Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PELAKSANAAN PILPRES DAN PILKADA SECARA LANGSUNG

Dosen Pengampu Matakuliah:


Dr. Kurniati, M.Si.

DISUSUN OLEH:
Kelompok I

Fitri H021211041
Rusdi Budianto H021211042
Elisantri Nur H021211043
Patra Susantri H021211044
Wahyu Prastiwi H021211045
Sachimar Anandsyah Lena H021211046
Deswitha Septia Maharani H021211047
Asmayati H021211048

DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Swt, yang atas rahmat-Nya dan karunianya

kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari makalah ini

adalah “Pelaksaan PilPres dan PilKada Secara Langsung”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata

kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan tugas terhadap kami. Kami juga

ingin berterima kasih kepada teman-teman yang telah ikut serta dalam proses pembuatan

makalah ini.

Kami jauh dari kata sempurna dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang

sesungguhnya. Oleh karena itu, katerbatasan waktu dan kesempurnaan kami, maka kritik dan

saran yang membangun senantiasa kami harapkan. Semoga makalah ini berguna bagi semua

orang terutama untuk kelompok kami, terimakasih.

Makassar, 18 Mei 2022

Tertanda

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Sampul ........................................................................................................................ i

Kata Pengantar........................................................................................................... ii

Daftar Isi...................................................................................................................... iii

BAB I Pendahuluan..................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................... 2

1.3 Tujuan..................................................................................................................... 2

BAB II Pembahasan................................................................................................... 3

2.1 Konsep dan Realita................................................................................................. 3


2.2 Masalah.................................................................................................................. 4
2.3 Rambu-rambu Lalu Lintas.................................................................................... 6
2.4 Solusi.................................................................................................................... 12

BAB III Penutup........................................................................................................ 16

3.1 Kesimpulan........................................................................................................... 16
3.2 Saran..................................................................................................................... 16

Daftar pustaka........................................................................................................... 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demokrasi secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani “demos” yang berarti rakyat
dan “kratos/cratein” yang berarti pemerintahan. Khususnya di Athena, kata “demos”
biasanya merujuk pada seluruh rakyat tetapi kadangkala juga berarti orang-orang pada
umumnya atau hanya rakyat miskin, kata demokrasi pada mulanya kadangkala digunakan
oleh kalangan aristokrat sebagai sindiran untuk merendahkan orang-orang kebanyakan. Dari
pengertian mengenai demokrasi tersebut dapat ditarik bahwa substansi demokrasi itu sendiri
merupakan kekuasaan Yudikatif, Eksekutif, dan Legislatif berasal dari rakyat sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Substansi tersebut membentuk struktur
dalam demokrasi, yakni adanya infrastruktur dan suprastruktur yang menhghasilkan
keputusan dan kapabilitas.

Demokrasi merupakan pemusatan kekuasaan ditangan rakyat. Menurut Cholisin


demokrasi di Indonesia memegang prinsip Teo-Demokratis dimana segala keputusan dan
kebijakkan diatur sepenuhnya untuk kepentingan rakyat namun tidak melanggar peraturan
Tuhan. Inilah perbedaan mendasar dari demokrasi yang khas di Indonesia dibandingkan
dengan demokrasi di negara lainnya. Prinsip Teo-demokratis merupakan hasil demokrasi
yang mendasarkan Pancasila terutama sila pertama yakni Ketuhanan yang maha Esa.

Pemilihan Umum atau Pemilu merupakan pesta demokrasi yang harus diselenggarakan
oleh negara demokrasi. Indonesia sebagai negara demokrasi telah melaksanakan Pemilu
sebagai kegiatan rutin yang diadakan setiap lima tahun sekali. Pelaksanaan Pemilu di
Indonesia selalu diikuti dengan pembuatan instrumen hukum tentang Pemilu. Sebagai
pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila, pemilihan bertujuan untuk memastikan
terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib, untuk melaksanakan kedaulatan
rakyat, dan dalam rangka memenuhi hak asasi sebagai warga negara. Dalam melaksanakan
kedaulatan rakyat, pemilu merupakan kesempatan bagi masyarakat atau warga negara untuk
melaksanakan haknya memilih wakil yang akan menjalankan kedaulatan yang dimiliki dan
terbuka juga kesempatan bagi masyarakat sebagai legislatif, presiden atau kepala daerah yang
dipercaya oleh pemilihnya.

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Jelaskan definisi demokrasi pancasila.


2. Apa saja hal yang patut menjadi perhatian bersama dalam rangka mewujudkan pilpres
yang lebih demokratis dan aspiratif?
3. Kapan mekanisme pemilihan kepala daerah disebut demokratis?

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi demokrasi pancasila.


2. Untuk mengetahui hal yang patut menjadi perhatian bersama dalam rangka mewujudkan
pilpres yang lebih demokratis dan aspiratif.
3. Untuk mengetahui mekanisme pemilihan kepala daerah disebut demokratis.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Demokrasi

Demokrasi merupakan temuan manusia yang menjadi teori dan praktik dalam sejarah
peradaban dalam rentang yang panjang. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani “Demokratia”
yang berarti kekuasaan rakyat. Demokrasi berasal dari kata “Demos” dan “Kratos”. Demos
yang memiliki arti rakyat dan Kratos yang memiliki arti kekuasaan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), Demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga
negara.Demokrasi bukan hanya suatu sistem yang ada dalam suatu pemerintahan, namun
juga suatu proses yang dilakukan untuk menuju kepada kesejahteraan rakyat dalam negara
tersebut. Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi yang khas dari bangsa Indonesia
sendiri merupakan hasil dari pendiri negara ini yang memiliki keinginan mulia untuk
melepaskan segala kesulitan masyarakat Indonesia. Proses menuju kesejahteraan tersebutlah
yang kadang dalam perjalanannya ada beberapa negara yang mampu melaksanakannya
dengan baik namun tidak jarang juga banyak negara yang tidak mampu untuk melakukannya.

Gambar 2.1: Demokrasi (Harian Terbit.com).

A. Prinsip Demokrasi

Prinsip demokrasi dibedakan menjadi dua, yaitu:

6
1. Prinsip Demokrasi Sebagai Sistem Politik

a. Pembagian kekuasaan (kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif)

b. Pemerintahan konstitusional

c. Partai politik lebih dari satu dan mampu melaksanakan fungsinya

d. Pers yang bebas

e. Perlindungan terhadap hak asasi manusia

f. Pengawasan terhadap administrasi negara

g. Peradilan yang bebas dan tidak memihak

h. Pemerintahan yang diskusi

i. Pemilihan umum yang bebas

j. Pemerintahan berdasarkan hukum

2. Prinsip Non-demokrasi (Kediktatoran)

a. Pemusatan kekuasaan Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi satu dan
dipegang serta dijalankan oleh satu lembaga.

b. Pemerintahan tidak berdasarkan konstitusional Pemerintahan dijalankan berdasarakan


kekuasaan. Konstitusinya memberi kekuasaan yang besar pada negara atau pemerintah.

c. Rule of Power Prinsip negara kekuasaan yang ditandai dengan supremasi kekuasaan yang
besar pada negara atau pemerintah.

d. Pembentukan pemerintah tidak berdasarkan musyawarah tetapi melalui dekrit

e. Pemilihan umum yang tidak demokratis. Pemilihan umum dijalankan hanya untuk
memperkuat keabsahan penguasa atau pemerintah negara.

f. Manajemen dan kepemimpinan yang tertutup dan tidak bertanggung jawab

g. Tidak ada dan atau dibatasinya kebebasan berpendapat, berbicara dan kebebasan pers.

7
h. Penyelesaian perpecahan atau perbedaan dengan cara kekerasan dan penggunaan paksaan.

i. Tidak ada perlindungan terhadap hak asasi manusia bahkan sering terjadi pelanggaran hal
asasi manusia.

j. Menekan dan tidak mengakui hak-hak minoritas warga negara.

B. Jenis-jenis Demokrasi

Demokrasi memiliki banyak jenisnya. Berikut beberapa jenis dari demokrasi:

1. Demokrasi menurut cara aspirasi rakyat

a. Demokrasi Langsung, merupakan sistem demokrasi yang memberikan kesempatan kepada


seluruh warga negaranya dalam permusyawaratan saat menentukan arah kebijakan umum
dari negara atau undang-undang. Contoh : Ikut mencoblos saat pemilu atau pilkada, dan
memilih secara langsung ketua kelas.

b. Demokrasi Tidak Langsung, merupakan sistem demokrasi yang dijalankan menggunakan


sistem perwakilan. Contoh : Pembuatan undang-undang yang diwakili oleh anggota DPR

2. Demokrasi Berdasarkan Prinsip Ideologi

a. Demokrasi Liberal Merupakan Kebebasan individu yang lebih ditekankan dan


mengabaikan kepentingan umum. Contoh : Dalam demokrasi ini adanya sistem multi partai
dan Demokrasi ini telah mendorong untuk lahirnya partai-partai politik.

b. Demokrasi Rakyat Merupakan demokrasi yang didasarkan pada paham sosialisme dan
komunisme dan lebih mengutamakan kepentingan umum atau negara. Contoh : Pada saat
pemilihan presiden dan wakil presiden

c. Demokrasi Pancasila Merupakan demokrasi yang ada di Indonesia bersumberkan pada


suatu nilai-nilai sosial budaya bangsa serta berazaskan musyawarah mufakat dengan
memprioritaskan kepentingan seluruh msyarakat atau warga negara. Demokrasi pancasila
fokus pada kepentingan dan aspirasi serta hati nurani rakyat. Sampai saat ini Indonesia
menganut demokrasi pancasila yang bersumber pada falsafah pancasila.

2.2 Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang diwarnai atau dijiwai oleh Pancasila,

8
bahkan salah satu sila dari Pancasila, yaitu sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, merupakan perumusan yang singkat dari
demokrasi Pancasila yang dimaksud. Dalam pada itu perlu diingat bahwa sila-sila dari
Pancasila merupakan rangkaian kesatuan, yang tak terpisahkan, tetapi tiap-tiap sila
mengandung empat sila lainnya, dikualifikasikan oleh empat sila lainnya. Jadi dengan
demikian demokrasi Pancasila dapat dirumuskan secara sedikit lengkap dan menyeluruh
sebagai berikut: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratn/perwakilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia dan yang berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Gambar 2.2: Demokrasi Pancasila (maglearning.id).

Rumusan ini sejalan dengan pandangan Presiden Soeharto yang dalam pidato kenegaraan
tanggal 16 Agustus 1967, antara lain menyatakan : “Demokrasi Pancasila berarti Demokrasi,
kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila sila lainnya. Hal ini berarti
bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, haruslah
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan martabat dan harkat manusia,
haruslah menjamin dan mempersatukan bangsa, dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan

9
keadilan sosial. Demokrasi Pancasila berpangkal tolak dari paham kekeluargaan dan gotong-
royong.”

Dari urairan di atas dapa disimpulkan bahwa demokrasi Pancasila berarti kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dengan
kesadaran keagamaan yang disertai semangat toleransi yang tinggi, saling menghormati
sesama umat beragama, yang dituntut untuk memberikan kepada setiap orang apa yang telah
menjadi haknya. Lain daripada itu kerakyatan tadi juga dilandasi oleh integritas, identitas,
kepribadian, dan stabilitas nasional, serta tidak saja di bidang politik tetapi juga di bidang
ekonomi dan sosial-kultural. Akhirnya perlu juga dikemukakan disini suatu pertanyaan ;
apakah ciri khas demokrasi Pancasila itu, yang membedakannya dengan demokrasi lain.
Jawaban atas pertanyaan ini sulit diberikan, karena mengandung suatu usaha untuk
membandingkan berbagai macam ideologi, falsafah, dan pandangan hidup. Namun penulis
berusaha menyajikan jawaban untuk mengundang perhatian pembaca merenungkannya lebih
mendalam lagi.

2.3 Sistem Pemilihan Umum

Sistem pemilihan umum diartikan sebagai satu kumpulan metode atau cara warga
masyarakat memilih para wakil mereka. Jika sebuah lembaga perwakilan rakyat dipilih, maka
sistem pemilihan mentransfer jumlah suara ke dalam jumlah kursi. Sementara itu, pemilihan
presiden, gubernur, dan bupati yang merupakan representasi tunggal dalam sistem pemilihan,
dasar jumlah suara yang diperoleh menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Pemilihan Umum atau Pemilu merupakan pesta demokrasi yang harus diselenggarakan oleh
negara demokrasi Indonesia sebagai negara demokrasi telah melaksanakan Pemilu sebagai
kegiatan rutin yang diadakan setiap lima tahun sekali. Pelaksanaan Pemilu di Indonesia selalu
diikuti dengan pembuatan instrumen hukum tentang Pemilu.

Penyelenggaraan Pemilu merupakan lambang dan tolak ukur demokrasi.


Penyelenggaraan pemilu atau pemilihan, merupakan bagian dari sistem demokrasi yang
menjamin kebebasan warga negara terwujud melalui pemberian hak pilih atau partisipasi
untuk memilih sebagai bentuk partisipasi publik secara luas. Dalam konteks semangat
demokrasi pancasila, pemilu atau pemilihan merupakan sarana untuk membentuk kekuasaan
berdasarkan kedaulatan rakyat. Sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan
Pancasila, pemilihan bertujuan untuk memastikan terjadinya peralihan pemerintahan secara

10
aman dan tertib, untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, dan dalam rangka memenuhi hak
asasi sebagai warga negara. Dalam melaksanakan kedaulatan rakyat, pemilu merupakan
kesempatan bagi masyarakat atau warga negara untuk melaksanakan haknya memilih wakil
yang akan menjalankan kedaulatan yang dimiliki dan terbuka juga kesempatan bagi
masyarakat sebagai legislatif, presiden atau kepala daerah yang dipercaya oleh pemilihnya.

Gambar 2.3: Pemilu (detik.com).

Sejak Juni 2005 untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsa Indonesia
menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat.
Sebelumnya, di bawah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah, pemilihan
gubernur, bupati, dan walikota beserta wakil-wakil mereka dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) sesuai tingkatnya masing-masing. Pada era Orde Baru, calon-calon
kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) bahkan didrop dari atas. DPRD secara formal
memilih calon-calon kepala daerah yang sudah “direstui” sebelumnya oleh rejim Soeharto,
sehingga dikenal istilah “calon jadi” dan “calon penggembira”. Mereka yang menjadi calon-
calon kepala daerah pada era Soeharto pada umumnya adalah para perwira militer aktif yang
dikaryakan, yakni tentara setingkat letnan kolonel atau sekurang-kurangnya mayor untuk
posisi bupati dan walikota, serta mayor jendral atau sekurang-kurangnya brigadir jendral
untuk posisi gubernur, kecuali untuk Gubernur DKI Jakarta dengan pangkat letnan jendral.

Peranan masyarakat dalam mewujudkan Pilkada dan penyelenggaraan pemilihan yang


demokratis, menjalankan prinsip kesehatan dan keselematan sangatlah strategis. Partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan Pilkada tidak sebatas menggunakan hak pilihnya di TPS,

11
namun lebih luas masyarakat dapat turut serta dalam pengawasan yang lebih intensif terhadap
penyelenggaraan Pilkada. Hal ini akan menjadi kuat apabila peran masyarakat untuk menjadi
bagian dari penyelenggaraan Pilkada, misalnya menjadi relawan demokrasi atau badan adhoc
yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota. Peran ini memberikan ruang lebih bagi masyarakat
untuk turut serta mengawal proses penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan adil.

A. Pemilihan Presiden

Pasal 6A UUD 1945 menjadi aturan kunci pada konstitusi yang mendasari sistem
pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia. Pasal ini menjadi landasan sistem pilpres
dilaksanakan secara langsung oleh rakyat sekaligus serentak bersamaan dengan pemilihan
legislatif. Pilpres langsung yang telah terselenggara sejak 2004 didasari oleh Pasal 6A ayat 1
yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat,” Sementara, pemilihan serentak sesuai dengan Pasal 6A ayat 2 yang berbunyi
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” Frasa
pemilihan umum pada pasal tersebut merujuk pada Pasal 22E ayat 2 UUD 1945 yang
berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah”.

Berbeda dengan pemilihan langsung yang didasarkan pada perubahan UU teknis tentang
pemilu pada tahun 2003 dan telah berlangsung pada beberapa pemilihan presiden, maka
skema pemilu serentak muncul akibat putusan Judicial Review terhadap Undang-Undang
Nomor 42 tahun 2008 oleh MK pada 2014 dan baru akan dibelakukan pada Pemilu 2019.

12
Meskipun berbeda sejarah pembentukannya, namun kedua aspek sistem pemilihan ini dinilai
dapat membawa pengaruh yang baik terhadap desain pemilu pada khususnya dan kehidupan
berpolitik pada umumnya. Secara sederhana, pemilihan langsung dapat menghindarkan dari
kandidasi elitis, sementara pemilihan secara serentak mampu mencegah terbentuknya koalisi
pragmatis.

Pemilihan presiden secara langsung diasumsikan dapat menghindarkan proses pemilihan


presiden dan wakil presiden menjadi elitis karena ditentukan oleh segelintir elit atau
pimpinan parpol saja. Hal ini dapat dihindari karena pilpres langsung meminimalisir peran
partai dari menentukan keterpilihan calon pada pilpres tak langsung yang berlaku
sebelumnya, menjadi hanya pengusung calon saja pada pilpres langsung. Sementara itu,
rakyat, terutama pemilih pemilu, menjadi aktor penentu keterpilihan presiden dan wakil
presiden di dalam pilpres langsung. Tidak hanya itu, pemilihan presiden dan wakil presiden
secara langsung juga dapat memaksa para partai untuk memikirkan kandidat terbaik yang
berpotensi dipilih rakyat, dan tidak sekedar memilih kandidat sesuai kepentingan internal
partainya saja.

Di sisi lain, sistem pemilihan presiden dan wakil presiden di dalam skema pemilu
serentak dinilai mampu menghindarkan terbentuknya koalisi berbasis kepentingan pragmatis
yang transaksional. Pada pemilu sebelumnya, pilpres sangat ditentukan oleh hasil pileg yang
telah berlangsung beberapa bulan sebelumnya karena ada ketentuan ambang batas presiden
yang menjadi angka minimal bagi partai atau gabungan partai untuk dapat mengusung
kandidat. Dalam skema itu, partai berkoalisi secara transaksional agar memenuhi ketentuan
minimum ambang batas dengan pertukaran jabatan/posisi di dalam pemerintahan setelah
kandidat terpilih (sering disebut sebagai office seeking). Koalisi ini tidak didasarkan pada
kesamaan platform atau cita-cita partai, apalagi ideologi. Akibatnya, koalisi bersifat
pragmatis, rapuh dan jangka pendek. Pascapemilu, partai yang berkoalisi dapat berpindah
haluan dan bahkan, dapat membuat kebijakan yang bertentangan dengan barisan koalisinya.
Situasi ini tentu bertentangan dengan upaya untuk secara kelembagaan memperkuat sistem
presidensial di Indonesia.

13
Gambar 2.4: PilPres (krjogja.com)

Satya Arinanto sebagaimana dikutip Abdul Latif1 mengemukakan sejumlah alasan


diselenggarakannya pilpres (secara langsung) yaitu:

a. Presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi sangat kuat karena didukung oleh
suara rakyat yang memberikan suaranya secara langsung;

b. Presiden terpilih tidak terkait pada konsesi partai-partai atau faksifaksi politik yang telah
memilihnya. Artinya presiden terpilih berada di atas segala kepentingan dan dapat
menjembatani berbagai kepentingan tersebut;

c. Sistem ini menjadi lebih “accountable” dibandingkan dengan sistem yang sekarang
digunakan (pada masa orde baru), karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya melalui
MPR yang para anggotanya tidak seluruhnya terpilih melalui pemilihan umum;

d. Kriteria calon presiden juga dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan
memberikan suaranya.

Selanjutnya, dalam Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa tata cara
pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-
undang. UU a quo yaitu UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (UU Pilpres)2 yang menjadi landasan penyelenggaraan pilpres 2004. Saat
pilpres 2009, UU No. 23 Tahun 2003 dicabut dan diganti dengan UU No. 42 Tahun 2008.3
Selain UU No. 42 Tahun 2008, penyelenggaraan pilpres 2009 juga dasarkan pada UU No. 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.4 Pada pilpres 2014 ini, masih
menggunakan UU No. 42 Tahun 2008, meski pada awal 2013 DPR mengagendakan

14
perubahan, namun sebagian besar fraksi menolak untuk dilakukan perubahan.

Secara normatif, adanya perundang-undangan tentang pilpres memberi gambaran bahwa


Indonesia telah berupaya mewujudkan pengisian jabatan presiden dan wakil presiden secara
lebih demokratis melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (pemilih). Nilai
demokrasi tercermin melalui kebebasan dan keterlibatan partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilu untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden sepanjang
memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun, dalam
praktik pilpres 2004 dan 2009, ditemukan beberapa permasalahan, diantaranya masih ada
warga negara yang tidak terdaftar dan tidak dapat mengikuti pilpres, proses penjaringan dan
penyaringan bakal calon presiden dan wakil presiden masih bersifat elitis dan belum
partisipatif dan terbuka, masih adanya warga negara yang belum menjalankan hak pilihnya,
pilihan rakyat (pemilih) belum aspiratif, dan penyelenggara pemilu yang belum sepenuhnya
mandiri dalam menjalankan tugasnya.

Dalam rangka mewujudkan pilpres yang lebih demokratis dan aspiratif, beberapa hal
berikut patut menjadi perhatian bersama: pembentukan norma pemilu yang berkualitas dan
responsif, penyelenggara yang berkualitas, mandiri, tidak memihak dan berintegritas, pemilih
yang rasional, cerdas dan bermoral, peran pemerintah yang lebih diintensikan, penjaringan
dan penyaringan calon di tingkat partai yang benar-benar terbuka dan demokratis,
mempertimbangkan peluang calon perseorangan, pengawasan publik yang intensif dan
penegakan hukum yang konsisten.

B. Pemilihan Kepala Daerah

Pemilihan kepala daerah (pilkada) sekarang ini dilakukan secara langsung. Pemilihan
kepala daerah secara langsung ini telah berlangsung sejak tahun 2005, yang didasarkan pada
ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 dengan berlandaskan pada ketentuan Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 yang menentukan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai

15
kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Apabila
dicermati, sesunggunnya ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut tidak menegaskan
keharusan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota harus dipilih melalui suatu pemilihan yang
dilaksanakan secara langsung. Akan tetapi, menurut Rozali Abdullah, oleh karena Daerah
merupakan bagian tak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia, maka dalam melakukan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah seharusnya sinkron dengan pemilihan
presiden dan wakil presiden, yaitu melalui pemilihan langsung.

Setelah proses percepatan demokrasi secara beruntun tersebut berjalan kurang lebih lima
tahun terhitung dari 1 Juni 2005, ternyata masih juga menyisakan banyak persoalan, bahkan
agenda pemilihan kepala daerah secara langsung pun juga berkontribusi menambah beban
politik, sosial bahkan beban finansial republik ini. Pemilihan kepala daerah secara langsung
terlalu boros, dan tidak seimbang dengan cost politik yang telah dikorbankannya. Kenyataan
yang tak terhindarkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung adalah muncul
kapitalisasi dalam tahapan pemilihan kepala daerah. Dengan munculnya kapitalisasi ini maka
pemilihan kepala daerah secara langsung jauh lebih mahal dibandingkan dengan model
pemilihan kepala daerah lewat perwakilan DPRD.

Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung selama ini, nuansa yang
paling menonjol adalah maraknya sengketa pemilihan kepala daerah yang diajukan ke
Mahkamah Konstitusi. Sidang sengketa pemilihan kepala daerah telah mendominasi perkara
yang ditangani Mahkamah Konstitusi. Selain itu juga maraknya kepala daerah yang terpilih
dalam pemilihan kepala daerah secara langsung yang terjerat kasus korupsi. Kabar tentang
kepala daerah yang tersandung kasus korupsi tak pernah berhenti mengalir. Ironisnya, setiap
minggu selalu ada kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi.
Umumnya, terjeratnya para kepala daerah itu terkait erat dengan proses pemilihan kepala
daerah yang sudah menelan biaya cukup banyak. Pemilihan kepala daerah ini menjadi
menarik untuk diteliti terkait Rancangan UndangUndang Pemilihan Kepala Daerah yang saat
ini sedang disiapkan kementerian Dalam Negeri. Dalam Rancangan Undang-undang
Pemilihan Kepala Daerah tersebut diatur bahwa Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
oleh DPRD.

Ulasan mengenai pemilihan kepala daerah, baik secara langsung atau secara perwakilan
melalui DPRD sebagaimana diuraikan di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa pilihan
akan bentuk pemilihan kepala daerah belumlah tuntas. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang

16
merupakan landasan konstitusional pemilihan kepala daerah hanya menggariskan bahwa
kepala daerah dipilih secara demokratis, namun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
menterjemahkan kalimat “dipilih secara demokratis” sebagaimana dinyatakan Pasal 18 ayat
(4) sebagai pemilihan langsung.

Gambar 2.5: Pilkada (juhnews.blogspot.com)

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan koreksi atas


pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan rakyat di DPRD berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Koreksi atas sistem
pemilihan kepala daerah ini dilakukan dengan diimplementasikannya payung hukum
pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, yakni Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004. Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008. Lahirnya Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2008 ini sesungguhnya tidak terlepas dari perdebatan yang berkembang di
masyarakat menyangkut eksistensi pemilihan kepala daerah, yaitu apakah pemilihan kepala
daerah itu masuk dalam rezim pemerintahan daerah atau rezim pemilihan umum?.

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pelaksanaan pemilihan kepala
daerah, sesungguhnya lahir bersamaan dengan Pasal 18A dan Pasal 18B, yaitu pada
perubahan kedua UUD 1945 dan dimasukkan dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya Pasal 22E lahir melalui perubahan ketiga UUD 1945 tetapi tidak memasukkan
Pasal 18 ayat (4) melainkan hanya ketentuan Pasal 18 ayat (3) yang mengatur mengenai
DPRD. Hal ini, menurut Leo Agustina, setidaknya dapat diartikan bahwa Konstitusi tidak
hendak memasukkan pemilihan kepala daerah dalam pengertian pemilihan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) yang menyebutkan “pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah tidak lagi

17
dipilih melalui sistem perwakilan oleh DPRD, akan tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat.
Ini berarti pemilihan kepala daerah secara langsung memberi peluang bagi rakyat untuk ikut
terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan yang sangat strategis dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui pemilihan kepala daerah secara langsung.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah
secara langsung itu menggunakan rujukan atau konsideran Pasal 1, Pasal 18, Pasal 18A, dan
Pasal 18B UUD 1945. Frase “kedaulatan di tangan rakyat” dan dipilih secara demokratis”
agaknya menjadi sandaran pembuat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 merumuskan
diterapkannya pemilihan kepala daerah secara langsung untuk menggantikan pemilihan
kepala daerah melalui sistem perwakilan melalui DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999. Akan tetapi, kata “dipilih secara demokratis” ini menurut
Susilo dapat ditafsirkan pemilihan langsung oleh rakyat atau pemilihan melalui perwakilan
oleh DPRD. Untuk mewujudkan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara
demokratis diperlukan media untuk membentuk dan menciptakan konsep yang tepat, yang
kemudian dikenal dengan istilah pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah
merupakan media untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara demokratis sesuai
dengan amanat UUD 1945.

Persoalan mendasar mengenai pemilihan kepala daerah pada umumnya tersangkut pada
pemahaman dan pemaknaan atas kata “demokratis” yang kemudian diperdebatkan menjadi
pemilihan langsunglah yang disebut demokratis dan pendapat lain yang menyatakan
pemilihan tak langsung pun sesungguhnya juga dapat demokratis. Mekanisme pemilihan
kepala daerah disebut demokratis apabila memenuhi beberapa parameter. Robert Dahl,
Samuel Huntington (1993) dan Bingham Powel (1978) sebagaimana dikutip Saukani, HR dan
kawan-kawan mengatakan bahwa parameter untuk mengamati terwujudnya demokrasi antara
lain: pemilihan umum, rotasi kekuasaan, rekrutmen secara terbuka, serta akuntabilitas publik.

Terkait kebijakan memilih sistem pemilihan secara langsung dalam pemilihan kepala
daerah, tidak terlepas dari disahkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2003, antara lain direposisi kewenangan dan fungsi DPRD, yakni fungsi
meminta pertanggungjawaban kepala daerah dan memilih kepala daerah. Dengan hilangnya
fungsi memilih kepala daerah oleh DPRD, berarti istilah pemilihan kepala daerah secara

18
demokratis dalam Pasal 18 ayat UUD 1945 adalah pemilihan langsung oleh rakyat.

Meskipun pemilihan secara langsung dipandang memiliki makna positif dari aspek
legitimasi dan kompetensi, prase “dipilih secara demokratis” sebagaimana dimaksud Pasal 18
ayat (4) UUD 1945 tidak dapat diterjemahkan secara tunggal sebagai pemilihan secara
langsung. Pemilihan secara tidak langsung atau perwakilan pun dapat diartikan sebagai
pemilihan yang demokratis, sepanjang proses pemilihan yang dilakukan demokratis.
Pemahaman ini didasarkan bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18B UUD 1945. Dengan demikian,
pemahaman mendasar terhadap ketentuan pemilihan kepala daerah sebagaimana dimaksud
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 terutama terkait prase “…dipilih secara demokratis” dapat
dimaknai bahwa pemilihan kepala daerah dapat dilakukan dalam 2 (dua) cara, yaitu
pemilihan secara langsung oleh rakyat atau pemilihan melalui perwakilan yang dilaksanakan
oleh DPRD

Dengan memahami jiwa yang terkandung dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
dan dihubungkan dengan pembahasan sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya dapat
diketahui bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sepanjang berkaitan dengan
pemilihan kepala daerah tidaklah menekankan pada “cara” pemilihan itu dilakukan, yaitu
dengan sistem langsung atau sistem perwakilan, namun yang menjadi penegasan dari
ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah “proses” pemilihan, yaitu bahwa pemilihan
kepala daerah harus dilakukan secara demokratis.

Penyimpulan ini didasarkan pada dua hal, yaitu: pertama, di Indonesia dikenal dan diakui
adanya daerah-daerah otonom yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dalam UUD
1945. Kekhususan dan keistimewaan ini pada pokoknya dapat pula diwujudkan dalam bentuk
pemilihan kepala daerahnya, misalnya dengan mekanisme pemilihan dengan sistem
perwakilan. Kedua, sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah Republik Indonesia melalui
Kementerian Dalam Negeri menggagas kebijakan pemilihan gubernur dengan sistem
pemilihan melalui perwakilan oleh DPRD Provinsi. Bahwa kebijakan politik pemerintah dan
DPRD melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang selanjutnya diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 menentukan bahwa pemilihan kepala daerah adalah
pemilihan yang dilakukan secara langsung sesungguhnya harus dipandang sebagai politik
hukum pemilihan kepala daerah.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Demokrasi Pancasila berarti kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dengan kesadaran keagamaan yang disertai semangat
toleransi yang tinggi, saling menghormati sesama umat beragama, yang dituntut untuk
memberikan kepada setiap orang apa yang telah menjadi haknya. Lain daripada itu
kerakyatan tadi juga dilandasi oleh integritas, identitas, kepribadian, dan stabilitas
nasional, serta tidak saja di bidang politik tetapi juga di bidang ekonomi dan sosial-
kultural.

2. Dalam rangka mewujudkan pilpres yang lebih demokratis dan aspiratif, beberapa hal
berikut patut menjadi perhatian bersama: pembentukan norma pemilu yang berkualitas dan
responsif, penyelenggara yang berkualitas, mandiri, tidak memihak dan berintegritas,
pemilih yang rasional, cerdas dan bermoral, peran pemerintah yang lebih diintensikan,
penjaringan dan penyaringan calon di tingkat partai yang benar-benar terbuka dan
demokratis, mempertimbangkan peluang calon perseorangan, pengawasan publik yang

20
intensif dan penegakan hukum yang konsisten.

3. Mekanisme pemilihan kepala daerah disebut demokratis apabila memenuhi beberapa


parameter. Robert Dahl, Samuel Huntington (1993) dan Bingham Powel (1978)
sebagaimana dikutip Saukani, HR dan kawan-kawan mengatakan bahwa parameter untuk
mengamati terwujudnya demokrasi antara lain: pemilihan umum, rotasi kekuasaan,
rekrutmen secara terbuka, serta akuntabilitas publik.

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. (1982). Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: CV.


Rajawali.
Aminah, S., 2018, Kesadaran Masayarakat Terhadap Peraturan Lalu Lintas, Jurnal
Maksigama, 12 (1): 18.
Permatasari, DA, 2019. “Ketaatan Hukum Masayarakat Dalam Berlalu Lintas Di Jalan
Raya”. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya Malang.
Wahyu, P, 2017. “Tingkat Kepatuhan Masyarakat Pengguna Jalan Terhadap Fungsi Rambu-
Rambu Dan Marka Lalu Lintas di Kota Medan (Studi Kasus)”. Skripsi. Medan:
Universitas Muhammadiyah.
Yusuf, H, 2019. “Penanggulangan Pelanggaran Lalu Lintas Terhadap Pengendara Yang
Memodifikasi Kendaraannya”. Skripsi. Medan: Universitas Muhammadiyah.

21
22

Anda mungkin juga menyukai