Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH DEMOKRASI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Ham dan Gender
Dosen pengampu Alexander Simon Pally S.H., MH

Oleh :

1) Hendricho Leufen
2) Jacqueline Come Rihi
3) Paulus Cristian Kapi
4) Gledis Jeristy Hae
5) Ravael H.K Bano
6) Ruba Olvarian Rame
7) Djufandi Leo Kana
8) Desy Ermelinda Fobia
9) Totty Bokilia

UNIVERSITAS NUSA CENDANA


FAKULTAS HUKUM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan wawasan mengenai mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan,
dengan judul “Demokrasi”.

Dengan tulisan ini kami diharapkan mahasiswa mampu untuk memahami


makna dari Demokrasi. Kami sadar tulisan ini terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun
dari berbagai pihak, agar bisa menjadi lebih baik lagi.

Kupang, 15 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI

Kata pengantar..................................................................................................1
Daftar isi.............................................................................................................2
Bab I...................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.....................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................4
1.3 Tujuan...................................................................................................4
Bab II Landasan Teori......................................................................................5
2.1 Pengertian Demokrasi.........................................................................5
2.2 Sejarah Demokrasi...............................................................................7
2.2.1 Demokrasi di Abad Pertengahan...............................................9
2.2.2 Demokirasi di Era Modern.........................................................11
Bab III Pembahasan dan Penutup..................................................................16
3.1 Pembahasan..........................................................................................16
3.1.1 Pengertian Demokrasi................................................................16
3.1.2 Jenis-jenis demokrasi.................................................................20
3.1.3 Perkembangan Demokrasi di Indonesia...................................22
3.1.4 Kriteria Negara Demokrasi yang baik.....................................26
3.2 Penutup.................................................................................................39
3.2.1 Kesimpulan..................................................................................39
3.2.2 Saran............................................................................................39
Daftar Pustaka...................................................................................................40
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demokrasi merupakan sebuah kata yang familiar bagi kebanyakan orang,


namun konsep ini masih disalahpahami dan disalahgunakan . Namun kekuatan
gagasan demokrasi telah bertahan melalui sejarah yang panjang dan penuh
gejolak, dan pemerintahan demokratis, meskipun menghadapi banyak
tantangan, terus berkembang dan berkembang di seluruh dunia
Istilah demokrasi sudah ada pada dua dasawarsa terakhir, khususnya di
berbagai negara berkembang kian populer, baik pada tingkat wacana maupun
aras gerakan sosial politik. Sebagai suatu sistem politik, demokrasi telah
menempati stratum teratas yang diterima oleh banyak negara karena dianggap
mampu mengatur dan menyelesaikan hubungan sosial dan politik, baik yang
melibatkan kepentingan antar individu dalam masyarakat, hubungan antar
masyarakat, masyarakat dan negara maupun antar negara di dunia.
Demokrasi memiliki makna luas dan mengandung banyak elemen yang
kompleks atau demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atau
negara yang dijalankan oleh pemerintah. Dengan kata lain demokrasi
mengijinkan Semua warga negara memiliki hak yang setara dalam
pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi
mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui
perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Secara
umum, Demokrasi mencakup kondisi social, ekonomi, dan budaya yang
memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Sehingga sistem demokrasi akhirnya merupakan sistem yang
berfondasi pada rakyat
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Demokrasi?
2. Apa saja jenis-jenis Demokrasi?
3. Bagaimana Perkembangan Demokrasi di Indonesia?
4. Bagaimana kriteria sebuah negara menjalankan demokrasi dengan baik
atau sesuai dengan definisi dan makna demokrasi?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui Pengertian Demokrasi
2. Untuk mengetahui Jenis-jenis Demokrasi
3. Untuk mengetahui tentang Perkembangan Demokrasi di Indonesia
4. Untuk mengetahui kriteria sebuah negara menjalankan demokrasi dengan
baik dan sesuai definisi demokrasi
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Demokrasi

Menurut Wikipedia, Demokrasi adalah semua warga negaranya memiliki


hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup
mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara ikut serta baik secara langsung
atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan
pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi social, ekonomi, adat
memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang
kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna
penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Landasan demokrasi
mencakup kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat dan kebebasan
berbicara inklusivitas dan kebebasan politik, kewarganegaraan, persetujuan
dari yang terperintah, hak suara, kebebasan dari perampasan pemerintah yang
tidak beralasan atas hak untuk hidup, kebebasan, dan kaum minoritas
Kata ini berasal dari Bahasa Yunani kuno δημοκρατία (dēmokratía)
"kekuasaan rakyat", yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος
(kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk
menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena Klasik;
kata ini merupakan antonim dari wikt:ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan
elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun
kenyataannya sudah tidak jelas lagi. Sistem politik Athena Klasik, misalnya,
memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan
tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua
pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah modern, kewarganegaraan
demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di
sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah
perjuangan gerakan hak suara di mulai pada abad ke-19 hingga sekarang. Kata
demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak Abad ke-16 se-jaman dengan
sultan banten Abdul Mahasin Muhammad Zainal Abidin, Democracy berasal
dari bahasa Prancis Pertengahan dan bahasa Latin Pertengahan lama. Tahun
Masehi di mulai dari 570 Masehi. Konsep demokrasi lahir dari Yunani kuno
yang dipraktikkan dalam hidup bernegara antara Abad ke-4 Sebelum Masehi
sampai dengan Abad ke-6 SM. Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu
adalah demokrasi langsung, artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-
keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh rakyat atau warga
negara.
Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan
yang kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki. Yang berasal dari
filosofi Yunani ini sekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan
kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki,
dan monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang
berbeda dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan
bagi masyarakat untuk mengendalikan para pemimpinnya yang tidak jujur
atau tidak dapat dipercaya dan memberhentikan mereka tanpa perlu
melakukan revolusi .
Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar.
Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk
demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga
negara berperan langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan
pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih
merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan
secara tidak langsung melalui perwakilan; yang disebut demokrasi tidak
langsung.

2.2 Sejarah Demokrasi


Kata "demokrasi" pertama muncul pada mazhab politik dan filsafat
Yunani kuno di negara-kota Athena. Dipimpin oleh Cleisthenes, warga
Athena mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara demokrasi
pertama pada tahun 507-508 SM. Cleisthenes disebut sebagai
"bapak demokrasi Athena." Demokrasi Athena berbentuk demokrasi
langsung dan memiliki dua ciri utama: pemilihan acak warga biasa untuk
mengisi jabatan administratif dan yudisial di pemerintahan, dan majelis
legislatif yang terdiri dari semua warga Athena. Semua warga negara yang
memenuhi ketentuan boleh berbicara dan memberi suara di majelis, sehingga
tercipta hukum di negara-kota tersebut. Akan tetapi, kewarganegaraan Athena
tidak mencakup wanita, budak, orang asing (μέτοικοι metoikoi), non-pemilik
tanah, dan pria di bawah usia 20 tahun. Dari sekitar 200.000 sampai 400.000
penduduk Athena, 30.000 sampai 60.000 di antaranya merupakan warga
negara. Pengecualian sebagian besar penduduk dari kewarganegaraan sangat
berkaitan dengan pemahaman tentang kewarganegaraan pada masa itu. Nyaris
sepanjang zaman kuno, manfaat kewarganegaraan selalu terikat dengan
kewajiban ikut serta dalam perang.

Demokrasi Athena tidak hanya bersifat langsung dalam artian keputusan


dibuat oleh majelis, tetapi juga sangat langsung dalam artian rakyat, melalui
majelis, boule, dan pengadilan, mengendalikan seluruh proses politik dan
sebagian besar warga negara terus terlibat dalam urusan publik. Meski hak-
hak individu tidak dijamin oleh konstitusi Athena dalam arti modern (bangsa
Yunani kuno tidak punya kata untuk menyebut "hak"), penduduk Athena
menikmati kebebasan tidak dengan menentang pemerintah, tetapi dengan
tinggal di sebuah kota yang tidak dikuasai kekuatan lain dan menahan diri
untuk tidak tunduk pada perintah orang lain. Pemungutan suara
kisaran pertama dilakukan di Sparta pada 700 SM. Apella merupakan majelis
rakyat yang diadakan sekali sebulan. Di Apella, penduduk Sparta memilih
pemimpin dan melakukan pemungutan suara dengan cara pemungutan suara
kisaran dan berteriak. Setiap warga negara pria berusia 30 tahun boleh ikut
serta. Aristoteles menyebut hal ini "kekanak-kanakan", berbeda dengan
pemakaian kotak suara batu layaknya warga Athena. Tetapi Sparta memakai
cara ini karena kesederhanaannya dan mencegah pemungutan bias, pembelian
suara, atau kecurangan yang mendominasi pemilihan-pemilihan demokratis
pertama. Meski Republik Romawi berkontribusi banyak terhadap berbagai
aspek demokrasi, hanya sebagian kecil orang Romawi yang memiliki hak
suara dalam pemilihan wakil rakyat. Suara kaum berkuasa ditambah-tambahi
melalui sistem gerrymandering, sehingga kebanyakan pejabat tinggi, termasuk
anggota Senat, berasal dari keluarga-keluarga kaya dan ningrat. Namun
banyak pengecualian yang terjadi. Republik Romawi juga merupakan
pemerintahan pertama di dunia Barat yang negara-bangsanya berbentuk
Republik, meski demokrasinya tidak menonjol. Bangsa Romawi menciptakan
konsep klasik dan karya-karya dari zaman Yunani kuno terus
dilindungi. Selain itu, model pemerintahan Romawi menginspirasi para
pemikir politik pada abad-abad selanjutnya, dan negara-negara demokrasi
perwakilan modern cenderung meniru model Romawi, bukan Yunani, karena
Romawi adalah negara yang kekuasaan agungnya dipegang rakyat dan
perwakilan terpilih yang telah memilih atau mencalonkan seorang
pemimpin. Demokrasi perwakilan adalah bentuk demokrasi yang rakyatnya
memilih perwakilan yang kemudian memberi suara terhadap sejumlah inisiatif
kebijakan, berbeda dengan demokrasi langsung yang rakyatnya memberi suara
terhadap inisiatif kebijakan secara langsung.

2.2.1 Demokrasi di Abad Pertengahan

Selama Abad Pertengahan, muncul berbagai sistem yang memiliki


pemilihan umum atau pertemuan meski hanya melibatkan sebagian
kecil penduduk. Sistem-sistem tersebut meliputi:

 pemilihan Gopala oleh kasta atas di Bengal, Anak Benua India,


 Persemakmuran Polandia-Lituania (10% dari populasi total),
 Althing di Islandia,
 Løgting di Kepulauan Faeroe,
 beberapa negara-kota Italia abad pertengahan seperti Venesia,
 sistem tuatha di Irlandia abad pertengahan
awal, Veche di Republik Novgorod dan Pskov di Rusia abad
pertengahan,
 Things di Skandinavia,
 The States di Tirol dan Swiss,
 kota pedagang otonomi Sakai di Jepang abad ke-16, dan
 masyarakat Igbo di Volta-Nigeria.

Banyak wilayah di Eropa abad pertengahan dipimpin oleh pendeta


atau tuan tanah. Kouroukan Fouga membelah Kekaisaran Mali menjadi
klan-klan (keluarga) berkuasa yang diwakili di majelis umum
bernama Gbara. Sayangnya, piagam tersebut membuat Mali lebih
mirip monarki konstitusional alih-alih republik demokratis. Negara
yang sistemnya lebih mendekati ddemokrasi modern adalah republik-
republik Cossack di Ukraina pada abad ke-16–17: Cossack
Hetmanate dan Zaporizhian Sich. Jabatan tertinggi di sana, Hetman,
dipilih oleh perwakilan distrik-distrik negara tersebut. Parlemen
Inggris sudah membatasi kekuasaan raja melalui Magna Carta, yang
secara rinci melindungi hak-hak khusus subjek-subjek Raja, baik yang
sudah bebas atau masih terkekang, dan mendukung apa yang kelak
menjadi habeas corpus Inggris, yaitu perlindungan kebebasan individu
dari penahanan tak berdasar dengan hak membela diri. Parlemen
pertama yang dipilih rakyat adalah Parlemen de Montfort di Inggris
pada tahun 1265. Sayangnya, hanya sekelompok kecil rakyat yang
memiliki hak suara; Parlemen dipilih oleh sekian persen penduduk
Inggris (kurang dari 3% pada tahun 1780) dan kekuasaan menyusun
parlemen berada di tangan monarki (biasanya saat ia membutuhkan
dana).
Kekuasaan Parlemen bertambah secara bertahap pada abad-abad
berikutnya. Setelah Revolusi Agung 1688, Undang-Undang Hak Asasi
Inggris tahun 1689 yang mengatur hak-hak tertentu dan menambah
pengaruh Parlemen diberlakukan. Penyebarannya perlahan ditingkatkan
dan kekuasaan parlemen terus bertambah sampai monark hanya bersifat
pelengkap. Seiring meningkatnya penyebaran pengaruh, sistem
pemerintahan di seluruh Inggris diseragamkan dengan
penghapusan borough usang (borough yang jumlah pemilihnya sangat
sedikit) melalui Undang-Undang Reformasi 1832.

Di Amerika Utara, pemerintahan perwakilan terbentuk


di Jamestown, Virginia, dengan dipilihnya Majelis
Burgesses (pendahulu Majelis Umum Virginia) pada tahun 1619. Kaum
Puritan Inggris yang bermigrasi sejak 1620 mendirikan koloni-koloni di
New England yang pemerintahan daerahnya bersifat demokratis dan
mendorong perkembangan demokrasi di Amerika Serikat. Walaupun
majelis-majelis daerah memiliki sedikit kekuasaan turunan, otoritas
mutlaknya dipegang oleh Raja dan Parlemen Inggris.

2.2.2 Demokrasi di Era Modern


1. Abad 18 dan 19

Bangsa pertama dalam sejarah modern yang


mengadopsi konstitusi demokrasi adalah Repiblik Korsika pada
tahun 1755. Konstitusi Korsika didasarkan pada prinsip-
prinsip Pencerahan dan sudah mengizinkan hak suara wanita, hak
yang baru diberikan di negara demokrasi lain pada abad ke-20.
Pada tahun 1789, Prancis pasca-Revolusi mengadopsi Deklarasi
Hak Asasi Manusia dan Warga Negara dan Konvensi
Nasional dipilih oleh semua warga negara pria pada tahun 1792

Hak suara pria universal ditetapkan di Prancis pada bulan


Maret 1848 setelah Revolusi Prancis 1848. Tahun 1848,
serangkaian revolusi pecah di Eropa setelah para pemimpin negara
dihadapkan dengan tuntutan konstitusi liberal dan pemerintahan
yang lebih demokratis dari rakyatnya.

Walaupun tidak disebut demokrasi oleh para bapak pendiri


Amerika Serikat, mereka memiliki keinginan yang sama untuk
menguji prinsip kebebasan dan kesetaraan alami di negara
ini. Konstitusi Amerika Serikat yang diadopsi tahun 1788
menetapkan pemerintahan terpilih dan menjamin hak-hak dan
kebebasan sipil.

Pada zaman kolonial sebelum 1776, dan beberapa saat


setelahnya, hanya pemilik properti pria dewasa berkulit putih yang
boleh memberi suara, budak Afrika, sebagia besar penduduk
berkulit hitam bebas dan wanita tidak boleh memilih. Di garis
depan Amerika Serikat, demokrasi menjadi gaya hidup dengan
munculnya kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik. Akan tetapi,
perbudakan adalah institusi sosial dan ekonomi, terutama di 11
negara bagian di Amerika Serikat Selatan. Sejumlah organisasi
didirikan untuk mendukung perpindahan warga kulit hitam dari
Amerika Serikat ke tempat yang menjamin kebebasan dan
kesetaraan yang lebih besar.

Pada Sensus Amerika Serikat 1860, populasi budak di


Amerika Serikat bertambah menjadi empat juta jiwa, dan
pada Rekonstruksi pasca-Perang Saudara (akhir 1860-an), budak-
budak yang baru bebas menjadi warga negara dengan hak suara
(pria saja). Penyertaan penuh warga negara belum sempurna
dilakukan sampai Gerakan hak-hak sipil Afrika-Amerika (1955-
1968) disahkan oleh Kongres Amerika Serikat melalui Undang-
Undang Hak Suara 1965.

2. Abad ke-20 dan 21


Transisi abad ke-20 ke demokrasi liberal muncul dalam
serangkaian "gelombang demokrasi" yang diakibatkan oleh perang,
revolusi, dekolonisasi, religious and economic
circumstances. Perang Dunia I dan pembubaran Kesultanan
Utsmaniyah dan Austria-Hungaria berakhir dengan terbentuknya
beberapa negara-bangsa baru di Eropa, kebanyakan di antaranya
tidak terlalu demokratis.

Pada tahun 1920-an, demokrasi tumbuh subur tetapi


terhambat Depresi Besar. Amerika Latin dan Asia langsung
berubah ke sistem kekuasaan mutlak atau
kediktatoran. Fasisme dan kediktatoran terbentuk di Jerman
Nazi, Italia, Spanyol, dan Portugal, serta rezim-rezim non-
demokratis di Baltik, Balkan, Brasil, Kuba, Cina, dan Jepang.

Perang Dunia II mulai memutarbalikkan tren ini di Eropa


Barat. Demokratisasi Jerman dudukan Amerika Serikat, Britania,
dan Prancis (diragukan), Austria, Italia, dan Jepang
dudukan menjadi model teori perubahan rezim selanjutnya.

Akan tetapi, sebagian besar Eropa Timur, termasuk Jerman


dudukan Soviet masuk dalam blok-Soviet yang non-demokratis.
Perang Dunia diikuti oleh dekolonisasi dan banyak negara merdeka
baru memiliki konstitusi demokratis. India tampil sebagai negara
demokrasi terbesar di dunia sampai sekarang.

Pada tahun 1960, banyak negara yang menggunakan sistem


demokrasi, meski sebagian besar penduduk dunia tinggal di negara
yang melaksanakan pemilihan umum terkontrol dan bentuk-bentuk
pembohongan lainnya (terutama di negara komunis dan bekas
koloninya).

Gelombang demokratisasi yang muncul setelah itu


membawa keuntungan demokrasi liberal sejati yang besar bagi
banyak negara. Spanyol, Portugal (1974), dan sejumlah
kediktatoran militer di Amerika Selatan kembali dikuasai rakyat
sipil pada akhir 1970-an dan awal 1980-an (Argentina tahun
1983, Bolivia, Uruguay tahun 1984, Brasil tahun 1985, dan Chili
awal 1990-an). Peristiwa ini diikuti oleh banyak bangsa di Asia
Timur dan Selatan pada pertengahan sampai akhir 1980-an.

Malaise ekonomi tahun 1980-an, disertai ketidakpuasan


atas penindasan Soviet, menjadi faktor runtuhnya Uni Soviet yang
menjadi tanda berakhirnya Perang Dingin dan demokratisasi
dan liberalisasi bekas negara-negara blok Timur. Kebanyakan
negara demokrasi baru yang sukses secara geografis dan budaya
terletak dekat dengan Eropa Barat. Mereka sekarang menjadi
anggota atau calon anggota Uni Eropa. Sejumlah peneliti
menganggap Rusia saat ini bukanlah demokrasi sejati dan lebih
mirip kediktatoran.

Tren liberal ini menyebar ke beberapa negara di Afrika


pada tahun 1990-an, termasuk Afrika Selatan. Contoh terbaru
liberalisasi adalah Revolusi Indonesia 1998, Revolusi
Bulldozer di Yugoslavia, Revolusi Mawar di Georgia, Revolusi
Oranye di Ukraina, Revolusi Cedar di Lebanon, Revolusi
Tulip di Kyrgyzstan, dan Revolusi Yasmin di Tunisia.

Menurut Freedom House, pada tahun 2007 terdapat 123


negara demokrasi elektoral (naik dari 40 pada tahun
1972). Menurut World Forum on Democracy, jumlah negara
demokrasi elektoral mencapai 120 dari 192 negara di dunia dan
mencakup 58,2 penduduk dunia. Pada saat yang sama, negara-
negara demokrasi liberal (yang dianggap Freedom House sebagai
negara yang bebas dan menghormati hukum dan HAM) berjumlah
85 dan mencakup 38 persen penduduk dunia. Pada tahun
2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan 15 September
sebagai Hari Demokrasi Internasional.
BAB III
PEMBAHASAN DAN PENUTUP

3.1 Pembahasan
3.1.1 Pengertian Demokrasi
Selama beberapa waktu setelah perang dunia ke-II berlangsung.
perdebatan diantara para penganut aliran klasik yang berkeras
mendefinisikan demokrasi berdasarkan sumber dan tujuannya dengan
para teoritikus penganut konsep demokrasi ala Schumpeter berdasarkan
prosedur, jumlahnya semakin banyak. Semakin banyak teoritikus
menarik garis perbedaan yang tajam antara definisi-definisi demokrasi
yang rasional, utopis, idealistis disatu pihak, dengan definisi-definisi
demokrasi yang empiris, deskriptif, institusional dan prosedural dipihak
lain, yang menyimpulkan bahwa hanya definisi terakhir yang
memberikan analisis dan acuan empiris yang membuat konsep itu
bermanfaat.
Dengan mengikuti tradisi Schumpeterian, studi ini mendefinisikan
sistem politik abad XX sebagai demokrasi sejauh para pembuat
keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui
pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Dan di dalam sistem itu
para calon secara bebasbersaing untuk memperoleh suara dan hampir
semua penduduk yang telah dewasa berhak memberikan suara Dengan
demikian menurut definisi ini demokrasi mengandung dua dimensi
yaitu dimensi kontes dan dimensi partisipasi, yang menurut Robert
Dahl dan Abraham Lincoln merupakan hal yang menentukar bagi
demokrasi atau politik atau Demokrasi merupakan faham dan sistem
politik yang didasarkan pada doktrin "power of the people", yakni
kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bahwa rakyat
adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem pemerintahan
Demokrasi baik sebagai doktrin atau faham maupun sebagai sistem
politik dipandang sebagai alternatif yang lebih baik daripada sistem
politik lainnya yang terdapat dihampir setiap bangsa dan Negara.
Demikian kuatnya faham demokrasi, sampai-sampai konsepnya telah
menjadi keyakinan politik (political belief) kebanyakan bangsa, yang
pada gilirannya kemudian berkembang menjadi isme, bahkan
berkembang menjadi mitos yang dipandang dapat membawa berkah
bagi kehidupan bangsa-bangsa beradab."
Sedangkan pengertian demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa
(etimologis) dan istilah (terminologis) yaitu Demokrasi berasal dari
kata “Demos” dan “Kratos”. Demos yang memiliki arti rakyat dan
Kratos yang memiliki arti kekuasaan. Jadi secara bahasa demos-cratein
atau demos- cratos (demokrasi) adalah keadaan Negara di mana dalam
sistem kekuasaan kedaulatan ada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi
ada pada keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan dari
rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Dalam hal ini, demokrasi juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk
atau pola pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif semua
anggota masyarakat dalam keputusan yang diambil oleh mereka yang
telah diberi wewenang." Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan
rakyat yang mengandung pengertian bahwa semua manusia mempunyai
kebebasan dan kewajiban yang sama.
Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana
dikemukakan para ahli sebagai berikut, menurut Joseph A. Schmeter,
demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai
keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan
untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat; Affan
Gaffar memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara
normatif (demokrasi normatif) dan empirik (demokrasi empirik).
Demokrasi normatif adalah demokrasi yang secara ideal hendak
dilakukan oleh sebuah Negara.
Sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi dalam
perwujudannya pada dunia politik praktis. Dengan demikian makna
demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara
mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan
dalam maslah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam
menilai kebijakan Negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan
kehidupan rakyat. Dengan demikian Negara yang menganut sistem
demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak
dan kemauan rakyat. Dari sudut organisasi, demokrasi berarti
pengorganisasian Negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas
persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.
Sementara di sisi lain Ulf Sundhausen mensyaratkan demokrasi
sebagai suatu sistem politik yang menjalankan tiga kriteria, yaitu
pertama, dijaminnya hak-hak semua warga Negara untuk memilih dan
dipilih, kedua, semua warga Negara menikmati kebebasan berbicara
berorganisasi dan memperoleh informasi dan beragama serta ketiga,
dijaminnya hak yang sama di depan hukum.
Demokrasi adalah sebuah paradok. Dimana disatu sisi ia
mensyaratkan adanya jaminan kebebasan serta peluang berkompetisi
dan berkonflik, namun di sisi lain ia juga mensyaratkan adanya
keteraturan, kesetabilan dan konsensus. Kunci untuk mendamaikan
paradok dalam demokrasi terletak pada cara kita memperlakukan
demokrasi. Demokrasi seyogyanya juga diperlakukan semata- mata
sebagai sebuah cara atau proses dan bukan sebuah tujuan apalagi
disakralkan. Dengan demikian keteraturan, kesetabilan dan konsensus
yang dicita-citakan dan dibentuk pun diposisikan sebagai hasil
bentukan dari suatu proses yang penuh kebebasan, persuasi dan dialog
yang bersifat konsensual.
Dari bebrapa pendapat di atas diperoleh kesimpulan bahwa hakikat
demokrasi sebagai suatu sistem bermsyarakat dan bernegara serta
pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaaan
ditangan rakyat baik dalam penyelenggaraan Negara maupun
pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan berada ditangan rakyat
mengandung pengertian tiga hal pertama, pemerintah dari rakyat
(government of the people); kedua, pemerintahan oleh rakyat
(government by people); ketiga, pemerintahan untuk rakyat
(government for people). Jadi hakikat suatu pemerintahan yang
demokratis bila ketiga hal di atas dapat dijalankan dan ditegakkan
dalam tata pemerintahan.
Pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people)
mengandung pengertian yang berhubungan dengan pemerintahan yang
sah dan diakui (legitimate government) dan pemerintahan yang tidak
sah dan tidak diakui (unligitimate government) dimata rakyat.
Pemerintahan yang sah dan diakui (legitimate government) berarti suatu
pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan yang diberikan
oleh rakyat. Sebaliknya pemerintahan yang tidak sah dan tidak diakui
(unligitimate government) berarti suatu pemerintahan yang sedang
memegang kendali kekuasaan tidak mendapat pengakuan dan dukungan
dari rakyat. Legimitasi bagi suatu pemerintahan sangat penting karena
dengan legitimasi tersebut, pemerintahan dapat menjalankan roda
birokrasi dan progam-progamnya sebagai wujud dari amanat yang
diberikan oleh rakyat kepadanya. Pemerintahan dari rakyat memberikan
gambaran bahwa pemerintah yang sedang memegang kekuasaan
dituntut kesadarannya bahwa pemerintahan tersebut diperoleh melalui
pemilihan dari rakyat bukan dari pemberian wangsit atau kekuasaan
supranatural.
Kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by the people).
Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa suatu pemerintahan
menjalankan kekuasaan atas nama rakyat bukan atas dorongan diri dan
keinginannya sendiri. Selain itu juga mengandung pengertian bahwa
dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah berada dalam
pengawasan rakyat (social control). Pengawasan rakyat dapat dilakukan
secara langsung oleh rakyat maupun tidak langsung yaitu melalui
perwakilannya di parlemen (DPR). Dengan adanya pengawasan oleh
rakyat (social control) akan menghilangkan ambisi otoriterianisme para
penyelenggara Negara (pemerintah dan DPR).
Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for the people)
mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat
kepada pemerintah itu dijalankan untuk kepentingan rakyat.
Kepentingan rakyat harus didahulukan dan diutamakan di atas
segalanya. Untuk itu pemerintah harus mendengarkan dan
mengakomodasi kepentingan rakyat dalam merumuskan dan
menjalankan kebijakan dan progam-progamnya, bukan sebaliknya
hanya menjalankan aspirasi keinginan diri, keluarga dan kelompoknya.
Oleh karena itu pemerintah harus membuka kanal-kanal (saluran) dan
ruang kebebasan serta menjamin adanya kebebasan seluas-luasnya
kepada rakyat dalam menyampaikan aspirasinya baik melalui media
pers maupun secara langsung.

3.1.2 Jenis-jenis Demokrasi


Berikut ini beberapa jenis demokrasi
1) Berdasarkan titik berat perhatiannya
a. Demokrasi formal, yaitu suatu demokrasi yang menjunjung
tinggi persamaan dalam bidang politik, tanpa disertai upaya
untuk mengurangi atau menghilangkan kesenjangan dalam
bidang ekonomi. Bentuk demokrasi ini dianut oleh negara-
negara liberal.
b. Demokrasi material, yaitu demokrasi yang dititikberatkan
pada upaya menghilangkan perbedaan dalam bidang
ekonomi, sedangkan persamaan dalam bidang politik kurang
diperhatikan bahkan kadang-kadang dihilangkan. Bentuk
demokrasi ini dianut oleh negara-negara komunis
c. Demokrasi gabungan, yaitu bentuk demokrasi yang
mengambil kebaikan serta membuang keburukan dari bentuk
demokrasi formal dan material. Bentuk demokrasi ini dianut
oleh negara-negara non-blok.

2) Berdasarkan Ideologi
a. Demokrasi konstitusional atau demokrasi liberal, yaitu
demokrasi yang didasarkan pada kebebasan atau
individualisme.
b. Demokrasi rakyat atau demokrasi proletar, yaitu demokrasi
yang didasarkan pada paham marxisme komunisme.
Demokrasi rakyat mencita-citakan kehidupan yang tidak
mengenal kelas sosial.

3) Berdasarkan Proses Penyaluran Kehendak


a. Demokrasi langsung, yaitu paham demokrasi yang
mengikutsertakan setiap warga negaranya dalam
permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum
negara atau undang-undang secara langsung
b. Demokrasi tidak langsung, yaitu paham demokrasi yang
dilaksanakan melalui sistem perwakilan. yang dimana
menjadi 2 bagian yaitu :
o Demokrasi perwakilan (demokrasi representatif) Di
masa sekarang, bentuk demokrasi yang dipilih adalah
demokrasi perwakilan. Hal ini disebabkan jumlah
penduduk terus bertambah dan wilayahnya luas
sehingga tidak mungkin menerapkan sistem
demokrasi langsung. Dalam demokrasi perwakilan,
rakyat menyalurkan kehendak dengan memilih wakil-
wakilnya untuk duduk dalam lembaga perwakilan
(parlemen).
o Demokrasi perwakilan sistem referendum Demokrasi
perwakilan dengan sistem referendum merupakan
gabungan antara demokrasi langsung dan demokrasi
perwakilan. Rakyat memilih wakil mereka untuk
duduk dalam lembaga perwakilan, tetapi lembaga
perwakilan tersebut dikontrol oleh pengaruh rakyat
dengan sistem referendum dan inisiatif rakyat

3.1.3 Perkembangan Demokrasi di Indonesia


Mengutip dari buku Mengenal Lebih Dekat Demokrasi di
Indonesia (2012) yang ditulis oleh Nadhirun, sejarah demokrasi di
Indonesia dimulai pada awal abad ke-20. Pada fase ini, Indonesia masih
mengalami penjajahan oleh Belanda dan pemikiran demokrasi modern
dari barat sudah mulai masuk ke Indonesia.
Tepatnya, anak-anak muda dan mahasiswa yang mengenyam
pendidikan di Eropa banyak membaca ide-ide demokrasi melalui buku
serta ruang-ruang diskusi terbuka. Kemudian, mereka banyak
mendapatkan inspirasi mengenai konsep negara demokrasi yang
terbuka dan sangat kontradiktif dengan Indonesia.
Generasi pertama yang merasakan bagaimana indahnya demokrasi
di negara-negara Eropa adalah Mohammad Hatta yang kelak menjadi
Wakil Presiden Indonesia. Hatta belajar di Belanda dan menyerap
berbagai ide-ide demokrasi.
Di generasi Hatta ini, ide-ide demokrasi meresap di benak anak
muda Indonesia dan memulai gerakan-gerakan kemerdekaan.
Mengalami banyak ganjaran karena transisi dari penjajahan Belanda ke
penjajahan Jepang, akhirnya kemerdekaan resmi diproklamasikan pada
17 Agustus 1945.
Perkembangan Demokrasi di Indonesia dari Masa ke Masa
Ada empat perkembangan demokrasi dari masa ke masa. Berikut
penjelasannya:

1. Demokrasi Parlementer (1945 - 1959)


Demokrasi parlementer ini dimulai ketika Indonesia
resmi menjadi negara yang merdeka hingga berakhir di
tahun 1959. Demokrasi parlementer adalah sistem
demokrasi yang menempatkan parlemen sebagai bagian
fundamental di pemerintahan.
Akan tetapi, konsep demokrasi ini dianggap kurang
cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya demokrasi untuk
mempraktikkan demokrasi model barat ini telah memberi
peluang sangat besar kepada partai-partai politik
mendominasi kehidupan sosial politik.
Pada masa ini pula digelar Pemilu pertama pada 1955.
Pemilu 1955 mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk
dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an
partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan
calon perorangan.
Beberapa hal yang menarik dari Pemilu 1955 adalah
tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya,
meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana
menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak
menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada
pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang
menguntungkan partainya.
2. Demokrasi Terpimpin (1959 - 1965)
Demokrasi terpimpin adalah sistem pemerintahan,
di mana segala kebijakan atau keputusan yang diambil dan
dijalankan berpusat kepada satu orang, yaitu pemimpin
pemerintahan.
Demokrasi terpimpin ini dimulai pada tahun 1959
ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Ciri yang paling khas dari konsep demokrasi
terpimpin adalah kehadiran peran dan campur tangan
presiden selaku pemimpin tertinggi demokrasi dan
revolusi yakni Presiden Sukarno.
Di lain sisi, demokrasi terpimpin juga terlihat dari
pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI) di politik
Indonesia.
Pada masa demokrasi terpimpin banyak terjadi
penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945,
seperti:
 Pembentukan Nasionalis, Agama, dan Komunis
(Nasakom)
 Tap MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan
Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
 Pembubaran DPR hasil pemilu oleh presiden
 Pengangkatan ketua DPR Gotong Royong/MPRS
menjadi menteri negara oleh presiden
 GBHN yang bersumber pada pidato presiden tanggal
17 Agustus 1959 yang berjudul 'Penemuan Kembali
Revolusi Kita' ditetapkan oleh DPA bukan MPRS

3. Demokrasi Pancasila era Orde Baru (1965 - 1998)


Setelah peristiwa G30S PKI terjadi di tahun 1965,
terjadi pergantian pemimpin dari Soekarno menuju
Soeharto. Era orde baru ini juga dikenal dengan istilah
Demokrasi Pancasila yang menjadikan Pancasila sebagai
landasan demokrasi.
Akan tetapi, rezim yang berkuasa selama 32 tahun juga
dihantui dengan beberapa penyimpangan, seperti:
 Penyelenggaraan pemilu yang tidak jujur dan tidak
adil
 Penegakan kebebasan berpolitik bagi Pegawai Negeri
Sipil (PNS)
 Kekuasaan kehakiman (Yudikatif) yang tidak mandiri
karena para hakim adalah anggota PNS Departemen
kehakiman
 Kurangnya jaminan kebebasan mengemukakan
pendapat
 Sistem kepartaian yang otonom dan berat sebelah
 Maraknya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme
(KKN)
4. Demokrasi Reformasi (1998 - sekarang)
Berakhirnya rezim orde baru yang berkuasa selama
32 tahun melahirkan demokrasi baru yang dikenal dengan
istilah era reformasi. Era reformasi adalah fase demokrasi
yang kembali ke prinsip dasar demokrasi, seperti:
 Adanya Pemilu secara langsung
 Kebebasan Pers
 Desentralisasi
 Hak-hak dasar warga negara lebih terjamin
 Rekrutmen politik yang inklusif
3.1.4 Kriteria Negara Demokrasi yang baik
Berdasarkan penelusuran berbagai referensi di bidang politik, Rais
(1986:17-25) tiba pada perumusan dasar kriteria demokrasi dengan
uraian yang cukup komprehensif sebagaimana disajikan berikut ini :
1. Partisipasi dalam pembuatan keputusan.
Partisipasi rakyat dalam proses pembuatan keputusan sudah
tentu tidak dapat dilakukan langsung, tetapi lewat representasi
para wakil yang dipilih rakyat secara langsung, bebas, rahasia,
jujur dan adil dalam pemilihan umum. Langsung, bebas dan
rahasia saja memang tidak cukup. Jujur dalam pelaksanaan dan
jujur dalam perhitungan suara mutlak menentukan hasil dari
suatu pemilihan umum. Adil dalam memberikan kesempatan
bagi kekuatan-kekuatan politik yang melakukan kompetisi
demokratik juga sangat menentukan hasil pemilihan umum.
Dengan demikian asas pemilihan umum yakni langsung, umum,
bebas dan rahasia tanpa disertai kejujuran dan keadilan akan
menjadikan suatu pemilihan umum sekedar sandiwara belaka
dan merupakan pemborosan waktu, energi dan biaya. Harus
diingat bahwa asas representasi seringkali berbeda dalam teori
dan dalam praktek. Kenyataan sering menunjukkan bahwa para
representatives atau wakil rakyat, setelah terpilih, tidak lagi
menyuarakan kepentingan konstituen mereka, tetapi kemudian
justru membentuk kelompok elite tersendiri yang teralienasi dari
rakyat yang diwakilinya. Hal ini dapat diatasi jika para para
wakil rakyat itu sendiri aktif berusaha membina jaringan kerja
dan komunikasi yang intens dengan konstituen, supaya tidak
kehilangan sentuhan dengan keinginan rakyat yang diwakilinya.
Akan tetapi bila para wakil rakyat sudah dapat dikooptasi oleh
kepentingan partai politik dan eksekutif maka berlakulah bagi
mereka fungsi rubber stamp atau “tukang cap” untuk
menyokong dan membenarkan politik eksekutif.
Sementara itu harus diingat bahwa pemilihan umum
hanyalah salah satu indikator partisipasi politik dan
dikebanyakan negara berkembang pemilihan umum biasanya
sudah direkayasa sedemikian rupa, sehingga seringkali muncul
suatu istilah yang kontradikitif, yaitu “pemilihan umun” dengan
“target”. Bahwa suatu hasil pemilihan umum dapat ditargetkan
sesungguhnya merupakan suatu kejanggalan besar. Apabila
ternyata bahwa persentase suara yang diperoleh oleh masing-
masing kekuatan peserta pemilihan umum persis seperti yang
ditargetkan, maka sangat wajar jika timbul kesan bahwa
pemilihan umum tersebut sesungguhnya hanya merupakan
political farce atau “dagelan politik” yang cangggih.
Partisipasi politik rakyat juga tidak dapat diukur semata-
mata dari tingkat partisipasi mereka pada hari pemungutan
suara. Di negara-negara maju yang telah berpengalaman
melaksanakan demokrasi, hanya sekitar 60% rakyat yang berhak
memilih ke luar dari rumah untuk memberikan suara mereka. Di
banyak negara berkembang persentase itu cukup tinggi, kadang-
kadang mencapai lebih dari 90%. Akan tetapi ini tidak berarti
bahwa kemudian dinegara- negara berkembang itu kehidupan
demokrasinya jauh lebih baik dari negara maju. Masalahnya,
partisipasi para pemilih dapat dibuat sangat tinggi dengan
menciptakan suasana tertentu sehingga dirasakan kuat sekali
oleh rakyat bahwa tidak mendaftar dan tidak memberikan suara
pada hari pemilihan umum merupakan kebebasan politik
warganegara.
Pemerintah demokrasi dengan yang menganut sistem
perwakilan (representative government) seperti berlaku di
banyak negara modern, memang tidak dapat mencerminkan
sepenuhnya tuntutan demokrasi murni, namun sebegitunya jauh
tetap merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan yang paling
dekat pada cita-cita demokrasi. Sistem perwakilan bukannya
tanpa kelemahan. Rousseau, Victor Consderant, Robert Michels,
Hanna Arendt, Robert Dahl dan ilmuwan politik lainnya telah
menunjukkan kelemahan-kelemahan itu. Michels misalnya
menunjukkan bahwa hukum besi oligarki tetap sulit dihindarkan
dalam suatu negara demokrasi. Bila para wakil rakyat yang
terpilih sampai berkonspirasi dengan tokoh-tokoh eksekutif dan
membentuk kelompok elit yang mempunyai kepentingan-
kepentingan khusus dan berbeda jauh dengan kepentingan
rakyat, maka mereka secara tidak disadari telah membangun
kelompok oligarki tersendiri.
Mereka inilah yang kemudian mengambil keputusan-
keputusan penting yang menyangkut kepentingan rakyat tanpa
memperhatikan lagi aspirasi rakyatnya. Akibatnya keputusan
dibidang politik, luar negeri, perdagangan, perpajakan,
pendidikan, pertahanan dan keamanan seringkali bertabrakan
dengan kemauan kebanyakan rakyat. Kendatipun demokrasi
belum dapat mengatasi hukum besi oligarki, harus diakui bahwa
dalam suatu pemilihan umum yang benar-benar bebas dan adil,
rakyatlah yang berusaha menggusur para pemimpin yang
dianggap gagal memperjuangkan dan memenuhi kepentingan
rakyat. Secara empirik rakyat mempunyai keterbatasan untuk
ikut serta dalam proses pembuatan keputusan politik akan tetapi
rakyat dapat mengontrol atau mengawasi para pemimpin dan
dapat menolak untuk memilih kembali para wakil rakyat atau
pemimpin pemerintahan yang dinilai gagal memenuhi
kebutuhan rakyat melalui pemilihan umum yang
diselenggarakan secara nasional.

2. Persamaan di depan hukum.

Negara demokrasi dalam sejarah cenderung untuk menjadi


negara hukum. Penegakan hukum (rule of law) menjadi pilihan
utama dalam negara demokrasi dan ditaati oleh seluruh warga
negara tanpa membedakan latar belakang apapun. Dengan
demikian penjahat, pejabat dan aparat negara, dan masyarakat
biasa tidak kebal hukum. Hukum berlaku universal dalam arti
mencakup keseluruhan warga negara dalam wilayah negara
berada dibawah jurisdiksi hukum positif yang berlaku.
Dalam masyarakat yang masih mempunyai budaya
feodalistik persamaan didepan hukum bagi seluruh rakyat dan
selurum pemimpin seringkali belum dapat diterapkan dengan
baik. Dalam masyarkaat seperti itu ada kelompok tertentu yang
karena jabatan dan kekuasaan yang dimilikimya merasa berada
diatas jangkauan hukum yang berlaku. Demikian juga perlakuan
hukum terhadap anggota masyarakat menjadi berbeda-beda.
Seorang kaya raya yang melanggar hukum dengan mencuri
kekayaan negara arau seorang pejabat tinggi ketahuan
melakukan korupsi besar kadang-kadang dapat bebas dari
pengejaran hukum, sementara seorang rakyat kecil dapat
mengalami tindakan hukum dalam bentuk tahanan dan hukuman
berat karena mencuri sepeda.
Budaya demokrasi bila dikembangkan terus menerus dapat
menggusur budaya feodalistik yang menjadi penyebab seretnya
penerapan equality the law. Perdana Menteri Jepang Tanaka
harus masuk penjara karena korupsinya dan Perdana Menteri
India Idira Gandhi juga harus merasakan penjara beberapa hari
akibat pelanggaran hukum yang dilakukannya, Jepang dan India
mendemonstrasikan pelaksanaan persamaan didepan hukum
kepada dunia secara jelas. Umur demokrasi didua negara Asia
itu belum terlalu lama, tetapi dua kejadian itu menunjukkan
kesungguhan untuk menerapkan prinsip ekualitas rakyat dan
pemimpin didepan hukum.

3. Distribusi pendapatan secara adil.


Konsep ekualitas dalam praktek demokrasi pada dasarnya
merupakan konsep yang utuh, artinya tidak boleh persamaan
hanya ditekankan disalah satu bidang kehidupan saja, sementara
bidang- bidang lainnya dikesampingkan. Dengan demikian
ekualitas politik dan ekualitas hukum hanya menjadi lengkap
bila disertai dengan ekualitas ekonomi. Demokrasi hanya
mempunyai makna bila dalam suatu negara terdapat pembagian
pendapatan yang cukup adil. Kesenjangan ekonomi yang
menyolok antara lapisan kaya dan lapisan miskin
mengisyaratkan bahwa demokrasi belum berjalan dengan baik.
Tampaknya distribusi pendapatan yang adil merupakan
prinsip demokrasi yang tidak dapat diabaikan. Salah satu kritik
yang sering dilontarkan pada demokrasi Amerika Serikat adalah
kenyataan bahwa kemakmuran di negeri ini belum dinikmati
secara relatif merata, walaupun hanya ada 20% rakyat Amerika
yang tergolong miskin. Padahal kelas menengah Amerika sangat
besar, tetapi karena seperlima rakyat terkaya menikmati 40%
pendapatan bangsa dan seperlima rakyat termiskin menikmati
hanya 5%, maka demokrasi Amerika dianggap masih
mengalami kepincangan, (Rais,1986:20).
Di negara berkembang termasuk Indonesia, distribusi
penghasilan jelas masih memerlukan waktu panjang, sehingga
semboyan keadilan dan pemerataan selalu terdengar lantang
diucapkan oleh mereka yang benar-benar mendambakan
keadilan dan pemerataan itu maupun mereka yang menjadikan
kedua istilah ini sebagai upaya menyenyangkan (lip service)
masyarakat dan konsumsi politik semata. Dalam kaitan ini orang
sering keliru menganggap bahwa keadilan ekonomi akan dapat
tercapai bila kepada setiap warga negara diberikan pesamaan
kesempatan (equality of opportunity). Bila masing-masing
warga negara diberi hak dan kesempatan yang sama untuk
mengejar tujuan ekonominya secara bebas, maka akan tercapai
kemakmuran maksimal bagi sebanyak mungkin orang. Namun
demikian yang dilupakan disini adalah perbedaan antara
persamaan kesempatan de jure dan persamaan kesempatan de
facto. Dengan mengandalkan persamaan kesempatan de jure
seorang dengan latar belakang sosial dan ekonomi lemah sampai
kapanpun tidak akan dapat berkompetisi bebas dengan orang
yang berlatar belakang sosial dan ekonomi yang kuat. Jadi yang
diperlukan adalah persamaan kesempatan de facto dan untuk ini
pemerintah bertugas melakukan perombakan peraturan-
peraturan agar mereka yang tergolong lemah dapat tertolong,
bahkan kalau perlu dilakukan perombakan ekonomi yang
bersifat struktural.

4. Kesempatan pendidikan yang sama.


Dalam masyarakat yang sudah memasuki tahap industri,
pendidikan menjadi faktor krusial yang menentukan apakah
seseorang dapat memperoleh pekerjaan dan penghasilan lebih
tinggi atau tidak. Karena keberhasilan pendidikan seseorang
sangat ditentukan oleh tingkat sosial-ekonominya, maka menjadi
jelas bahwa dalam suatu masyarakat yang masih mengalami
kesenjangan distibusi pendapatan pasti mengalami kesenjangan
kesempatan pendidikan. Di Indonesia jumlah mahasiswa yang
studi di perguruan tinggi masih didominasi oleh anak-anak dari
kelas menengah keatas, dan ini merupakan refleksi wajar dari
distribusi pendapatan yang ada. Pendidikan selain menentukan
pekerjaan dan penghasilan juga menentukan status sosial,
kekuasaan yang dapat diraih dan waktu longgar yang dapat
dinikmati untuk mengembangkan potensi seseorang.
Dengan demikian, demokrasi akan berkembang secara sehat
manakala ditunjang oleh tingkat pendidikan masyarakat yang
memadai. Tingkat pendidikan akan dinikmati oleh seluruh
lapisan masyarakat manakala Negara memberikan kesempatan
yang sama bagi warga Negara untuk mengikuti pendidikan.
Untuk mewujudkan kesempatan yang sama bagi warga negara
mengeyam pendidikan, kebijakan pendidikan dengan biaya
murah dan terjangkau oleh lapisan masyarakat menjadi prioritas
dan harapan masyarakat di Negara manapun termasuk
Indonesia. Untuk itu, tingkat pendidikan masyarakat yang
memadai menjadi prasyarat berkembangnya demokrasi yang
sehat dan moderen.

5. Kebebasan warga negara


Salah satu kriteria demokrasi adalah adanya kebebasan
mengeluarkan pendapat, kebebasan media masa, kebebasan
berkumpul dan kebebasan beragama. Kebebasan berbica atau
mengeluarkan pendapat harus dijamin dalam suatu demokrasi.
Hal ini bermakna bahwa apabila rakyat sudah dilarang berbicara
sesuai dengan keyakinannya, maka pada saat yang sama sudah
tidak ada lagi suasana demokrasi. Selain itu pemerintah tidak
dapat mengetahui kelemahannya karena tidak ada ruang koreksi
dari rakyatnya. Kebebasan pers juga merupakan kunci dalam
kehidupan demokrasi. Sesungguhnya apa yang dinamakan
sebagai partisipasi sosial, kontrol sosial dan tanggungjawab
sosial hanya dapat berjalan baik bila dalam masyarakat terdapat
kebebasan berbicara dan kebebasan pers. Karena dalam negara
totaliter seperti Rusia ketiga hak sosial rakyat itu tidak diakui,
maka kebebasan bicara dan kebebasan pers tidak diperlukan,
bahkan ditindas secara keras oleh penguasa. Namun demikian,
terdapat pers sendiri yang seringkali melakukan self-censorship
dan tidak mencoba mengembangkan suatu iklim demokratik
yang membuka kesempatan bagi publik untuk melakukan
koreksi terhadap pemerintahan. Malah tidak jarang pers terlarut
dalam permainan kekuasaan yang ada sehingga mengurangi
perjuangan mulai sebagai agen pembaharu.
Kebebasan berkumpul harus pula dijamin dalam demokrasi.
Rakyat sepenuhnya berhak menyelenggarakan rapat, pertemuan-
pertemuan dan membentuk partai dalam rangka mencapai
kepentingan bersama (rest publicum). Biasanya pemerintahan
yang paranoid anti demokrasi selalu merintangi hak atau
kebebasan berkumpul rakyatnya sendiri. Dalam hal ini trust atau
kepercayaan pada rakyat diganti dengan distrust atau
ketidakpercayaan dalam susana penuh kecurigaan. Dengan
demikian tanpa adanya kebebasan berkumpul, suatu sistem
politik tidak dapat dikatakan demokratik dan cenderung kearah
totalitarianisme yang monolitik dan tertutup.
Selain itu, kebebasan beragama harus terselenggara dalam
negara demokrasi, karena kebebasan beragama sebagai prasyarat
demokrasi. Setiap warga negara perlu diberi ruang dan
kesempatan untuk beragama dan beribadah sesuai dengan
keyakinannya. Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan
beragama sama artinya dengan upaya untuk memotong salah
satu sendi demokrasi. Pada umumnya di negara-negara yang
menganut demokrasi, kebebasan beragama itu diberikan secara
luas, sementara di negara-negara totaliter tidak ada kebebasan
beragama, bahkan agama itu sendiri dimusuhi. Cina barangkali
sebagai contoh modern dalam hal ini.

6. Ketersediaan dan Keterbukaan informasi.


Rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam negara
demokrasi Perlu mengetahui kualitas pemimpinnya. Selain itu,
rakyat perlu mengetahui perkembangan situasi yang secara
langsung atau tidak mempengaruhi kehidupannya, termasuk
informasi tentang kebijakan yang diambil oleh pemerintah di
bidang politik, ekonomi, moneter, pertahanan dan keamanan,
pendidikan dan lain sebagainya. Untuk menentukan pilihan yang
tepat dan efektif, rakyat membutuhkan informasi yang cukup
sehingga terbuka baginya berbagai alternatif dan cakrawala
well-informed mengenai poltik pemerintahannya sehingga tidak
terdapat sikap apriori terhadap suatu kebijakan pemerintah
termasuk yang menyangkut masalah fundamental bagi
kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemerintah tidak seyogianya menutup informasi mengenai
kenyataan-kenyataan sosial, politik dan ekonomi yang ada agar
rakyat dapat berbagi tugas dengan pemerintah dalam mencari
penyelesaian- penyelesaian secara demokratik. Apabila
pemerintah sampai menyembunyikan informasi penting yang
langsung berkaitan dengan kepentingan rakyatnya, maka
pemerintah itu sesungguhnya menghilangkan akuntabilitasnya
dihadapan rakyat dan dapat kehilangan kredibilitas. Dengan
demikian keterbukaan merupakan prasayarat utama dalam
demokrasi.
7. Kesiapan mengundurkan diri dari jabatan.
Demokrasi membuka ruang bagi proses pengunduran diri
pejabat publik sebagai fatsoen atau “tatakrama politik” atau
tanggung jawab politik yang menjadi tradisi dalam demokrasi.
Fatsoen politik memang tidak tertulis, akan tetapi sangat jelas
bagi setiap orang yang telah paham tentang nilai-nilai
demokrasi. Seorang pejabat atau pemimpin dalam negara
demokrasi sesungguhnya mengemban amanat rakyat yang
bersifat sakral. Apabila seorang pejabat sampai mengotori
jabatannya dengan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan apa
yang telah diamanatkan oleh rakyatnya, secara otomatis pejabat
harus mengundurkan diri tanpa diminta. Setiap jabatan, apakah
Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Wakil Rakyat, Kepala
Daerah dan lain-lain, harus bersih dari setiap skandal yang dapat
mengotori jabatan-jabatan tersebut. Oleh karena itu di negara
maju sering terjadi seorang wakil rakyat, seorang menteri atau
seorang jaksa mengundurkan diri secara otomatis ketika pers
menyiarkan skandal yang telah dilakukan oleh masing-masing
pejabat tersebut. Contoh paling terkenal sudah tentu adalah
pengunduran diri Presiden Amerika Serikat Nixon setelah
skandal Watergate nya dibongkar oleh pers. Demikian juga
fatsoen demokrasi menuntut agar seorang pejabat publik segera
mengundurkan diri bila ternyata ia tidak mampu melaksanakan
tugasnya atau jika terjadi suatu kesalahan fatal dalam
lingkungan yang berada dalam wewenangnya. Namun demikian,
pengunduran diri belum menjadi tradisi dalam demokrasi,
bahkan di sebahagian negara pengunduran diri menjadi enggan
dilakukan mengingat dengan mengundurkan diri menandakan
ketidakmampuan seseorang.

8. Kebebasan individu.
Disamping kebebasan secara sosial dalam demokrasi, juga
diimbangi dengan kebebasan individu termasuk memiliki hak
untuk hidup secara bebas dan memiliki ruang kehidupan pribadi
sebagai privacy yang perlu dikembangkan dan mendapat ruang
dalam negara demokrasi. Kebebasan dan privacy individu
menjadi prinsip dalam demokrasi yang mencakup antara lain:
kebebasan untuk memilih dalam pemilihan umum; kebebasan
untuk memilih pekerjaan; memilih tempat tinggal; memilih
bentuk pendidikan; memiliki keturunan melalui perkawinan
yang sah; dan kebebasan lainnya sebagaimana yang dijamin
dalam demokrasi, terkecuali penggunaan kebebasan itu dapat
merugikan pihak lain.
Kebebasan individu dalam demokrasi memjadi salah satu
prasyarat berkembangnya demokrasi secara sehat. Demokrasi
yang berkembang secara rasional dan objektif juga ditentukan
oleh pengakuan adanya ruang kebebasan individu sebagai
privasi dalam kehidupan sosial. Kebebasan individu sebagai
sebuah privasi individu menjadi prinsip demokrasi sepanjang
pelaksanaan dan akibat dari kebebasan individu itu tidak
mengganngu kebebasan orang lain. Artinya, kebebasan individu
mengalami batasan manakala berhimpitan dengan kebebasan
orang lain. Dengan demikian, kebebasan individu menjadi nilai
yang perlu mendapat ruang dalam kehidupan demokrasi.

9. Semangat kerjasama dan kebersamaan.


Kerjasama diantara para warganegara untuk melestarikan
nilai- nilai luhur yang telah disepakati bersama merupakan
prinsip lain yang harus dikembangkan dalam demokrasi. Bila
prinsip-prinsip demokrasi yang telah diuraikan didepan sampai
dijalankan secara paksa, maka seluruh bangunan demokrasi
akan mengalami keruntuhan. Kerjasama atau gotongroyong
dengan semangat tinggi, perlu dipupuk dan dipertahankan
eksistensi dalam masyarkat. Dengan kata lain motivasi
kerjasama itu haruslah lebih bermakna dari sekedar kalkulasi
pragmatis. Motivasi kerjasama berlandaskan pada spirit, dan
jiwa kemasyarakatan yang membuka ruang saling menghargai
antara sesama warganegara.
Apabila orientasi uang dan kekuasaan hingga mengganti
spirit tersebut dan diikuti dengan paksaan dan kekerasaan
sebagai aturan permainan, sudah tentu tidak bisa lagi orang
berbicara tentang demokrasi. Itilah sebabnya seorang pakar ilmu
sosial mengatakan bahwa andaikata demokrasi terpaksa runtuh,
maka keruntuhan itu pasti diakibatkan oleh keserakahan pada
uang dan kekuasaan yang dibiarkan tumbuh subur dalam
masyarakat. Dengan kata lain nilai-nilai domokrasi akhirnya
“diperkosa” oleh libido serba instan yang dibiarkan merajalela
dalam masyarakat. Kehidupan yang konsumtif dan kapitalistik
dengan berbagai motif antisosial sudah tentu akan menjadi
penghambat demokrasi dan pada saat yang sama
menghancurkannya dalam jangka panjang.

10. Hak untuk melakukan koreksi.


Akhirnya demokrasi membuka ruang adanya koreksi yang
dilakukan rakyat kepada penguasa melalui suatu mekanisme
koreksi yang difungsikan secara efektif manakala terjadi
penyelewengan atau perbuatan kesewenangan dari penguasa.
Salah satu musuh demokrasi adalah rutinitas yang dapat
memperkukuh kemapanan sehingga bila terjadi deviasi,
pendekatan institusional dan legalistik tidak lagi memadai.
Dalam pendekatan seperti inilah rakyat harus diperbolehkan
protes untuk meluruskan cara kerja pemerintahnya yang dinilai
sudah mulai bengkok dan menyimpang dari tujuan dan norma-
norma hokum positif yang ada.
Reinhold Niebuhr 50 tahun yang lalu mengingatkan bahwa
kelompok-kelompok elite dalam masyarakat menikmati
berbagai keuntungan, sebagai kelompok-kelompok privelese,
dan selalu berusaha mengidentifikasikan dirinya sebagai penjaga
hukum dan tertib masyarakat. Seolah-olah tanpa mereka
masyarakat akan kacau dan bangkrut. Terhadap kelompok elite
penguasa seperti itulah rakyat dalam alam demokrasi
diperbolehkan protes dan menggugat agar berbagai
penyelewengan yang selalu mengatasnamakan kepentingan
kelompok dan individu perlu dipangkas dalam alam
demokrasi.Dengan demikian, semua itu merupakan berbagai
indikator atau elemen-elemen dasar dari demokrasi ini
merupakan patokan umum atau kriteria sebuah negara
menjalankan demokrasi dengan baik
3.2 Penutup
3.1.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan
berada di tangan rakyat. Ini memberikan hak kepada warga
negara untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan politik dan menentukan pemimpin mereka.
2. Jenis-jenis demokrasi mencakup demokrasi langsung dan
demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung melibatkan
partisipasi langsung dari rakyat dalam pengambilan keputusan,
sedangkan demokrasi perwakilan melibatkan pemilihan wakil
yang akan mengambil keputusan atas nama rakyat.
3. Perkembangan demokrasi di Indonesia telah melewati berbagai
tahap. Dari masa Orde Lama yang otoriter, kemudian ke masa
Orde Baru yang penuh dengan pelanggaran hak asasi manusia,
hingga saat ini di mana Indonesia telah mengalami reformasi
politik dan pemilihan umum yang memberikan kesempatan bagi
rakyat untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik.
4. Beberapa kriteria untuk menilai apakah sebuah negara
menjalankan demokrasi dengan baik adalah:
a. Kebebasan dan hak asasi manusia: Situasi kebebasan
berbicara, berserikat, dan berkumpul harus dijaga
dengan baik. Hak asasi manusia harus dihormati dan
dilindungi oleh negara.
b. Keadilan dan kesetaraan: Semua warga negara harus
diperlakukan secara adil dan setara di mata hukum
tanpa adanya diskriminasi.
c. Partisipasi politik: Rakyat harus memiliki kesempatan
yang adil untuk berpartisipasi dalam proses politik,
termasuk pemilihan umum yang transparan dan bebas.
d. Akuntabilitas: Pemerintah harus bertanggung jawab
kepada rakyat dan menjalankan tugasnya dengan
integritas dan transparansi.
e. Daerah otonom: Adanya kebebasan daerah untuk
mengambil keputusan di tingkat lokal yang sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi mereka.

Dengan menjalankan demokrasi yang baik sesuai dengan kriteria di atas,


negara dapat mencapai stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, dan kesejahteraan bagi seluruh warganya.

3.1.2 Saran
Berikut adalah beberapa saran yang dapat diberikan sesuai dengan
konteks kesimpulan tersebut:

1. Pendidikan Demokrasi: Pemerintah dan lembaga pendidikan


harus mengedepankan pendidikan demokrasi kepada
masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan
pendidikan demokrasi dalam kurikulum sekolah dan melakukan
program-program yang melibatkan siswa dalam kegiatan politik.
2. Perlindungan Hak Asasi Manusia: Pemerintah perlu
meningkatkan perlindungan hak asasi manusia dan menegakkan
keadilan. Ini melibatkan penegakan hukum yang adil dan
transparan serta langkah-langkah untuk mencegah diskriminasi.
3. Partisipasi Politik: Pemerintah harus memastikan bahwa semua
warga negara memiliki kesempatan yang adil untuk
berpartisipasi dalam proses politik. Hal ini dapat dilakukan
dengan menjaga keadilan dalam pemilihan umum,
menghilangkan hambatan partisipasi politik, dan memberikan
akses informasi yang transparan.
4. Penguatan Akuntabilitas: Pemerintah harus mengadopsi sistem
yang memungkinkan masyarakat untuk memantau dan
mengevaluasi kinerja pemerintah. Ini dapat dilakukan melalui
praktik transparansi, penyampaian laporan kinerja secara
terbuka, dan mekanisme pelaporan yang efektif.
5. Pemberdayaan Daerah Otonom: Pemerintah harus memberikan
otonomi yang cukup kepada daerah dalam pengambilan
keputusan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka.
Ini dapat dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada
daerah untuk mengatur kebijakan lokal dan meningkatkan
keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Saran-saran ini secara keseluruhan akan membantu meningkatkan


praktik demokrasi, memastikan perlindungan hak asasi manusia,
meningkatkan partisipasi politik, meningkatkan akuntabilitas, dan
memperkuat otonomi daerah. Dengan menerapkan saran-saran ini,
diharapkan negara dapat memperkuat fondasi demokrasi dan mencapai
perkembangan yang lebih baik bagi masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA

https://eprints.uad.ac.id/9437/1/DEMOKRASI%20dwi.pdf
https://staffnew.uny.ac.id/upload/131655980/lainlain/Membedah
%20Demokrasi%20FULL-%20Sunarso.pdf
https://static.america.gov/uploads/sites/8/2016/07/Democracy-in-Brief_In-
Brief-Series_English_Hi-Res.pdf
https://www.hukumonline.com/berita/a/pengertian-demokrasi--sejarah--dan-
pelaksanaan-di-indonesia-lt61b739dbb5bf8/
http://repository.uinbanten.ac.id/7562/4/BAB%20II.pdf
https://www.mpr.go.id/pengkajian/
05_HKBP_KA_Penegasan_Demokrasi_Pancasila_Unpad.pdf
https://repositori.kemdikbud.go.id/20568/1/Kelas%20XI_PPKn_KD
%203.2.pdf

Anda mungkin juga menyukai