Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH

HAK ASASI MANUSIA


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pembimbing : Khofiyati, M.Pd

Disusun oleh:

Abdur Rahman Fadilah TI721002


Akhmad Fajar Rohman TI721001
Bagus Prasojo TI721017
Muhammad Ghofar TI721049
Putri Wulandari TI721061

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA KEBUMEN

2022

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Hak Asasi Manusia. Penulis
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang akan penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya, sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis
sendiri maupun orang yang membacanya.

Kebumen, 3 April 2022

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................I

DAFTAR ISI .....................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................2
C. Tujuan................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Hakikat Kemanusiaan Anti Diskriminatif.........................................................3


B. Pengertian,Tujuan dan Sejarah Pemikiran HAM di Indonesia..........................5
C. Dasar UU Pelaksanaan HAM dan Lembaga Penegak HAM.............................26
D. Peksanaan HAM Dalam Relasi Hukum dan Kekuasaan...................................34
E. Tantangan Konsep HAM Dalam Menghadapi Isu Global................................36

BAB III PENUTUP

A. Kesimplan..........................................................................................................50
B. Saran..................................................................................................................51

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................52

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hak merupakan unsure normative yang melekat pada diri setiap manusia yang
dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang
terkait dengan interaksinya antara individu dengan instansi. Hak merupakan sesuatu yang
harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan
dibahas terutama dalam era reformasi ini.
HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada
era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak
sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan
pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM
pada diri kita sendiri.
Dalam hal ini penulis tertarik untuk membuat makalah tentang HAM. Maka
dengan ini penulis mengambil judul “Hak Asasi Manusia”. Dalam Undang Undang (UU)
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 disebutkan bahwa “Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak hak yang berasal dari harkat dan
martabat yang melekat pada manusia. Hak ini sangat mendasar atau asasi (fundamental)
sifatnya, yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat,
cita cita, serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya dimiliki semua
manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau gender. 1

1
Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2008, Hlm. 212
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka adapun


masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hakikat kemanusiaan anti diskriminatif?
2. Apa pengertian,tujuan dan bagaimana sejarah pemikiran hak asasi
manusia di Indonesia?
3. Apa dasar UU pelaksanaan HAM dan lembaga penegak HAM di
Indonesia?
4. Bagaimana pelaksanaan HAM dalam relasi hukum dan kekuasaan?
5. Apa tantangan konsep HAM dalam menghadapi isu-isu global seperti
genosida,transgender,dsb?
C. TUJUAN

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :


1. Untuk mengetahui bagaimana hakikat kemanusiaan anti diskriminatif.
2. Untuk mengetahui apa pengertian,tujuan dan bagaimana sejarah pemikiran
hak asasi manusia di Indonesia.
3. Untuk mengetahui apa dasar UU pelaksanaan HAM dan lembaga penegak
HAM di Indonesia.
4. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan HAM dalam relasi hukum dan
kekuasaan.
5. Untuk mengetahui apa tantangan konsep HAM dalam menghadapi isu-isu
global seperti genosida,transgender,dsb.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. HAKIKAT MANUSIA ANTI DISKRIMINATIF

Manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah
wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan
hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan
susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu
Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada
kebenaran.
Nilai kemanusiaan adalah nilai mengenai harkat dan martabat manusia. Manusia
merupakan makhluk yang tertinggi di antara makhluk ciptaan Tuhan sehingga nilai-nilai
kemanusiaan tersebut mencerminkan kedudukan manusia sebagai makhluk tertinggi di
antara makluk-makhluk lainnya. Seseorang mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang
tinggi menghendaki masyarakat memiliki sikap dan perilaku sebagai layaknya manusia.
Sebaliknya dia tidak menyukai sikap dan perilaku yang sifatnya merendahkan manusia
lain.
Diskriminasi berarti setiap tindakan memisahkan seseorang dari sebuah
organisasi, lingkungan, masyarakat atau kelompok orang berdasarkan kriteria tertentu.
Dalam arti luas, diskriminasi adalah cara untuk mengurutkan dan mengklasifikasikan
entitas lain.Sumber utama dari ketidaksetaraan adalah diskriminasi. Menurut Cesar
Rodriguez, dalam teks yang berjudul “Hak untuk mendapatkan kesetaraan, pendapatan,
kelas sosial dan ras, faktor seperti jenis kelamin, etnis, kebangsaan, agama atau ideologi
politik” menimbulkan bentuk diskriminasi.
Diskriminasi telah menjadi sumber utama ketidakadilan, karena dalam
diskriminasi kelompok-kelompok tertentu mereka terkecualian, bahkan mereka
kehilangan hak-hak dasar tertentu seperti kesehatan, jaminan sosial dan pendidikan dan
lain-lain.Perlu diketahui bahasa juga memainkan peranan penting dalam diskriminasi
yaitu prasangka negatif, nada menghina, sindir menyindir, dan kekuasaan sewenang-
wenang.

3
Dalam bahasa diskriminatif maka digunakan istilah dengan berkonotasi rasis,
classist atau nasionalis. Kata-kata juga digunakan untuk membuat dan memelihara
stereotip. Ada banyak frase yang mengekspresikan diskriminasi bnamun tidak banyak
yang menyadarinya. Untuk semua ini, kita dapat mengatakan bahwa bahasa adalah
bentuk diskriminasi dan membuat sikap-sikap ini akan menembus perilaku masyarakat
dalam menggunakan bahasa yang bersifat diskriminatif.Diskriminasi adalah perlakuan
buruk yang ditujukan terhadap kelompok manusia tertentu. Berdasarkan sasaran,
diskriminasi dibagi menjadi beberapa jenis seperti di bawah ini :
 Diskriminasi Umur : Individu diberi perlakuan yang tidak adil karena ia tergolong
dalam lingkungan umur tertentu.
 Diskriminasi Jenis Kelamin : Individu diberi perlakuan yang tidak adil karena gender
mereka. Misalnya, seorang wanita menerima gaji yang lebih rendah dengan pria
serekan kerjanya, meskipun kontribusi mereka sama.
 Diskriminasi Kesehatan : Individu diberi perlakuan yang tidak adil karena mereka
menderita penyakit atau cacat tertentu. Misalnya seorang yang pernah menderita
sakit jiwa telah ditolak untuk mengisi jabatan tertentu, meskipun ia telah sembuh dan
memiliki kemampuan yang dibutuhkan.
 Diskriminasi Ras : Individu diberi perlakuan yang tidak adil berdasarkan ras yang
diwakili mereka.
 Diskriminasi Agama : Individu diberi perlakuan yang tidak adil berdasarkan agama
yang dianut.
Dari pengertian kemanusiaan dan diskriminasi diatas dapat disimpulkan bahwa
kemanusiaan anti diskriminasi adalah makhluk tertinggi dari ciptaan tuhan (manusia)
yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan seperti sikap, sifat dan perilaku layaknya
manusia, yang setiap perilaku, sifat, ucapan, dan perbuatannya mencerminkan rasa
tenggang rasa, menghargai perbedaan, mengakui hak-hak orang lain, dan juga tidak
semena-mena dalam menetapkan keputusan atau peraturan.Perlu diingat bahwa dalam
hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang
lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha
perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri.

4
B. PENGERTIAN,TUJUAN DAN SEJARAH PEMIKIRAN HAM DI INDONESIA

1. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak merupakan unsure normative yang melekat pada diri setiap manusia yang
dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang
terkait dengan interaksinya antara individu dengan instansi. Hak merupakan sesuatu
yang harus diperoleh. Dalam Undang Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia pasal 1 disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang
melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah
Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau
negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah
menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu
keseimbangan antara hak dan kewajiban ,serta keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan umum.
Upaya menghormati, melindungi dan menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia,
menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur
pemerintahan baik sipil maupun militer) dan negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut
hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga
dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang
banyak (kepentingan umum).
Karena itu, pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus
diikuti dengan pemenuhan terhadap KAM (kewajiban asasi manusia) DAN TAM
(tanggung jawab asasi manusia) dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat dari HAM adalah keterpaduan antara HAM, KAM
dan TAM yang berlangsung secara sinergis dan seimbang. Bila ketiga unsure asasi
(HAM, KAM dan TAM) yang melekat pada setiap individu manusia, baik dalam tatanan

5
kehidupan pribadi, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan pergaulan global tidak
berjalan secara seimbang, dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan, anarkisme,
dan kesewenang wenangan dalam tata kehidupan umat manusia.2
Secara universal pembagian hak asasi manusia adalah sebagai berikut:

a) Hak-hak asasi pribadi atau “personal rights” yang meliputi kebebasan


menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan
sebagainya.
b) Hak-hak asasi ekonomi atau “property rights”, yaitu hak untuk memiliki
sesuatu, membeli dan menjualnya, serta memanfaatkannya.
c) Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan atau yang disebut “rights of legal equality”.
d) Hak-hak asasi politik atau “political rights”, yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih dalam pemilihan umum), hak
mendirikan partai politik, dan sebagainya.
e) Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau “social and culture rights”,
misalnya hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan, dan
sebagainya.
f) Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan
perlindungan atau “procedural rights”, misalnya peraturan dalam hal
penangkapan, penggeledahan, peradilan, dan sebagainya.3

2
Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 2003, Hlm. 199-201.
3
Parsono, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMP/MTs Kelas VII, (Jakarta: Pusat Perbukuan, Depertemen
Pendidikan Nasional), 2009, Hlm. 96.

6
2. Tujuan Hak Asasi Manusia
a) Mengentaskan Segala Bentuk KemIskinan
Kemiskinan adalah salah satu hambatan utama terhadap penegakan
hak asasi manusia. Masyarakat yang hidup dalam kemiskinan tidak
hanya tercerabut dari hak mereka untuk menikmati standar
kehidupan yang layak, namun juga membuat mereka rentan
mengalami hambatan penikmatan atas hak-hak asasi manusia
lainnya seperti kurangnya akses kepada pendidikan maupun
layanan kesehatan. Lebih lanjut, selain penghambatan atas HAM di
dalam dimensi sosial-ekonomi, masyarakat miskin juga rentan
terabaikan dalam proses partisipasi politik atau pun akses kepada
keadilan, yang membuat mereka lebih rentan menjadi korban
kekerasan, penegakan hukum sewenang-wenang, penyiksaan, dan
pelanggaran berbagai dimensi sipil dan politik hak asasi manusia.4
Meskipun selama dua puluh tahun terakhir Indonesia mengalami
pertumbuhan ekonomi yang menjadikannya sebagai salah satu
negara berpendapatan menengah, Indonesia masih menghadapi
ketimpangan dan kemiskinan yang besar. Menurut UNPDF,
Indonesia masih berjuang mengatasi berbagai tantangan terkait
kemiskinan sebagai berikut: Masih adanya 103 juta atau 43,5
persen populasi Indonesia yang hidup dengan kurang dari USD 2
per hari dan sangat rentan terhadap bencana ekonomi dan
lingkungan apapun. 28 juta masyarakat Indonesia hidup di bawah
garis kemiskinan nasional atau di bawah Rp333.034 per bulan 5
yang kurang lebih setara dengan 86c per hari. Kesenjangan
pendapatan meningkat yang ditandai dengan Indeks Gini yang
meningkat dari 0,32 pada 1999 menjadi 0,41 pada 2011. Skema
perlindungan sosial yang ada tidak terlalu efektif untuk
mengentaskan kemiskinan.

4
http://www.ohchr.org/EN/Issues/Poverty/Pages/SRExtremePovertyIndex.aspx
5
Badan Pusat Statistik, Garis Kemiskinan Menurut Provinsi, 2013 – 2015, tersedia di:
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1120.

7
Dengan lebih dari separuh populasi hidup dalam kondisi ekonomi
rentan, Indonesia sangat perlu menjadikan pengentasan kemiskinan
sebagai agenda pembangunan maupun HAM-nya untuk menjamin
pemenuhan hak seluruh masyarakat Indonesia atas standar
kehidupan yang layak.
b) Menghentikan kelaparan, Meningkatkan Ketahanan Pangan dan
Nutrisi, Serta Mempromosikan Pertanian Berkelanjutan.
Pangan adalah kebutuhan dasar bagi keberlanjutan hidup manusia,
yang jika tidak tersedia dapat menciptakan kondisi yang
mengancam kehidupan, dan karenanya hak atas pangan yang layak
adalah hak asasi manusia. Hak atas pangan ditegaskan dalam
ICESCR Pasal 11 ayat (1) sebagai berikut: “Negara-Negara Peserta
Kovenan mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan layak
bagi dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian dan
perumahan layak, serta perbaikan kondisi hidup terus-menerus.
Negara-Negara Peserta akan mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk menjamin terwujudnya hak ini, dan mengakui
pentingnya kerja sama internasional sukarela untuk mencapai
tujuan ini.” Hak atas pangan juga dinyatakan di dalam UUD 1945
Pasal 28H tentang hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir
batin. Hak serupa juga disebutkan di dalam Undang-Undang
Pangan No. 18/2012, dan karena Indonesia juga merupakan peserta
ICESCR, maka hal tersebut disebutkan pula pada UU No. 11/2005
tentang Ratifikasi Kovenan Ekosob. Hak atas pangan mencakup
tiga pilar utama, yaitu ketersediaan, akses, dan kelayakan.6
Karenanya, untuk menjamin hak setiap orang atas pangan, ketiga
pilar tersebut harus dijadikan dasar pelaksanaan upaya nasional
untuk pemenuhan hak atas pangan. Meskipun sudah memiliki UU
tentang ketahanan pangan, Indonesia masih berada di peringkat ke-
72 dari 109 negara dalam hal kerawanan pangan dan ketahanan
6
General Comment No. 12/1999 on the right to adequate food, adopted by the Committee on Economic, Social and
Cultural Rights.

8
pangan menurut Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food
Security Index).7 World Food Program menemukan tantangan-
tantangan sebagai berikut:8 Ketahanan pangan meningkat antara
tahun 2009 dan 2015, dengan 58 dari 398 kecamatan (district)
pedesaan yang sangat rentan pada 2015. Namun kemajuan ini
dapat terhambat jika tantangan terkait akses pangan, malnutrisi dan
kerentanan terhadap bahaya terkait iklim tidak diatasi; Stunting
mempengaruhi 37 persen balita, dan bersama dengan berat badan
rendah (underweight) dialami secara luas di seluruh kelompok
pendapatan; sementara itu prevalensi berat badan berlebih
(overweight) dan obesitas di kalangan orang dewasa meningkat
tajam, juga untuk seluruh kelompok pendapatan; Kemiskinan dan
harga pangan yang tidak stabil menghambat akses kepada pangan
khususnya di wilayah terpencil. Mayoritas masyarakat Indonesia,
termasuk 60 persen petani subsisten, membeli bahan pangan
mereka di pasar; Indonesia bercita-cita menjadi mandiri dalam
memenuhi kebutuhan beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula.
Upaya untuk meningkatkan produksi sedang berjalan, namun
perubahan iklim mengakibatkan pertanian dan pencaharian masih
rentan terhadap iklim ekstrem; Indonesia juga mengalami ancaman
bencana alam dalam frekuensi yang tinggi.
Seluruh tantangan ini membuat perjuangan untuk memperkuat
ketahanan pangan, mengakhiri kelaparan dan perbaikan gizi
menjadi krusial untuk dijadikan prioritas di dalam rencana dan
pelaksanaan pembangunan nasional.
c) Menjamin Kehidupan Yang Sehat dan Mempromosikan
Kesejahteraan Bagi Semua Penduduk Dalam Segala Usia.
Kesehatan adalah hal yang mendasar bagi setiap manusia untuk
mewujudkan potensi maksimalnya. Kesehatan tidak tergantikan

7
Global Food Security Index 2016, tersedia di: http://foodsecurityindex.eiu.com/Country/Details#Indonesia
8
https://www.wfp.org/countries/indonesia

9
bagi kehidupan manusia sehingga diakui sebagai hak asasi
manusia.
Hak atas kesehatan ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (Universal Declaration on Human RIghts) Pasal 25
paragraf (1), dan ICSR Pasal 12. Hak atas kesehatan juga diakui di
dalam UUD 1945, Pasal 28H ayat (1), yaitu “Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.” Hak atas kesehatan juga diakui
di dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, Pasal 4, yaitu ‘Setiap
orang berhak atas kesehatan.” Untuk memberikan pemahaman
lebih mendalam tentang ketentuan mengenai hak atas kesehatan di
dalam ICESR, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR)
menerbitkan Komentar Umum No. 14 tentang Hak atas Standar
Kesehatan Tertinggi yang Wajar (Highest Attainable Standard of
Health).9 Menurut CESCR, hak atas kesehatan tidak hanya
mencakup layanan kesehatan yang tepat waktu dan layak, namun
juga hal-hal mendasar yang mempengaruhi kesehatan, seperti
“akses kepada air yang aman dan layak minum, sanitasi yang
layak, pasokan pangan yang aman dan layak, gizi dan perumahan
layak, kondisi pekerjaan dan lingkungan yang sehat, serta akses
kepada pendidikan dan informasi terkait kesehatan, termasuk
kesehatan seksual dan reproduktif.”10 Lebih lanjut, meskipun
pelaksanaan hak atas kesehatan bergantung pada kapasitas dan
sumber daya setiap Negara Anggota, ia setidaknya harus
mencakup sejumlah elemen dasar, yaitu ketersediaan, aksesibilitas,
keberterimaan (acceptability) dan kualitas.
Indonesia telah melaksanakan sistem jaminan kesehatan universal
sejak 2014, dan pada Maret 2016, program jaminan kesehatan

9
CESCR, General Comment No. 34 The Right to the Highest Attainable Standard of Health, E/C.12/2000/4, 2000,
tersedia di: http://www.ohchr.org/Documents/Issues/Women/WRGS/Health/GC14.pdf
10
CESCR, General Comment No. 34, paragraph 11.

10
nasional (BPJS) telah diikuti oleh lebih dari 163 juta orang, dengan
63% premi peserta yang disubsidi.11 Pada 2016, Pemerintah
Indonesia telah mengalokasikan 5% anggaran kesehatan dari
APBN.12 Namun, ketersediaan fasilitas perawatan kesehatan dan
tenaga kesehatan berkualitas masih belum cukup, sehingga belum
memungkinkan banyak orang untuk menikmati hak kesehatan
mereka sepenuhnya, khususnya mereka yang miskin dan tinggal di
wilayah terpencil. Saat ini terdapat 1.725 rumah sakit umum dan
503 rumah sakit khusus, yang mayoritasnya adalah rumah sakit ibu
dan anak, yang beroperasi di 34 provinsi di seluruh Indonesia,
dengan proporsi tempat tidur rumah sakit 1,12 per 1000 orang. 13
Selain itu, hanya terdapat 9.908 dari 81.626 desa/kelurahan yang
memiliki puskesmas, yang tersebar tidak merata antar provinsi,
dengan jumlah tertinggi berada di Jawa Barat (1.074 puskesmas)
dan terendah di Kalimantan Utara (50 puskesmas).14 Indonesia juga
tertinggal dalam rata-rata WHO untuk rasio dokter dan perawat,
yaitu sebesar 2,28 dokter dan perawat per 1.000 orang, sementara
Indonesia hanya memiliki 0,2 dokter dan 1,4 perawat/bidan per
1.000 orang. Dalam laporan terakhir yang diterbitkan WHO pada
2014, Indonesia menunjukkan bahwa 75,3% total belanja
kesehatan berasal dari belanja kantong sendiri
(out-of-pocket/OOP), yang artinya mayoritas rumah tangga tidak
terlindungi dari kesulitan keuangan ketika mengakses layanan
kesehatan. Persentase OOP bahkan lebih tinggi dibandingkan rata-

11
BPJS, Jumlah Total Peserta BPJS Maret 2016, tersedia di: http://infobpjs.net/jumlah-total-peserta-bpjs-maret-
2016/
12
Ministry of Finance, Informasi APBN 2016, page: 18, tersedia di:
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/bibfinal.pdf
13
Ministry of Health, Indonesia Health Profile 2013, page: 35, tersedia di:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Indonesia%20Health%20Profile
%202013%20-%20v2%20untuk%20web.pdf
14
BPS, Jumlah Desa/Kelurahan Yang Memiliki Sarana Kesehatan Menurut Provinsi, 2014, tersedia di:
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/935

11
rata belanja total negara Asia Tenggara lainnya, yang sebesar
40,8%.15
d) Memastikan Kualitas Pendidikan Yang Inklusif dan Merata Serta
Mempromosikan Kesempatan Belajar Sepanjang Hayat Bagi
Semua.
Hak atas pendidikan telah diakui sebagai bagian dari HAM secara
universal selama beberapa dekade, khususnya sejak disahkannya
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang
menetapkan dasar bagi gagasan bahwa pendidikan, sebagai bagian
dari HAM, harus disediakan secara gratis, terutama di tingkat
dasar, dan bahwa pendidikan harus dapat diakses secara setara oleh
setiap orang berdasarkan kualitas/prestasinya.16 Kemudian,
kerangka kerja hukum internasional tentang hak atas pendidikan
lebih diperluas lagi di dalam berbagai perjanjian internasional yang
diadopsi setelah DUHAM yaitu, Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Ekosob) Pasal 13
dan 14; Konvensi tentang Hak Anak, Pasal 28 dan 29; dan
Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Pasal 24.
Komite untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Komite
Ekosob) menguraikan beberapa unsur pokok yang harus ada di
dalam penyelenggaraan pendidikan yaitu unsur-unsur ketersediaan,
aksesibilitas, penerimaan (acceptability), dan dapat diadaptasi
(adaptability). Keempat unsur tersebut sangat perlu untuk
dipertimbangkan oleh pemerintah yang menjadi Negara Pihak di
dalam Kovenan Ekosob ketika melaksanakan pemenuhan hak atas
pendidikan di negara mereka masing-masing. Indonesia telah
menjadi Negara Pihak di dalam Kovenan Ekosob sejak tahun 2005,
oleh karen itu, Indonesia terikat oleh kewajiban-kewajiban yang
diatur di dalam Kovenan tersebut, termasuk kewajiban-kewajiban

15
WHO, World Health Statistic 2016: Monitoring Health for the SDGs, page 17, tersedia di:
http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/2016/en/
16
See, UDHR, Article 26 paragraph (1).

12
untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak setiap Warga
Negara Indonesia atas pendidikan. Selain itu, hak atas pendidikan
juga dijamin di dalam UUD 1945, khususnya di dalam Pasal 31,
yang bukan saja mengakui bahwa pendidikan adalah hak, namun
juga menetapkan kewajiban bagi Negara untuk mengalokasikan
anggaran paling sedikit 20% dari APBN untuk penyelenggaraan
pendidikan bagi semua.
e) Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Semua
Perempuan dan Anak Perempuan.
Pada 1979, PBB secara resmi mengadopsi sebuah instrumen
hukum yang secara khusus terkait dengan hak perempuan, yaitu
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women/CEDAW). Konvensi ini
menjabarkan definisi diskriminasi berbasis jenis kelamin sebagai
perbedaan perlakuan atas dasar jenis kelamin yang: Secara sengaja
maupun tidak disengaja merugikan perempuan; Mencegah
masyarakat secara keseluruhan mengakui hak perempuan di ranah
privat maupun publik; Mencegah perempuan menikmati hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental yang menjadi haknya.17
CEDAW mencoba untuk memberikan perlindungan kepada
perempuan dari diskriminasi di ranah sipil dan politik, dan juga
ranah ekonomi, sosial dan budaya. Lebih lanjut, konvensi ini juga
menciptakan landasan dan menetapkan kewajiban bagi para negara
pesertanya untuk menghapus diskriminasi, dengan cara
pengadopsian undang-undang yang melarang diskriminasi,
mencegah terjadinya tindakan diskriminatif, hingga melindungi
perempuan dari diskriminasi oleh aktor non-negara baik yang
berupa individu maupun organisasi/perusahaan. Selain CEDAW,
larangan diskriminasi atas dasar jenis kelamin juga ditetapkan di
17
Lihat, OCHR, Women’s Rights Are Human Rights, 2014, page: 6. Tersedia
di: http://www.ohchr.org/Documents/Events/WHRD/WomenRightsAreHR.pdf

13
dalam konvensi HAM lainnya seperti antara lain Pasal 2 Konvensi
Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC), Pasal 6
Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights
of Perosns with Disabilities/CRPD) dan Pasal 7 Konvensi
Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya (Convention on the Protection of the Rights of All
Migrant Workers and Members of Their Families/ICRMW).
Sementara itu di tingkat domestik, Indonesia telah meratifikasi
mayoritas instrumen hak asasi manusia internasional yang
mencakup larangan diskriminasi atas dasar jenis kelamin, yaitu
ICCPR, ICESCR, CEDAW, CRC, CRPD, dan ICRMW, yang
artinya Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menghormati,
melindungi dan memenuhi seluruh hak yang dicantumkan di dalam
instrumen-instrumen tersebut. Lebih lanjut, meskipun UUD 1945
tidak secara khusus melarang diskriminasi berbasis jenis
kelamin/gender, UUD 1945 melarang diskriminasi atas dasar
apapun.18 Sementara itu, UU No.39/1999 tentang HAM memiliki
bagian khusus yang membahas hak perempuan, yang mengakui
hak perempuan sebagai hak asasi manusia (Pasal 45). Selain itu,
hak asasi manusia juga menyediakan, antara lain, jaminan untuk
keterwakilan perempuan di seluruh cabang pemerintah (Pasal 46),
hak perempuan kepada pendidikan di seluruh tingkatan (Pasal 48);
dan juga hak perempuan untuk bekerja dan berada di tempat kerja
(Pasal 49). Indonesia telah membentuk Komisi Nasional Anti-
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai
bagian dari lembaga HAM nasional sejak 1998, dan juga
mengadopsi UU KDRT sejak 2004. Namun, meskipun telah
banyak kemajuan yang dicapai di sektor hukum di tingkat nasional,
perempuan masih menghadapi diskriminasi di Indonesia. Pada
2016, Komnas Perempuan menemukan bahwa masih terdapat 421
18
Lihat, UUD 1945, Pasal 28I ayat (2), tersedia
di: https://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UUD_1945_Perubahan.pdf

14
perda diskriminatif terhadap perempuan yang masih berlaku di
berbagai provinsi, kabupaten dan/atau kota.19 Kekerasan domestik
masih menjadi ancaman bagi banyak perempuan sebagai akibat
dari kurangnya penegakan hukum dalam hal penyelidikan,
penuntutan dan pendakwaan terhadap pelaku KDRT. Data
menunjukkan bahwa pada 2014, terdapat 293.220 kasus kekerasan
terhadap perempuan yang dicatat oleh Komnas Perempuan, yang
68% di antaranya merupakan kasus KDRT.20 Lebih lanjut,
Indonesia terdaftar sebagai salah satu negara sumber utama
perdagangan manusia, dan perempuan/anak perempuan merupakan
mayoritas korban perdagangan manusia untuk seks.21 Terkait
dengan kekerasan terhadap anak perempuan, menurut sebuah
temuan dari UNICEF, Indonesia adalah salah satu negara dengan
prevalensi sunat perempuan (female genital mutilation/FGM)
tertinggi, di mana setengah dari anak perempuan di bawah usia 11
tahun mengalami penyunatan.22
f) Menjamin Ketersediaan Air dan Manajemen Air Bersih dan
Sanitasi Yang Berkelanjutan Bagi Semua.
Meskipun hak atas air dan sanitasi tidak secara spesifik dinyatakan
dalam ICESCR, air dan sanitasi merupakan bagian fundamental
bagi setiap manusia untuk bertahan hidup dan menjaga
kesehatannya, dan karenanya juga harus dipandang sebagai elemen
utama dalam pemenuhan hak kepada standar hidup yang layak
(Pasal 11 ICESCR) serta hak atas kesehatan (Pasal 12 ICESCR).
Berdasarkan hal ini, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(CESCR) akhirnya mengadopsi Komentar Umum No. 15 tentang

19
Hukum Online, Komnas Perempuan: 421 Perda Rugikan Perempuan, 18 Oktober 2016, tersedia
di: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5805ba0803953/komnas-perempuan–421-perda-rugikan-perempuan
20
Jakarta Post, Violence against women on the rise, March 10, 2014, tersedia
di: http://www.thejakartapost.com/news/2014/03/10/violence-against-women-rise.html
21
IOM, Counter Trafficking Fact Sheet, tersedia di: http://indonesia.iom.int/sites/default/files/Factsheet%20-
%20Counter-Trafficking.pdf
22
Jakarta Post, FGM in Indonesia hits alarming level, 6 February, 2016, tersedia
di: https://www.thejakartapost.com/news/2016/02/06/fgm-indonesia-hits-alarming-level.html

15
hak atas air, yang mencakup hak atas sanitasi yang layak. Di
tingkat nasional, hak atas kesehatan dan standar hidup yang layak
juga dinyatakan di dalam UUD 1945. Hak-hak ini juga ditegaskan
kembali di dalam UU No.11/2005 tentang Ratifikasi ICESCR.
Lebih lanjut, Indonesia juga telah mengesahkan undang-undang
terkait pengelolaan sumber daya air, yaitu UU No.7/2004, namun
telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2015. Air minum
masih tidak dapat diakses oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia. UNPDF mengindikasikan bahwa setidaknya terdapat
42,8 persen masyarakat Indonesia yang tidak memiliki akses
kepada sumber air yang layak, sementara sekitar 55 juta orang (22
persen populasi) masih melakukan buang air sembarangan. 23
Polusi, degradasi tangkapan air (catchment), eksploitasi berlebihan
dan pegelolaan yang buruk adalah faktor-faktor ancaman utama
bagi kualitas, keamanan, maupun aksesibilitas air.24
g) Mempromosikan Keberlanjutan Pertumbuhan Ekonomi Yang
Inklusif dan Berkelanjutan, Kesempatan Yang Produktif dan
Menyeluruh, Serta Perkerja Layak Bagi Semua.
Hak untuk bekerja dinyatakan di dalam ICESCR, khususnya pada
pasal 6, 7, dan 8. ICESCR tidak hanya meenjadi dasar pengakuan
hukum atas hak untuk bekerja sebagai hak asasi manusia, namun
juga memberikan konsep luas untuk hak untuk bekerja itu sendiri,
yang berisi tidak hanya kewajiban bagi negara untuk menjamin
akses lapangan kerja bagi semua orang, namun juga memerinci hak
setiap orang atas kondisi kerja yang adil dan baik sebagai berikut:
Upah yang adil dan remunerasi setara untuk kerja bernilai setara
tanpa pembedaan dalam bentuk apapun; Penghidupan layak bagi
pekerja dan keluarganya; Kondisi kerja yang aman dan sehat;
Peluang setara untuk promosi berdasarkan senioritas dan
23
UNPDF 2016-2020, page: 22.
24
World Bank, Water Sanitation, 2015, tersedia
di: http://documents.worldbank.org/curated/en/566161467998461553/The-World-Bank-in-Indonesia-water-
sanitation

16
kompetensi; Waktu istirahat, rekreasi dan pembatasan jam kerja
yang wajar serta hari libur rutin berbayar, serta remunerasi untuk
hari libur publik. Selain dimensi individu atas hak untuk bekerja,
ICESCR juga memberikan hak kolektif bagi pekerja untuk
membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja yang mereka
pilih. Dalam Komentar Umum No. 18, Komite Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (CESCR), sebagaimana hak lain di bawah
ICESCR, menjabarkan elemen-elemen dasar hak untuk bekerja,
yang mencakup ketersediaan, aksesibilitas, keberterimaan, dan
kualitas. Di Indonesia, hak untuk bekerja diabadikan di dalam
UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (2) dan 28 ayat (1). Selain
pengakuan atas hak untuk bekerja di bawah UU No.11/2005
tentang Ratifikasi ICESCR, dan juga ratifikasi berbagai konvensi
ILO, Indonesia juga memiliki UU Ketenagakerjaan No. 13/2003
yang memberikan dasar hukum untuk perlindungan mayoritas
elemen kerja layak. Meskipun sudah ada pengakuan hukum
terhadap hak untuk bekerja, diperkirakan bahwa 60 persen
masyarakat yang bekerja berada dalam lapangan kerja rentan dan
juga satu dari tiga orang ‘dibayar rendah’. Terjadi kecenderungan
ekonomi formal diinformalkan, dan kepatuhan terhadap peraturan
upah minimum juga masih rendah.25 Terkait dimensi kolektif hak
untuk bekerja, Indonesia menunjukkan tren penurunan jumlah dan
kepadatan serikat pekerja. ILO mencatat bahwa tingkat kepadatan
serikat pekerja hanya sekitar 12 persen untuk seluruh karyawan
pada 2009.26 Selain itu, selain Serikat Pekerja, inspektur
buruh/pekerja juga memainkan peran penting dalam memastikan
kepatuhan pengusaha dalam memenuhi hak pekerja di tempat
kerja. Namun, jumlah inspektur masih rendah dan tidak cukup
dibandingkan dengan jumlah perusahaan di Indonesia.
h) Mengurangi Ketimpangan Didalam dan Antar Negara.
25
UNPDF
26
ILO, Decent Work Country Profile: Indonesia, 2011.

17
Ketimpangan adalah salah satu tantangan terbesar dalam
mewujudkan hak asasi manusia. Dampak ketimpangan terhadap
masyarakat dapat sangat fatal, karena ia menciptakan kemiskinan,
marginalisasi, yang pada akhirnya akan memicu konflik. Laporan
Ilmu Pengetahuan Sosial Dunia (World Social Science Report)
yang disusun oleh UNESCO yang berjudul Menantang
Ketimpangan (Challenging Inequalities) mengidentifikasi tujuh
dimensi ketimpangan, yaitu ketimpangan ekonomi, ketimpangan
sosial, ketimpangan budaya, ketimpangan politik, ketimpangan
lingkungan, ketimpangan spasial, dan ketimpangan pengetahuan.27
Setiap dimensi tersebut saling beririsan, karena setiap dimensi
ketimpangan yang terjadi dapat menciptakan bentuk ketimpangan
lainnya. Misalnya, masyarakat miskin yang telah menjadi korban
ketimpangan ekonomi dapat menghadapi hambatan yang lebih
besar untuk mengakses pendidikan berkualitas dibandingkan
mereka yang tidak miskin. Ketika suatu masyarakat tidak
mendapatkan akses kepada pendidikan dan pengetahuan, kapasitas
mereka untuk membuat keputusan sadar/terinformasi dan
berpartisipasi politik secara penuh di dalam setiap proses
pembuatan kebijakan yang akan mempengaruhi hidup mereka akan
menjadi terbatas. Dari contoh tersebut, kita bisa melihat bagaimana
satu dimensi ketimpangan, yaitu ketimpangan ekonomi, dapat
menciptakan ketimpangan pengetahuan, dan akhirnya ketimpangan
politik.
Menyadari bahwa ketimpangan meningkatkan tercerabutnya hak
asasi manusia, sistem hak asasi manusia internasional selama ini
telah berupaya untuk mengatasi ketimpangan melalui penerimaan
dan penegasan prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi di hampir
seluruh instrumen hak asasi manusia. Sementara itu, Kantor
Komite HAM PBB memberikan definisi yang lebih rinci terkait

27
UNESCO, World Social Science Report, Challenging Inequalities: Pathways to a Just World, 2016, page: 22.

18
prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi sebagai berikut: “Hak atas
kesetaraan dan prinsip non-diskriminasi adalah salah satu elemen
dasar hukum hak asasi manusia internasional. Hak atas kesetaraan
menjamin terutama sekali bahwa semua orang adalah setara di
hadapan hukum, yang berarit hukum harus dirumuskan dalam
ketentuan umum yang berlaku bagi setiap orang dan harus
ditegakkan dengan prinsip kesetaraan. Kedua, semua orang berhak
atas perlindungan yang setara di bawah hukum dari perlakuan
sewenang-wenang dan diskriminatif oleh akt orswasta. Dalam hal
ini, hukum harus melarang setiap diskriminasi dan menjamin
bahwa perlindungan yang setara dan efektif bagi semua orang dari
diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, pandangan politik maupun lainnya, asal kebangsaan atau
sosial, kepemilikan, kelahiran, disabilitas dan status kesehatan,
termasuk HIV/AIDS, usia, orientasi seksual maupun status
lainnya.”28 Perlindungan bagi setiap orang dari ketimpangan dan
diskriminasi amat penting bagi setiap negara untuk dapat
melaksanakan kewajiban perlindungan HAM-nya. Untuk mencapai
tujuan ini, pemerintah tidak hanya harus menahan diri dari
melakukan tindak diskriminatif apapun, namun juga harus
melindungi siapapun yang berada di bawah jurisdiksinya dari
bentuk diskriminasi apapun yang dilakukan oleh aktor swasta. Hal
ini dapat dilakukan, antara lain, dengan mengadopsi undang-
undang anti diskriminasi dan membuat kebijakan dan program
untuk memerangi praktik dna tradisi diskriminatif di masyarakat,
serta memastikan bahwa setiap orang memiliki akses dan
kesempatan setara untuk menikmati hak asasi manusia dan
pembangunan.
i) Mempromosikan Masyarakat Yang Damai dan Inklusif Demi
Pembangunan Berkelanjutan,Menyediakan Akses Keadilan Bagi
28
OHCHR, Principles and Guidelines for A Human Rights Approach To Poverty Reduction Strategies, 2012, page:
9. Available at: http://www.ohchr.org/Documents/Publications/PovertyStrategiesen.pdf

19
Semua dan Membangun Lembaga Yang Efektif ,Akuntabel dan
Inklusif Disemua Tingkatan.
Tujuan ini mencakup hak untuk hidup, hak untuk bebas dari
penyiksaan dan perbudakan, hak atas kebebasan informasi, hak
atas partisipasi politik, hak atas kepribadian hukum (legal
personality), serta hak atas akses keadilan. Semua hak ini
dinyatakan di dalam Deklarasi Universal HAM (UDHR), Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta berbagai
instrumen HAM internasional lainnya, yang sebagian besar telah
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Konvensi melawan
Penyiksaan (Convention against Torture/CAT) dan Konvensi Hak
Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC). Mayoritas hak
sipil dan politik tersebut juga dinyatakan di dalam UUD 1945, dan
juga UU No.39/1999 tentang HAM. Lebih lanjut, terkait hak atas
akses keadilan, Indonesia telah mengesahkan UU Bantuan Hukum
(UU No.16/2011) yang telah dilaksanakan secara resmi sejak 2013.
UU tersebut menetapkan bantuan hukum sebagai hak dan
menjamin hak atas bantuan hukum gratis bagi orang miskin.
Indonesia masih berjuang menyelesaikan berbagai isu terkait
perlindungan hak sipil dan politik warganya. Terkait hak untuk
hidup, selain dari praktik hukuman mati yang masih berjalan,
kematian akibat penggunaan kekuatan berlebihan juga masih
terjadi, khususnya di wilayah konflik seperti Papua. 29 Komnas
HAM juga melaporkan bahwa pada 2016 saja terdapat 230 laporan
pelanggaran hak untuk hidup.30 Lebih lanjut, penyiksaan masih
sering dipraktikkan oleh aparat penegak hukum. Pada 2016,
Komnas HAM menerima 142 laporan tentang penyiksaan.31Lebih

29
Menurut Human Rights Watch, terdapat setidaknya 11 orang terbunuh di Papua pada 2015 akibat penggunaan
kekuatan berlebihan oleh apart keamanan/militer. Lihat Human Rights Watch, World Report 2015, 2016, tersedia di:
https://www.hrw.org/world- report/2016/country-chapters/indonesia
30
Komnas HAM, REKAP DATA PENGADUAN KOMNAS HAM TAHUN 2016, tersedia
di: https://www.komnasham.go.id/files/20170117-data-pengaduan-tahun-2016-$P5WKG.pdf
31
Ibid.

20
lanjut, di sektor peradilan, Indonesia juga masih menghadapi
masalah terkait akuntabilitas dalam sistem peradilannya. World
Justice Index 2015 memberikan nilai 0,37 bagi sistem peradilan
pidana Indonesia, sementara sistem peradilan perdata sedikit lebih
baik, yaitu 0,47, dari skala 0,00 sebagai nilai terendah dan 1,00
sebagai nilai tertinggi. Kondisi ini menunjukkan kebutuhan
Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan sistem peradilan untuk
memperkuat akses keadilan bagi semua orang.

3. Sejarah Pemikiran HAM Di Indonesia

Berbeda dengan Inggris dan Perancis yang mengawalisejarah perkembangan dan


peijuangan hak asasi manusianya dengan menampilkan sosok pertentangan kepentingan
antara kaum bangsawan dan rajanya yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan
atas atau golongan tertentu saja. Perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia
mencerminkan bentuk pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan
teijadi sejak masuk dan bercokolnya bangsa asing di Indone sia dalam jangka waktu
yang lama. Sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.
Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di In donesia itu
tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan
tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini
tidak berarti bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan bangsa asing,
tidak pernah mengalami gejolak berupa timbulnya penindasan manusia atas manusia.
Pertentangan kepentingan manusia dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa,
bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul tenggelam sejalan
dengan perkembangan peradaban manusia.
Hanya saja di bumi Nusantara warna pertentangan-pertentangan yang ada tidak
begitu menonjol dalam panggung sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah yang
ada berupa kejayaan bangsa Indonesia ketika berhasil dipersatukan di bawah panji-panji
kebesaran Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad IX, dan kerajaan Majapahit
sekitar abad XII hingga permulaan abad XVI.32 Diskursus tentang HAM memasuki
32
Marsudi, Subandi Al., Op. Cit., him. 90.

21
babakan baru, pada saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD pada tahun 1945, dalam
pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan segera
merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul. Di sana
terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Mohammad Hatta dan
MohammadYamin di pihaklain. Pihak yang pertama meriblak dimasukkannya HAM
terutama yang bersifat individual ke dalam UUD karena menunit mereka Indonesia hams
dibangun sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD
itu memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.33
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD
1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia. Dengan demikian terwujudlah perangkat
hukum yang di dalamnya memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta
kewajibankewajiban yang bersifat dasar pula. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan,
pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi individu,
melainkan pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu hak bangsa. Hal ini seirama
dengan latar belakang peijuangan hak-hak asasi manusia Indone sia, yang bersifat
kebangsaan dan bukan bersifat individu.34 Sedangkan istilah atau perkataan hak asasi
manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan,
batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilah yang dapatditemukan adalah pencantuman
dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan hak-hak Dewan
Perwakilan Rakyat.
Baru setelah UUD mengalami perubahan atau amandemen kedua, istilah hak asasi
manusia dicantumkan secara tegas.35 Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah
mengalami perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi konstitusi RIS (1949), yang di
dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 7
sampai dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS berubah menjadi UUDS C1950),
ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan 34.
33
Mahfud, Moh., 1999/ Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, him
110.
34
Marsudi, Subandi Al., Op. Cit., him. 95.
35
Ahadian, Ridwan Indra., 1991, Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945, Jakarta: CV. Haj Masagung, Jakarta, him.
15.

22
Kedua konstitusi yang disebut terakhir dirancang oleh Soepomo yang muatan hak
asasinya banyak mencontoh Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, yaitu The Universal Dec laration of human Rights tahun 1948 yang
berisikan 30 Pasal.36 Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, maka UUD 1945
dinyatakan berlaku lagi dan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku.
Hal ini berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak asasi manusia
Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945-
Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara tahun 1959 hingga tahun 1965 menjadi
amat terbatas karena pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham NASAKOM yang
membuang paham yang berbau Barat. Dalam masa Orde Lama ini banyak terjadi
penyimpanganpenyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang suasananya
diliputi penuh pertentangan antara golongan politik dan puncaknya terjadi
pemberontakan G-30S/PKI tahun 1965. Hal ini mendorong lahirnya Orde Baru tahun
1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama. Dalam awal masa Orde Baru pernah
diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM, yang melahirkan sebuah rancangan
Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad Hoc
B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal tentang HAM. Namun
rancangan ini tidak berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan. 37 Kemudian di dalam
pidato kenegaraan Presiden RI pada pertengahan bulan Agustus 1990, dinyatakan bahwa
rujukan Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila "Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab" dalam kesatuan dengan silasila Pancasila lainnya. Secara historis
pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu secara
ideologis, politis dan konseptual HAM dipahamisebagai suatu implementasi dari sila-sila
Pancasila yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, secara Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua tersebut agak
diabaikan sebagai sila yang mengatur HAM, karena konsep HAM dianggap berasal dari
paham individualisme dan liberalisme yang secara ideologis tidak diterima.38
Perkembangan selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun
36
Marsudi, Subandi Al., Op. Cit., him. 95.
37
ibid., him. 96.
38
Sugondo, Lies., 2001, Perkembangan Pelaksanaan HAM di Indonesia, Kapita Selekta Hak Asasi Manusia,
Puslitbang Diklat MARI, him. 129.

23
1993 tanggal 7 Juni 1993. Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa
Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat
antara penegakkan HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini
senada dengan deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan
sekaligus sarana pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar
aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Hal
tersebut menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk
menempatkan HAM sebagai fokus pembangunan.39
Guna lebih memantapkan perhatianatas perkembangan HAM di Indonesia, oleh
berbagai kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat
diterbitkannya suatu KetetapanMPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia atau
Ketetapan MPR tentang GBHN yang di dalamnya memuat operasionalisasi daripada
hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indo nesia yang ada dalam UUD 1945.
Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat
diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yang
berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna
ke-4 tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No.
XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut
menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UUNo. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang disahkan pada tanggal 23 September 1999. 40 Undang-Undang ini
kemudian diikuti lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan
danditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Penga(^an Hak Asasi Manusia.
Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998
tentang'Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun
1999 No. 165.
Di samping itu, Indonesia telah meratifikasi pula beberapa konvensi internasional
yang mengatur HAM, antara lain:41

39
Darmodiharjo, Darji., dan Shidarta., 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, him.
164.
40
Marsudi, Subandi Al., Op. Cit., him. 98.
41
Sugondo, Lies. , Op. Cit., him. 146.

24
a) Deklarasi tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU
No. 5 Tahun 1998.
b) Konvensi mengenai Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No.
68 Tahun 1958.
c) Konvensi Pe.nghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
wanita, melalui UU No. 7 Tahun 1984.
d) Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No.
36 Tahun 1990.
e) Konvensi tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun
1997, yang pelaksanaannya ditangguhkan sementara.
f) Konvensi tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras
Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun 1999.

25
C. DASAR UNDANG-UNDANG PELAKSANAAN HAM DAN LEMBAGA
PENEGAK HAM DI INDONESIA
Indonesia merupakan satu dari berbagai negara yang sangat menghormati dan
menjunjung tinggi HAM. Sehingga, pemerintah pusat meciptakan instrumen hukum
untuk menegakkan dan melindungi HAM penduduk Indonesia. Penjelasan tentang HAM
di dalam Pancasila memuat sebuah tentang pemikiran bahwa Tuhan Yang Maha Esa
menciptakan manusia dengan memiliki dua aspek yaitu, aspek sosialitas (bermasyarakat)
dan aspek individualitas (pribadi). Oleh karena itu, setiap orang mengemban kewajiban
mengakui dan menghormati hak asasi orang lain Ini berarti, bahwa kebebasan setiap
orang dibatasi oleh hak asasi orang lain.
Kewajiban ini tidak hanya berlaku bagi setiap individu dalam masyarakat akan
tetapi juga berperan bagi setiap organisasi pada aturan di daerah manapun, lebih-lebih
untuk negara dan pemerintah khususnya di Negara Indonesia. Sehingga, negara dan
pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia, menjamin hak
asasi manusia, menghormati, dan membela setiap individu manusia dan warga negara
tanpa adanya pembedaan hak.42
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menjadi dasar hukum bagi
negara Indonesia, dalam UUD 1945 perlindungan tentang hak asasi manusia di atur di
dalamnya seperti tertuang dalam Pasal 28 yang mengatur tentang hak berserikat dan
berkumpul. Walaupun telah diatur dengan jelas dalam UUD 1945, pelanggaran HAM di
Indonesia masih saja kerap kali terjadi. Berakhirnya pemerintahan pada masa orde baru
yang di tandai dan di buktikan dengan berakhirnya rezim orde baru menjadikan awal
mula munculnya instrumen-instrumen HAM yang berlaku secara umum atau universal
untuk seluruh invidu masyarkat Indonesia. Indonesia termasuk salah satu negara yang
berkedaulatan rakyat yang mengakui deklarasi HAM dunia.
Untuk itu, maka Indonesia mempunyai instrumen hukum dalam rangka
penegakan HAM mulai dari Pancasila, UUD 1945 pasca amandemen, Tap MPR,
UndangUndang, Peraturan Pemerintah, dan lain sebagainya. Hak asasi di Indonesia
menjamin beberapa hak di antaranya hak untuk hidup, hak berkeluarga, dan melanjutkan
keturunan, hak wanita, hak anak, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, hak

42
Sri Sumantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, ( Bandung: Alumni, 1992 ), 3

26
mengembangkan diri, hak atas kebebasan, hak atas kesejahteraan, dan hak turut serta
dalam pemerintahan. Selain terdapat instrumen hukum dalam penegakan HAM di
Indonesia juga terdapat pula lembaga- lembaga penegakan HAM di Indonesia untuk
menangani dan mengurus permasalahan HAM seperti Komnas HAM, Komisi Pengadilan
HAM, Komisi nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan lain sebagianya.
Ketentuan atau peraturan hukum Hak Asasi Manusia atau dengan istilah lain di sebut
Instrumen hukum HAM adalah instrumen atau alat digunakan untuk menegakkan Hak
Asasi Manusia dan menjamin perlindungan HAM yang dalam hal ini berupa peraturan
Perundang-undangan. Di bawah ini beberapa contoh instumen hukum dalam rangka
penagakan HAM Indonesia di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia mengandung pemikiran bahwa manusia
diciptakan Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek individual
(pribadi) dan aspek sosial (bermasyarakat). Pancasila menjunjung tinggi
keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makluk Tuhan sehingga setiap
orang memiliki kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain.
2) TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM yang di kukuhkan Pada sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang di selenggarakan pada tanggal 13
November 1998 sebagai salah satu bentuk dan upaya pemerintah pusat untuk
menghadapi masalah pelanggaran HAM yang kian marak di Indonesia dan
tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Selain itu, hadirnya TAP MPR ini adalah sebagai upaya untuk menjawab tuntutan
reformasi yang berlangsung pada tahun 1998. Adapun kandungan dari TAP MPR
tersebut No.XVII/MPR/1998 tentang HAM yaitu :
 Pasal 2 berbunyi “Menugaskan kepada Lembaga-Lembaga Tinggi Negara
dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh
masyarakat”.
 Pasal 3 yang berbunyi “Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia
dan Dewan Perwailan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi

27
berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi
Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945”.43
3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD 1945)
Hak Asasi Manusia dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam hal
ini sangat di tegaskan di dalam pasal-pasal dalam UUD 1945. Pasal-pasal tersebut
adalah:
 Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3)
 Pasal 28 A
 Pasal 28 B ayat (1), (2)
 Pasal 28 C ayat (1) dan (2)
 Pasal 28 D ayat (1), (2), (3) dan (4);
 Pasal 28 E ayat (1), (2), (3)
 Pasal 28 F
 Pasal 28 G ayat (1) dan (2)
 Pasal 28H ayat (1), (2), (3) dan (4)
 Pasal 28I ayat (1), (2), (3), (4) dan (5)
 Pasal 28J ayat (1) dan (2)
4) Undang-Undang
 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang ini merupakan salah satu instrumen hukum tentang Hak
Asasi Manusia yang merupakan instrumen pokok untuk melindungi dan
menjamin semua hak setiap individu manusia. Undang-undang ini
merujuk pada kategorisasi yang termasuk dalam ICCPR, UDHR, CRC,
ICESCR, dan lain sebagainya. Sehingga pembahasan tentang pengakuan,
penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang sangat luas
di muat secara detail dalam Undangundang ini. Selain itu, Undang-
Undang ini memiliki beberapa kekurangan yang cukup mendasar,
beberapa di antaranya yaitu tentang penjabaran dan pemahaman hak asasi
manusia dan masih menempatkan kewajiban asasi manusia yang
43
TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM

28
seharusnya termasuk ke dalam ranah hukum pidana. Selain itu, konsep
tentang HAM dalam Undang- Undang ini terdapat pengkaburan dalam hal
pertanggungjawaban hukumnya hal ini di sebabkan karena Undang-
Undang ini masih belum bisa membedakan secara jelas antara konsep
tentang hak asasi manusia dan konsep tentang hukum pidana pada
umumnya.
 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Instrumen hukum ini mengatur tentang dua hal yaitu Dalam hal
pengaturan pelaksanaan tentang proses hukum acara pada pengadilan
HAM, dan dalam pengaturan tentang perbuatan pidana yang di golongkan
sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia. Adapun
kekurangan mendasar dari Undang-undang ini yaitu, karena kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida termasuk bentuk kejahatan
pidana internasional yang menjadi kewenangan Mahkamah Pidana
Internasional untuk menanganinya, dan Pengadilan HAM tidak memiliki
kewenangan untuk mengadilinya karena bukan merupakan wilayah
yurisdiksinya.44
 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dengan melihat semakin maraknya kasus pelanggaran terhadap anak-anak
yang dilakukan oleh banyak oknum maka memberikan sebuah dorongan
untuk mengesahkan Undangundang ini. Dalam kaitannya dengan Undang-
Undang di sebutkan bahwa anak tidak boleh di ikut sertakan dalam
berbagai kegiatan politik misalkan kampanye, kerusuhan sosial, sengketa
bersenjata, dan lain sebagainya. Namun, anak-anak harus di jaga, di
lindungi, dan di sayangi. Selain itu, dalam Undang-undang ini mengatur
juga mengenaik larangan anak untuk di libatkan dalam berbagai kegiatan
orang dewasa.45

44
Enny Soeprapto, Meninjau Ulang Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, Makalah pada Pelatihan HAM Lanjutan untuk Dosen Hukum dan HAM yang diselenggarakan oleh
PUSHAM UII pada tanggal 8-10 Juni 2011, 6-7
45
M. Syafi’ ie, “Instrumentasi Hukum Ham, Pembentukan Lembaga Perlindungan Hamdi Indonesia dan Peran
mahkamah Konstitusi,” Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, (Desember 2012), 683

29
 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Dengan adanya dorongan dari pegiat atau aktuvis
wanita yang menyuarakan pendapatnya selama ini tentang pembedaan
antara hak atas kaum perempuan terhadap hak kaum laki-laki. Maka
Undang-undang ini di sahkan. Korban kekerasan memiliki hak untuk
memperoleh jaminan untuk mendapatkan perlindungan dari relawan,
tenaga medis atau tenaga kesehatan, para pekerja sosial, dan para
pendamping atau pembimbing rohani. Adapun Undang-Undang ini
memliki kelebihan yaitu bahwa perlindungan terhadap korban kekerasan
rumah tangga di perbolehkan mendapatkan petolongan dari masyarakat
selain dibebankan kepada polisi atau pihak yang berwajib.
 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis. Dalam kehidupan masyarakat sehai-hari pembedaan atau
diskriminasi antar ras dan etnis merupakan hambatan baik dalam
hubungan perdamaian dalam kehidupan masyarakat, hubungan
kekeluargaan, hubungan hubungan persaudaraan, persahabatan, keserasian
dan kemananan yang pada dasarnya hubungan antara warga atau
masyarakat tersebut selalu hidup rukun dan damai dalam kehidupan
sehari-hari. UndangUndang ini menegaskan bahwa pembedaan atau
diskriminasi antara ras dan etnis harus di hapuskan karena merupakan
salah satu bentuk pelanggaran HAM.
 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau
Buruh.
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Di samping berbagai instrumen hukum dalam hal penegakan hukum hak asasi
manusia di sebutkan diatas, peraturan hukum yang mengatur tentang penegakan HAM
lainnya yang menjadi media tanggung jawab masih cukup banyak yang di gunakan untuk
memenuhi, menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia, seperti UU No. 21 tahun
2007 tentang Perdagangan Orang, UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganeraan
Indonesia, UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 3
tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 40 tahun 1999 tentan Pers, UU No. 2 tahun 2002

30
tentang Kepolisian, UU No. 3 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 32
tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung, dan beberapa lainnya.46 Dalam kondisi ini dimensi penghormatan, perlindungan,
dan pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam instrumen hukum hak asasi manusia tersebut
memberikan pengaruh yang cukup besar dalam rangka penegakan hak asasi manusia di
Indonesia.

INSTRUMEN KELEMBAGAAN PENEGAK HAM DI INDONESIA


a. Pengadilan HAM
Pengadilan HAM yaitu sebuah pengadilan khusus yang di dirikian dengan
tujuan untuk menghadapi terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputi
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (UU RI Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Pengadilan HAM berwenang dan
bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara atau kasus tentang pelanggaran
HAM yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus
perkara yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat di lakukan oleh
Warga Negara Indonesia (WNI) dan di lakukan di luar batas wilayah territorial
negara Indonesia. Dalam hal kewenangan mengadili pelanggaran HAM berat
yang terjadi sebelum di undangkannya UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM maka di kenal pula Pengadilan HAM Ad Hoc. Oleh karena itu
kadalwarsa tidak di kenal dalam pelanggaran HAM berat.
Dengan istilah lain pemberlakuan asas retroaktif yaitu asas yang berlaku
surut terhadap pelanggaran HAM berat merupakan wujud dari adanya Pengadilan
HAM Ad Hoc.

b. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)


Landasan yang menjadi awal pembentukan KPAI adalah Keputusan
Presiden Nomor 77 tahun 2003 yang merupakan pembaruan Keputusan Presiden
Nomor 36 tahun 1990 setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003
tentang Perlindungan Anak.
46
Prasetyo hdi dan Savitri Wisnuwadhani, “Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi”, (Jakarta :
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,2008), 178-179

31
Pembahasan tentang Hak Asasi Manusia memiliki ruang lingkup yang
cukup luas hal ini yang menjadi alasan bagi lahirnya berbagai instrument hukum
yang memberikan perlindungan mengenai perlindungan anak dari segala aspek.47
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor
36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child
(Konvensi tentang Hak Anak) merupakan salah satu contoh bentuk instrumen
hukum perlindungan anak yang di berikan oleh Pemerintah Indonesia.
Adapun tugas dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia meliputi:
1) Mengadakan penyuluhan atau sosialisasi mengenai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan
informasi, melakukan pemantauan, melakukan penelaahan, evaluasi dan
pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan, serta menerima pengaduan dari
masyarakat terkait pelanggaran HAM terhadap anak;
2) Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden
dalam rangka perlindungan anak.
c. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Adapun yang menjadi landasan di dirikannya Komnas HAM adalah
Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993 selanjutnya di ikuti dengan lahirnya
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang semakin memperkuat. Amanat
terhadap Komnas HAM yang termaktub dalam Pasal 73 Undang-undang Nomor
39 tahun 1999 tentang HAM bertujuan untuk meningkatkan perlindungan dan
penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan serta untuk
mengembangkan situasi yang kondusif terhadap penyelenggaran penegakan hak
asasi manusia yang baik termuat dalam Deklarasi DUHAM maupun dalam
perangkat hukum nasional.48
d. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Landasan hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ini ialah Peraturan Presiden No.

47
Disahkan dan diundangkan pada 25 Agustus 1990
48
Knut D.Asplund, Suparman Marzuki dan Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : PUSHAM UII,
2008), 283

32
65 tahun 2005 yang merupakan pembaharuan dari Keputusan Presiden No. 181
tahun 1998. Pembentukan Komisi ini bertujuan untuk merespon atas terjadinya
berbagai macam kekerasan dan pelanggaran HAM yang banyak di alami oleh
kaum perempuan, meskipun saat ini dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM
muncul adanya hak wanita yan telah memandang kesetaraan antara hak kaum
laki-laki dan hak kaum wanita.49
Tujuan pembentukan Komisi ini yaitu sebagai upaya untuk meningkatkan
pencegahan dan penanggulangan segala bentuk pelanggaran dan kekarasan yang
di lakukan terhadap perempuan di Indonesia serta sebagai upaya untuk
memajukan situasi yang yang kondusif terhadap penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia.50
e. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Hak-hak yang harus dilindungi dan dijamin LPSK antara lain ialah hak
untuk memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikan; hak mendapat penerjemah; hak untuk memberikan
keterangan tanpa tekanan; hak untuk ikut dalam proses memilih dan menentukan
bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; hak untuk mendapat informasi
mengenai putusan pengadilan; hak untuk bebas dari pertanyaan yang menjerat;
hak untuk mendapatkan tempat kediaman baru; hak mendapat informasi
mengenai perkembangan kasus; hak mendapat identitas baru; hak mengetahui
dalam hal terpidana dibebaskan; hak memperoleh bantuan biaya hidup; hak untuk
mendapatkan penggantian biaya transportasi berdasarkan dengan kebutuhan;
dan/atau, hak untuk memperoleh nasihat hukum. Institusi hukum atau Lembaga
ini menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 adalah
sebuah institusi atau lembaga yang memiliki tugas dan wewenang untuk
memberikan perlindungan terhadap saksi dan atau korban serta meberikan hak-
hak lainnya.
Dalam kaitannya penegakan HAM di Indonesia instrumen hukum yang berupa
pancasila dan UUD 1945 harus di jadikan sumber dan acuan pokok, karena secara
49
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
50
Perpres Nomor 65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan

33
terpadu terdapat nilai-nilai dasar yang ada di dalamnya merupakan The Indonesia Bill Of
Human Right. Dalam sebuah konsep hukum, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
beberapa peraturan atau kebijakan yang berkaitan dengan penegakan HAM di Indonesia
yang cukup positif. Adapun upaya positif yang telah di laksanakan oleh pemerintah
Indones ia dalam hal penegakan HAM, terutama terkait upaya perbaikan pada instrumen
hukum dan lembaga hukum untuk mempromosikan HAM.
Pembentukan dan pengesahan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia serta
Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, merupakan salah satu kebijakan yang di
rasakan dapat memberikan kemajuan positif pada peramasalahan penegakkan dan
perlindungan HAM di Indonesia. Selain itu, dengan dibentuknya beberapa instrumen
kelembagaan dalam rangka penegakan HAM di Indonesia, seperti Komisi Nasional
HAM, Komnas Perempuan serta sejumlah organisasi HAM lainnya, juga merupakan
upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka penegakan dan perlindungan HAM.

D. PELAKSANAAN HAM DALAM RELASI HUKUM DAN KEKUASAAN


Hukum dan kekuasaan merupakan dua hal yang berbeda namun saling berkaitan
satu sama lain. Hukum adalah tata aturan sebagai suatu sistem aturan-aturan tentang
perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada suatu aturan tunggal,
tetapi seperangkat aturan yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai
suatu sistem. Konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya
memperhatikan satu aturan saja. Sedangkan kekuasaan dapat diartikan sebagai
kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan
kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh
dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau
kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan
keinginan dari pelaku.
Hukum dan kekuasaan merupakan dua hal yang terpisah, tapi ada hubungan yang
erat diantara keduanya. Hubungan itu dapat berupa hubungan dominatif dan hubungan
resiprokal (timbal balik). Contohnya kekuasaan sebagai sarana untuk membentuk hukum,
khususnya pembentukan undang-undang (law making). Kekuasaan untuk membentuk
hukum dinamakan kekuasaan legislatif (legislatif power), yang merupakan kekuasaan

34
parlemen atau badan perwakilan. Kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan pembentuk
undang-undang berasal dari pemikiran John Locke dan Montesquieu.
Pola hubungan hukum dan kekuasaan yaitu hukum adalah kekuasaan itu sendiri.
Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak semuanya hukum. Contoh :
Pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak
atas barang itu. Hukum tidak sama dengan kekuasaan Artinya hukum dan kekuasaan
adalah dua hal yang terpisah, tapi ada hubungan yang erat diantara keduanya. Hubungan
itu dapat berupa timbal balik. Contoh : Kekuasaan sebagai sarana pembentukan undang-
undang oleh badan perwakilan.
Keterkaitan antara hak asasi manusia, hukum dan kekuasaan adalah keterkaitan
yang erat. Sejarah perkembangan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia sudah ada sejak
lama. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan, hal
ini dapat kita lihat dengan tegas di dalam penjelasan UUD tahun 1945. Dalam negara
hukum mengandung pengertian setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di
hadapan hukum, tidak ada satu pun yang mempunyai kekebalan dan keistimewaan
terhadap hukum. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari salah satu tujuan dari hukum
adalah untuk menciptakan keadilan di tengah-tengah pergaulan masyarakat, sedangkan
keadilan adalah salah satu refleksi dari pelaksanaan hak asasi manusia. Munculnya
keterkaitan yang erat tersebut karena dalam pelaksanaan hak asasi manusia adalah masuk
ke dalam persoalan hukum dan harus diatur melalui ketentuan hukum.
Indonesia adalah negara berdasarkan hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan,
hal ini dapat kita lihat dengan tegas di dalam penjelasan UUD tahun Dalam negara
hukum mengandung pengertian setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di
hadapan hukum, tidak ada satupun yang mempunyai kekebalan dan keistimewaan
terhadap hukum. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari salah satu tujuan dari hukum
adalah untuk menciptakan keadilan di tengah-tengah pergaulan masyarakat, sedangkan
keadilan adalah salah satu refleksi dari pelaksanaan hak asasi manusia. Munculnya
keterkaitan yang erat tersebut karena dalam pelaksanaan hak asasi manusia adalah masuk
ke dalam persoalan hukum dan harus diatur melalui ketentuan hukum.
Dalam negara kesatuan RI sumber dari tertib hukum adalah Pancasila artinya
dalam pembuatan suatu produk hukum haruslah berlandaskan dan sesuai dengan kaidah

35
Pancasila. Mengenai persoalan hak asasi manusia dalam pandangan Pancasila bahwa
manusia sebagai mahkluk Tuhan ditempatkan dalam keluhuran harkat dan martabatnya
dengan kesadaran mengemban kodrat sebagai mahluk individu dan mahkluk sosial yang
dikaruniai hak, kebebasan dan kewajiban asasi di dalam kehidupan bernegara, berbangsa
dan bermasyarakat haruslah mewujudkan keselarasan hubungan:
 Antara manusia dengan penciptanya.
 Antara manusia dengan manusia.
 Antara manusia dengan masyarakat dan negara.
 Antara manusia dengan lingkungannya.
 Antara manusia dalam hubungan antar bangsa.

E. TANTANGAN KONSEP HAM DALAM MENGHADAPI ISU-ISU GLOBAL


SEPERTI GENOSIDA,TRANSGENDER,TRANSVESTISM,DAN SEBAGAINYA

1) Genosida
Genosida adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap
satu suku bangsa atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan (atau
membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli
hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in
Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa
Yunani: γένος - genos ('ras', 'bangsa' atau 'rakyat') dan bahasa Latin: caedere
('membunuh'). Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang
berada dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang, dan kejahatan agresi. Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26
tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh
anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan

36
kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah
kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok
ke kelompok lain.51
Genosida, sebagai suatu istilah, secara resmi belum terdapat dalam kosakata
Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka, setidak-tidaknya sampai
Tahun 1990. hal ini berarti istilah genosida (genocide) dapat dikatakan tergolong
baru, belum lagi makna yang terkandung di dalamnya belum banyak awam yang
memahaminya. Oleh karena itu kehadiran buku berbahasa Indonesia mengenai seluk-
beluk genosida menjadi penting untuk menambah wawasan kita semua, khususnya
aparat yang duduk dalam pemerintahan, TNI, Polri, legislatif maupun yudikatif.
Pasal 8 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 di atas tidak mengatur secara tegas
kapan dilakukan kejahatan genosida di waktu damai atau di saat perang, tetapi secara
konsisten memberi ancaman hukuman kepada pelaku. Pada Pasal 3 Konvensi tentang
Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida disebutkan ada lima perbuatan
yang dapat dihukum yaitu: (a) Genosida; (b) Persengkokolan untuk melakukan
genosida; (c) Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan genosida; (d)
Mencoba melakukan genosida; (e) Keterlibatan dalam genosida.
Indonesia sampai saat ini belum melakukan pengesahan Konvensi Pencegahan
dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Pada hal Indonesia mempunyai falsafah
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang ‘hitam di atas putihnya’ sangat
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Bahkan seharusnya kita berani
mengakui kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan telah pernah
mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, khususnya selama Orde Baru berkuasa dan
ratifikasi genosida khususnya yang berkaitan dengan agama masih terus dijalankan
hingga kini (Tahun 2003). Di Indonesia sejak Tahun 1967, dengan dikeluarkannya
Inpres 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina,
keberadaan kebudayaan Cina yang nota bene telah memberikan sumbangsih dan
memperkaya khasanah budaya Indonesia diupayakan untuk dimatikan secara
sistematis dan terencana.

51
http://www.preventgenocide.org/ab/1998/

37
Demikian pula keberadaan agama Konghucu, walaupun dipeluk oleh sebagian
penduduk Indonesia yang tersebar di semua propinsi yang ada di Indonesia, dengan
Inpres 14 Tahun 1967 itu hendak dimatikan dan upaya itu dilakukan secara
sistematis, dengan mulai dikeluarkannya agama Konghucu dari kolom agama dalam
sensus penduduk yang dilakukan oleh Biro (sekarang Badan) Pusat Statistik
Indonesia, dilarangnya pencantuman agama Konghucu dalam Kartu Tanda Penduduk
(KTP), dilarangnya pemeluk agama Konghucu mengadakan acara keagamaan di
gedung-gedung umum, ditolaknya pencatatan perkawinan antar pasangan yang
beragama Konghucu di kantor Catatan Sipil. Bahkan, kendatipun Inpres 14 tahun
1967 itu sudah dicabut dengan Keppres Nomor 6 tahun 2000, pelarangan
pencantuman Konghucu dalam kolom agama di KTP dan penolakan pencatatan
perkawinan pasangan Konghucu masih terus terjadi hingga kini di berbagai kota di
Indonesia.
Bahwa perlakuan pemerintah Republik Indonesia terhadap etnis Tionghoa,
khususnya umat Konghucu di Indonesia merupakan cultural genocide (genosida
budaya). Atau dengan kata lain merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
walaupun diakui ratifikasi secara hukum masih membutuhkan perjalanan panjang.
Konvensi Internasional tentang Pencegahan dan Penghukuman Genosida maupun
nilai-nilai (etika-moral) universal yang terdapat dalam agama-agama dan kepercayaan
yang dipeluk/dianut oleh bangsa Indonesia.
Suatu konflik dapat dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk yang berbeda dan
terjadi dalam keadaan-keadaan yang berbeda pula. Dalam situasi konflikkonflik di
Afrika, konflik-konflik dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu konflik pribadi dan
individu, antara dua individu dan konflik-konflik “Kumunal” yaitu konflik-konflik
antara marga (dan), kelompok-kelompok etnis, suku-suku (tribes), kelompok-
kelompok agama atau antar daerah. ketika suatu kelompok mengangkat senjata dalam
menentang negara, hal ini disebut pemberontakan. Sedangkan konflik antara dua
orang individu sering dipicu oleh masalah etnis atau marga.52

52
Bethuel Kiplagat, “Role of Religion in Conflict Resolution. Relationship between State and Religious of
Organization”, dalam Institut Universitaire de Hautes Etudes Internationales, “Religion, Politics, Conflict and
Humanitarian Action Faith-Based Organizations as Political, Humanitarian or Religious Actors”, May 18-19,
Geneva, 2005, hlm. 4.

38
Konflik-konflik tersebut, biasanya berkepanjangan dan menimbulkan korban yang
banyak diantara masyarakat. Menurut Kiplagat, di antara 53 negara di benua Afrika,
ada 35 negara anggota Organisasi Persatuan Afrika-OAU (Organization of African
Unity) yang menderita konflik. Mayoritas dari konflik adalah kategori pemberontakan
menentang negara, yang diorganisir oleh kelompok-kelompok yang berbasis
kedaerahan, ideologi, ras atau etnis yang mengangkat senjata melawan
pemerintah/Negara. (Rebellions against the state, organized by groups based on
region, ideology, race or ethnicity who take up arms against the state).53
Konflikkonflik tersebut, bukan hanya terjadi di benua Afrika, tetapi juga diseluruh
belahan dunia.
Sebagaimana dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia ada beberapa aturan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan
penghormatan terhadap suku, agama dan ras, yang antara lain dalam Pasal 1 ayat (3)
menyebutkan bahwa Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia
atas dasar agama, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan
atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Dalam penjelasan Pasal 7 disebutkan juga bahwa Kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan dan yang diambil
dari “Rome Statute of The Internasional Criminal Court” Dalam Undang-undang No.
11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social
And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya), menyebutkan beberapa Pasal yang secara redaksional mencantumkan
perlindungan terhadap hak-hak yang berkaitan dengan suku, agama dan ras. (Pasal 2
ayat (2), Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 13.

2) Transgender

53
Ibid.

39
Sebagaimana terjadi di berbagai belahan dunia lain, sebagian besar pemuka-
pemuka agama masih beranggapan bahwa perbedaan karena SOGIE (Sexual
Orientation Jender Identity and Expression) dianggap sebagai praktik penyimpangan.
Laporan yang dirilis kantor The United Nations High Commissioner of Human
Rughts 2015 tentang Discrimination and Violence Againts Individual based on Their
Sexual Orientation and Jender Identity menyatakan bahwa kekerasan, pelecehan
seksual, penistaan, penyiksaan dan penangkapan sewenang wenang terhadap
kelompok LGBT terjadi di beberapa negara, khususnya di negara-negara Asia.
Laporan ini mengusulkan kepada negara-negara anggota PBB untuk segera
melakukan langkah-langkah efektif dalam mengurangi tindakan diskriminasi dan
sewenang-wenang. Negara diminta secara konsisten mengimplementasikan seluruh
prinsip dan norma HAM PBB bagi semua (human rights for all) ke segenap
kehidupan di masyarakat. LGBT adalah salah satu kelompok rentan yang perlu
dilindungi karena sebagian besar mereka belum dapat menikmati hakhaknya sebagai
warga negara. Sebagian besar negara-negara di dunia masih memiliki norma
heteroseksual yang berakibat bagi munculnya sikap intoleran terhadap
identitas/ekspresi jender dan orientasi seksual diluar norma dominan ini. Intoleransi
kerap terjadi karena kelompok LGBT dianggap memiliki aktivitas amoral dan
merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Kekhawatiran yang didasarkan karena
homophopia ini seringkali mendatangkan kekerasan, tindakan sewenang-wenang dan
pengucilan terhadap kelompok LGBT.
Mereka melakukannya sebagai dalih melakukan normalisasi. Di Indonesia sendiri
sebagian besar masyarakat lebih dapat menoleransi kaum transjender yang mengubah
jenis kelaminnya agar benar-benar menjadi perempuan dibandingkan yang tidak
melakukannya. Padahal dalam konstitusi di Indonesia, UUD 1945, pasal 28I, “Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”. Pasal
ini mewajibkan negara melindungi semua warga negara dari tindakan diskriminasi,
termasuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jender, ekspresi dan orientasi
seksual. Buku ini selayaknya menjadi panduan bagi aparatur negara dalam upaya
mengimplementasi penghapusan diskriminasi atas dasar SOGIE.

40
Semua manusia terlahir dengan martabat dan hak yang setara. Semua hak asasi
manusia bersifat universal, saling bergantung, tidak dapat dipisahkan dan saling
terkait. Orientasi seksual54 dan identitas jender55 merupakan bagian integral dari
martabat dan kemanusiaan setiap orang dan tidak dapat dijadikan dasar diskriminasi
atau kekerasan. Beragam kemajuan telah dilakukan untuk menjamin agar orang
dengan segala orientasi seksual dan identitas jender dapat hidup dengan martabat dan
penghargaan yang setara dengan orang lain.
Saat ini banyak Negara memiliki peraturan dan perundangan yang menjamin
kesetaraan hak dan non diskriminasi. Termasuk jaminan non diskriminasi dengan
tidak membedakan jenis kelamin, orientasi seksual atau identitas jender. Meskipun
demikian, pelanggaran HAM yang diarahkan pada sebagian orang karena pandangan
atau persepsi tentang orientasi seksual atau identitas jender telah menjadi pola
pelanggaran HAM global dan mendalam sehingga membutuhkan perhatian yang
serius.
Pelanggaran tersebut mencakup: pembunuhan di luar proses pengadilan,
penyiksaan dan perlakuan buruk, penyerangan seksual dan pemerkosaan,
penyerangan terhadap privasi, penahanan sewenang-wenang, penolakan dalam
kesempatan bekerja dan pendidikan, serta diskriminasi serius yang terkait dengan
penikmatan HAM lainnya. Pelanggaran-pelanggaran tersebut seringkali diperparah
dengan adanya bentuk-bentuk lain dari kekerasan, kebencian, diskriminasi dan
pengucilan, seperti halnya yang terjadi berdasarkan ras, usia, kecacatan, status
ekonomi, sosial atau status lainnya. Banyak Negara dan masyarakat memaksakan
norma-norma orientasi seksual dan jender pada masing-masing individu melalui adat,
hukum dan kekerasan. Mereka juga mencari cara untuk mengawasi bagaimana
individu menjalani hubungan pribadi dan bagaimana mengidentifikasi diri mereka.

54
Orientasi seksual dipahami untuk merujuk kapasitas masing-masing orang untuk memunculkan ketertarikan
emosional , rasa sayang dan ketertarikan seksual , dan hubungan intim dan seksual dengan , individu dari jender
yang berbeda atau jender yang sama atau lebih dari satu jender.
55
Identitas jender dipahami untuk merujuk pada perasaan pengalaman internal dan individu terhadap jender, yang
mungkin saja tidak sesuai dengan jenis kelaminnya pada saat dia dilahirkan, termasuk perasaannya pada bagian
tubuhnya (yang mungkin mencakup, jika dapat dipilih secara bebas, pengubahan bentuk tubuhnya melalui cara
medis, pembedahan atau cara lainnya) dan cara lain dalam mengekspresikan jender, termasuk cara berpakaian,
berbicara dan bertingkah laku.

41
Kebijakan mengenai seksualitas terus menjadi kekuatan utama dibalik terjadinya
kekerasan berdasar atas jender dan ketidaksetaraan jender.
Sistem internasional telah membuat upaya-upaya signifikan dalam memajukan
kesetaraan jender dan perlindungan terhadap kekerasan di masyarakat, komunitas dan
keluarga. Sebagai tambahan, mekanisme HAM utama PBB telah menekankan
kewajiban Negara untuk menjamin perlindungan yang efektif bagi semua orang dari
diskriminasi atas dasar orientasi seksual atau identitas jender. Namun demikian,
respon internasional terhadap pelanggaran HAM atas dasar orientasi seksual atau
identitas jender telah terfragmentasi dan tidak konsisten.
Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut, pemahaman yang konsisten
atas hukum HAM internasional yang komprehensif dan aplikasinya terkait isu-isu
orientasi seksual dan identitas jender sangatlah diperlukan. Hal ini penting untuk
menyusun dan memperjelas kewajiban-kewajiban Negara di bawah hukum HAM
internasional yang ada, dalam rangka mempromosikan dan melindungi HAM bagi
semua orang atas dasar kesetaraan dan tanpa diskriminasi.
Setiap orang berhak menikmati HAM tanpa diskriminasi berdasarkan orientasi
seksual atau identitas jender. Setiap orang berhak atas kesetaraan di depan hukum dan
perlindungan hukum tanpa adanya diskriminasi yang mempengaruhi atau yang tidak
mempengaruhi penikmatan HAM orang lain. Hukum harus melarang diskriminasi
semacam itu dan menjamin setiap orang mendapatkan perlindungan yang setara dan
efektif dari diskriminasi.
Diskriminasi atas dasar orientasi seksual atau identitas jender meliputi setiap
pembedaan, pengecualian , pembatasan atau preferensi berdasarkan orientasi seksual
atau identitas jender yang memiliki tujuan atau efek meniadakan atau merusak
persamaan di depan hukum atau perlindungan hukum yang sama, atau pengakuan,
penikmatan atau pelaksanaan, atas dasar kesetaraan dari kebebasan fundamental dan
HAM. Diskriminasi atas dasar orientasi seksual atau identitas jender mungkin, dan
umumnya adalah, diperparah oleh diskriminasi atas dasar lainnya termasuk jenis
kelamin, ras, usia, agama, kecacatan, kesehatan dan status ekonomi .
Setiap orang berhak untuk mendapatkan pengakuan sebagai seorang manusia di
hadapan hukum. Orang dengan beragam orientasi seksual dan identitas jender

42
berbeda harus dapat menikmati kapasitas hukum mereka dalam berbagai aspek
kehidupan. Orientasi seksual dan identitas jender yang dipilih oleh masing-masing
orang merupakan bagian integral dari kepribadian mereka dan merupakan salah satu
aspek paling dasar dari penentuan diri, martabat dan kebebasan. Tidak ada
seorangpun yang dapat dipaksa untuk melakukan prosedur medis, termasuk
perubahan alat kelamin, sterilisasi atau terapi hormon, sebagai persyaratan pengakuan
atas identitas jender mereka di mata hukum. Tidak ada status, seperti status
pernikahan atau kedudukan sebagai orang tua yang dapat digunakan untuk
menghalangi seseorang agar tidak mendapatkan pengakuan hukum atas identitas
jendernya. Tidak ada seseorangpun yang dapat dipaksa untuk menyembunyikan,
menekan atau menyangkal orientasi seksual atau identitas jender mereka.
Setiap orang, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas jender, berhak
untuk menikmati kebebasan pribadi tanpa gangguan dan tindakan sewenang-wenang
atau melanggar hukum, termasuk keluarga mereka, rumah atau surat menyurat serta
perlindungan dari penyerangan atas kehormatan dan reputasi mereka. Hak atas
kebebasan pribadi biasanya termasuk pilihan untuk menyampaikan atau tidak
menyampaikan informasi yang berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas
jender seseorang, keputusan dan pilihan atas tubuh mereka sendiri, dan aktivitas
seksual konsensual serta hubungan dengan orang lain.
Tidak ada seorangpun yang dapat ditangkap atau ditahan dengan sewenang-
wenang. Penangkapan atau penahanan berdasarkan orientasi seksual atau identitas
jender, baik dengan perintah pengadilan atau tidak, adalah tindakan sewenang-
wenang. Semua orang dalam tahanan, tanpa memandang orientasi seksual atau
identitas jender, berhak mendapatkan penjelasan atas alasan penangkapan dan
tuduhan terhadap mereka, agar segera diajukan ke proses pengadilan/persidangan
untuk menentukan keabsahan penahanan tersebut berdasarkan tuduhan pelanggaran
atau tidak.
3) Transvestism
Perilaku crossdressing sebagai bentuk ekspresi gender seseorang adalah perilaku
penggunaan pakaian eksternal yang berkaitan dengan gender dan tingkah laku.
Perilaku ini dilakukan oleh crossdresser yang merupakan bagian dari kelompok

43
minoritas gender dan orientasi seksual. Crossdresser kerapkali bersinggungan dengan
masyarakat heteronormatif karena perilaku yang dinilai menyimpang dan melanggar
ketertiban umum. Hal ini menyebabkan sulitnya akses terhadap pemenuhan Hak
Asasi Manusia terutama hak kebebasan berekspresi dan hak untuk turut serta dalam
kehidupan kebudayaan masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar hukum pidana terhadap
pelanggaran ketertiban umum oleh crossdresser serta hukum hak asasi manusia atas
kebebasan berekspresi dan hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan
masyarakat bagi crossdresser. Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji isu
tersebut bersifat normatif dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau diterapkan terhadap permasalahan ketertiban umum dan hak asasi
manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia tidak mengklasifikan perilaku crossdressing sebagai perilaku
yang melanggar ketertiban umum. Selain itu, stigma negatif serta diskriminasi yang
dialami oleh crossdresser atas perilaku crossdressing sebagai bentuk ekspresi gender
bertentangan ketentuan dalam UDHR, ICCPR, dan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia.
Secara historis, perkembangan queer di Indonesia sangat berkaitan dengan kondisi
masyarakat di Indonesia, yang terbentuk melalui interaksi sosial dan budaya yang ada
di dalamnya. Di Indonesia, pembahasan mengenai konsep queer ini juga tidak dapat
dipungkiri untuk melibatkan pengakuan sebelumnya atas berbagai bentuk asli dari
konsep yang sudah lama terbentuk, dari adanya perilaku hubungan sesama jenis dan
transgenderisme.56 Berbeda dengan istilah seperti gay, homoseksual, lesbian, dan juga
transeksual, yang mana pembahasan tersebut berkembang seiring dengan perjalanan
pembahasan studi tentang keragaman seksual dan program pencegahan HIV/AIDS
pada pertengahan 1980-an.57
Di Indonesia, terdapat istilah-istilah tersendiri yang bermakna sebagai istilah yang
menggambarkan nilai-nilai dari homoseksualitas dan perilaku transgender, yang erat
kaitannya dengan ritual keagamaan kebudayaan yang ada di dalam masyarakat
Indonesia. Tom Boellstorff berpendapat bahwa posisi subjek yang ditentukan oleh
56
Dédé Oetomo, Gender and Sexual Orientation in Indonesia (Duke University Press, 1996),
57
Ibid.

44
perwujudan asli di dalam konteks homoseksualitas dan transgenderisme ini tidak
dapat disamakan dengan pemahaman dari masyarakat Barat tentang “identitas
seksual” .58
Boellstorff lebih cenderung mengidentifikasikan mereka sebagai posisi subjek
yang disebutnya dengan istilah "Ethnolocalized Homosexual and Transvestite
Professional" (ETP). Dalam hal ini, Boellstorff mencoba memberikan gambaran
dengan menitikberatkan perhatian pada adanya perbedaan antara perilaku dan
identitas, serta menekankan pada adanya perbedaan hubungan antara sifat dasar dari
seorang transgender dan homoseksual dan juga profesi dalam masyarakat tradisional
yang ada di Indonesia. Berdasarkan dari yang didefinisikan di atas, berikut adalah
contoh dari apa yang Boellstorff definisikan sebagai ETP, di mana kemitraan
gemblak warok yang terlibat dalam ritual drama reog yang ada di Ponorogo, Jawa
Timur di mana terdapat imam transgender baik pria maupun wanita, atau dengan
identitas gender bissu, yang menempati tempat sentral di dalam ritual keagamaan di
suku Bugis, Sulawesi Selatan.59
Terkait dengan pembagian identitas gender di Indonesia, sesungguhnya beberapa
wilayah di Indonesia telah mengakui pembagian identitas gender lebih dari dua, atau
bisa disebut dengan pembagian gender nonnormatif (feminin dan maskulin). Salah
satu masyarakat Indonesia yang mengakui identitas gender non-normatif tersebut
adalah masyarakat suku Bugis. Di mana masyarakat Bugis yang berada di Makassar
ini telah lama mengenal sistem pembagian identitas gender yang terdiri dari 5
identitas gender yang berbeda.
Identitas gender tersebut di antaranya adalah Oroane (laki-laki), Makkunrai
(perempuan), Calalai (perempuan dengan peran dan fungsi laki-laki), Calabai (laki-
laki dengan peran dan fungsi perempuan), dan Bissu (bukan laki-laki atau perempuan,
merupakan perpaduan dua gender yaitu dalam satu tubuh).60
Masyarakat Bugis diketahui memiliki kepercayaan tersebut atas dasar pemberian
budaya dan adat istiadat leluhur yang turun temurun. Mereka mempercayai terdapat

58
Tom Boelstorff, “Gay Language and Indonesia: Registering Belonging,” Journal of Linguistic Anthropology 14,
no. 2 (December 2004): 248– 268
59
Ibid.
60
Graham, Challenging Gender Norms: Five Genders among Bugis in Indonesia. .

45
dua pembagian utama dalam memahami seksualitas manusia terkait dengan gender. 61
Di mana mereka membagi dua, pertama yang dinamakan dengan sifat kodrati, hal ini
berarti pemberian Tuhan dan tidak dapat diubah, dan yang kedua pembagian yang
dapat diubah, yang di mana sifat ini dapat dipertukarkan. Pembagian kodrati yang
dimaksudkan tersebut adalah apa yang diberikan Tuhan berdasarkan fisik (seks) yang
ada dalam manusia, di mana laki-laki dan perempuan tidak dapat ditukarkan.
Sementara pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dapat dipertukarkan,
inilah yang kemudian disebut dengan identitas gender.
Transvestisme terdiri dari transvestisme peran ganda dan fethisistik.
Transvestisme peran ganda adalah seorang yang mengenakan pakaian lawan jenisnya
sebagai bagian dari eksistensi dirinya untuk menikmati sejenak pengalaman sebagai
anggota lawan jenisnya. Transvestisme fethisistik adalah seorang yang mengenakan
pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai kepuasan seksual.
Transvestisme dalam masyarakat kita dikenal dengan istilah banci atau waria.
Sejak tahun 1999 sebenarnya kaum waria di Indonesia telah mendapat jaminan
perlindungan dengan disahkannya UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal
3 ayat (2) undang-undang tersebut menyebutkan “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat
kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum” dan ayat (3) berbunyi,
”Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia, tanpa diskriminasi”. Bahkan Pasal 5 ayat (3) menyebut,”…berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”.
Berdasar aturan ini, kelompok waria oleh Komnas HAM kini ditempatkan sebagai
kelompok minoritas dalam Subkomisi Perlindungan Kelompok Khusus.
Perlindungan HAM di lapangan pekerjaan sangat penting karena tanpa adanya
perlindungan terhadap hak pekerja, maka berpotensi menggagalkan pembangunan
SDM. Salah satu permasalahan tersebut adalah diskriminasi gender tenaga
kerja.62Berbagai ketidakadilan yang berbasis pada SOGIESC, yang dirasakan oleh
kelompok queer dan juga LGBTI di lingkungan pekerjaan terjadi dalam berbagai
61
Ibid.
62
Desia Rakhma Banjarani and Ricco Andreas, “Perlindungan Dan Akses Hak Pekerja Wanita Di Indonesia:
Telaah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Atas Konvensi ILO,” Jurnal HAM 10, no.
1 (July 19, 2019): 115

46
bentuk, seperti adanya pembatasan dalam akses untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak, pembatasan cara berpakaian dan berperilaku, pembatasan peningkatan karir
(tidak mendapatkan promosi dikarenakan stigma terhadap identitas seksual, atau yang
dikenal dengan istilah (Lavender Ceiling), hingga pemecatan.
Stigma dan disrkiminasi di tempat kerja menyebabkan banyak dari kelompok
queer LGBTI tidak tahan bekerja di sektor formal dan memilih untuk bekerja di
sektor informal.63
Ketidakadilan berbasis SOGIESC di tempat kerja seringkali dianggap normal
bahkan sering tidak disadari oleh kelompok minoritas ini. Hal ini disebabkan karena
mereka tidak diberikan informasi yang transparan terkait penyebab mereka mendapat
perlakuan tersebut. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian dan dokumentasi Arus
Pelangi tahun 2018, di kota-kota besar seperti Jakarta, hanya 24% responden yang
memiliki pekerjaan di sektor formal. Sisanya memilih untuk bekerja di sektor
wirausaha ataupun paruh waktu. Hal ini menunjukkan bahwa sektor formal tergolong
sulit untuk diraih oleh kelompok queer dan LGBTI, terutama yang memilih untuk
mengutarakan identitas seksual mereka. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
tingkat pengangguran di kalangan kelompok queer dan LGBTI mencapai 17%.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pengangguran nasional
yakni 5.8%. Dengan demikian, kelompok queer dan LGBTI memiliki resiko 3 kali
lebih besar untuk menjadi pengangguran.64
Aspek pelanggaran HAM selanjutnya adalah aspek yang sangat vital, yaitu aspek
kesehatan. Negara memiliki tanggung jawab terhadap perlindungan kesehatan sesuai
dengan asas dalam HAM dan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945.65Ketidakadilan berbasis SOGIESC dalam aspek kesehatan banyak
dialami kelompok queer dan LGBTI terutama dalam hal mengakses dan mendapatkan
pelayanan kesehatan yang layak dan tanpa adanya stigma serta diskriminasi.
Berdasarkan penelitian Arus Pelangi, sekitar 41% dari kelompok queer dan LGBTI

63
Rumah Pelangi, Kekerasan Berbasis SOGIESC 2018
64
Ibid.
65
Mikho Ardinata, “Tanggung Jawab Negara Terhadap Jaminan Kesehatan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
(HAM),” Jurnal HAM 11, no. 2 (August 28, 2020): 319, https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/h
am/article/view/1196.

47
tidak memiliki asuransi kesehatan baik dalam bentuk Asuransi Kesehatan Nasional
atau asuransi kesehatan lainnya.66
Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, tanpa
memandang orientasi seksual atau identitas jender. Kebebasan ini termasuk ekspresi
identitas atau kepribadian melalui ucapan, sikap, pakaian, karakteristik tubuh, pilihan
nama, atau cara lain, serta kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
informasi dan pemikiran apapun, termasuk yang berkaitan dengan HAM, orientasi
seksual dan identitas jender, melalui media apapun dan tanpa batas. Setiap orang juga
berhak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai, termasuk untuk tujuan
demonstrasi damai, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas jender. Orang
dapat membentuk dan mendapat pengakuan, tanpa diskriminasi, asosiasi berdasarkan
orientasi seksual atau identitas jender, dan asosiasi yang mendistribusikan informasi
kepada, atau sekitar, memfasilitasi komunikasi sesama, atau mengadvokasi untuk
hak-hak, orang yang memiliki orientasi seksual dan identitas jender.
Setiap warga negara memiliki hak untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan
urusan publik, termasuk hak untuk dipilih secara resmi, berpartisipasi dalam
perumusan kebijakan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka, dan memiliki akses
yang sama pada semua tingkat pelayanan publik dan pekerjaan dalam fungsi publik,
termasuk bekerja di kepolisian dan militer, tanpa diskriminasi atas dasar orientasi
seksual atau identitas jender. Negara wajib mengambil semua langkah yang tepat
untuk menghapus stereotip dan prasangka mengenai orientasi seksual dan identitas
jender yang mencegah atau membatasi partisipasi dalam kehidupan publik juga
menjamin hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan yang
mempengaruhi kesejahteraan mereka, tanpa diskriminasi atas dasar, dan dengan
penghormatan penuh, orientasi seksual dan identitas jender.
Setiap orang, baik secara individu maupun kelompok, berhak untuk memajukan
dan memenuhi HAM pada tingkat nasional dan internasional, tanpa diskriminasi atas
dasar orientasi seksual atau identitas jender. Hal ini mencakup kegiatan yang
diarahkan untuk pemajuan dan perlindungan hak orang-orang dari berbagai orientasi
seksual dan identitas jender, serta hak untuk mengembangkan dan mendiskusikan

66
Rumah Pelangi, Kekerasan Berbasis SOGIESC 2018.

48
norma-norma HAM yang baru serta mengadvokasi cara penerimaan norma tersebut.
Negara harus menjamin para pembela HAM dapat mengakses dan berkomunikasi
dengan berbagai organisasi dan lembaga HAM nasional maupun internasional tanpa
diskiminasi, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas jender mereka, dan isu
HAM yang mereka advokasi.Negara juga harus dapat menjamin adanya perlindungan
bagi para pembela HAM yang bekerja pada isu orientasi seksual dan identitas jender
dari segala bentuk kekerasan, ancaman, balas dendam, diskriminasi secara de facto
maupun de jure, atau segala bentuk kesewenangan lainnya, yang dilakukan oleh
Negara atau pelaku yang bukan Negara, sebagai bentuk respon mereka terhadap
kegiatan HAM yang dilakukan para pembela HAM tersebut. Perlindungan yang sama
juga harus dijamin bagi semua pembela HAM, tanpa memandang orientasi seksual
dan identitas jendernya, maupun isu yang diadvokasi. Mendukung pengakuan dan
akreditasi organisasi yang memajukan dan melindungi HAM orang-orang dari
berbagai orientasi seksual dan identitas jender, pada tingkat nasional maupun
internasional.

49
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah
wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan
hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan
susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja
yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung
kepada kebenaran.
Hak merupakan unsure normative yang melekat pada diri setiap manusia yang
dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang
terkait dengan interaksinya antara individu dengan instansi. Hak merupakan sesuatu
yang harus diperoleh. Dalam Undang Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia pasal 1 disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Karena itu, pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus
diikuti dengan pemenuhan terhadap KAM (kewajiban asasi manusia) DAN TAM
(tanggung jawab asasi manusia) dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat dari HAM adalah keterpaduan antara HAM, KAM
dan TAM yang berlangsung secara sinergis dan seimbang. Bila ketiga unsure asasi
(HAM, KAM dan TAM) yang melekat pada setiap individu manusia, baik dalam tatanan
kehidupan pribadi, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan pergaulan global tidak
berjalan secara seimbang, dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan, anarkisme,
dan kesewenang wenangan dalam tata kehidupan umat manusia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang
melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah
Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau
negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah

50
menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu
keseimbangan antara hak dan kewajiban ,serta keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan umum.

B. SARAN
Saran yang ingin kami sampaikan yaitu jangan sampai kita sebagai makhluk
paling mulia sampai mencederai hak-hak orang lain. Karena kita dibekali dengan akal
yang sempurnna sehingga kita bisa berpikir sebelum melakukan tindakan-tindakan yang
dapat merugikan orang lain. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Tentunya dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan serta jauh dari
sempurna. Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah
itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa
membangun dari para pembaca.

51
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Genosida
https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/view/25
http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/189784
https://osf.io/9trnz/download
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/download/5951/5103
https://dokumen.tips/documents/makalah-kemanusiaan-anti-diskriminatif.html
https://opac.perpusnas.go.id/images/coverbuku/tdkada.gif
https://perpustakaan.komnasham.go.id/opackomnas/index.php?p=fstream-
pdf&fid=141&bid=9715
https://sdg.komnasham.go.id/id/tujuan-2/
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/157/95
https://sdg.komnasham.go.id/id/tpb/
https://www.unodc.org/roseap//indonesia/index.html
https://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/
https://journal.uii.ac.id/Unisia/article/download/5879/5305
https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/justicia/article/download/1391/963
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/download/11588/9766
https://www.komnasham.go.id/index.php/publikasi/2015/11/30/11/prinsip-prinsip-
yogyakarta.html

52

Anda mungkin juga menyukai