.Tak cukup martabat dan harta benda, menjegal dan merampas hak
orang lainpun kalau perlu dilakukan.Tiada kawan sejati dan tiada musuh
abadi.Sekarang menjadi kawan, besok berbalik menjadi lawan, dan begitu pun
sebaliknya.Semuanya menyesuaikan dengan instrumen kepentingan jangka
pendek.Ironiknya, yang sering menjadi korban adalah rakyat kecil yang
kesehariannya bergelut dengan perjuangan mempertahankan hidup.Di tanah air
kita, kisruh dan riuh ini tidak hanya terjadi di tingkat pusat.Sebab pertarungan dan
perebutan kekuasaan juga terjadi di daerah-daerah.Gempa pertikaian banyak
melanda daerah-daerah.Akibatnya, rakyat kecil dihantui resah dan dililit gelisah
menyaksikan pemimpin dan panutan mereka saling adu jotos.Mekanisme
musyawarah sebagai cermin demokrasi yang mereka bangun sering tidak dapat
menyelesaikan persoalan dan persengketaan.
Adu jotos berawal dari rasa tidak puas terhadap hasil keputusan musyawarah yang
digelar. Ketetapan hasil musyawarah tersebut mereka anggap tidak sah karena
prosesnya tidak mencerminkan demokratisasi dan dipandang tidak akomodatif.
Pertikaian kedua kubu tak dapat dihindari lagi. Segala cara dilakukan untuk
mempertahankan ambisi mereka masing-masing. Kian hari, konflik kian
7
meruncing.Ada yang mengusulkan Musyawarah harus diulang.Tak pelak lagi, pro
dan kontra menghangat.Setuju dan tidak setuju.Ancaman kehancuran bangsa
diambang mata.Lalu, bagaimana fiqh melihat fenomena ini? Apa komentarnya
tentang musyawarah? Apakah hasil keputusan musyawarah tim formatur itu
mengikat atau tidak? Bagaimana pula mekanisme pembentukan perwakilan
formatur? Dan sanksi apa yang pantas untuk mereka yang membelot dari
keputusan musyawarah tersebut?.Islam sangat menganjurkan
musyawarah.Terbukti, pada masa Nabi, banyak persoalan ummat diselesaikan
melalui mekanime syura (permusyawaratan) antara beliau dan para sahabatnya
Bahkan dalam Islam, melaksanakan keputusan hasil musyawarah adalah wajib
hukumnya. Tujuan musyawarah tak lain adalah untuk sharing ide dan gagasan
untuk mencapai apa yang diidealkan bersama. Sebab, tidak mustahil ada ide
cemerlang yang tidak diketahui oleh sebagian dari mereka, tetapi diketahui oleh
yang lain. Jadi, musyawarah berfungsi sebagai wadah untuk menampung aspirasi
dan mempertemukan ide-ide kaum muslimin waktu itu.[1]Berkaitan dengan
pentingnya mengembangkan mekanisme musyawarah ini Allah berfirman,
هللا على فتوكل فاذاعزمت المر فى وشاورهمArtinya “Dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam (segala) urusan, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali Imran: 159).
Ayat ini memberikan peluang kepada kaum muslimin untuk melakukan ijtihad,
bermusyawarah untuk mengambil beberapa kaputusan, meskipun masih mungkin
untuk memutuskan persoalan tersebut melalui wahyu ketika Nabi masih
hidup.Melalui paradigma ini, Ibnu ‘Athiah mengungkapkan, syura merupakan
bagian dari kaidah-kaidah syariat dan ketentuan hukum Islam. Karena itu, lanjut
beliau, seandainya ada seorang pejabat yang tidak mau bermusyawarah dengan
pihak-pihak lain yang terkait untuk memutuskan suatu persoalan maka ia wajib
dipecat.[2]Perlu diketahui, perintah musyawarah dalam ayat di atas sifatnya
umum dan mencakup segala aspek kehidupan, baik agama, politik, sosial-
ekonomi dan budaya. Dalam segala sendi kehidupan, kita dianjurkan
bermusyawarah untuk menentukan kebijakan yang dianggap baik.Hasil dari
bincang-bincang serius ini harus ditaati dan diikuti selama tidak menentang
8
aturan-aturan agama. Karena apa yang dihasilkan adalah perwujudan dari kata
mufakat atau suara mayoritas.Dalam musyawarah, biasanya hanya diikuti oleh
perwakilan golongan. Ada pula yang melalui tim formatur, yakni sekelompok
orang yang telah ditunjuk oleh anggota sidang untuk mengambil suatu kebijakan.
Karenanya, yang layak direkrut sebagai anggota adalah mereka yang punya ide-
ide cemerlang, teruji dan kredibilitasnya tidak diragukan lagi.Kalau dalam
wilayah agama, mereka adalah alim ulama dan cendikia agama. Sedangkan dalam
arena politik, yang berhak melakukan musyawarah tentunya politisi dan pakar-
pakar dalam ilmu politik.Lalu, bagaimana mekanisme pembentukan perwakilan
atau tim formatur tersebut?. Ada dua cara. Pertama, ditunjuk langsung oleh
penguasa. Penguasa (baca: pengurus terpilih) menunjuk orang-orang yang
memenuhi persyaratan-persyaratan di atas. Pengangkatan tim formatur gaya ini
pernah dilakukan oleh khalifah Umar di mana beliau mengangkat enam orang
yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas dalam bidang agama dan politik.
Mereka diserahi tugas untuk memilih khalifah berikutnya untuk menggantikan
dirinya. Keputusan yang diambil sebisa mungkin dilakukan dengan cara mufakat.
Tetapi kalau tidak mungkin, maka diambil suara terbanyak (voting).Kedua,
pendelegasian dari kelompok (partai) yang dipilih berdasarkan skill (keahlian)
yang dimilikinya. Mereka yang telah dipilih kemudian menyampaikan ide-ide dari
kelompoknya masing-masing, selanjutnya menentukan keputusan-keputusan
berdasarkan suara terbanyak.[3]Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah
keputusan tim formatur itu mengikat?. Dr. Yusuf al-Qardlawi dalam bukunya
Fatawa Mu’ashirah menengarai bahwa sekelompok ulama sampai detik ini masih
menduga bahwa keputusan musyawarah itu hanya bersifat pemberitaan, tidak
mengikat.Dari itu, maka seorang hakim boleh melakukan musyawarah ulang
kalau ternyata ada masalah dengan keputusan yang pertama.Lebih lanjut, Pemikir
Islam asal Mesir ini menyatakan tidak setuju terhadap tengara sekolompok ulama’
tersebut. Alasannya, apa artinya musyawarah yang pertama dikembangkan kalau
kalau ternyata hakim masih ingin melaksanakan musyawarah yang kedua?. Tidak
ada artinya lagi jabatan mereka (tim formatur) sebagai Ahl al-Halli wa al-Aqdi
yang dipilih berdasarkan kapabilitas dan kredibilitas serta atas persetujuan
kelompok masing-masing, kalau keputusannya tidak lagi digubris dan
9
diabaikan.Sementara, Ibnu Katsir menukil dari Ibnu Mardawih bahwa Ali pernah
ditanya soal arti lafadzal-‘Azmu (QS Ali Imran: 159). Kata beliau, al-azmu adalah
musyawarahnya ahli ra’yu dan keputusannya wajib diikuti. Oleh karena itu, ketika
wakil-wakil golongan (tim formatur) telah mengambil keputusan memilih seorang
pemimpin maka tidak ada peluang lagi untuk membatalkan keputusan tersebut.
Dikatakan tidak ada peluang, karena sebelumnya telah dilakukan pemilihan
melalui sistem perwakilan dan telah disetujui oleh semua pihak (mayoritas). Kalau
keputusan itu harus dibatalkan, lalu apa gunanya mengangkat tim formatur?. Ini
adalah bagian dari pengkhianatan terhadap mekanisme syura.[4]Bagaimana kalau
masih ada pihak yang tidak setuju terhadap hasil keputusan tersebut?. Jelas,
mereka harus diabaikan karena bertentangan dengan hasil kesepakatan bersama.
Keputusan pertama yang telah disepakati wajib diikuti dan ditaati karena
wujudnya telah berubah menjadi undang-undang. Dalam sebuah hadits dikatakan,
شروطهم عند المسلمونArtinya “orang Islam terikat dengan keputusan yang telah
dibuatnya”.(Sunan Abi Daud, II, 511).Dengan demikian, jika sudah terpilih
seorang pemimpin berdasarkan asas dan syarat-syaratnya (AD/ART) maka tidak
boleh melakukan pemilihan ulang dan membatalkan keputusan yang pertama.
Sebab, ini merupakan pengingkaran terhadap ikrarnya sendiri, berkhianat pada
apa yang pernah ia putuskan sendiri.[5]Dr. Mohammad Said Ramdlan al-Buthi
sangat tegas menyikapi persoalan ini. Menurutnya, jika seseorang telah terpilih
dengan suara mayoritas untuk menduduki kursi kepemimpinan, sementara
pemerintahan berjalan baik dan stabil maka tidak sah hukumnya memilih dan
mengangkat pemimpin baru.Lebih dari itu, lanjut beliau, pemimpin yang kedua
adalah pembangkang dan separatis (bughat). Kalau tetap ngotot melakukan
pemilihan ulang untuk mengangkat pemimpin baru, maka jalan yang terbaik tidak
lain harus melakukan perlawanan terhadap kelompok pembangkang ini.[6]
Nabi bersabda:
منهما الخر فاقتلوا لخليفتين بويع اذاArtinya “Apabila dua orang pemimpin dibai’at (dalam
satu masa), maka perangilah satu diantara mereka ”.( Shahih Muslim, II, 137)
Kenapa mesti diperangi?.Karena musyawarah merupakan asas suatu bangsa untuk
mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas.Tentunya, hasil dari keputusan
musyawarah merupakan cermin dari suara mayoritas elemen suatu bangsa. Dan,
10
keputusan itu menjadi hukum dan undang-undang yang harus ditaati dan
dijunjung tinggi.[7]. Disamping itu, kelompok yang kedua hanya mengedepankan
ambisi dan syahwat mereka untuk menjadi pemimpin.Mereka hanya
menginginkan empuknya kursi jabatan yang penuh gelimangan harta dan
pengaruh, menjadi masyhur dan dikenal khalayak ramai. Gejala ini seperti pernah
disinyalir oleh Nabi,
مسئلة غير عن اعطيتها وان اليها وكلت مسئلة عن اعطيتها فان المارة تسئل ل سمرة بن الرحمن ياعبد
عليه اعنت
Artinya: “Hai Abdurrahman bin Samrah..!! Janganlah kamu mengemis
(berambisi) suatu jabatan. Apabila kamu diberi jabatan atas permintaanmu, kamu
tidak akan dibantu oleh Allah. Tetapi, jika kamu diberi jabatan bukan karena
permintaanmu,Tuhan akan menolongmu”.( Shahih Muslim, II, 123)
Alhasil, mengingkari hasil musyawarah merupakan pembangkangan terhadap
nilai-nilai agama. Karena secara tegas, agama telah menganjurkan umatnya
melakukan musyawarah untuk memutuskan persoalan yang sedang mereka
hadapi. Ini tak lain, karena manusia tidak mungkin memutuskan persoalan
dunianya yang kompleks sendirian, termasuk dalam wilayah politik.
Karena wilayah politik adalah arena yang rentan konflik kepentingan maka kalau
ada pengingkaran terhadap hasil musyawarah tak lain hal itu merupakan gejala
ambisi pribadi untuk berkuasa. Karena itu, tindakan ini sama sekali tidak
dibenarkan dalam agama. Bahkan, tindakan pembangkangan seperti ini diancam
oleh agama dengan hukuman mati. Bukankah orang yang berambisi untuk
menjadi pemimpin yang tujuannya hanya untuk merasakan nikmatnya kursi
jabatan itu adalah dhalim?. Di akhirat ia akan mengalami kesengsaraan karena
tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap rakyat yang
dipimpinnya. Sementara di dunia, karena tergolong bughat dan pengkhianat ia
wajib dipecat, kalau perlu diperang.
IJMA’
A. Dasar Pemikiran
Harus diketahui sejak awal bahwa berbeda dengan Al-Qur’an dan Sunnah, Ijma
tidak secara langsung bersumber dari wahyu.Sebagai doktrin dan dalil syariah,
11
Ijma’ pada dasarnya merupakan dalil yang mengikat.Tetapi tampaknya status
yang tinggi diberikan kepada Ijma’ ini menuntut bahwa hanya consensus mutlak
yang universal sajalah yang memenuhi syarat, sekalipun consensus mutlak
mengenai Ijma’ yang bersifat rasional sering kali sulit terjadi. Wajar dan masuk
akal untuk hanya menerima Ijma’ sebagai realitas dan konsep yang valid dalam
pengertian relatif, tetapi bukti factual tidak cukup menentukan universilitas Ijma’
devinisi klasik dan syarat esensial Ijma’ sebagaimana ditetapkan ulama-ulama
dahulu (usul).Kesengajaan antara teori dan prakek Ijma’ tergambar dalam
kesulitan yang diakui oleh banyak fuqoha’ tentang penerapan syarat-syarat
teoritisnya. Syarat-syarat mutlak devinisi Ijma’klasik sulit dipenuhi dengan bukti
factual yang menyakinkan meninimalkan semua bentuk ikhtilaf.Satu-satunya
bentuk Ijma’ yang umumnya diterima adalah Ijma’ para sahabat, yang sebagian
dikarenakan status mereka.Dengan butir-butir pengantar ini maka, kami dapat
memulai untuk menjelaskan makna dan devinisi Ijma’.
1. B.Devinisi Ijma
Ijma nenurut istilah para ahli Ushul Fiqh adalah: Kesepakatan seluruh para
Mujtahid dui kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasullullah SAW
wafat atas mengenai hukum syara’ mengenai suatu kejadian.Dalam devinisi itu
hanyalah disebutkan sesudah wafat Rasullullah saw. karena pada masa hidup
Rasulllullah, beliau merupakan rujukan pembentukan hukum Islam satu-satunya,
sehingga tidak terbayangkan adanya perbedaan dalam hukum Syar’i. Dan tidak
pula terbayangkan adanya kesepakatan, karena kesepakatan tidak akan terwujud
kecuali dari beberapa orang.[1]
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidah: Ijma’ adalah kesepakatan dari para
mujtahid umat Islam pada suatu masa tentang hukum syara’ setelah wafatnya
Nabi SAW.Setelah mencermati devinisi di atas Ijma’ dalah menyangkut masalah
ijtihadiyah dan hal ini berkatn dengan aktifitas para mujtahid dalam urusan
hukum.Kegiatan ijtihad tidak dapat dilakukan oleh semua umat atau orang-orang
awwam kecuali para mujtahid yang mempunyai otoritas berdasarkan devinisi
yang telah dikemukakan diatas maka Ijma’ tersebut harus berpijak kepada
sejumlah unsur yang menjadi dasar pijakan Ijma’.
1. C. Unsur-unsur/Rukun Ijma’
12
Tentang rukun Ijma’ ini, dikalangan ulama’ ushul ada yang mengatakan empat
dan ada yang menyebutkan lima unsur.
Menurut Prof. Abdul Wahhab Khallaf dan Safi Hasan Talib Unsur Ijma’ ada
empat:
1. Adanya kesepakatan sejumlah mujtahid pada suatu masa tentang suatu
peristiwa yang terjadi. Kesepakatan ini harus dari sejumlah mujtahid.
2. Kesepakatan para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan
golongan. Tidak dipandang Ijma’ jika kesepakatan tersebut hanya berasal dari satu
tempat saja.
3. Kesepakatan para mujtaid harus nyata.
4. Kesepakatan itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak
dipandang Ijma’ jika kesepakatan itu hanya berasal dari sebagian besar mujtahid.
Memperhatikan rukun-rukun Ijma’ diatas, sebetulnya mencakup juga ketentuan-
ketentuan yang menjadi persyaratan di terimanya kesepakatan mujjtahid sebagai
Ijma’
Apabila Ijma’ memenuhi syarat di atas, maka ia menjadi mengikat (wajib) bagi
setiap orang. Sebagai akibatnya mujtahid masa sesudahnya tidak bebas lagi
melakukan ijtihad baru terhadap masalah yang sama. Ijma’ tidak dapat menghapus
dan tidak dapat dihapus.[2]
Bila kita perhatikan kitab-kitab ushul-fiqh baik yang klasik maupun yang
kontemporer, maka ulama ushul ,membagi Ijma’ menjadi dua macam:
1. Ijma’ ekplisit (Ijma’ Sarih), dimana setiap mujtahid mengemukakan
pendapatnya baik secara lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya
atas pendapatnya.
2. Ijma’diam-diam (Ijma Sukuti), dimana beberapa mujtahid suatu masa
mengemukakan pendapat suatu peristiwasementara yang lain tetap diam.
Dengan dasar Al-Quran (An-Nisa’ 59) jumhur telah sepakat bahwa Ijma’ Sarih itu
merupakan hujjah secara Qoth’i wajib mengamalkannya dan haram
menentangnya. Bila sudah terjadi Ijma’ pada suatu permasalahan maka ia menjadi
hukum Qoth’i yang tidak boleh ditentang. Dan menjadi masalah yang tidak boleh
di ijtihadi lagi[3].
13
Sementara Ijma’ Sukuti bersifat dugaan yang hanya menciptakan kemungkinan
(dhanni) tetapi tidak menutup kemungkinan dilakukannya ijtihad baru tentang
masalah yang sama. Oleh karna itu Ijma’ Sukuti tidak menunjukan adanya
kesepakatan dari seluruh mujtahid (pendukungnya), maka jumhur ulama’,
termasuk Syafi’i, berpendapat bahwa Ijma Sukuti bukan merupakan dalil[4].
Para ulama’ berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya Ijma’ dan kewajiban
melaksanakannya jumhur berkata ” Ijma itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana.
Abdul Karim Zaidan menjelaskan bahwa kalangan jumhur ulama menolak
pendapat yang mengatakan Ijma’ tidak mungkin terjadi.Kalangan jumhur
beralasan bahwa kemungkinan terjadinya Ijma’ itu memang telah terjadi atau
terbukti dalam perbuatan nyata. Menurut kalangan jumhur ini , tidak sulit
membuktikan bahwa Ijma’ itu memang telah ada. Misalnya kesepakatan mujtahid
tentang bagian waris nenek sebesar 1/6 bagian dari harta.
Menurut An-nazm, bahwa Ijma’ itu tidak mungkin terjadi dalam kenyataan. Abu
Zahramenjelaskan bahwa kesepakatan yang menghendaki seluruh mujtahid itu
tidak pernah ada, lebih-lebih pada masa tabi’in umumnya para mujtahid telah
terpencar diberbagai daerah dan kesepakatan ketika ini sulit untuk didapatkan,
berbeda pada masa sahabat para mujtahid belum banyak dan jarak mereka tidak
jauh atau mereka berbeda pada satu tempat yang mudah untuk di capai dan dapat
mengetahui pendapat mereka serta tidak sulit untuk terjadi Ijma’
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas dan pembahasan diatas dapat ditarik keimpulan
berdasarkan beberapa analisis. Dari analisis diatas antara HAM yang berkembang
di dunia internasional tidak bertentangan antara satu sama lain. Bahkan organisasi
Islam internasional yang terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI)
pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi HAM.
Kemudian Islam mematahkan bahwa dalam Islam telah dibicarakan sejak empat
belas tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Fakta ini mematahkan
bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. Ini dibuktikan oleh
adanya piagam madinah (mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi
Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam dokumen madinah atau piagam
madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok
di kota Nabi itu, baik umat yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri,
adalah merupakan satu bangsa (Idris, 2004;102). Dalam dokumen itu dapat
disimpulkan bahwa HAM sudah pernah ditegakkan oleh IslamBerdasar analisis
diatas Islam mengandung pengaturan mengenai HAM secara tersirat. Dapat kita
bagi menjadi sembilan bagian hak asasi manusia dalam islam yang pengaturannya
secara tersirat. Prof.Dr. Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa salah satu hal yang
dapat diterima oleh semua belah pihak tentang ijma adalah bila ia diartikan
dengan tidak adanya pendapat lain yang menyalahinya,dengan kata lain dapat
dinyatakan bahwa ijma’dapat terjadi sepanjang tidak ditolak oleh ulama lainnya.
15
DAFTAR PUSTAKA
16