Disusun oleh:
FAKULTAS SYARI’AH
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Meskipun
banyak rintangan dan hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tetapi kami
dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.Makalah ini kami buat guna memenuhi tugas mata
kuliah “Teori-Teori Politik”, makalah ini membahas tentang Teori-Teori Demokrasi.
Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan pengetahuan lebih dan
bermanfaat bagi para pembacanya, kami juga menyadari dalam pembuatan makalah ini masih
jauh dari kata sempurna sehingga kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam
penyusunan makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhoi kita semua.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. RUMUSAN MASALAH
iii
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata Yunani, yaitu demos yang
berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos yang berarti
kekuasaan atau kedaulatan. Demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki
arti suatu sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Secara terminologi,
demokrasi merupakan keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya,
kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan
bersama rakyat (Syafiie, 2013). Kemudian terdapat pengertian demokrasi menurut
beberapa ahli anatara lain sebagai berikut (Putra, 2010) :
Sistem demokrasi ini pertama kali digunakan pada zaman Yunani Kuno yang
diutarakan di Athena pada abad ke-5 SM. Muncul di Yunani kuno/Athena sebagai
demokrasi langsung (direct democracy). Karena pada waktu bentuk negaranya adalah
negara kota atau disebut negara polis. Kemudian sejarah Yunani kuno sebagai dasar
demokrasi, berbeda dengan demokrasi setelah revolusi Perancis, letak perbedaannya
ialah pada demokrasi Yunani Kuno tidak mengenal pluralitas.
Setelah ribuan tahun tenggelam,ide ini muncul lagi di abad pertengahan, dengan
adanya doktrin pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan berasal dari para filsuf Yunani.
Pemakaian konsep demokrasi di zaman modern dimulai sejak terjadinya pergolakan
revolusioner dalam masyarakat Barat pada akhir abad ke-18. Sehingga menyebabkan
perubahan yang awalnya demokrasi lamgsumg menjadi demokrasi tidak langsung atau
disebut juga dengan demokrasi perwakilan. Beberapa negara yang masih menggunakan
1
sistem demokrasi untuk mengatur pemerintahannyaa, demokrasi dianggap sistem paling
tepat karena (Madjid, 1994) :
Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu
politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator
perkembangan politik suatu negara. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya
pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip
trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus
digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan
ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar
ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan
kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak
asasi manusia. Adapun prinsip-prinsip dalam demokrasi antara lain (Madjid, 1994):
B. TEORI-TEORI DEMOKRASI
Teori demokrasi berasal dari dua sukua kata yakni teori dan demokrasi. Teori
merupakan cara, model kerangka pikiran ataupun pendapat yang dikemukakan oleh
seseorang sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa. Sedangkan demokrasi
merupakan suatu sistem pmerintahan dimana rakyat memiliki kekuasaan atau
kemampuan untuk turut andil dalam pemerintahan. Ada beberapa teori-teori
demokrasi sebagai berikut (Suhelmi, 2001) :
2
ideal yang dikenal sebagai bentuk negara kalsik-tradisional. Para penganut
aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino.
3
deskriptif, institusional dan prosedural. Karena itulah teori ini juga dikenal
dengan teori Demokrasi Prosedural. Teori ini dominan sejak tahun 1970-an
yang juga mewarnai pemikiran ilmuan – ilmuan seperti Palma, Dahl,
Przeworski, huntington, Diamond, Linz dan Lipset.
Teori schumpeter ini juga mendapat kritik dari Terry Karl. Dia
menyebutkan bahwa dalam teori tersebut terdapat kekeliruan elektoralisme
yaitu :
- Terlalu mengistimewakan pemilu diatas dimensi – dimensi yang lain.
- Mengabaikan kemungkinan yang ditimbulkan oleh pemilu multipartai
dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing
dalam memerebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela
kepentingannya.
- Teori Schumpeter memunculkan quasi demokrasi (demokrasi semu).
4
bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa
mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan
selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu
mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di dalam
praksinya.
Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau
memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi
alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu
dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan
keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites
manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan
pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah
keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa
hasrat manusia itu tidaklah terbatas.
Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah,
terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam
kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian
menjadi semakin mencekam. Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan
akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang satu dengan lainnya itu
dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia
tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil.
Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara
satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan
bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa
mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya
mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan
independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia
lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari
kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah
sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena
manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang
salah dalam pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul,
menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu
oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi,
beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-
dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum
alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat
memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak
yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan
sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya
punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya
5
Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang
tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan
kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-
masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya,
akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan
dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan
saling kepercayaan(fiduciary trust).
Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya
dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi
perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan
bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam
menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha
menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka
terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi
alam.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan
moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki
oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati,
lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-
hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada
gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan
orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil,
maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak
bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan
pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau
mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale)untuk
dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari
semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of
the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality
of the ‘object’ sought).
6
negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai
berikut.
a. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
b. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
c. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-
undang (mengadili).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan
untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila
terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa
satu orang atau lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan
merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh
karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi,
haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu
kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.
Berbeda dengan John Locke dalam bukunya yang berjudul “Two
Treaties og Goverment” yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga tipe
kekuasaan yaitu :
a. Legislatif yang merupakan kekuasaan untuk membuat dan menyusun
undang-undang.
b. Eksekutif yang merupakan kekuasaan negara untuk melaksanakan
undang-undang.
c. Federatif yang merupakan kekuasaan untuk melaksanakan hubungan luar
negeri.
7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
iv
DAFTAR PUSTAKA
Putra, R. M. (2010). Etika dan Tertib Warga Negara. Jakarta: Salemba Humanika.
Syafiie, I. K. (2013). Ilmu pemerintahan (Edisi Revisi Kedua). Bandung: CV. Mandar Maju.