Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

STUDI ISLAM

ASPEK POLITIK DAN KELEMBAGAAN ISLAM

Dosen Pembimbing : Taufiqurrahman Nur, MA

Disusun Oleh :

kelompok VII
1. Ramadani Ritonga ( 1846081067 )
2. Bambang Rahmadi ( 1846081084 )
3. M. Agus Triandi ( 1846081059 )
4. Farhan Nur ( 1846081052 )
5. Ubah Susilawati Harahap ( 1846081077 )
6. Varas Amartia ( 1846081078 )

FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS AL WASHLIYAH LABUHANBATU
TA. 2020/2021

1
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Atas
segala karunia nikmat-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Sholawat serta salam terjunjung kepada baginda agung Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang-benderang seperti sekarang
ini.

Penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat serta
berbagai macam nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah studi islam
yang berjudul “Aspek Politik dan Kelembagaan Islam”

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kesalahan penulisan, sumber, dan data di dalamnya. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca sekalian. Karena atas kritik dan saran tersebut, insyaallah makalah ini
dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Saya harap nantinya makalah ini juga dapat berguna
bagi pembaca sekalian sebaga referensi ataupun lainnya. Demikian, semoga makalah ini
bermanfaat. Terimakasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Rantauprapat, 21 Desember 2020

Kelompok VII

2
DAFTAR ISI

JUDUL……………………………………………………………………………...1

KATA PENGANTAR……………………………………………………………...2

DAFTAR ISI……………………………………………………………………….3

BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………………..4

I.1 Latar Belakang…………………………………………………………...4

I.2 Rumusan Masalah………………………………………………………..5

I.3 Tujuan Pembahasan……………………………………………………...5

BAB II : PEMBAHASAN………………………………………………………...6

II.1 Aspek Politik dalam Islam……………………………………………...6

II.2 Aspek Kelembagaan dalam Islam………………………......................10

II.3 Aspek Pendidikan dalam Islam…………………………......................12

BAB III : PENUTUP……………………………………………………………...15

Kesimpulan…………………………………………………………………15

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..16

3
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Salah satu ungkapan yang populer menyangkut umat manusia yaitu “manusia merupakan
makhluk politik”. Ungkapan ini sering sekali dikaitkan bahwa manusia tidak dapat dipisahkan
dari persoalan politik.

Kata politik berasal dari bahasa latin politicus, dan bahasa yunani politicos, dan yang
mengartikan “berhubungan dengan warga masyarakat”. Kedua kata tersebut berasal darri kata
polis yang berarti kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik adalah: (1) Pengetahuan
mengenai ketatanegaraan seperti sistem pemerintahan dan dasar pemerintahan. (2) Segala urusan
dan tindakan mengenai pemerintahan atau terhadap negara lain. (3) Cara bertindak mengenai
suatu masalah atau kebijakan.

Padana kata politik dalam bahasa Arab adalah siyasah yang berasal dari kata sasa. Dalam
kamus kata ini sering diartikan sebagai mengatur, mengurus, dan memerintah. Kata sasa sama
dengan to govern, to lead. Sedangkan siyasah sering diidentikan dengan policy of government.
Lalu, secara terminologis kata ini sering diartikan sebagai mengatur atau memimpin sesuatu
dengan cara yang membawa pada kemaslahatan.

KaIau kata politik dikaitkan dengan Islam maka politik Islam ialah aktivitas politik
sebagian umat Islam yang menjadikan umat Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas
berkelompok. Pendukung perpolitikan Islam ini belum tentu seluruh umat Islam (pemeluk agama
Islam), karenanya maka daIam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam,
juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang
Islam, dan istilahisrilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta
wacana politik.

Dalam aspek politik perlu dicatat bahwa semasa Nabi, beliau telah mendirikan tatanan
sosial politik Islam di Madinah. Namun setelah lebih dari tiga abad kemudian, para pemikir
hukum baru mulai merumuskan teori politik mereka secara lebih sistematis. Di antara mereka
yang cukup populer adaIah Al Mawardi dan Al GhazaIi. Pada umumnya, kepada kedua ulama
Sunni itulah yang mengkonstuksikan pandangan politiknya. Menurut Al Mawardi, konsep politik

4
Islam didasarkan akan adanya kewajiban mendirikan lembaga kekuasaan, karena ia dibangun
sebagai pengganti kenabian untuk melindungi agama dan mengatur dunia. Dan juga Al Mawardi
menulis ada lima unsur pokok dalam suatu negara, yaitu: Agama sebagai landasan negara dan
persatuan rakyat, wilayah, penduduk, pemerintah yang berwibawa, dan keadilan dan keamanan.

Selain masalah politik, manusia seringkali dikaitkan dengan masalah masalah yang
berkaitan dengan pendidikan. Seperti yang dikemukakan oleh Quraish Shihab, bahwa manusia
yang dibina adalah akhluk yang memiliki unsur unsur material (jasmani) dan imaterial (akal dan
jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan
etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan
unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan
akhirat , ilmu dan iman. Itu sebabnya pendidikan islam dikenal istilah adab al-din dan adab al-
dunya.

I.2 Rumusan Masalah


Untuk mempermudah dalam menyusun makalah ini, penulis berinisiatif membuat
rumusan masalah berupa :
1. Apakah aspek-aspek politik dalam islam.?
2. Apakah aspek-aspek kelembagaan dalam islam.?
3. Apakah aspek-aspek pendidikan dalam islam.?

I.2 Tujuan Pembuatan


Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Mengetahui aspek-aspek politik dalam islam.
2. Mengetahui aspek-aspek kelembagaan dalam islam.
3. Mengetahui aspek-aspek pendidikan dalam islam.

5
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Aspek Politik dalam Islam


Persoalan yang pertama-tama timbul dalam islam menururt sejarah bukanlah persoalan
tentang keyakinan, melainkan persoalan politik.
Sewaktu Nabi mulai menyiarkan agama Islam di Mekkah, beliau belum dapat
membentuk suatu masyarakat yang kuat lagi berdiri sendiri. Umat islam pada waktu itu masih
mendapat kedudukan yang lemah dan tidak sanggup menentang kekuasaan yang dipegang orang-
orang Quraisy di Mekkah pada waktu itu. Akhirnya Nabi bersama Sahabat dan pengikut setianya
memutuskan untuk berhijrah ke kota Yastrib atau Madinah dikarenakan terror yang dicetuskan
oleh orang-orang Quraisy.
Di kota ini keadaan Nabi bersama umat Islam mengalami perubahan yang sangat
signifikan. Jika di Mekkah sebelumnya mereka merupakan perkumpulan umat yang lemah dan
tertindas, di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera menjadi umat yang
kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk
itu dan yang akhirnya merupakan suatu negara; suatu negara yang daerah kekuasaannya diakhir
zaman Nabi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Dengan kata lain di Madinah Nabi
Muhammad bukan lagi mempunyai sifat sebagai Rasul Allah, melainkan juga mempunyai sifat
sebagai Kepala Negara.
Jadi sesudah beluau wafat, beliau nesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara
yang beliau tinggalkan. Dalam kedudukan beliau sebagai Rasul, beliau tentu tidak dapat diganti.
Dalam sejarah, pengganti beliau yang pertama ialah Abu Bakar As Shiddiq. Abau Bakar menjadi
kepala negara yang ada pada waktu itu dengan memakai gelar khalifah, yang arti lafiznya adalah
pengganti (successor). Kemudian setelah Abu bakar wafat, diganti oleh Umar Ibn Al-Khattab
menggantikan beliau sebagai khalifah yang kedua. Usman Ibn Affan selanjutnya menjadi
khalifah yang ketiga dan pada pemerintahannyalah mulai timbul persoalan-persoalan politik.
Ahli sejarah mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Usman, yang menjadi orang-orang
dalam pemerintahannya tidak lain dan tidak bukan merupakan anggota keluarga Usman sendiri.
Usman dianggap lemah dan tidak kuat untuk menentang ambisi keluarganya yang kaya dan
berpengaruh dalam masyarakat. Nepotisme ini akhirnya berpengaruh terhadap kepemimpinan

6
Usman sebagai khalifah. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, akhirnya
berpaling.
Setelah Usman wafat, Ali Ibn Abi Thalib, sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang
keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
khalifah. Diantaranya dari Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah.
Tantangan kedua datang dari Mu’awiah, Gubernur Damaskus dan angota keluarga terdekat dari
Usman Ibn Affan. Konflik pun terjadi hingga akhirnya Mu’awiah naik derajatnya menjadi
khilafah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini tidak ditermia Ali sehingga ia
mati terbunuh tahun 661 M.
Perlu dijelaskan bahwa khalifah yang timbul sesudah wafatnya Nabi Muhammad, tidak
mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat merupakan republik, dalam artian kepala negara
dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Sebagai coontoh, khalifah pertama yaitu Abu
Bakar tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad. Umar sebgai khalifah kedua
pun juga tidak memiliki hubungan darah dengan Nabi. Demikian pula Usman dan Ali yang
menjabat sebagai khalifah ketiga dan keempat. Mereka adalah sahabat Nabi dan dengan
demikian hubungan mereka sesama mereka merupakan hubungan persahabatan. Demikianlah
ungkapan sejarah tentang pengangkatan sahabat-sahabat Nabi Muhammad menjadi khalifah.
Jelas bahwa cara pengangkatan kepala negara sebagai yang diungkapkan sejarah ini bukanlah
cara yang dipakai dalam sistem kerajaan. Cara itu lebih sesuai untuk dimasukan dalam
pemerintahan demokrasi.
Dalam pada itu perlu ditegaskan bahwa menurut pendapat umum yang ada pada zaman
itu, seorang khalifah berasal dari suku Quraisy. Keempat khalifah besar memang orang-orang
ternama dari suku Quraisy dan demikian juga Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbas,
semuanya berasal dari suku Nabi Muhammad itu. Pendapat ini kemudian menjadi teori
ketatanegaraan yang dianut oleh Ahli Sunnah. Sementara itu Ahli Sunnah membahas soal
khalifah dari aspek-aspek lain yang sering dijumpai pada buku-bu yang khusus dalam membahas
soal ketatanegaraan dalam islam seperti Al-Ahkam Al Sultaniah, karangan AL-Mawardi.
berlainan dengan kaum Khawarij, berpendapat, bahwa Khalifah tidak dapat dijatuhkan,
walaupun Khalifah yang zalim. Menggulingkan Khalifah yang zalim tapi kuat, akan membawa
kekacauan dan pembunuhan dalam masyarakat. Al-Ghazali mementingkan ketertiban dalam
masyarakat. Khalifah dapat menyerahkan kekuasaan untuk memerintah kepada Sultan yang

7
berkuasa. Dalam sejarah Dinasti Bani Abbas memang terdapat Sultansultan yang berkuasa di
samping Khalifah-khalifah yang lemah. Sebagai dilihat di atas, tidak jarang bahwa Khalifah
hanya merupakan boneka dalam tangan Sultan. Ibn Jama'a sama dengan Al-Ghazali, lebih
mengutamakan ketertiban dalam masyarakat daripada pemerintahan yang zalim. Patuh kepada
kekuasaan adalah kewajiban yang diharuskan agama. Penentuan pengganti oleh seorang
Khalifah, dalam pendapat Ibn Jama'a, merupakan salah satu bentuk pemilihan.
Selanjutnya al Mawardi mengemukakan tentang tugas dan fungsi imamah meliputi 10
hal:
1. Memelihara dan melindungi agama dari ancaman dan gangguan serta perlakuan tidak adil.
2. MeIaksanakan hukum yang adil untuk melindungi kaum yang lemah.
3. Melindungi hak asasi agar masyarakat merasa anian bekerja dan melakukan kewajiban
mereka.
4. Menegakkan hukum untuk melindungi hak-hak Tuhan dan hakhak manusia untuk
memperolah keselamatan dan perlindungan dari ancaman musuh.
5. Melindungi keamanan dan keselamatan negara dari ancaman musuh.
6. Mengorganisasi penuntutanjihad terhadap siapa sajayang menentang dakwah Islam sampai
akhirnya menyerah dan tunduk kepada negara.
7. Memungut pajak dan zakat yang telah ditetapkan syariat maupun penetapan lainnya.
8. Menetapkan anggaran belanja yang diperlukan dari baitul mal (semacam lembaga keuangan
yang berlaku dewasa ini).
9. Mengangkat pejabat dan pembantu yang diperlukan untuk melaksanakan tugas administrasi
pemerintah.
10. Imam haruslah aktifmemimpin sendiri tugas-tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk
melindungi umat dan agama, tidak boleh sekedar berfungsi sebagai simbol belaka.

8
Dengan bertitik tolak pada azaz dan tujuan negara menurut ajaran Islam, demikian pula
azaz-azaz konstusionalnya yang antara lain adalah azaz musyawarah, negara menurut ajaran
Islam dapat diberi macam-macam prediket. Prediket itu tidak bersumber kepada dalil al Quran
dan hadis Nabi, prediket tersebut adalah:

Negara ideology (Daulatul Fikriah) negara yang berasas cita-cita,yaitu terlaksananya ajaran-
ajaran al Quran dan Sunnah Rasul dalam kehidupan masyarakat, menuju akan tercapainya
kesejahteraan hidup di dunia, jasmani dan rohani, materil dan sprituil, perseorangan atau
kelompok, serta menghantarkan kepada tercapainya kebahagiaan hidup di akhirat.

A. Negara hukum (Daulat Qonuniyah), negara yang tunduk pada aturan-aturan Al-Quran
dan Sunah Rasul. Penguasa yang mengelola kehidupan negara maupun rakyatnya tunduk
kepada ketentuan-ketentuan hukum Al-Quran dan Sunah Rasul.
B. Negara Teo-demokrasi, negara yang berasas ajaran-ajaran Tuhan (dan rasul-Nya), yang
dalam realisasinya berIandaskan prinsip musyawarah.
C. Negara Islam (Darul Islam). Predikat negara-negara Islam dalam kitab-kltab fikih
dipergunakan untuk membedakan dengan negaranegara bukan Islam, yaitu negara
sahabat atau negara perjanjian (Darul Ahdi) dan negara perang atau negara musuh (Darul
Harbi), dalam rangka pembahasan hubungan antarnegara.

Dari adanya kemungkinan memberi bermacam-macam predikat bagi negara menurut ajaran
Islam tersebut, dapat diperoleh kesimpulan bahwa pembagian predikat negara itu termasuk hal
yang menjadi wewenang manusia, sesuai dengan kesepakatan dalam musyawarah, bukan hal
yang ditetapkan dalam dalil-dalil Al-Quran dan Sunah Rasul. Pendapat ini dikemukakan juga
oleh Muhammad Natsir, menurutnya, kaum muslimin tidak dilarang meniru sistem yang
dipergunakan oleh orang non Muslim selama sistem tersebut tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Suatu sistem bukan monopoli suatu bangsa atau negara.

9
II.2 Aspek Kelembagaan dalam Islam
Islam dalam sejarah, seperti telah dilihat mengambil bentuk negara. Sebagai Negara
Islam sudah barang tentu harus mempunyai lembaga-lembaga kemasyarakataan seperti
pemerintahan; hukum, pengadilan; polisi; pertahanan dan pendidikan.

Sebagai telah dilihat dalam Bab V, negara Islam dikepalai oleh seorang Khalifah, baik
dalam bentuk Kepala Negara yang dipilih maupun dalam bentuk Raja yang jabatannya
mempunyai sifat turuntemurun. Dalam menjalankan tugas pemerintahan, Khalifah dibantu oleh
seorang wazir yang menjadi pembantu utama, penasehat dan tangan kanannya. Di bawah wazir
terdapat beberapa diwan (departemen) umpamanya Diwan Al-Kharaj, Departemen Pajak Tanah,
Bait Al-Mal / Departemen Keuangan, Diwan Al-Jaisy (Departemen Pertahanan) dan lain
sebagainya. Tiap Diwan dipimpin oleh seorang kepala. Rapat para Kepala Diwan diketuai oleh
Wazir. Dengan demikian Wazir pada hakikatnya mempunyai kedudukan Perdana Menteri.

Di ketika menurunnya prestise dan kekuasaan Khalifah di zaman Bani Abbas, pembesar
yang berkuasa di pemerintahan pusat bukan lagi Wazir atau Hajib, tetapi Amir Al-Umara'
(Kepala Panglima) atau Sultan. Sebagai telah disebut, Khalifah Al-Mu'tasim mendirikan Tentara
Pengawal yang terdiri dari orang-orang Turki. Pada akhirnya Tentara Pengawal ini begitu
berkuasa di Bagdad sehingga mereka dapat menjatuhkan dan mengangkat Khalifah sekehendak
mereka. Di zaman Khalifah AI-Muqtadir (908 - 932 M) Panglima Tentara Pengawal itu diberi
gelar baru, 'Amir Al-Umara', dan Amir Al-Umara' inilah sebenarnya yang memegang kekuasaan
di pusat pemerintahan.

Tentara tersusun dari harbiah (infantri), ramiah (pemanah) dan fursan (kavaleri), Senjata
yang dipakai ialah pedang beserta perisai, tombak, panah, ali-ali (catapults), mangonel (pelempar
batu), dabbabah (alat serangan terhadap kota yang dibentengi tembok) dan kemudian juga
senjata api. Untuk menjaga diri dari panah api, para pelempar memakai pakaian tahan api. Dalam
rombongan tentara terdapat pula insinyur, dokter, qadi atau hakim untuk mengurus soal
pembagian harta perang, penunjuk jalan (raid) untuk mengurus soal perkemahan, penterjemah
dan juru tulis.

10
Pendidikan dalam sejarah Islam pada mulanya diberikan di mesjid, tetapi kemudian di
sekolah-sekolah yang disebut kuttab atau madrasah. Ini merupakan sekolah dasar di mana anak-
anak diberi pelajaran membaca serta menghafal Al-Qur-an, riwayat hidup Nabi Muhammad,
nahwu, sharaf, berhitung dan menulis. Kalau sekolah serupa ini adalah untuk orang umum,
Khalifah dan orang-orang kaya menggaji guru untuk memberi pelajaran pada anak mereka di
istana atau di rumah. Pendidikan tinggi dibentuk juga di lembaga-lembaga lain seperti Bait Al-
Hikmah yang didirikan Khalifah Al-Makmun di tahun 830 M di Bagdad dan Dar Al-Hikmah
yang dibangun oleh Khalifah Fatimiah Al-Hakim di Cairo di tahun 1005 M. Di Dar Al-Hikmah
diajarkan aliran Syi'ah. Di Coruova Abd Al-Ra.hman III mendirikan Universitas Cordova yang
dikunjungi mahasiswa Islam dan Kristen, bukan Kristen dari Spanyol saja tetapi juga dari
daerah-daerah lain di Eropa. Untuk menampung Universitas itu Mesjid Besar Cordova
diperbesar. Di tahun 972 M Mesjid Al-Azhar didirikan oleh Panglima Fatimi Jawhar Al-Saqilli
di Cairo yang beberapa tahun kemudian dijadikan Universitasoleh Khalifah Al-Aziz (975 - 996
M). Sebagai diketahui sampai sekarang Al-Azhar masih ada dan altan merayakan ulang tahunnya
yang keseribu dalam waktu dekat.

Hukum yang dipakai dalam mengatur masyarakat di zaman Kerajaan-kerajaan Islam di


masa lampau bukan hanya hukum fikih, tetapi juga hukum sebagai diputuskan oleh Khalifah atau
Sultan. Hukum ini kemudian diberi nama iradah saniyah. Adapula hukum yang dibuat oleh rapat
Menteri dengan persetujuan Khalifah atau Sultan dan ini disebut qanun. Qanun mengurus soala-
soal administrasi negara dan soal-soal yang mempunyai corak politik seperti pemberontakan,
soal pemalsuan uang, pelanggaran hukum, dan sebagainya. Hukum dalam bentuk putusan
Khalifah mengurus pertikaian-pertikaian yang biasa timbul setiap hari.

Untuk urusan kesehatan telah disebut di atas bahwa wakaf dipergunakan dalam
mendirikan dan membiayai pemeliharaan rumah-rumah sakit. Dari semenjak semula dalam
sejarah Islam rumah rumah sakit telah didirikan oleh berbagai Khalifah. Khalifah AlWalid (705 -
715 M) memberi perintah kepada gubernur-gubernurnya untuk mendirikan rumah-rumah sakit di
daerahnya. Bagdad di bawah Harun Al-Rasyid (786 - 809 M) telah mempunyai rumah sakit dan
demikian pula Cairo, yang didirikan oleh Ibn Tulun pada tahun 872 M. Nama yang dipakai untuk
rumah sakit waktu itu ialah kata Persia bimaristan. Rumah-rumah sakit mempunyai bagian pria

11
dan wanita. Di antara rumah-rumah sakit itu ada yang mempunyai perpustakaan sendiri dan ada
pula yang memberikan kursus ilmu kedokteran.

Di rumah-rumah sakit Bagdad, dokter-dokter kepala dan ahli-ahli bedah memberi kuliah
kepada mahasiswa untuk kemudian diuji dan diberi ijazah. Pelajaran diberikan bukan hanya
dalam bentuk teori saja tetapi juga dalam bentuk praktikum. Di samping rumah-rumah sakit
terdapat pula klinik-klinik yang berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memberi
pengobatan kepada masyarakat. Rumah-rumah sakit yang banyak terdapat di dunia Islam
mempunyai pengaruhnya, melalui Perang Salib, terhadap pembentukan rumah-rumah sakit di
Eropa. Ilmu kedokteran yang ada di dunia Islam pada waktu itu lebih tinggi dari ilmu pengobatan
yang dilakukan di Eropa.

II.3 Aspek Pendidikan dalam Islam


Dalam bahasa Indonesia kata Pendidikan merupakan kata jadian yang berasal dari kata
didik yang diberi awalan pe dan akhiran an yang berati proses pengubahan sikap dan tatalaku
seseorng atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia. Sedangkan dalam Ensiklopedi
Indonesia dinyatakan bahwa pendidikan adalah proses membimbing manusia dari kebodohan
menuju ke kecerahan pengetahuan.
Dari pengertian etimologi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah
proses mengubah keadaan anak didik dengan berbagai cara untuk mempersiapkan masa depan
yang baik baginya.
Dalam literatur Arab, ada tiga istilah yang biasa dipergunakan untuk menunjuk kepada
konotasi pendidikan; pertama, tarbiyah. Kedua, ta’lim. Ketiga, ta’dib.
Istilah tarbiyah berasal dari kata rabb, walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan
tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat,
mengatur, dan menjaga kelestariannya atau eksistensinya. Sedangkan menurut istilah kata
tarbiyah merupakan tindakan mengasuh, mendidik dan memelihara. Kata tarbiyah pada arti yang
luas menjadi pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan dan perbaikan. Kata yang
mengandung pengertian tarbiyah adalah kata rabb  yang memiliki arti memperbaiki, mengurus,
mengatur dan juga mendidik.

12
Secara bahasa (etimologi), ta’lim (‫تعليم‬  ) merupakan bentuk masdar dari kata ‘allama -
yu’allimu - ta’liman (‫ يعلم – تعليما‬- ‫علم‬  ) yang berarti pengajaran. Dalam al quran, kata ta’lim
muncul dalam berbagai surat.  Sedangkan menurut istilah (terminologi) kata ta’lim adalah
merujuk kepada pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan
dan ketrampilan.
Secara bahasa, ta’dib merupakan bentuk masdar dari kata addaba- yuaddibu-ta’diban,
yang berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan menurut istilah ta’dib dapat diartikan sebagai
proses mendidik yang memfokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi
pekerti pelajar.
Dalam Islam terdapat aspek-aspek pendidikan. Aspek pendidikan islam ada 3 macam yaitu
aspek ibadah, aspek aqidah dan aspek akhlak :

1.   Aspek Aqidah

Kata “aqidah” berasal dari bahasa Arab, yang berarti: “ma ‘uqida ‘alaihi wa al-dlamir”,
yakni sesuatu yang ditetapkan atau yang diyakini oleh hati dan perasaan (hati nurani); dan berarti
“ma tadayyana bihi al-insan wa i’taqadahu”, yakni sesuatu yang dipegangi dan diyakini
(kebenarannya) oleh manusia. Dengan demikian secara etimologis, aqidah berarti kepercayaan
atau keyakinan yang benar-benar menetap dan melekat di hati manusia.

Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah memperoleh, penataan dan penggunaan
pengetahuan. Disebutkan pula, ranah psikologi siswa yang terpenting adalah ranah kognitif.
Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini, pada perspektif psikologi, kognitif adalah
sumber sekaligus sumber ranah-ranah kejiwaan lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah
psikomotor (karsa). (“Psikologi Belajar”.2003.48) dijelaskan pula pada halamn selanjutnya,
“upaya pengembangan fungsi ranah kognitif sendiri melainkan juga dalam ranah afektif dan
psikomotor” (Psikologi Belajar.2003.51). jadi dapat disimpulkan bahwa aspek aqidah sangat
penting karena aspek aqidah sangat mempengaruhi aspek ibadah (afektif) dan aspek akhlak
(psikomotor).

2.   Aspek Akhlak

Dalam dunia pendidikan aspek akhlak sering disebut aspek afektif. Muhimin
mendefinisikan akhlak (Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. 2003.306), kata “akhlak”

13
(bahasa arab) merupakan bentuk jamak dari kata “khuluq”, yang brarti tabiat, budi
pekerti,kebiasaan. Jadi bila kita berbicara tentang afektif, maka kita berbicara tentang sikap dan
nilai siswa. Muhibbin Syah (Psikologi Belajar.2003.53) mengatakan keberhasilan pengembangan
ranah kognitif tidak hanya akan membuahkan kecakapan kognitif tetapi juga menghasilkan
kecakapan ranah afektif. Ia juga mengatakan keberhasilan pengembangan ranah kognitif juga
akan berdampak positif terhadap perkembangan ranah afektif. Peningkatan kecakapan afektif ini
antara lain, berupa kesadaran beragama yang mantap.

3.   Aspek Ibadah

Dalam dunia pendidikan aspek ibadah sering disebut dengan aspek psikomotorik.
Muhibbin Syah, M.Ed (Psikologi Belajar.2003.54). mendefinisikan kecakapan psikomotor ialah
segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik kuantitasnya maupun kualitasnya,
karena sifatnya yang terbuka.

Muhibbin Syah, M.Ed. (Psikologi Pendidikan. 2003. 54) berpendapat keberhasilan


pengembangan ranah kognitif juga akan berdampak positif terhadap perkembangan ranah
psikomotorik Dijelaskan pula oleh Dr. Nana Sudjana (Dasar-Dasar Proses Belajar. 2005.54.),
seseorang yang berubah tigkat kognisinya sebenarnya dalam kadar tertentu telah berubah pula
perilakunya. Muhaimin berpendapat dalam bukunya (Paradigma Pendidikan islam. 2002. 169),
Pembelajaran PAI justru harus dikembangkan kea rah proses internalisasi nilai (afektif) yang
dibarengi dengan aspek kognitif sehingga timbul dorongan yang sangat kuat untuk mengamalkan
dan mentaati pelajaran dan nilai-nilai dasar agama yang telah terinternalisasikan dalam diri
peserta didik (psikomotori).

Dari pernyataan tersebut dapat dismpulkan bahwa keberhasilan guru dalam mendidik
peserta didik dapat dilihat dari aspek psikomotor yaitu bias atau tidakkah peserta didik itu
mengaplikasikan mata pelajaran yang diberikan oleh guru kedalam tingkah laku ehidupan sehari-
hari.

14
BAB III
KESIMPULAN

Pada dasarnya aspek politik, kelembagaan dan pendidikan merupakan hal yang sangat
lumrah dan menjadi hal yang paling banyak dibahas selama perkembangan zaman dari dulu
hingga kini. Aspek politik islam pada dasarnya merupakan demokrasi. Pada masa sepeninggal
Rasulullah SAW, Abu Bakar As Siddiq menjadi pengganti beliau sebagai khalifah pertama di
tanah Arab. Sebagai yang diketahui, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah bukan karena adanya
hubungan darah terhadap Rasulullah SAW, melainkan atas hasil musyawarah kaum Anshar dan
Muhajirin. Demikian pula pada khalifah selanjutnya. Namun pada masa sepeninggal Ali Ibn Abi
Thalib, umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan dan masing-masing golongan
membentuk dinasti-dinasti. Sayyid Qutb menambahkan bahwa pernerintahan Islam dapat
menganut sistem apa pun asalkan tetap melaksanakan syariat Islam. Karena itu, semua
pemerintahan yang melaksanakan syariat Islam dapat disebut sebagai pemerintahan Islam,
apapun bentuk dan corak pemerintahannya. Sebaliknya, pemerintahan yang tidak mengakui dan
menjalankan syariat Islam, meskipun dilaksanakan oleh organisasi yang menamakan dirinya
Islam atau mempergunakan label Islam, tetap tidak dapat dikatakan sebagai pemerintahan Islam.
Pada masa kekhalifahan dan dinasti-dinasti sudah mulai terdapat lembaga lembaga
kemasyarakatan. Lembaga-lembaga tersebut diantaranya lembaga pemerintahan, lembaga militer
atau keamanan, lembaga kesehatan, dan lembaga pendidikan. Semua kelembagaan itu dibentuk
demi untuk menjaga stabilitas masyarakat di dalam maupun diluar kekhalifahan atau dinasti.
Kemudian aspek pendidikan dalam islam bertujuan untuk membina dan mengembangkan
pribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmania juga harus berlangsung secara bertahap.
Pada hakikatnya, pendidikan adalah proses yang berlangsung secara kontiniu dan
berkesinambuangan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang perlu di emban oleh
Pendidikan Islam pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Sebagai
aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam
memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja. Oleh karena itu, dasar yang
terpenting dari pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan hadist (Sunnah Rasulullah).

15
DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi, Azra, Pendidikan islam, Ciputat: Logos, 1999


Jurnal MD Vol. I No. 1 Juli-Desember 2008
Mu’man. “Aspek-aspek Pendidikan Islam dan Implementasinya dalam Pembinaan
Mental Peserta didik”. Jakarta. 2005
Nasution, Harun. “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Jilid 1. Jakarta. 2016
Tafsir Al-Quran Tematik. “Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik”.
Seri 3. Jakarta. 2009
http://arisutomotulungagung.blogspot.com/2017/03/tarbiyah-talim-dan-tadib.html
http://dedi45no.blogspot.com/2013/03/makalah-aspek-aspek-pendidikan-
islam.html

16

Anda mungkin juga menyukai