Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya.


Tidak lupa sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita nabi
besar Muhammad SAW, sehingga penyusunan makalah pendidikan agama islam
mengenai islam dan demokrasi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini
penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah pendidikan agama islam mengenai Islam Dan Demokrasi.
Disadari bahwa salah satu hambatan dalam penyusunan makalah islam dan
demokrasi ini adalah keterbatasan informasi dan bahan sehingga hasil ini
dirasakan masih belum sempurna. Oleh karena itu diharapkan adanya kritikdan
saran untuk perbaikannya di masa yang akan datang. Penyusun berharap makalah
pendidikan agama islam mengenai islam dan demokrasi ini dapat bermanfaat bagi
lingkungan belajar penulisa amiin.

Banda Aceh, Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Dasar Demokrasi dalam Islam .................................................. 3
2.2 Prinsip Nilai Demokrasi ............................................................ 3
2.3 Contoh Praktek Demokrasi dalam Islam................................... 3
2.4 Pertentangan antara Demokrasi dan Islam ................................ 4
2.5Cara Menghadapi Perbedaan...................................................... 6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................... 8
3.2 Saran ...................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mendiskusikan pandangan Islam dengan demokrasi pada dasarnya memiliki
banyak pemikiran dari para pakar demokrasi Islam. Demokrasi merupakan bagian
dari ruang lingkup Islam, karena Islam merupakan agama dan risalah yang
mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia.
Permasalahan demokrasi dengan Islam ini berakar pada sebuah “ketegangan
teologis” antara rasa keharusan memahami doktrin yang telah mapan oleh sejarah-
sejarah dinasti muslim dengan tuntan untuk memberikan pemahaman baru pada
doktrin tersebut sebagai respons atas fenomena sosial yang telah berubah.
Hubungan antara Islam dan demokrasi merupakan hubungan yang memiliki
banyak kaitan dengan banyak kajian. Sebab, dunia Islam tidak hidup dalam
keseragaman ideologis sehingga terdapat banyak pemikiran terkait hubungan
antara Islam dan demokrasi ini. Ada sebagian orang atau organisasi yang
melahirkan sikap otoriter dan seakan-akan dialah yang paling tahu akan
demokrasi menurut pandangan Islam dari firman Allah yang berada dalam Al
Qur’an.
Meskipun Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan
preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang
memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu
pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu
keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun
suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan kasih
sayang dalam interaksi sosial.
Dari uraian diatas penulis melihat bahwa demokrasi dalam Islam tidak
semudah yang penulis pikirkan. Selain itu memahami pandang bagaimana
demokrasi dalam Islam juga merupakan hal yang penting karena Islam merupakan
agama yang selalu menuntun kita kepada kebaikan yang hakiki. Alasan-alasan
itulah yang melatar belakangi penulis mengkaji demokrasi dan Islam.
1.2 Tujuan
a. Untuk mengetahui dasar demokrasi dalam Islam.
b. Untuk memahami prinsip nilai demokrasi.
c. Untuk mengetahui contoh praktek demokrasi dalam Islam.
d. Untuk memahami pertentangan antara demokrasi dan Islam.
e. Untuk mengetahui cara menghadapi perbedaan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Demokrasi


Kitab suci menjadi variabel mutlak dalam hasil pemikiran politik Islam.
Dalam hal ini, semua daya upaya ulama dan pemikiran tetap bertumpu pada dasar
ajaran, yakni kitab suci, di samping dasar kedua, yakni Sunah Rasul atau hadist.
Untuk hadist, tingkatnya tidak semutlak ini, pemikiran politik Islam pada akhirnya
harus dipahami, bahwa di satu segi aalah hasil pemikiran umatnya dengan tingkat
kebenarannya, sebagaimana kebenaran ilmu sosial umumnya, berada pada
proporsinCya, yakni kebenaran relatif. Namun di segi lain, pemikiran politik
Islam juga mengandung dimensi-dimensi non manusia, merupakan doktrin agama
yang dalam kita suci berstatus mutlak.1

2.2 Prinsip Nilai Demokrasi


Salah satu cara untuk memahami pemikiran politik dalam tradisi Islam
adalah pada periodisasi awal, sebuah warisan yang kemudian dikenal dengan
warisan “Generasi Salaf”, yakni generasi Nabi Muhammad Saw dengan para
sahabat dan tiga generasi sesudahnya. Generasi tersebut juga sering disebut
Muslim Awal. Dalam kehidupan politik, warisan dimaksud adalah praktik politik
dan ide, yang biasanya ada di sekitar nabi dan empat sahabat (Abu Bakar, Umar,
Usman dan Ali) serta generasi sesudahnya.Warisan kehidupan politik saat itu
“murni” sejarah dan praktik politik nabi dan empat khalifah. Dalam hal ini apa
yang diwariskan merupakan praktik politik, atau kebijakan politik serta
“pemikiran politk” yang tidak dirumuskan secara koheren.2

1
Robert N. Bellah, “Islamic Tradition and the Problem of Modernization,” dalam
kumpulan tulisannya Beyond Belief: Essays on Religion in a PostTraditionalist World, (Berkeley:
University of california Press, 1991), hlm. 151.
2
Bahtiar Effendy, “Islam: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia”, dalam Agama dan
Demokratisasi: Kasus di Idonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 86.
2.3 Contoh Praktek Demokrasi dalam Islam
Kita bisa mengambil contoh dari keterangan Muhammad Yusuf Faruqi
(1996) . Pemilihan atas dasar berpikir rasional, yang dalam Islam prosedurnya
antara lain, analog atau qiyas. Dengan prinsip berpikir ini, Abu Bakar dipilih
karena analog sebagai imam (pemimpin) dalam shalat jika rasul berhalangan. Di
sini ada dua tahap “sumpah setia” (baiat), yakni tahap elit (baiat khusus) dan tahap
massa (baiat ‘ammah). “Pemikiran” yang menyertai hal ini adalah kritertia bahwa
kepala negara itu berasal dari klan yang reputasunya bagus dan terhormat demi
“integrasi bangsa dan negara” (thus the unity of the ummah could be preserved).
Abu Bakar misalnya, ia dipilih karena berasal dari klan terhormat, Quraisy.
Namun demikian, hal itu hanyalah contoh kontekstual yang sesuai dengan
zamannya. Karenanya, sangat diherankan bila di kemudian hari masih
mempertimbangkan bahwa khalifah harus dari Quraisy. Padahal besaran
kehidupan berdemokrasi dalam Islam sudah meliputi seluruh bumi.
Dalam kasus diangkatnya Umar bin Khattab,proses syura pertama, dengan
penunjukan. Penunjukan ini bersamaan dengan proses konsultasi kepada dua elit
utama. Satu elit menyangsikan ditunjuknya Umar bin Khattab karena watak-nya
keras. Abu bakar, sebaliknya merasa lebih tahu bahwa Umar juga berhati lembut.
Dari kasus kebijakan politik Abu Bakar yang keras, Umar malah lembut. Debat
elit ini dirahasiakan supaya massa tidak tahu isi diskusi elit itu (not to tell the
others, what was discussed with them). Tahap kedua, musyawarah konsultatif
kepada elit yang diperluas yakni enam orang termasuk Ali bin Abi Thalib. Tahap
ketiga, dibacakan pengangkatan Umar sebagai pengganti khalifah Abu Bakar.
Tahap keempat, sidang di Masjid Nabawi, di mana setelah dibacakan, Abu Bakar
bertanya apakah umat setuju. Massa setuju dan melakukan baiat.3
Ilustrasi tadi juga tidak kalah penting dengan ilustrasi praktek Nabi
Muhammad Saw. dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin negara, dengan
salah satu karya monumentalnya, yakni traktat perjanjian atau konstitusi yang

3
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982),
hlm. 1
mengatur warga negara di negara-kota Madinah pada abad keenam Masehi.
Traktat perjanjian ini disebeut dustur madinah, mitsaq madinah. Konstitusi itu
ditulis Muhammad Saw. dan disetujui oleh kelompok-kelompok masyarakat
(Nasrani, Muslim dan Yahudi). Piagam ini memuat begitu luas informasi tentang
kajian-kajian modern.

2.4 Pertentangan antara Demokrasi dan Islam


Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi
terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan
seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu pemerintahan untuk
Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu keadilan melalui kerja
sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun suatu sistem pemerintahan
konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan kasih sayang dalam interaksi
sosial.4
Masyhuri Abdillah (2005), juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an tidak
dapat ditemukan konsep negara, karena konsep negara adalah buah pemikiran
yang muncul belakangan. Bahkan kata Daulah Islamiyah sendiri adalah kata baru
yang muncul di abad ke-20. Istilah daulah baru dipakai sejak masa Dinasti
Mu`awiyah dan Abbasiyyah, yang dipakai dalam arti dinasti. Meskipun demikian,
ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an terdapat prinsip-prinsip hidup
berkemasyarakatan yang di antaranya kejujuran dan tanggung jawab, keadilan,
persaudaraan, pluralisme, persamaan, musyawarah, mendahulukan perdamaian,
dan kontrol.
Secara prinsipiil hal ini sejalan dengan doktrin politik dari konsep
demokrasi. John L. Esposito dan James P. Piscatori (dalam Riza Sihbudi, 1993),
mengatakan bahwa Islam pada kenyataannya memberikan kemungkinan pada
bermacam interpretasi, Islam bisa digunakan untuk mendukung demokrasi
maupun kediktatoran, republikanisme maupun monarki. Pernyataan Esposito dan

4
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 336-337. Mengenai dikotomi
paham modernisme dan fundamentalisme dalam praktik politik Islam juga dapat dilihat dalam
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan
Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-I Islam (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999).
Piscatori ini dapat mengidentifikasikan tiga pemikiran mengenai hubungan Islam
dengan demokrasi.5
Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi karena konsep syura`,
ijtihad, dan ijma` merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua,
menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi. Dalam pandangan ini,
kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa
disamakan antara Muslim dan non-Muslim serta antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini bertentangan dengan prinsip equality demokrasi. Ketiga, sebagaimana
pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi, meskipun
kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan, perlu di akui
bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum Tuhan. Terma
ini dikenal dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi.
Selain itu, secara garis besar wacana Islam dan demokrasi terdapat tiga
kelompok pemikiran (pertama, pandangan yang menyatakan jika Islam dan
demokrasi adalah dua sistem yang berbeda. Kelompok ini memandang jika Islam
sebagai sistem alternatif demokrasi sehingga demokrasi sebagai konsep Barat
tidak dapat dijadikan acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendeknya, demokrasi menurut kelompok ini merupakan sistem kafir karena telah
meletakkan kedaulatan negara di tangan rakyat bukan Tuhan, dan mereka
memandang sebagian besar dari aktivitas demokrasi tertolak secara syar`i dan
memandang bahwa prinsip pemilu secara jelas melanggar asas wakalah
(perwakilan) yaitu materi yang diwakilkan didasarkan atas asas demokrasi adalah
batil; Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi. Kelompok ini menyetujui adanya
prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tapi tetap mengakui adanya perbedaan
antar Islam dan demokrasi kalau demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti
yang dipahami dan dipraktekkan oleh negara Barat. Akan tetapi jika demokrasi
dimaknai secara substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dan negara
merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat, maka Islam merupakan sistem

5
Syaifullah, “Islam dan Demokrasi: Respon Umat Islam Indonesia terhadap
Demokrasi”, dalam Al Fikr, (Vol. 15, No. 3, Tahun 2011), hlm. 531.
politik yang demokratis; ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan
serta mendukung demokrasi. kelompok ini berpendapat bahwa Islam merupakan
sistem nilai yang membenarkan demokrasi dan substansi demokrasi sesungguhnya
berasal dari ajaran Islam. Tiga pandangan di atas merupakan akumulasi yang
berangkat dari kriteria umat Islam dan demokrasi sehingga ketiga pandangan tadi
tidak berjalan beriringan, tetapi berlawanan.6
Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam.
Seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi dalam
dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai contoh
adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad para ulama.
Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari Islam. Menurut
pandangan Islam berdasarkan hadits: “Man baddala dinahu faqtuluhu” mereka
disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak mau maka dia boleh dibunuh atau
diperangi. Dalam sistem demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab membunuh
berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi manusia (HAM).7
Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antar warga Negara.
Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam Al-Qur`an
bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya tentang poligami.
(QS. An-nisa’ 33) tentang hukum waris (QS. An-nisa’ 11) tentang kesaksian (QS.
Al-Baqarah 282). Di samping itu, demokrasi sangat menghargai toleransi dalam
kehidupan sosial, termasuk dalam maksiat sekalipun. Seperti pacaran dan
perzinaan, kalau di antara laki-laki dan perempuan (bukan suami istri) melakukan
hubungan persetubuhan suka sama suka itu tidak jadi masalah atau dengan kata
lain dibolehkan. Sedangkan dalam Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-
Qur’an. Demikian juga dalam Islam dibedakan antara hak dan kewajiban kafir
dzimmi dengan yang muslim. Hal ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab
tidak lagi menjunjung nilai persamaan.8

6
Mustafa Muhammad Thahlah, Rekontruksi Pemikiran Menuju Gerakan Islam Modern,
(Surakarta: Intermedia, 2002) hlm. 258.
7
Sjafruddin, Islam dalam Pergolakan Dunia, (Bandung: Al Ma’arif, 1950), hlm.51-53.
8
Abu A’la Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, (Jakarta, Bandung:
Mizan, 1998), hlm. 160.
Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi
kompatibel dengan ajaran Islam. Dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada
yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif sering
kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam Al-Qur`an,
As-sunnah dan ijtihad para ulama. Dalam pada itu, menurut hemat, umat Islam
saat ini tidak seharusnya berada dalam ruang pertentangan hubungan Islam
dengan demokrasi, akan tetapi, yang lebih penting (urgent) untuk dilakukan umat
Islam dalam pelaksanaan demokrasi dengan mengacu kepada ajaran
kemaslahatan, keadilan, ijtihad (kemerdekaan berpikir), toleransi, kebebasan,
persamaan, kejujuran serta tanggung jawab dan sebagainya. Untuk melihat
hubungan Islam dengan demokrasi, setidaknya harus di lihat dari sisi sistem,
dasar-dasar politik dan nilainya. Akan tetapi, jika demokrasi didefinisikan secara
prosedural seperti yang dipahami dan dipraktekkan di negara-negara Barat, maka
demokrasi akan bertentangan (tidak sejalan) dengan ajaran Islam (Alumni
Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta., 2016).9

2.5 Cara Menghadapi Perbedaan


Cara terbaik untuk menghadapi para penganut kepercayan lain adalah
dengan menyatakan bahwa seperti dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa Bagimu
agamamu dam bagiku agamaku (QS 109:6). Namun, bagi kaum Muslim yang
setuju terhadap dialog, perintah Tuhan kepada Nabi Muhammad untuk mengajak
Ahli Kitab sampai kepada doktrin yang umum antara agamanya (Islam) dan
agama mereka, merupakan suatu dorongan. Dalam Al Qur’an dinyatakan:
Artinya : “Katakanlah:Hai Ahli Kitabmarilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa
tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita perseutukan Ia dengan
sesuatu apa pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian

9
Alumni Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta. Antara Islam Dan
Demokrasi | Magister Study Islam UII | MSI UII.http://master.Islamic.uii.ac.id/ar/antara-Islam-
dan-demokrasi/. Diakses pada tanggal 6 Desember 2019 Pukul 20:41 WIB.
yang lain dengan tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka
katakanlah kepada mereka; “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-
orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS 3:64).
Pada mulanya, ungkapan “Ahli Kitab” terutama sekali berarti orang-orang
Yahudi dan Nasrani, tetapi ahirnya meluas meliputi para pengikuti dari
kepercayaan (tertulis) suci yang lain (other holy write).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari uraian pembahasan diatas
adalah demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan
dengan Islam. Agar demokrasi selaras dengan pandangan islam dapat terwujud,
langkah yang harus dilakukan adalah harus adanya pemahaman yang benar
tentang demokrasi dalam pandagan Islam paling tidak memahami demokrasi
dalam pandangan Islam seperti dalam tujuan yang termuat dalam tugas ini yaitu
mengetahui dasar demokrasi dalm Islam., memahami prinsip nilai demokrasi,
mengetahui contoh praktek demokrasi dalam Islam, memahami pertentangan
antara demokrasi dan Islam serta mengetahui cara menghadapi perbedaan
sehingga aspirasi yangdisampaikan tidak keluar dari ajarannya.
3.2 Saran
Saran dari penulis untuk para pembaca agar dapat memahami demokrasi
dalam pandangan Islam lebih jauh maka perbanyaklah membaca buku demokrasi
yang membahas dari sudut pandang Islam. Mempelajari dari banyak sudut
pandang beberapa pakar demokrasi dalam Islam yang ilmunya dapat dipercaya.
Serta tidak lupa memahami demokrasi dalam Islam menuntun kita kepada
kebaikan hakiki.
DAFTAR PUSTAKA

Khaled Abou El Fadl. Islam & Tantangan Demokrasi, terj. Ghifna Ayu Rahmani
& Ruslani. Jakarta: Ufuk Press, 2004.

Zamharir, Muhammad Hari. Agama dan Negara Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nur Kholis Madjid. Jakarta: PT. Raja grafindo, 2004.

Alumni Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta. Antara Islam


Dan Demokrasi | Magister Study Islam UII | MSI
UII.http://master.Islamic.uii.ac.id/ar/antara-Islam-dan-demokrasi/. Diakses
pada tanggal 6 April 2016 Pukul 20:41 WIB.

Robert N. Bellah, “Islamic Tradition and the Problem of Modernization,” dalam


kumpulan tulisannya Beyond Belief: Essays on Religion in a
PostTraditionalist World, (Berkeley: University of california Press, 1991),
hlm. 151.

Bahtiar Effendy, “Islam: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia”, dalam


Agama dan Demokratisasi: Kasus di Idonesia, (Yogyakarta: Kanisius,
2011),

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES,


1982(.

Mustafa Muhammad Thahlah, Rekontruksi Pemikiran Menuju Gerakan Islam


Modern, (Surakarta: Intermedia, 2002)

Sjafruddin, Islam dalam Pergolakan Dunia, (Bandung: Al Ma’arif, 1950)

Abu A’la Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, (Jakarta,
Bandung: Mizan, 1998),
Syaifullah, “Islam dan Demokrasi: Respon Umat Islam Indonesia terhadap
Demokrasi”, dalam Al Fikr, (Vol. 15, No. 3, Tahun 2011)

Anda mungkin juga menyukai