Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

POLITIK DALAM ISLAM

“Demokrasi Islami”

Dosen : Dr. Drs. Fuad Mas’ud, MIR

Disusun Oleh :

Nama : Andika Alfi Khoyron

Nim : 12010123120011

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2023
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................................................................i

KATA PENGANTAR .................................................................................................................ii

DAFTAR ISI ...............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................................1

1.1. Latar Belakang ...............................................................................................................1


1.2. Rumusan Masalah ..........................................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan ............................................................................................................2
1.4. Manfaat ..........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................3

2.1. Hakikat Demokrasi ........................................................................................................3


2.1.1. Kedaulatan Rakyat .............................................................................................3
2.1.1. Jaminan atau Kebebasan Umum ........................................................................4
2.2. Pandangan Demokrasi Dalam Kajian Islam .................................................................5
2.2.1. Menolak Demokrasi ...........................................................................................6
2.2.2. Kelompok Moderat ...........................................................................................6
2.2.3. Kelompok Pro Demokrasi..................................................................................6
2.3. Kaidah-Kaidah Demokrasi Islam ...................................................................................7
2.3.1. Ta’aruf atau Saling Mengenal ............................................................................7
2.3.2. Syura atau Musyawarah .....................................................................................7
2.3.3. Ta’awun atau Kerja Sama ..................................................................................7
2.3.4. Mashlahah atau Menguntungkan Masyarakat....................................................8
2.3.5. ‘Adl atau Adil.....................................................................................................8
2.3.6. Taghyir atau Perubahan......................................................................................8

BAB III PENUTUP ....................................................................................................................9

3.1. Kesimpulan ...................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 10

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas karunia Allah SWT, karena berkat limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini tanpa suatu halangan apapun, serta tepat pada
waktunya. Makalah ini akan membahas mengenai “Politik Dalam Islam : Demokrasi Islam”.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai pengumpulan data dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaiakan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh
karana itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyusun
makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang dapat membangun
kami. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Semarang, 30 Oktober 2023

Penulis

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang paling banyak digunakan negara-negara
di dunia. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya
berasal dari rakyat. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani dēmokratía (kekuasaan rakyat),
yang dibentuk dari kata dêmos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), merujuk pada sistem politik
yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani Kuno, khususnya Athena.
Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles. Abraham Lincoln
mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".
Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat
mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan.
Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Prinsip demokrasi terdiri dari: : kedaulatan rakyat; pemerintahan berdasarkan persetujuan
dari yang diperintah; kekuasaan mayoritas; hak-hak minoritas; jaminan hak asasi manusia;
pemilihan yang bebas, adil dan jujur; persamaan di depan hukum; proses hukum yang wajar;
pembatasan pemerintah secara konstitusional; pluralisme sosial, ekonomi, dan politik; nilai-nilai
toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas).
Dewasa ini, masih banyak orang Islam yang menganggap demokrasi sekedar musyawarah
dan pemilihan penguasa, tanpa mencermati bahwa ada hal yang sangat mendasar yang terdapat
dalam demokrasi yang hal itu sangat bertolak belakang dengan Islam, yakni kedaulatan rakyat.
Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah (artikata.com).
Jadi, kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan
masyarakat atau atas diri sendiri (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).
Isu demokrasi ini menjadi perbincangan hangat diantara para pemikir Islam, karena secara
eksplisit, memang istilah demokrasi tidak ditemukan dalam dua sumber ajaran Islam yakni Al-
Qur’an dan hadis. Jadi demokrasi masuk kedalam ranah ijtihad, yang dari sana terlahir sebuah
perdebatan-perdebatan.
Jika kedaulatan diserahkan kepada rakyat berarti rakyatlah yang memiliki hak tertinggi
dalam suatu negara untuk menentukan hukum dalam negara itu, menetapkan baik-buruk, boleh-
terlarang atau halal-haram. Apakah hal ini sesuai dengan islam yang diyakini sebagai aturan
hidup?.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Bagaimana hakikat demokrasi ?
2. Bagaimana pandangan demokrasi dalam kajian islam ?
3. Bagaimana kaidah-kaidah demokrasi islam ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui hakikat demokrasi.
2. Untuk memahami pandangan demokrasi dalam kajian islam.
3. Untuk mengetahui apa saja kaidah-kaidah demokrasi islam.
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan adanya makalah ini diharapkan memiliki manfaat untuk pembaca agar memahami
mengenai politik islami khususnya bidang demokrasi dalam islam serta rincian-rincian dari
demokrasi islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hakikat Demokrasi
Sistem demokrasi dinegara manapun selalu mecerminkan paling tidak dua hal, yakni
kedaulatan rakyat dan jaminan atas kebebasan umum.
2.1.1. Kedaulatan Rakyat
Dengan memperhatikan fakta pelaksanaan demokrasi, anggapan yang menyatakan
kedaulatan ada di tangan rakyat jelas keliru. Di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah
rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa dan pengusaha. Bahkan
kebijakan dan keputusan pemerintah sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik
modal, baik lokal maupaun asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang
merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden yang katanya
perpanjangan dari kepentingan rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat bertabrakan
dengan kemauan rakyat atau mayoritas rakyat.
Khusus di Indonesia, kelompok mayoritas adalah muslim, tetapi kenyataanya yang
senantiasa diuntungkan adalah kelompok nonmuslim karena kekuasaan atau modal dimiliki
oleh kelompok minoritas non-muslim (atau yang mengaku muslim). Jadi, secara fakta, asas
kedaulatan rakyat hanya alat untuk memanfaatkan rakyat sebagai batu loncatan bagi elit
politk untuk menduduki posisi dan mengumpulkan uang bagi diri dan kroni-kroninya.
Lebih dari itu, kedaulatan rakyat sebagai asas terpenting demokrasi, sangat
bertentangan dengan Islam. Justru pada aspek inilah demokrasi secara nyata bertentangan
dengan Islam. Dalam al-Qur’an surah al-Tawbah ayat 31 Allah swt. Berfirman :

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah
dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya
disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.
Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. Al - Tawbah [9]: 31)
Karena itu, Islam menetapkan kedaulatan hanya di tangan Syari’ lewat hukum syariah
(QS. al-An‘am [6]: 57). Bahkan dalam Islam ditegaskan, siapa saja yang tidak berhukum
kepada apa yang diturunkan Allah dihukumi kafir, zalim atau fasik (QS. al-Maidah [5]:
44,48,49). Apalagi jika hak untuk menetapkan hukum sendiri telah dirampas dari Allah lalu
diserahkan kepada manusia. Ketika Allah telah menetapkan aturan-aturan, menegaskan

3
halal-haramnya sesuatu, lalu wakil-wakil rakyat dengan kedaulatannya membuat aturan lain,
atau membatalkan hukum dan menggantinya dengan hukum lain, maka pada saat itu,
manusia telah bertindak dan menempatkan diri mereka sederajat atau lebih tinggi dari Allah
swt, nauzu billah!.
Karena asas kedaulatan rakyat inilah, demokrasi merupakan sistem batil atau sistem
kufr, haram secara mutlak bagi umat Islam untuk menerapkan dan menyebarluaskannya
(Abd Qadim Zallum, 2009: 1)
2.1.2. Jaminan atas Kebebasan Umum
Kebebasan umum atau kebebasan pribadi yang merupakan hak-hak asasi dalam
pandangan demokrasi wajib dilindungi, yakni :
1. Kebebasan beragama. Dalam demokrasi, seseorang berhak meyakini suatu
agama/keyakinan yang dikehendakinya tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula
meninggalkan agama dan keyakinannya, lalu berpindah pada agama atau keyakinan
baru. Seseorang juga berhak untuk tidak beragama atau membuat ‘agama baru’. Jelas ini
bertentangan dengan Islam. Memang, dalam Islam tidak ada paksaan dalam memeluk
agama Islam. Ini diserahkan sepenuhnya kepada individu masing-masing (QS. Ali Imran
[3]: 19). Namun, tatkala seseorang telah memeluk agama Islam, dia berkewajiban untuk
tunduk dan patuh pada syariah atau aturan-aturan Allah (QS. alBaqarah [2]: 208),
termasuk di dalamnya keharaman untuk keluar dari agama Islam.
2. Kebebeasan berpendapat. Setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide
apapun dan bagaimanapun bentuknya tanpa tolok ukur halal-haram. Tidak aneh, dalam
demokrasi, kita mendapati banyak pendapat yang dipakai untuk ‘menghujat’ Islam;
seperti bahwa Islam adalah ajaran Muhammad (Mohammadanisme), bukan syariah
Allah; al-Quran adalah produk budaya, tidak sakral, dan lainlain. Hal ini bertentangan
dengan Islam.
3. Kebebasan kepemilikan. Seseorang boleh memiliki harta (modal) sekaligus
mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun. Di Indonesia, pihak asing bahkan
diberikan kebebasan untuk menguasai Seseorang boleh memiliki harta (modal) sekaligus
mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun. Di Indonesia, pihak asing bahkan
diberikan kebebasan untuk menguasai.
4. Kebebasan berperilaku. Setiap orang bebas untuk berekspresi, termasuk
mengekspresikan kemaksiatan seperti: membuka aurat di tempat umum, berpacaran,
berzina, menyebarluaskan pornografi, melakukan pornoaksi, melakukan praktik
homoseksual dan lesbianisme, dan lain-lain (al-Islam, ed. 379).

4
2.2. Pandangan Demokrasi Dalam Kajian Islam
Berbicara tentang Islam dan demokrasi adalah merupakan suatu permasalahan yang selalu
kontemporer, ia selalu actual untuk diperbincangkan meskipun telah dibahas lama, hingga
sekarang belum ada kata sepakat mengenai relasi Islam dan demokrasi dikalangan umat muslim.
Kecenderungan yang terjadi justru menunjukkan bahwa masalah ini semakain jauh dari kata
selesei.
Demokrasi merupakan konsep baru dalam wacana politik Islam, kaum muslim baru
berkenalan dengan demokrasi sejak awal abad lalu, yaitu setelah adanya perbebenturan
kebudayaan antara Islam dan Barat, berawal dari zaman kolonialisme dan imperialism, lalu
diikuti kemajuan teknologi yang memungkinkan setiap orang mengakses beragam informasi dari
segala penjuru dunia dalam waktu yang relative singkat.
Pada mulanya, banyak yang menolak demokrasi, terutama karena kecurigaan mereka
terhadap apa saja yang datang dari barat. Namun, karena konsep itu semakin popular,
tampaknya tidak banyak pilihan bagi mereka selain menerimanya, jadi sejak paruh kedua abad
lalu, demokrasi diterima secara luas oleh kaum muslimin baik dari kelompok liberal maupun
konservatif, mereka mengakui nilai-nilainya dan menganggapnya system ideal yang bisa
diterapkan dalam kehidupan politik. Hanya sedikit kelompok islam yang menolak konsep itu,
mereka biasanya adalah minoritas radikal, yang pada dasarnya bukan hanya menolak demokrasi,
melainkan juga menolak cara-cara konstitusional, mereka mengatakan bahwa Islam
bertententangan dengan demokrasi.
Menurut John L. Esposito, pandangan yang mengatakan Islam tidak sejalan dengan
demokrasi adalah karena mereka memandang dari sudut pengalaman Negara-negara yang
mayoritas muslim yaitu pengalaman tentang raja-raja, para penguasa militer dan eksmiliter yang
memiliki legitimasi yang lemah ditopang oleh kekuatan-kekuatan militer dan keamanan.
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Bahtiar effendi aktifis LIPPI dan pengamat
politik yang menyatakan bahwa pada umumnya Negara Islam tersebut tidak mempunyai
pengalaman demokrasi yang memadai, dan kelihatannya tidak mempunyai prospek untuk
melakukan proses transisi kendatipun hanya ke semi demokrasi. Negara yang mempunyai
pengalaman system pemerintahan tersebut adalah Suriah putra presiden menggantikan ayahnya
untuk menduduki jabatannya, dan banyak kemungkinan yang sama dalam praktek
kepemerintahan dunia Arab.
Para cendekiawan muslim membahas masalah hubungan Islam dan demokrasi dengan
mengunakan dua pendekatan yakni normative dan empiris, yang pada akhirnya menimbulkan
perbedaan pendapat dalam menyikapi wacana ini. Pada dataran normative, mereka
mempersoalkan nilai-nilai demokrasi dari sudut pandang ajaran Islam atau kembali kepada teks
al-Qur’an. Sementara pada dataran empiris, mereka menganilisi implementasi demokrasi dalam
praktek politik dan ketatanegaraan.

5
Dalam membahas relasi Islam dengan demokrasi, maka ada tiga kelompok atau pandangan
yang berkembang dalam dunia Islam:
1. Menolak Demokrasi
Pandangan atau aliran yang menyatakan bahwa antara Islam dan demokrasi
merupakan dua hal yang berbeda, antara keduanya tidak bisa disatukan, bahkan saling
bertolak belakang. Demokrasi merupakan sesuatu yang harus ditolak, karena merupakan
sesuatu yang imposibble, dan merupakan ancaman yang perlu untuk dihindari.
2. Kelompok Moderat
Pandangan yang kedua ini menyatakan bahwa, Islam bisa menerima adanya
hubungan dengan demokrasi. Di satu sisi Islam memiliki persamaan dengan demokrasi,
namun di sisi lain juga ada perbedaan. Islam bisa menerima hubungan demokrasi, akan
tetapi dengan beberapa catatan penting. Jadi, pandangan ini tidak sepenuhnya menolak dan
tidak sepenuhnya menerima hubungan Islam dan demokrasi.
Bila diamati, antara Islam dan demokrasi memang terdapat sisi-sisi persamaan, jika
yang dimaksud demokrasi itu adalah yang mengandung nilai-nilai atau ide-ide normative,
seperti: konsultasi, keadilan, dan persamaan. Hubungan antara Islam dan politik seperti
inilah yang dimaksud dengan hubungan substansialitik. Namun hal yang membedakan
antara Islam dan demokrasi adalah bahwa dalam islam ada kewajiban untuk melaksanakan
perintah-perintah Tuhan, menegakkan hukum-hukum Tuhan (hukum Tuhan berada di atas
consensus umat). Segala keputusan dan kebijakan-kebijakan yang disepakati, walaupun
melalui suatu mekanisme yang demokratis sekalipun tidak boleh bertentangan dengan
hukum Tuhan.
3. Kelompok Pro Demokrasi
Berbeda dengan dua pendapat diatas, kelompok pemikiran ketiga ini bahwa Islam di
dalam dirinya demokratis karena menerima sepenuhnya demokrasi sebagai suatu yang
universal. Kelompok ini menyatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan
demokrasi. Demokrasi inhern atau bagian integral dari Islam dan oleh karenanya, demokrasi
tidak perlu dijauhi dan malah menjadi urusan bagian urusan Islam. Islam di dalam dirinya
demokratis tidak hanya karena komsep syura (Musyawarah), tetapi ia juga mencakup
tentang ijma’ (persetujuan), dan penilaian interpretative yang mandiri yakni ijtihad.
Jadi menurut pandangan ketiga ini demokrasi merupakan cara yang paling baik untuk
menghindari kezaliman, kemusyrikan, dan otoritarianisme terhadap teksteks suci Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi. Hal tersebut untuk menghindari kesewenangwenangan yang dilakukan
oleh individu-individu, kelompok maupun organisasiorganisasi yang mengaku telah
mengetahui maksud Tuhan dengan pasti, serta memaksakan kehendakknya terhadap
kelompok lain.

6
2.3. Kaidah-Kaidah Demokrasi Islam
Substansi hak-hak asasi dalam masyarakat demokratis itu ada tiga, yaitu :
1) Hak politik (Demokrasi Politik, mengenai hubungan negara dengan masyarakat).
2) Hak sipil (Demokrasi Sosial dan Demokrasi Ekonomi, mengenai hubungan elite
dengan massa).
3) Hak aktualisasi diri (Demokrasi Budaya dan Demokrasi Agama, mengenai hubungan
negara dengan warga negara, serta hubungan antar warganegara).
Kaidah-kaidah Demokrasi Islam meliputi :
2.3.1 Ta’aruf atau Saling Mengenal
Taaruf sangat penting dalam kaidah demokrasi yang bertujuan untuk saling mengenal
dan menyakinkan warga atau pelaku demokrasi agar dapat mengetahui dan mengenal lebih
dalam tentang calon pemimpin mereka.
Misalnya begini, ada pemilihan legislatif dan eksekutif serentak yang akan digelar.
Momen tersebut menjadi pesta demokrasi akbar bagi seluruh warga di negeri ini. Namun kita
sering mendengar, terutama memilih calon legislatif, masyarakat kebanyakan bingung untuk
menentukan pilihan. Kecuali tetangga, keluarga, teman, dan mantannya yang menjadi calon
legislatif, itu beda lagi.
2.3.2 Syura atau Musyawarah
Setelah saling mengenal, maka interaksi menjadi lebih mudah dilakukan. Dalam
konteks demokrasi, interaksi ini masuk wilayah musyawarah (syura). Tapi harus dengan
catatan, musyawarah dilakukan dengan dasar kesetaraan. Tidak ada istilah mayoritas dan
minoritas, status sosial juga harus ditinggalkan. Dengan demikian, segala aspirasi dari
masing-masing pihak bisa dicari mufakatnya. Ya mentok-mentoknya menggunakan voting.
2.3.3 Ta’awun atau Kerja Sama
Nah, musyawarah saja tidak cukup untuk penerapan kaidah demokrasi, harus
diwujudkan dengan laku. Konteks laku pada demokrasi berarti kerjasama (ta’awun).
Sederhananya, jika musyawarah menyelaraskan wacana, gagasan, atau ide, sedangkan
kerjasama mewujudkan hasil musyawarah dengan tindakan konkret.
Jangan lupa juga, musyawarah dan kerjasama ini hasilnya untuk kepentingan
umum (mashlahah), bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Bahwa Indonesia
memiliki ragam suku, bahasa, tradisi, partai, dan golongan, itu memang benar adanya. Namun
keputusan yang dihasilkan harusnya juga memiliki dampak untuk kepentingan umum,
khususnya untuk Negara Indonesia.

7
2.3.4 Mashlahah atau Menguntungkan Masyarakat
Demokrasi itu harus menguntungkan masyarakat. karena pada hakikatnya, demokrasi
di indonesia itu rakyat memiliki kedudukan tertinggi, jadi rakyat termasuk hal yang paling
diperhatikan dalam demokrasi.
2.3.5 ‘Adl atau Adil
Kaidah demokrasi yang terakhir adalah harus berlaku adil (‘adl). Adil pada siapapun,
kapanpun, dan dimanapun. Tidak tebang pilih. Jika bersalah, walaupun dewan atau gubernur,
ya harus dihukum sesuai aturan yang berlaku. Jika wong cilik, punya hak untuk menyuarakan
aspirasinya, maka jangan diintimidasi. Jika penguasa mempunyai kewajiban mensejahterakan
rakyatnya, ya harus dilaksanakan.
2.3.6 Taghyir atau Perubahan
Demokrasi menuntut suatu perubahan yang memang sejalan dengan perkembangan
kesadaran manusia yang selalu ingin mengadakan perbaikan. Seperti halnya yang digariskan
dalam al-Qur’an. Dalam artian Allah mendukung peran manusia dalam berproses untuk
berubah mulai dari tahap ke tahap, bagaimanapun perubahan itu akan berlangsung.

8
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Definisi demokrasi mengalami banyak perubahan sesuai dengan prakteknya, namun, yang
dianggap tepat adalah demokrasi menurut Abraham Lincoln, yakni pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Intinya demokrasi adalah suatu tata pemerintahan dimana rakyat
baik secara langsung maupun tidak langsung berkuasa dan berdaulat penuh.
Pada hakikatnya, sistem demokrasi dinegara manapun selalu mecerminkan paling tidak dua
hal, yakni kedaulatan rakyat dan jaminan atas kebebasan umum. Kedaulatan rakyat sebagai asas
terpenting demokrasi, sangat bertentangan dengan Islam. Justru pada aspek inilah demokrasi
secara nyata bertentangan dengan Islam. Kebebasan umum atau kebebasan pribadi yang
merupakan hak-hak asasi dalam pandangan demokrasi wajib dilindungi, yakni kebebasan
beragama, berpendapat, kepemilikan dan berperilaku.
Terjadi perbedaan tanggapan diantara pemikir Islam tentang keberadaan demokrasi dalam
dunia Islam, hingga dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok : Pertama, kelompok menolak
demokrasi dengan alasan demokrasi hanya sebuah alat barat semata, manusia tidak berhak
mengatur hukum, yang berhak hanyalah Allah SWT. Kedua, Kelompok moderat, kelompok yang
tidak dengan serta merta menerima dan menolak demokrasi, demokrasi baru dapat diterima jika
sudah melalui proses Islamisasi. Ketiga, Pro Demokrasi yaitu kelompok yang menerima
demokrasi secara utuh, karena demokrasi memiliki hubungan simbiosis mutualisme, oleh karena
itu, Demokrasi dan Islam tidak dapat dipisahkan.
Kaidah-kaidah demokrasi yakni meliputi ta’aruf (saling mengenal), syura’ (musyawarah),
ta’awun (kerja sama), mashlahah (menguntungkan masyarakat), ‘adl (adil), dan taghyir
(perubahan).

9
DAFTAR PUSTAKA

Hanan, Basri. (2013). Pandangan Islam Terhadap Sistem Demokrasi. Ejournal.iainkendari


Vol. 6, No. 1.https://ejournal.iainkendari.ac.id/index.php/almunzir/article/view/230/220
Diakses 24 Oktober 2023
Abdurrahman, Hafidz. Diskursus Islam Politik dan Spiritual. Cet. 3; Bogor: Al-Azhar Press,
2010.
Asyaukani, Luthfi. Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara di Indonesia, terj, Samsudin
Berlian, Jakarta: Freedom Institute, 2011.
Anwar, M.Syafi’I. Pemikiran dan Aksi Islam (sebuah kajian politik tentang cendekiawan
Muslim orde baru), Jakarta: Paramadina, 1995.
Prof. Dr. Kuntowijaya. 2018. Identitas Politik Umat Islam. Yogyakarta : IRCiSoD.

10

Anda mungkin juga menyukai