Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH AGAMA

Demokrasi dan Politik Dalam Islam

Oleh :

Annisa Afritika (1711212012)


Melsi Eka Putri (171121

Dosen Pengampu Mata Kuliah :


Dr. Syar’i Sumin, M.Ag
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah S.W.T. karena
atas berkat rahmat serta kehendak-Nya lah kami dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah ini. Dalam menyelesaikan makalah ini, banyak kesulitan
yang kami hadapi. Namun berkat kerjasama kami dan bimbingan dari Dosen
Agama kami, makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Kami menyadari, sebagai mahasiswa yang pengetahuannya belum
seberapa dan masih perlu banyak belajar dalam penulisan makalah, makalah ini
masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini
menjadi lebih baik dan berguna di masa yang akan datang.
Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat dan
berguna bagi para pembaca ke depannya.

Padang, 5 November 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan ................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN .................................................... 4
2.1 Pengertian Demokrasi
2.2 Demokrasi dan Islam
2.3 Prinsip Demokrasi Dalam Islam
2.4 …
2.5 …
2.6 …
2.7 …
2.8 …
2.9 …

BAB III PENUTUP ............................................................


3.1 Kesimpulan ..............................................................
3.2 Saran ..........................................................................
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara historis, demokrasi muncul sebagai respon terhadap system
monarchi diktator Yunani pada abad 5 M. pada waktu demokrasi ditetapkan dalam
bentuk systemnya dimana semua rakyat (selain wanita, anak dan budak) menjadi
pembuat undang-undang.
Demokrasi pada substansinya adalah sebuah proses pemilihan yang
melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan
mengurus tata kehidupan komunal mereka. Demokrasi sering diartikan sebagai
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan
keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-
idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan),
human right (hak asasi manusia), dst. Secara normatif, Islam menekankan pentingnya
ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu,
anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan
prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud
masyarakat yang aman dan sejahtera.
Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai nilai universal Islam.
seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi dalam
dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Melihat adanya
problem, berarti tidak semuanya demokrasi kompatibel dengan ajaran Islam. dalam
dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun
pada tingkat implementatif sering kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan
ajaran Islam dalam al-Qur'an, Assunnah dan ijtihad para ulama'.

3
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah :
1.2.1 Mengidentifikasi Pengertian Demokrasi
1.2.2 Mengidentifikasi Demokrasi dan Islam
1.2.3 Mengidentifikasi Prinsip Demokrasi Dalam Islam
1.2.4 …
1.2.5 …
1.2.6 ….
1.2.7 …
1.2.8 ….
1.2.9 ….

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.3.1 Tujuan umum
1.3.1.1 Untuk mengetahui identifikasi Demokrasi dan politik dalam Islam
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1.Untuk mengetahui definisi Pengertian Demokrasi
1.3.2.2 Untuk mengetahui Demokrasi dan Islam
1.3.2.3 Untuk mengetahui Prinsip Demokrasi Dalam Islam
1.3.2.4 …
1.3.2.5 …
1.3.2.6 …
1.3.2.7 …
1.3.2.8 …
1.3.2.9 …

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
Demokrasi dan Politik dalam Islam ( pengertian demokrasi, demokrasi dan islam,
demokrasi dalam islam,….

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Demokrasi


Istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di
athena kuno pada abad ke-5 SM. Kata demokrasi berasal dari kata demos yang
artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam pengertian ini, demokrasi
berarti demokrasi langsung yang dipraktikkan di beberapa negara kota di Yunani
kuno. Dengan demikian, demokrasi dapat bersifat langsung seperti yang di
Yunani kuno, berupa partisipasi langsung dari rakyat untuk membuat peraturan
perundang-undangan, atau demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui
lembaga perwakilan. Demokrasi tidak langsung ini cocok untuk negara yang
penduduknya banyak dan wilayahnya luas.
Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang lahir pada tahun 387 SM, yang
menguraikan kata demokrasi dalam hubungannya dengan kedaulatan negara,
apakah dipegang oleh satu orang, sekelompok orang atau banyak orang. Apabila
orang yang memegang kedaulatan untuk kepentingan orang banyak maka disebut
monarki. Kemudian apabila yang memegang kedaulatan sekelompok orang
untuk orang banyak disebut aristokrasi.
Kemudian ada pula ajaran dari Polybios, seorang ahli negara Yunani,
yang di Roma sebagai seorang tawanan perang. Polybios mengajarkan adanya
bentuk negara tersebut adalah terdiri dari 3 (tiga) bentuk ideal, dan 3 (tiga)
bentuk kemerosotan. Teorinya tentang perkembangan, bentuk negara didasarkan
atas asas dan akibat, sebab yang sama akan membawa akibat yang sama pula.
Dia menguraikan proses pertumbuhan dan musnah (lenyapnya) bentuk negara
secara psikologia, dan perkembangan dari bentuk negara yang satu ke bentuk
negara yang lainya akan merupakan suatu siklus (lingkaran).
Di dunia barat, seperti yang diajukan oleh Abraham Lincoln,
demokrasi diartikan sebagai “Pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk

5
rakyat (terjemahan dari Government by the people, from the people and for the
people).”
Demokrasi di dunia Barat, seperti di Eropa Barat, Inggris dan negara-
negara persemakmuran, Amerika Serikat dan negara-negara di wilayah
Skandinavia, dilaksanakan dalam kaitan ajaran tentang pembagian kekuasaan, di
mana badan pembuat undang-undang dilaksanakan parlemen yang dipilih oleh
rakyat, dan kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen, seperti
yang terjadi di Inggris dan Belanda, atau presiden yang bertanggung jawab
kepada rakyat seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Prancis.

2.2 Demokrasi dan Islam


Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai
bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin
melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju
demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup
terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam
bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Peraih Nobel Gunnar Myrdal dalam karya magnum opus-nya Asian
Drama mengidentifikasi seperangkat modernisasi ideal termasuk di dalamnya
demokrasi. Berkenaan dengan agama secara umum dan Islam khususnya, dia
mengatakan: Doktrin dasar dari agama-agama Hindu, Islam dan Budha tidaklah
bertentangan dengan modernisasi. Sebagai contoh, doktrin Islam, dan relatif
kurang eksplisit doktrin Budha, cukup maju untuk mendukung reformasi sejajar
dengan idealisme modernisasi.
Apabila demokrasi identik dengan egalitarianisme, maka Islam dan
Budha dapat memberikan dukungan bagi salah satu idealisme modernisasi
khususnya reformasi egalitarian. John O. Voll dan John L. Esposito, dua pakar
yang menjembatani Barat dan Timur tidak sepakat atas pandangan bahwa Islam
dan demokrasi tidak dapat ketemu. Menurut kedua pakar ini dalam khazanah
Islam terkandung konsep yang memberikan fondasi bagi muslim kontemporer
untuk mengembangkan program demokrasi Islam yang otentik.

6
Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E
Fuller (mantan Wakil Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis di
Jurnal Foreign Affairs:
“Kebanyakan peneliti Barat cenderung untuk melihat fenomena politik
Islam seakan-akan ia sebuah kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan
disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku yang mengatur sebuah
jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana yang mengkaji literatur utama
Islam mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Seakan-akan
ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”.
Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan
khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan
demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak
terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura
(musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid Ghannoushi,
Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan Syaikh Yusuf Qardawi serta
sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha
mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling pengertian yang
lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan demokrasi. Karena,
kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang pada
label yang dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan.
Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan
sebagai“pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di
mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik
langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya
dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik;
rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya
distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek-
aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi,
aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan
diri dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan
Islam, apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga

7
unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan
preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain.

2.3  Prinsip Demokrasi Dalam Islam


Sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam memberikan prinsip-
prinsip dasar dan tata nilai dalam mengelola organisasi atau pemerintahan. Al-
qur'an dan As-sunnah dalam permasalahan ini telah mengisyaratkan beberapa
prinsip pokok dan tata nilai yang berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan
bermasyarakat, berorganisasi, bernegara termasuk di dalamnya ada system
pemerintahan yang nota-benenya merupakan kontrak sosial. Prinsip-prinsip atau
nilai-nilai tersebut antara lain: prinsip Tauhid, As-syura (bermusyawarah)
Al-'adalah (berkeadilan) Hurriyah Ma'a Mas'uliyah (kebebasan disertai tanggung
jawab) Kepastian Hukum, Jaminan Haq al Ibad (HAM) dan lain sebagainya.

2.3.1 Prinsip Tauhid


Prinsip tauhid merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan
Islam (pemerintahan Islam). Sebab perbedaan akidah yang fundamental dapat
menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. Oleh sebab itu, Islam
mengajak kearah satu kesatuan akidah diatas dasar yang dapat diterima oleh
semua lapisan masyarakat, yaitu tauhid. Dalam alqur'an sendiri dapat ditemukan
dalam surat An-nisa' 48, Ali imron 64 dan surat al Ikhlas.

2.3.2 Prinsip Musyawarah (Syuro)


Musyawarah berarti mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan
pendapat. Dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan
berorganisasi dan bermasyarakat, paling tidak mempunyai tiga cara:
a.Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.
b.Kepeutusan yang ditetapkan pandangan minoritas.
c.Keputusan yang ditetapkan oleh pandangan mayoritas

Ini menjadi ciri umum dari demokrasi, meski perlu diketahui bahwa
"demokrasi tidak identik dengan syuro" walaupun syuro dalam Islam

8
membenarkan keputusan pendapat mayoritas, hal itu tidak bersifat mutlak.
Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak boleh menindas keputusan
minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang gerak bagi mereka yang
minoritas. Lebih dari itu, dalam Islam suara mayoritas tidak boleh
berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran ada
beberapa ayat yang berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah
dalam konteks pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga
dan anak-anak, seperti menyapih (berhenti menyusui) anak.

Hal ini sebagaimana terdapat pada surat al-Baqarah ayat 233. "apabila suami-
istri ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan
musyawarah antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya". Kedua:
musyawarah dalam konteks membicarakan persoalan-persoalan tertentu
dengan anggota masyarakat, termasuk didalamnya dalam hal berorganisasi.
Hal ini sebagaimana terdapat pada surat Ali-imron ayat 158.
"bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka dalam urusan
tertentu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkalah
kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya".
Meskipun terdapat beberapa Al-qur'an dan Assunnah yang menerangkan
tentang musyawarah. Hal ini bukan berarti al-Qur'an telah menggambarkan
system pemerintahan secara tegas dan rinci, nampaknya hal ini memang
disengaja oleh Allah untuk memberikan kebebasan sekaligus medan
kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad menemukan sistem
pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural. Sangat mungkin ini
salah satu sikap demokratis Tuhan terhadap hamba-hambanya.

2.3.3 Prinsip Keadilan (Al-'adalah)


Dalam memanage pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan,
sebab pemerintah dibentuk antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan
makmur. Tidaklah berlebihan kiranya jika al- Mawardi memasukkan syarat yang
pertama seorang pemimpin negara adalah punya sifat adil. Dalam al-Qur'an, kata

9
al-'Adl dalam berbagai bentuknya terulang dua puluh delapan kali. Paling tidak
ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh ulama :
1. Pertama, adil dalam arti sama. Artinya tidak menbeda-bedakan satu sama lain.
Persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak. Ini dilakukan dalam
memutuskan hukum. Sebagaimana dalam al qur'an surat an-Nisa' 58. "apabila
kamu memutuskan suatu perkara diantara manusia maka hendaklah engkau
memutuskan dengan adil".
2. Kedua: adil dalam arti seimbang. Disini keadilanidentik dengan kesesuaian.
Dalam hal ini kesesuaian dan keseimbangan tidak mengharuskan persamaan
kadar yang besar dan kecilnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan
darinya.
3. Ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan
hak-hak itu kepada pemiliknya.
4. Keempat: keadilan yang dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil disini berarti
memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi. Dalam hal ini Allah
memiliki hak atas semuanya yang ada sedangkan semua yang ada, tidak
memiliki sesuatau disisinya. Jadi, system pemerintahan

Islam yang ideal adalah system yang mencerminkan keadilan yang meliputi
persamaan hak didepan umum, keseimbangan (keproposionalan) dalam
memanage kekayaan alam misalnya, distribusi pembangunan, adanya
balancing power antara pihak pemerintah dengan rakyatnya.

2.3.4 Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)


Kebebasan dalam pandangan al-Qur'an sangat dijunjung tinggi termasuk
dalam menentukan pilihan agama sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang
dituntut oleh Islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini
juga kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks
kehidupan politik, setiap individu dan bangsa mempunyai hak yang tak
terpisahkan dari kebebasan dalam segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan
politik serta berjuang dengan segala cara asal konstitusional untuk melawan atas
semua bentuk pelanggaran.

10
2.4 …
…..

2.5 …
…….

2.6 …
…..

2.7 …
…..

2.8 …
…..

2.9  …
….
2.3.0 …
….

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya
sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan
islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan
menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat
wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan
kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan
kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu
dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu
pertama, demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama. Kedua,
rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya. Ketigapengambilan
keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah. Keempat, suara
mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan
utama dalam musyawarah. Kelima, musyawarah atau voting hanya berlaku
pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara
jelas oleh Alquran dan Sunah. Keenam produk hukum dan kebijakan yang
diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama. Ketujuh hukum dan
kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas
terwujud, langkah yang harus dilakukan pertama, seluruh warga atau sebagian
besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi
yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya. Kedua, parlemen atau
lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam
yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.

12
B. Saran
1. Semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat dan berguna bagi
para pembaca ke depannya.
2. Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang “ Demokrasi dan Politik
dalam Islam” bagi pembaca kedepannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan


Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta: Gramedia
PustakaUtama, 2007

Anda mungkin juga menyukai