Anda di halaman 1dari 15

DEMOKRASI

PERMUSYAWARATAN

Disusun Oleh
Kelompok 4 :
1. Shinta Najwa ( G1E122006 )
2. Andhyta Nikita Safitri ( G1E122020 )
3. Zahara ( G1E12236 )
4. M. Luthfi Kamil ( G1E122052 )
5. Milda Rahayu ( G1E122066 )

Dosen Pengampu:
M. Lukman Hakim, S.H., M.Sc.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat Nya sehingga
kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Sebelumnya kami ingin
berterima kasih kepada bapak dosen bidang studi Kewarganegaraan, Bapak M.
Lukman Hakim S.H., M.Sc. karena telah mempersilakan kami untuk mengerjakan
makalah ini. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari seluruh
anggota yang telah bersama menyelesaikan makalah yang berjudul “Demokrasi
Permusyawaratan”
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, serta seluruh Masyarakat Indonesia khususnya
para mahasiswa untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah
isi makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
dalam pembuatan makalah kali ini masih banyak ditemukan kekurangan, oleh
karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 20 Mei 2023

Tim Penulis
Daftar Isi
KATA PENGANTAR .............................................................................................2
BAB I .......................................................................................................................4
PENDAHULUAN ...................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................5
1.3 Tujuan .........................................................................................................5
BAB II ......................................................................................................................6
PEMBAHASAN ......................................................................................................6
2.1 Filsafat Demokrasi ......................................................................................6
2.2 Rembug Desa ..............................................................................................7
2.3 Konsep Syuro` dalam Islam........................................................................7
2.4 Sosial-Demokrasi Barat ..............................................................................9
2.5 Konsep Demokrasi Permusyawaratan ......................................................11
2.6 Studi Kasus ...............................................................................................12
BAB III ..................................................................................................................14
KESIMPULAN ......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk


rakyat. Maksudnya adalah bahwa konsep pemerintahan yang ada dalam Negara
demokrasi, lebih mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan
golongan. Negara demokrasi menghendaki adanya persamaan hak dan
kewajiban bagi semua individu, sehinggat tidak ada yang ditinggikan dan tidak
ada yang direndahkan.
Selain beberapa jenis demokrasi yang pernah digunakan Indonesia,
terdapa suatu bentuk demokrasi yang bernama demokrasi permusyawaratan
(demokrasi deliberatif). Demokrasi ini dalam penerapan nya melalui proses
musyawarah dan tidak memusatkan diri pada penyusunan daftar aturan-aturan
tertentu, melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu.
Demokrasi permusyawarahan meminati persoalan kesahihan keputusan-
keputusan kolektif, yaitu menjelaskan arti control demokratis melalui opini
public. Seperti dalam kegiatan pemilihan umum.

Demokrasi menempati posisi vital dalam pembagian kekuasaan dalam


suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan
kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu filsafat demokrasi?
2. Apa yang dimaksud dengan rembug desa?
3. Bagaimana konsep syuro` dalam Islam?
4. Apa yang dimaksud dengan social-demokrasi barat?
5. Bagaimana konsep demokrasi permusyawaratan?
6. Bagaimana studi kasus yang terkait dengan demokrasi?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui filsafat demokrasi
2. Mengetahui yang dimaksud dengan rembug desa
3. Mengetahui bagaimana konsep syuro` Islam
4. Mengetahui apa yang dimaksud dengan social demokrasi barat
5. Mengetahui bagaimana konsep demokrasi permusyawaratan
6. Mengetahui studi kasus yang berkaitan dengan demokrasi
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Filsafat Demokrasi


Secara etimologis ’Demokrasi’ terdiri dari dua kata Yunani yaitu ’Demos’
yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan ’cratein’ atau ’cratos’ yang
berarti kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dari kedua kata tersebut memiliki
arti suatu keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan
berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama
rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.

Filsafat demokrasi dari abad kedelapan belas dapat didefinisikan sebagai


metode demokratis bahwa pengaturan kelembagaan untuk sampai pada
keputusan-keputusan politik yang menyadari kebaikan umum dengan membuat
masyarakat memutuskan masalah-masalahnya sendiri melalui pemilihan
individu-individu untuk berkumpul dalam rangka melaksanakan kehendaknya
sendiri. Dengan demikian, demokrasi merupakan proses politik yang tidak hanya
mengedepankan atau mengandalkan apa itu suatu kebijakan.

Dalam nilai dasar atau prinsip demokrasi sosialis mengandung tiga hal :

1. Kebebasan yang di mana memiliki beberapa tuntunan yaitu kebebasan


individu secara mendasar dijamin dan dipastikan, kebebasan mensyaratkan
bahwa keputusan politik dilakukan secara demokratis.
2. Kesetaraan/keadilan yang merupakan nilai mendasar, jika menyangkut soal
pembagian barang-barang/kekayaan masyarakat material dan nonmaterial.
3. Solidaritas yang bisa perekat sosial sebuah masyarakat bila didukung oleh
(sistem) kelembagaan, namun bukan menjadi pencetusnya.

Ketiga prinsip tersebut harus melekat di tengah-tengah masyarakat agar tujuan


demokrasi sosialis yaitu masyarakat berkeadilan mampu tercapai.
2.2 Rembug Desa
Berbicara demokrasi, tidak dapat dilepaskan dari bicara tentang negara
dan pemerintah, atau paling tidak bicara tentang suatu lembaga yang melibatkan
banyak orang. Negara demokrasi berarti suatu negara dengan sistem
pemerintahan yang diperintah oleh rakyat, dipilih oleh rakyat, dan untuk
kepentingan rakyat. Pemilihan dapat dilakukan dengan berbagai cara;
pemungutan suara atau musyawarah. Jika demikian, terdapat musyawarah dalam
demokrasi.

Salah satu cara pemungutan suara tradisional yang masih digunakan pada
beberapa daerah hingga saat ini ialah Rembug Desa. Rembug desa adalah salah
satu nilai tradisional dalam pola pengambilan keputusan di tingkat desa, yang
telah dilakukan secara turun-temurun. Sepanjang sejarahnya, rembug desa
memainkan peran utama dalam segala keputusan yang muncul di tingkat desa,
dengan kata lain rembug desa adalah tingkatan tertinggi dalam struktur
masyarakat desa.

Desa merupakan suatu masyarakat yang tumbuh secara alami dan bukan
buatan, sehingga tidak dibutuhkan batasan yang jelas untuk konstitusi serta
kewenangan badan pemerintahnya. Masyarakat desa memiliki tradisi musyawarah.
Jika ada permasalahan yang muncul di desa, kesepakatan diputuskan terutama oleh
orang yang paling mengetahui tentang tradisi di desa melalui mekanisme rembug
desa ini.

2.3 Konsep Syuro` dalam Islam


Islam mengajarkan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Penguasa alam raya
ini. Dia- lah Yang Maha Mengetahui, Maha Kuat dan yang baling berhak untuk
disembah dan ditaati secara murni dan tanpa syarat (Q.S Al Anbiya:23). Manusia
hanya memiliki pengetahuan relatif dan juga tidak mempunyai kekuatan dan
kekuasaan yang absolut. Berdasarkan keyakinan ini, setiap manusia tidak bisa
memutuskan suatu perkara yang menyangkut orang lain secara independen dan
sewenang-wenang, ia juga tidak bisa mengklain bahwa dirinya bebas dan kebal dari
setiap per tanggung jawaban atas apa yang ia lakukan.
Maka karena itu, al Qur‟an telah mengajarkan mekanisme syuro atau
partisipasi dengan orang lain dalam membuat suatu keputusan mengenai masalah-
masalah yang menyangkut kehidupan umum atau sosial.

Istilah syura berasal dari kata kerja syawara - yusyawiru yang berarti
menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu.12 Ada bentuk-
bentuk lain yang berasal dari kata kerja syawara adalah asyara (memberi isyarat),
tasyawara (berunding, saling bertukar pendapat), syawir (meminta pendapat,
musyawarah) dan mustasyir (meminta pendapat orang lain). Syura atau
musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan
menukar pendapat mengenai suatu perkara.

Beberapa mufassir menyatakan bahwa anjuran untuk bermusyawarah sudah


tertulis di awal-awal al Qur‟an, yaitu pada surat al Baqarah ayat 30. Ayat yang
menjelaskan tentang peristiwa dialog antara Allah SWT dengan malaikat ini
diindikasikan sebagai sebuah contoh anjuran untuk bermusyawarah. Mufassir
seperti az Zamakhsyari, Fakhru ar Razi, al Baidhowi dalam tafsir mereka,
dijelaskan bahwa ayat ini mengandung penjelasan sesungguhnya Allah SWT
mengajarkan kepada seluruh hamba-Nya untuk selalu bermusyawarah dalam segala
urusan mereka, dan musyawarah tersebut di lakukan oleh para wakil mereka yang
memang terpercaya di antara mereka.

Setiap orang memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam


menentukan siapa yang akan mereka angkat sebagai pemimpin mereka, dan juga
yang akan mewakili mereka dalam dewan wakil rakyat dengan syuro. Wakil
maupun pemimpin yang terpilih harus mampu mengoptimalkan dalam keputusan
yang mereka buat dengan mekanisme syuro. Syuro ini dilakukan untuk menentukan
apa yang benar dan berusaha untuk menghindari kesalahan, dengan cara
mengakomodir dan mengakumulasi pengetahuan dan pengalaman dalam
mendiskusikan setiap permasalahan. Sehingga dapat dicapai suatu kesepakatan
yang adil dan benar.
Dalam Q. S. An Nisa ayat 59 disebutkan tentang hierarki syuro. Ayat ini
mengindikasikan bahwa siapa yang memegang otorisasi atas sebuah masyarakat,
maka ia haruslah merupakan orang yang berasal dari masyarakat tersebut, ia
diberikan kepercayaan untuk memegang kekuasaan oleh masyarakat yang akan ia
pimpin, “ulil amri minkum”. Hal ini mengingatkan pada karakteristik dari system
demokrasi, yaitu “pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat”, “the
government of the people, by the people, and for the people”. Namun bukan berarti
Islam sama dengan demokrasi. Dalam demokrasi segala keputusan harus tunduk
pada konsep “khayalan” tentang hak asasi manusia secara alami dan juga terhadap
teori tentang kontrak sosial, yang keduanya dipercayai sebagai usaha dalam
melindungi dari adanya ketidakadilan mayoritas. Sedangkan dalam Islam, kaum
muslim dan siapa saja yang mempercayai kepemimpinannya kepada pihak kaum
muslim, mereka terikat oleh tujuan dan prinsip-prinsip umum syari‟ah yang
menjamin keamanan martabat manusia, menjaganya, dan bahkan mengembangkan
segala aspek dalam kehidupan manusia.

2.4 Sosial-Demokrasi Barat


Istilah demokrasi pertama kali diciptakan oleh sejarawan Yunani, Herodotus,
pada abad ke-5 SM. Dalam tahun 431 SM, Pericles, seorang negarawan ternama
dari Athena, mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa kriteria:
(1) Pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung;
(2) kesamaan di depan hukum; (3) pluralisme, yaitu penghargaan atas semua bakat,
minat, keinginan dan pandangan; (4) penghargaan terhadap suatu pemisahan dan
wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual.
Menurut Robert A. Dahl, demokrasi memberikan berbagai kesempatan kepada
anggota masyarakat untuk partisipasi yang efektif, persamaan dalam memberikan
suara, mendapatkan pemahaman yang jernih dan melaksanakan pengawasan akhir
terhadap agenda.

Ada berbagai macam perspektif yang dipahami tokoh barat mengenai


demokrasi,salah satunya yaitu liberal. Demokrasi liberal didasarkan pada beberapa
asumsi yaitu adanya kebebasan atau otonomi seseorang. Oleh karenanya
pemerintah tidak boleh campur tangan terhadap kebebasan individu. Seseorang
merasa bebas, mampu membentuk, memperbaiki, dan meraih tujuannya.
Persaingan antar individu wajar terjadi ketika masing-masing orang berupaya
meraih dan memenuhi kepentingannya. Dalam arena politik, kewarganegaraan
merupakan instrumen untuk meraih tujuan non-politis dari pribadi-pribadi yang
otonom dalam menentukan pilihannya, sementara aktivitas politik
dikonseptualisasikan dalam rangka meletakkan aturan legal tentang hubungan
sosial antar-individu dalam memperoleh kepentingan masing-masing.

Demokrasi mengandung dua elemen penting, yaitu kemerdekaan atau


kebebasan, dan kesetaraan. Kebebasan oleh Roshwald diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk bertindak berdasarkan keinginan seseorang. Kebebasan individu
meliputi kebebasan berbicara atau berekspresi, kebebasan beragama, bebas dari
bahaya dan rasa takut, bebas dari kekurangan (kelaparan), bebas dalam berfikir,
bebas berserikat, termasuk kebebasan bagi setiap individu untuk berpartisipasi
dalam pembentukan pemerintahan sebagai hak dasar dari manusia. Kesetaraan
memiliki berbagai bentuk. Setiap manusia yang memiliki latar belakang berbeda
seperti ras, etnik, agama atau status ekonomi seharusnya memiliki hak yang sama;
yaitu mereka harus diperlakukan secara adil di hadapan hukum.

Sementara itu, Plato salah seorang pemikir Yunani, memberikan kritikan tajam
terhadap sistem demokrasi (kebebasan) individu yang tanpa batas. Bagi Plato,
demokrasi yang memberi tempat yang terlalu besar bagi kebebasan individu
bukanlah bentuk idaman, demokrasi dapat menjadi bentuk negara ideal atau dalam
urutan kedua dari bentuk negara yang terpuruk.

Karena demokrasi memperjuangkan dan terlampau menyanjung persamaan


derajat dalam hampir semua hal serta mendewa-dewakan kebebasan individual,
maka Plato mengatakan bawa negara demokrasi itu “penuh sesak dengan
kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap orang dapat berbuat sesuka
hatinya”. Kebebasan yang seperti itulah yang membawa bencana bagi negara dan
warganya, karena kebebasan yang demikian itu yang akan melahirkan anarki dan
dari anarkilah tirani tercipta. Akibatnya ialah runtuhnya seluruh norma hidup dan
standar moralitas. Segala sesuatu dihalalkan demi persamaan derajat dan
kebebasan.
2.5 Konsep Demokrasi Permusyawaratan

Konsep demokrasi permusyawaratan pada hakekatnya merupakan esensi dari


sila IV Pancasila. Sila ini menyebutkan "Kerakyatan yang dipimpin ole hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Berarti, prinsip musyawarah
dikedapankan untuk mencapai mufakat melalui wakil-wakilnya dan badan badan
perwakilan dalam memperjuangkan mandat rakyat.

Arti dan makna Sila ke-4 sebagai berikut:

a) Hakikat sila ini adalah demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.

b) Pemusyawaratan, yaitu membuat putusan secara bulat, dengan dilakukan


secara bersama melalui jalan kebijasanaan.

c) Melaksanakan keputusan berdasarkan kejujuran. Keputusan dibuat secara


bulat sehingga membawa konsekuensi kejujuran bersama. Nilai identitas adalah
permusyawaratan.

d) Terkandung asas kerakyatan, yaitu rasa kecintaan terhadap rakyat,


memperjuangkan cita-cita rakyat, dan memiliki jiwa kerakyatan. Asas musyawarah
untuk mufakat, yaitu yang memperhatikan dan menghargai aspirasi seluruh rakyat
melalui forum permusyawaratan, menghargai perbedaan, mengedepankan
kepentingan rakyat, bangs dan negara. (Yudianto. 2016)

Demokrasi permusyawaratan hakikatnya ingin mengeliminasi egoisme dengan


menumpahkan segala perbedaan pandangan yang ada, kemudian lebih melihat pada
kepentingan yang lebih luas; kepentingan nasional. Dan demokrasi
permusyawaratan ada karena bertujuan untuk mufakat dengan menyingkirkan ego
masing-masing pihak adalah kunci utama kembalinya martabat parlemen ke tingkat
terhormat.
2.6 Studi Kasus
Secara teoretis politik identitas adalah politis untuk mengedepankan
kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki
kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender,
atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan.
Politik Identitas merupakan tindakan politis dengan upaya-upaya penyaluran
aspirasi untuk memengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai- nilai yang
dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan
nasib sendiri atas dasar keprimordialan. Dalam format keetnisan, politik identitas
tercermin mula dari upaya memasukan nilai- nilai kedalam peraturan daerah,
memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan otonomi khusus
sampai dengan munculnya gerakan separatis. Sementara dalam konteks keagamaan
politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk memasukan nilai-nilai
keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk menggejalanya perda
syariah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan agama tertentu.
Politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-
kepentingan dari anggota suatu kumpulan karena memiliki kesamaan identitas atau
karakteristik, baik berbasis pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan.

Pelaksanaan Pilkada DKI 2017 yang sudah berlalu, merupakan potret yang
menunjukkan dimana politik identitas yang cenderung mengarah ke isu suku,
agama dan ras. Peranan suku, agama dan ras berperan sangat kuat bahkan
terkristalisasi sedemikian rupa sehingga memberikan tekanan psikologis kepada
masyarakat pemilih. Proses politik semacam itu disadari atau tidak akan menggerus
dmokratisasi di Indonesia.

Pilkada DKI pada tahun 2017 yang dimenangkan oleh Anis Baswedan dan
Sandiaga Uno menjadi potret baru bagi pergulatan politik identitas dan refresentasi
politik di Indensia dimana pada waktu itu yang menjadi lawannya adalah Ahok-
Djarot pada pemilihan putaran kedua. Dalam hal ini Ahok-Djarot menjadi potret
identitas dan refresentasi non muslin dari etnis Tionghoa dan Anis-Sandi menjadi
refresentasi Muslim pribumi.

Latar belakang identitas yang berbeda dari kedua cagub, memberikan


gambaran polarisasi dukungan dan kekuatan finansial yang berbeda. Ahok pasti
akan didukung oleh para pengusaha atau taipan Cina yang hampir menguasai
perekonomian Indonesia, khususnya Jakarta. Etnis Arab, sebenarnya tidak
memiliki riwayat solidaritas seperti etnis Cina, sehingga dukungan finansial dari
Arab lokal tidak begitu meyakinkan, tetapi faktor PKS sebagai partai pengusung
akan menjadi perantara donasi Arab untuk Anis Baswedan karena PKS memiliki
kedekatan dengan Kerajaan Arab Saudi dan Gerakan Tarbiyah atau Ikhwanul
Muslimin di berbagai negara Timur Tengah. Oleh karena itu, Pilkada DKI Jakarta
akan menjadi ajang pertarungan identitas yang memiliki kekuatan besar di
belakangnya, yaitu antara Tiongkok dengan Timur Tengah. Secara politik, identitas
itu mungkin tidak akan ditunjukkan di permukaan oleh para cagub karena tidak
menguntungkan dan sangat sensitif. Tetapi pada tataran praktis diakui atau tidak
dominasi identitas diantara kedua cagub akan tampak terlihat.

Hal itu dibuktikan dengan keberadaan beberapa fenomena yang terjadi


menjelang pilkada, seperti kasus yang menjerat Ahok yang disusul dengan
demontrasi yang dilakukan oleh umat Islam yang dkenal aksi damai 212. Dari fakta
tersebut terlihat identitas itu eksis, menguat, dan berpotensi terus dikonstruksi untuk
mendapatkan keuntungan lain, misalnya dukungan finansial. Identitas tersebut
tidak begitu saja hadir, tetapi melalui proses panjang yang memungkinkan untuk
diidentifikasi dalam proses pembentukan. Identitas itu terbentuk melalui artikulasi
dan pilihan posisi cagub-cawagub, termasuk penetrasi modal dan juga dominasi
struktural partai pengusung.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata “demos” dan


“cratos”. Demos artinya penduduk dan kratos artinya kekuasaan. oleh karena itu,
demokrasi dapat diartikan ‘kekuasaan ada di tangan rakyat’. Dalam system
demokrasi, rakyat adalah yang berkuasa dan paling berdaulat. Di Indonesia di
dalam “pemerintahan desa” dikenal adanya demokrasi secara langsung. Di desa-
desa, dikenal adanya “rembug desa” yaitu rapat desa yang diadakan pada setiap hari
dengan pasaran tertentu. Di dalam rembug desa ini, setiap penduduk desa
diperkenankan menghadiri untuk membicarakan masalah-masalah desa.
Sementara antara islam dan demokrasi terdapat istilah Syuro’, Syuro` atau
musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan
menukar pendapat mengenai suatu perkara dengan pemahaman bahwa kekuasaan
tertinggi ada di tangan Tuhan hanya dilandasi prinsip khalifah (wakil). Konsep ini
berdasarkan Al-qur'an dan Sunah. Sementara demokrasi Barat memiliki konsep
tentang kebebasan atau otonomi seseorang di mana seseorang memiliki kebebasan,
kemampuan untuk membentuk, memperbaiki dan meraih tujuannya.. Sedangkan
Konsep demokrasi permusyawaratan pada hakekatnya merupakan mengeliminasi
egoisme dengan menumpahkan segala perbedaan pandangan yang ada untuk
mencapai tujuan mufakat.
DAFTAR PUSTAKA

Ichsan, M. 2014. “Demokratis dan Syura: Perspektif Islam dan Barat”. Jurnal
Substantia. Vol 16 (1) : 1-12.

Muryanti. 2022. Masyarakat Transisi Meleburnya Batas-Batas Desa Kota.


Yogyakarta : Adipura Book Centre.

Nurita, R.F. 2015. “Kajian Filsafat Hukum Tentang Demokrasi di Indonesia”.


Jurnal Cakrawala Hukum. Vol 6 (1) : 89-98.

Wisnarni dan P.H.Putra. 2022. Wawasan Al-Quran dan Hadits tentang Karakter.
Indramayu : Penerbit Adab.

Zein, F.M. 2019. “Konsep Syuro dalam Perspektif Islam Worldview”. POLITEA
Jurnal Pemikiran Politik Islam. Vol 2 (2) : 199-214.

Anda mungkin juga menyukai