Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

DEMOKRASI DALAM ISLAM


Dosen pendidikan agama : Alkautsar Saragih,S.Pd,M.Pd

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 9
Annisaul Fadilah (211114009)
Ainna Anggriani Pohan (211114004)
Laila Diyatul Husna (211114008)
Yanuar Rizki Hasibuan (211114019)

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL WASHLIYAH
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Demokrasi dalam Islam tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini merupakan tugas yang diberikan dalam mata kuliah Pendidikan Agama di
Universitas Muslim Nusantara Al washliyah.
Kami merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat
akan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak demi penyempurnaan penulisan makalah ini.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah
membantu dalam proses penyelesaian makalah ini, khususnya kepada dosen yang telah memberikan tugas
dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Akhir kata, kami berharap semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami maupun
rekan-rekan, sehingga dapat menambah pengetahuan kita bersama.

MEDAN, 21 November 2021

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………..
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………....
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………...
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………….
BAB II
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………….........
2.1 Pengertian Demokrasi………………………………………………………………....
2.2 Demokrasi dan Sistem Syuro………………………………………………………......
2.3 Demokrasi dalam Pandangan Islam…………………………………………………….
2.4 Demokrasi dalam Pandangan Barat………………………………………….................
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………………
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………..
3.2 Saran……………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sebuah sistem demokrasi, rakyat adalah sumber hukum dan hukum pada
gilirannya berfungsi menjamin perlindungan terhadap kesejahteraan dankepentingan setiap orang
yang memiliki kedaulatan itu. Demokrasi juga seringdiartikan sebagai penghargaan terhadap
hak-hak asasi manusia, partisipasidalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan
hukum.
Dari sudut pandang Islam, demokarasi menyuguhkan sebuah tantangan bahwa hukum
yang dibuat oleh sebuah sistem pemerintahan dipandang tidaksah karena ia menggantikan
kedaulatan Tuhan dengan otoritas manusia.Dalam agama Islam,Tuhan adalah satu-satunya
pemegang kedaulatan dansumber hukum tertinggi. Jadi,bagaimana sejarah dan konsep demokrasi
dalamIslam, sisi positif dan negatif demokrasi, serta pandangan Islam terhadapdemokrasi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas diberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Demokrasi?
2. Bagaimana hubungan Demokrasi dan Syuro?
3. Bagaimana pandangan Islam terhadap Demokrasi?
4. Bagaimana pandangan Barat terhadap Demokrasi?

1.3 Tujuan
1. mengetahui definisi demokrasi
2. mengetahui hubungan demokrasi dan syura
3. mengetahui pandangan islam terhadap demokrasi
4. mengetahui pandangan barat terhadap demokrasi
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Demokrasi.

Demokrasi merupakan sebuah kata yang sudah tidak asing lagi. Karena demokrasi
merupakan suatu sistem yang telah dijadikan alternatif dalam tatanan aktivitas bermasyarakat
dan bernegara. Dan demokrasi merupakan asas yang fundamental dalam pemerintahan. Namun
sebenarnya, apa hakikat dari demokrasi itu, Secara etimologis, demokrasi merupakan gabungan
antara dua kata dari bahasa Yunani, yaitu Demos yang berarti rakyat dan Cratein atau Cratos
yang berarti kekuasaan. Jadi secara terminologis demokrasi berarti kedaulatan yang berada di
tangan rakyat. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat mengandung pengetian bahwa sistem
kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara dibawah kendali rakyat (Masri, 2010). Menurut Robert
Dahl sebagaimana yang dikutip oleh Musni Umar demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan
yang menjadikan rakyat sebagai pemegang utama setiap kedaulatan dalam rangka menjalankan
kepentingan umum/ warga. Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia kata demokrasi diartikan
dengan bentuk pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan
wakilwakilnya (KUBI, 2007).
Pengertian demokrasi menurut para ahli Barat antara lain adalah sebagai berikut : Joseph
A. Shumpter, mengatakan bahwa demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk
mencapai keputusan politik dimana individuindividu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan
cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sidney Hook, mengungkapkan bahwa demokrasi
adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintahan yang penting secara
langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara
bebas dari rakyat dewasa. Henry B. Mayo, mengatakan bahwa demokrasi sebagai sistem politik
merupakan suatu sistem yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil secara efektif oleh rakyat dalam pemilihanpemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik.
Makna demokrasi dalam sebuah ideologi adalah bahwa ketika sebuah negara sebagai
sebuah organisasi tertinggi dalam wilayah tertentu menganut demokrasi, negara tersebut harus
mau menyerahkan kekuasaan kepada rakyat, sehingga:
1) Rakyat yang membuat aturan dasar;
2) Rakyat yang membentuk pemerintahan;
3) Rakyat yang membuat kebijakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah tersebut;
4) Rakyat yang mengawasi dan menilai pelaksanaan kebijakan tersebut atau kinerja pemerintah.
Jadi, dalam pelaksanaannya merupakan sistem pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat, dalam pengorganisasian suatu negara. Dari beberapa pendapat diatas
dapat disimpulan bahwa, hakikat demokrasi dalam sistem pemerintahan memberikan penekanan
pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat, baik dalam pemeritahan maupun dalam
penyelenggaraan negara, yang mencangkup tiga hal (TPUSK, 2005):
1) Pemerintah dari rakyat (Government of the people);
2) Pemerintah oleh rakyat (Government by people)L;
3) Pemerintahan untuk rakyat (Government by people).
Tak lepas dari hakikatnya, demokrasi mempunyai norma-norma sebagai pandangan
hidup, menurut Nurcholis Madjid, yaitu:
1) Pentingnya kesadaran akan pluralism;
2) Terdapatnya musyawarah mufakat;
3) Mempunyai tujuan;
4) Pemufakatan yang jujur dan sehat;
5) Terpenuhinya keperluan pokok;
6) Kerjasama antarwarga masyarakat dan sikap saling mempercayai itikad yang baik;
7) Pentingnya pendidikan demokrasi.
Menurut Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat. Secara teori dalam sistem demokrasi rakyatlah yang dianggap berdaulat rakyat yang
membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat haruslah melaksanakan apa yang telah ditetapkan
rakyat tersebut. Selain itu demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh
dalam hal:
1) Kebebasan beragama;
2) Kebebasan berpendapat;
3) Kebebasan kepemilikan;
4) Kebebasan bertingkah laku.
Dalam teori demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih
di bawah sistem pemilihan bebas.

2.2 Demokrasi dan Syuro

Antara Syura dan Demokrasi Kalau kita bermaksud membandingkan syura dan demokrasi
maka terlebih dahulu harus diperjelas apa yang dimaksud dengan demokrasi. Dalam bahasa
Indosesia; demokrasi diartikan, 1) Bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut
serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat. 2) Gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama
bagi semua warga negara.
Pembahasan mengenai demokrasi sudah terlalu banyak ditulis dan diperdebatkan oleh
para pakar, namun untuk keperluan tulisan ini, penulis tidak akan terlalu jauh melangkah
memasuki rincian makna dari demokrasi yang beragam itu. Namun yang diperlukan disini adalah
adakah kesamaan dan perbedaan antara terminologi syûra dan demokrasi? Kalau sama di mana
letak persamaannya dan kalau berbeda di mana pula letak perbedaannya?
Dari segi aplikasi pengangkatan pimpinan atau penguasa, terdapat persamaan antara
syura dan demokrasi? Persamaannya ialah kedua konsep ini sama-sama mengakui pengangkatan
demokrasi? Kami rasa, tanpa mengesampingkan pentingnya makna ini, namun kami
menganggap penelitian tentang makna demokrasi sudah banyak dibicarakan di berbagai tulisan-
tulisan ilmiah di dalam ilmu-ilmu sosial dan politik modern. Sehingga, menurut hemat kami,
tidak perlu membicarakannya panjang lebar di dalam masalah ini.
Yang menarik adalah bagaimana substansi dan bentuk “kontrak sosial” tersebut dalam
ajaran islam. Pemimpin biasa dterjemahkan dengan khalifah. Dalam Al-Qur’an kata khaifah
dalam bentuk tunggal (mufrad atau singular) ditemukan dua kali, masing-masing dalam surat al-
Baqarah 2:31dan surat Shâd 38:26 Ayat (QS.2:31) ini menunjuk Adam sebagai khalîfah sedang
ayat (QS.38:26) menunjuk Daud. Kalau kita perhatikan kedua redaksi tersebut keduanya hampir
mirip. Apa yang dapat diambil dari sini; pertama, Adam dan Daud sama-sama diberi
pengetahuan oleh Allah sebelum diangkat menjadi khlaifah.
Dalam konteks pengangkatan keduanya sebagai khalîfah, perhatikan redaksi; Innî jâil fi
al- ardhi khalîfah dan , inna ja’alnaka khalifah fi al-ardhi. Untuk pegangkatan Adam Allah
pergunakan kata Innî(sesungguhnya Aku) dan jâil (akan mengangkat). Sedangkan untuk
pengangkatan Daud dipergunakan-Nya kata Innâ (sesungguhnya Kami) dan kata ja’alnaka (kata
kerja masa lampau/past tense yang berarti telah menjadikanmu). Penggunaan bentuk plural yang
menunjuk kepada Allah sebagai pelakunya mengandung makna keterlibatan pihak lain bersama
Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud
sebagai khalîfah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah yakni masyarakat. Ada pun Adam,
maka di sini wajar apabila pengangkatannya dilukiskan dalam bentuk tunggal, bukan saja
disebabkan karena ketika itu kekhalifahan dimaksud baru hanya sebatas rencana atau ide tetapi
juga ketika itu tidak ada pihak lain bersama Allah yang terlibat dalam pengangkatan tersebut.
Pengangkatan Daud seperti dikisahkan dalam ayat di atas itulah sebenarnya bentuk
“kontrak sosial” yang dimakudkan Al-Qur’an. Dengan demikian meski antara demokrasi dan
syura sama-sama mengakui adanya kontrak-sosial namun syura dalam Islam tidak hanya sebatas
itu, pengangkatan itu dikaitkannya dengan “perjanjian Allah”
Para ulama berbeda pendapat menyangkut maksud dari “perjanjian Allah” dimaksud
adalah menyangkut “pengangkatan kenabian”. Sebagian yang lain menyatakan bahwa hal itu
menyangkut “pengangkatan kepemimpinan” secara umum. Jadi kelompok pertama memahami
frase ayat “ perjanjian-Ku tidak akan menyentuh orang-orang yang zhalim” keturunannya.
Sedang kelompok kedua memahami frase tersebut demikian; bahwa Tuhan tidak akan
“mengangkat” siapa saja dari keturunanmu (ibrahim) yang zhalim sebagai pemimpin yang
ummat (imam). Bahkan sebagian lain berpendapat apabila pemimpin tersebut adalah orang
zhalim maka tidak wajib dipatuhi malah kalau perlu harus dilawan.
Di sinilah kira-kira apa yang maksud dengan kritikan Muhammad Iqbal terahadap
demokrasi di Barat, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yaitu bahwa inti kritik
Muhammad Iqbal terhadap demokrasi Barat, seperti dikutip Fazlul Rahman, adalah bahwa
masyarakat demokratis di Barat itu cenderung mengarah kepada materialisme sehingga dapat
dikatakan bahwa rata-rata orang Barat tidak memiliki pandangan tentang tatanan sosial-moral
yang lebih tinggi. Dengan demikian M. Iqbal menolak demokrasi Barat lebih disebabkan oleh
tidak adanya perhatian mereka terhadap prinsip etika dan nilai spiritual pada sistem itu bukan
pada bentuk-bentuk dan proses-proses dari sistem itu.
Sementara itu, ajaran syûra dalam Islam mengajarkan bahwa para penguasa, pada
hakekatnya disatu sisi, “diangkat” dan diberi kekuasaan oleh Allah dalam satu ikatan yang
disebut dengan “perjanjian Allah” seperti yang telah disebutkan di atas. Di sisi lain, ia diangkat
dan diberi kekuasaan oleh anggota masyarakat dengan satu ikatan perjanjian pula. Ikatan dan
perjanjian itu dalam terminologi agama biasa disebut dengan “bai’ah, dalam pengertian yang
seluas-luasnya. Oleh karenanya sebagai pemegang janji dari Tuhan yang dalam istilah
agama biasa disebut dengan pemikul amânah maka penguasa tersebut wajib melaksanakan atau
menunaikan janji atau amanahnya tersebut dengan baik. Karena “ikatan perjanjian” yang ia buat
pada hakekat dilakukan dalam dua jalur yaitu ikatan perjanjian kepada masyarakat dan sekaligus
juga kepada Tuhan. Maka bentuk pertanggungjawabannya pun berlaku dua arah yaitu
pertanggungjawaban kepada masyarakat dan juga kepada Tuhan. Kalau amanah ditunaikannya
dengan baik, artinya, ia berlaku adil, jujur, bijaksana dan tidak menzhalimi rakyatnya maka
hasilnya akan baik pula. Mungkin saja ia akan dipuja dan dipuji, diberi gelar kehormatan sebagai
“bapak bangsa”, “bapak pembangun” dan lainnya. Jasanya akan selalu diingat dan dicatat dengan
tinta emas sebagai pemimpin yang baik dan bahkan mungkin namanya akan dikenang sepanjang
masa meski ia telah tiada.
Sebaliknya apabila amanah tidak ditunaikan dengan baik, dalam arti ia bertindak otoriter,
tidak adil, tiran dan menzhalimi rakyat maka akan berlaku atasnya “azab”. Azab tersebut boleh
jadi berlaku di dunia dan kasat mata, seperti ia dikecam sebagai pemimpin yang tidak adil,
korup, otoriter dan bahkan dicampakkan keluar atau dihukum gantung oleh masyarakatnya, yang
lebih menyedihkan lagi kecaman-kecaman tersebut tidak saja dialamatkan pada dirinya dan
berlaku sepanjang hanyatnya tapi juga bagi anak dan cucunya. Sedangkan di akherat kelak ia
pasti dituntut Tuhan dengan balasan yang setimpal sesuai kezhaliman yang dilakukannya di atas
dunia.
Perbedaan yang mungkin dapat dideteksi antara syûra dan demokrasi adalah menyangkut
persoalan dan permasalahan yang akan dibahas. Dalam demokrasi semua persolan apa pun dapat
dibahas dan diputuskan. Tidak demikian hal dalam syûra yang diajarkan Islam. Permasalahan
yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti ±seperti masalah ibadah± tidak
diperkenankan untuk dibahas dan dimusyawarahkan. Ia mesti diterima dengan sikap tunduk dan
patuh. Di samping itu dalam syûra diajarkan bahwa semua hasil keputusan musyawarah tidak
boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Ilahi.
2.3 Demokrasi dalam Pandangan Islam

Menurut Al-Maududi, beliau secara tegas menolak demokrasi. Menurut nya Islam tidak
mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan
segala hal, demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap
agama sehingga cendrung sekuler. Karenanya Al-Maududi mengganggap demokrasi modern
(Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya Islam menganut paham teokrasi
(berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad
pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi, menurut beliau substansi demokrasi sejalan dengan Islam,
hal ini bisa dilihat dari beberapa hal misalnya: Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan
banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus
keadaan mereka. Tentu saja mereka tidak boleh memilih sesuatu yang tidak mereka sukai.
Demikian juga dengan Islam, Islam menolak seseorang menjadi imam sholat yang tidak disukai
oleh makmum di belakangnya. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tirani juga
sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada
pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu barang siapa yang tidak
menggunakan hak pilihnya, sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan
suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak. Berarti ia telah menyalahi
perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan
prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar
sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi
khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan
patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan
dari luar mereka, yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur
ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja suara mayoritas yang diambil ini adalah selama
tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. Juga kebebasan pers dan kebebasan
mengeluarkan pendapat serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang
sejalan dengan Islam.
Selanjutnya prinsip Demokrasi menurut Sadek J. Sulayman, dalam demokrasi terdapat
sejumlah prinsip yang menjadi standar baku di antaranya:
1) Kebebasan berbicara setiap warga Negara;
2) Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali
atau harus diganti;
3) Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas
tanpa mengabaikan kontrol minoritas;
4) Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat;
5) Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif;
6) Supremasi Hukum (semua harus tunduk pada hokum);
7) Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan
ternama yaitu M.Iqbal, menurut beliau sejalan dengan kemenangan sekularisme atas nama
demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang
merupakan kekuasaan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan
agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang
bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya menurut Iqbal
Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan
spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi
oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, melainkan
prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai
berikut:
1) Tauhid sebagai landasan asasi;
2) Kepatuhan pada hukum;
3) Toleransi sesama warga;
4) Tidak dibatasi wilayah, ras dan warna kulit;
5) Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
Menurut Muhammad Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga
tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi kekuasaan legislative (membuat dan
menetapkan hokum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara dalam sistem syura
(Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum
tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hokum sesuai dengan
prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan
Allah. Jadi Allah berposisi sebagai Al-Syari (legislator) sementara manusia berposisi sebagai
faqih (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada
pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles setelah Tuhan
menciptakan alam, Dia membiarkanya. Dalam filsafat Barat manusia memiliki kewenangan
legislatif dan eksekutif. Sementara dalam pandangan Islam, Allah lah pemegang otoritas
tersebut. Allah berfirman dalam (surat Al-Araf: 54). Ingatlah menciptakan dan memerintah
hanyalah hak Allah, Maha suci Allah Tuhan semesta alam. Inilah batasan yang membedakan
antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun
hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum dan
sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Sebagai pakar tafsir Prof. Quraish Shihab menyatakan tidak benar kalau orang selalu
bicara bahwa dalam Islam tidak ada demokrasi. Dalam Islam yang dinamakan syura adalah pada
mulanya berarti mengeluarkan madu dari sarangnya. Jadi, orang-orang demokrasi itu
dipersamakan dengan lebah yang menghasilkan madu. Lebah punya keistimewaan, dia tidak
makan kecuali yang baik. Dia tidak mengganggu. Kalau dia menyengat, sengatanya obat,
hasilnya selalu baik, bermanfaat, itulah yang dicari. Islam bukan hanya mendukung, tapi bisa
menjadikan prinsip ajaran dalam kehidupan bermasyarakat, apa yang kita kenal pilar dalam
Islam dengan syura atau dipadankan dengan demokrasi. Di tengah masyarakat ada anggapan
bahwa Islam jauh dari demokrasi. Karena Islam sering dibenturkan dengan demokrasi. Padahal
sesungguhnya Islam bukan hanya mendukung demokrasi, tapi justru menyaratkan demokrasi.
Islam jelas bukan hanya mendukung, dia mensyaratkan. Kalau mendukung ini seakan akan
datang dari luar yang didukung. Sebenarnya demokrasi yang diajarkan Islam justru lebih dulu,
lebih jelas daripada demokrasi yang berasal dari barat (Yunani) menurut beliau.
Menurut Habib Rizieg, demokrasi itu haram, bahkan lebih bahaya daripada babi.
Demokrasi lebih bahaya dari babi. Jika kita colek babi itu terkena najis mughaladah, dan jika
dibersihkan tujuh kali maka kembali suci. Jika dimakan dagingnya kita akan berdosa namun
tidak jatuh kafir. Namun jika demokrasi di benak kaum muslimin, maka dia ridha hukum Allah
dipermainkan, maka dia bisa murtad keluar dari Islam. Demokrasi bisa memurtadkan kita.
Pemikiran demokrasi substantif dalam pandangan Nahdlatul Ulama, di antaranya adalah:
1) Masyarakat mempunyai hak yang sama, kesetaraan; 2) Kebebasan berekspresi dalam Islam
dijadikan landasan untuk reinterpretasi, konsesnsus ulama, perbedaan pendapat, kemaslahatan
umat, dan akuntabilitas public; 3) Keadilan, dalam Islam perintah berbuat adil sangat banyak kita
temukan dalam firman Allah; 4) Toleransi. Sikap ini merupakan dasar dalam menghargai agama
lain. Lakum dinukum waliyadin, Untukmu agamamu dan untukku agamaku; 5) Musyawarah
dalam pengambilan keputusan: sebagai bukti bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi antara
lain dan terutama adalah adanya pemilihan umum

2.4 Demokrasi dalam pandangan barat

Demokrasi menurut para ahli ditemukan di Yunani 5 (lima) abad SM sangat menarik
perhatian bangsa-bangsa di dunia, karena temuan tersebut dianggap brilian dan sangat baik untuk
diterapkan di berbagai negara yang berdaulat.
Pada saat pasang surutnya, demokrasi dibela mati-matian oleh para tokoh Yunani kuno
(purba), seperti ; Solon, tokoh pembuat hukum (638-558 SM); Chleisthenes, Bapak demokrasi
Athena (C.508 SM); Pericles, Jendral negarawan (490-429 SM), dan Demosthenes, negarawan
orator (385-322 SM). Demokrasi yang mereka kembangkan adalah untuk melawan tirani,
oligarki, otokrasi, dan segala bentuk pemusatan kekuasaan di satu tangan.
Lain halnya dengan tokoh Yunani lain, Plato dan Aristoteles dengan tegas menyatakan
bahwa demokrasi “berbahaya”. Plato khawatir bahwa pilihan rakyat belum tentu terbaik, apalagi
kondisi Ilmu Pengetahuan rakyat sangat terbatas, bahkan mereka lebih senang apabila negara
dipimpin oleh seorang raja-filosof dan filosof-raja yang adil, jujur, dan berwawasan. Sementara
kekhawatiran Aristoteles adalah suatu pemerintahan yang berdasarkan pilihan orang banyak
dipengaruhi oleh kelompok tertentu yang merasa berjasa (demagog), sehingga akhirnya menjadi
kediktatoran atau penguasa jadi diktator. Dengan demikian, pada masa itu Plato dan Aristoteles
terkenal sebagai kritikus demokrasi, bukan pendukung demokrasi.
Kata-kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua Berangkat dari dua
penggal kata “demo”, yang diambil dari kata yunani pula “demos” artinya rakyat atau penduduk.
Dan penggal kata kedua adalah “cracy” yang diambil dari kata “kratia” yang artinya sistem
hukum atau kekuasaan. Kalau digabungkan jadilah “dsemocratia”, yang artinya kekuasaan yang
datang dari rakyat. Kata-kata ini juga ada bahasa latin “democratia”.
kata-kata itu, istilah tersebut selanjutnya menyebar ke bahasa-bahasa Barat sambil
membawa akar dan akal pikiran, jiwa, dan sosial yang berkisar pada kaitan hukum atau
kekuasaan yang bertumpu pada satu sumber, yaitu rakyat. Demokrasi yang berkembang di Barat
berarti suatu pemerintahan yang dikontrol/dikendalikan oleh rakyat, baik secara langsung
maupun melalui perwakilan.Untuk pertama kalinya praktik demokrasi (langsung) itu dilakukan
di Yunani pada saat pembentukan negara kota (polis).
Tatkala seluruh rakyat/warga negara berhak untuk berpartisipasi secara langsung dalam
pembuatan keputusan politik, maka cara seperti itu disebut demokrasi langsung. Kekuasaan
dipegang oleh Majelis Umum Rakyat/Dewan Rakyat yang berwenang menetapkan sejumlah
keputusan termasuk pengangkatan eksekutif. Sistem ini dapat dijalankan sesuai dengan kondisi
penduduknya pada saat itu yang relatif sedikit, seperti Athena pada abad 5 (lima) SM jumlah
penduduknya lebih kurang empat ratus ribu, sementara yang memperoleh hak untuk duduk
dalam Majelis Umum Rakyat berjumlah seper sepuluhnya, karena selebihnya adalah budak.
Meskipun demikian, beberapa hal yang cukup menarik dalam sistem demokrasi Athena
adalah; pada hakikatnya warga negara sendiri yang langsung membuat keputusan politik dan
mengawasinya. Kemudian terdapat ekualitas hukum dan politik (tidak disertai dengan ekualitas
ekonomi) bagi semua warga negara dalam hal memberikan suara pada berbagai isyu dan dialog
terbuka termasuk dalam hal untuk menduduki jabatan pemerintahan. Kebebasan politik dan
kewarganegaraan dijamin sepenuhnya, dan proses penentuan kebijakan (bila semua argumen
yang dipaparkan) dilakukan dengan pemungutan suara (voting) yang berarti keputusan diambil
berdasarkan suara mayoritas (terbanyak).
Dalam sidang yudikatif, Majelis Umum Rakyat itupun memiliki wewenang yang tidak
dapat dihindari. Sebagai contoh, pada saat penentuan nasib Socrates, dengan perbandingan suara
281 (dua ratus delapan puluh satu) menyatakan bersalah dan 220 (dua ratus dua puluh)
menyatakan tidak bersalah, maka pengadilan rakyat menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap
Socrates. Berbeda dengan demokrasi langsung bercirikan Yunani kuno, demokrasi perwakilan
bercirikan bahwa rakyat tidak turut serta secara langsung dalam urusan pemerintahan. Mereka
menentukan wakil-wakilnya untuk duduk dalam lembaga perwakilan nasional. Sistem demokrasi
perwakilan menimbulkan dua perubahan besar; Penerimaan adat pemilihan umum dan timbulnya
partai-partai politik yang berorganisasi (Duverger, 1987:11). Melalui pemilihan umum itulah
rakyat menentukan orang-orang yang dipercayainya untuk duduk sebagai wakil rakyat di
parlemen (lembaga legislatif).
Prinsip demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat dengan semboyan “from the
people, bye the people, and for the people, maka segala keputusan hukum dan politik merupakan
“jerih payah” rakyat dan segala keputusan yang dikeluarkan oleh badan legislatif dianggap
mencerminkan kehendak umum (volonte generale) dari seluruh rakyat.
Praktik demokrasi dinegara-negara Barat kini rata-rata didasarkan atas sistem liberal,
dimana individu dijadikan mata pusaran segala kehidupan sosial. Setiap individu bebas
menentukan sikapnya dalam segala hal sepanjang tidak mencederai aturan yang berlaku.
Kebebasan hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain. Demikian pula demokrasi di Barat
didasarkan atas faktor mayoritas-minoritas, sehingga seorang muslim Perancis, Roger Garaudy
(1982:49) menyatakan, demokrasi tipe Barat adalah, demokrasi yang individualistik, kuantitatif,
dan statistik dengan cara perwakilan atau pembelian. Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi
model Barat. Nafas demokrasi menurut ajaran Islam adalah musyawarah, bukan hanya
berdasarkan suara terbanyak, tetapi hikmah kebijaksanaanlah yang menuntutnya dan disinari
oleh petunjuk Ilahi (Sjafaat, 1963:43)
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Demokrasi merupakan sebuah kata yang sudah tidak asing karena demokrasi merupakan
suatu sistem yang telah dijadikan alternatif dalam tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara
dan demokrasi merupakan asas yang fundamental dalam pemerintahan. Secara etimologi,
demokrasi merupakan gabugan antara dua kata dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti
rakyat dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan. Jadi, demokrasi berarti kedaulatan yang
berada di tangan rakyat. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat mengandung pengertian bahwa
sistem kekuasaan tertinggi dalam sebuah Negara dibawah kendali rakyat. Pengertian bahwa
sistem kekuasaan tertinggi dalam sebuah Negara dibawah kendali rakyat .

3.2 Saran
Sudah sepantasnya kita sebagai negara yang berdemokrasi bisa menghargai pendapat
orang lain. Kita sebagai warga Negara harus ikut menciptakan Negara yang berdemokrasi. Dan
sebagai warga yang baik, seharusnya kita harus menyikapi demokrasi ini dengan perbuatan yang
positif, bukan menyikapinya dengan anarkis, money politic dan tidak bertanggung jawab. Jadi,
kita harus meningkatkan kedewasaan dalam berpolitik, bertanggung jawab dan mematuhi segala
aturan yang ada pada kehidupan demokrasi. Dan kita berharap Indonesia dapat menjadikan
Negara yang maju dan lebih baik lagi dalam segala hal.
DAFTAR PUSTAKA

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/substantia/article/view/4913/3236
http://ojs.uma.ac.id/index.php/gakkum/article/view/2191/1880
https://drive.google.com/file/d/1FKbq3hMRYfcLJZdcnnkWvqkZtXNQLYw7/view?
usp=drivesdk

Anda mungkin juga menyukai