Anda di halaman 1dari 20

ASPEK POLITIK DAN KELEMBAGAAN ISLAM

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Mikro
Dosen Pengampu: Dr. Hasani Ahmad Said, M.A.

Disusun Oleh:
Rigo Gonito Indo (11200840000021)
Afra Aqila Azhar (11200840000117)
Martina Solihatun (11200840000115)

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2020
Abstrak

Mendiskusikan tema terkait konsep atau sistem politik Islam dan lembaga
islam memang tidak akan pernah selesai. Berbagai buku yang menawarkan
gagasan sistem politijIslam telah dihadirkan oleh para intelektual Muslim
dari zaman dahulu hingga hari ini. Dalam menulisakn makalah ini, penulis
menggunakan pendekatan deskriptif-analitik dengan mengumpulkan data
utama melalui riset kerpustakaan (library research) teknik pengumpulan
data diperoleh dari dan melalui data primer dan data sekunder. Penelitian
ini menggunakan metodologi analisis deskriptif dan komparatif. Dengan
begitu, makalah ini menghasilkan suatu kesimpulan bahwa Negara Islam
haruslah dibangun di atas sendi keislaman yang berdasar pada al-qur’an
dan hadist. Terdapat tiga kategori dalam suatu sistem politik islam yaitu:
Siyasah Dusturiyah, Siyasah Dauliyah, dan Siyasah Maliyah. Adapun
konsep-konsep Kelembagaan dalam politik Islam antara lain terdiri dari
adanya konsep- konsep mengenai dakwah, konstitusi, legislasi, syura dan
demokrasi serta ciri-ciri, fungsi, dan manfaat lembaga yang dijelaskan
dalam makalah ini.

Kata Kunci : Politik, Kelembagaan, Islam

PENDAHULUAN

Pembahasan Islam dan politik yang sering dipertanyakan para pengkaji


teori-teori politik adalah bagaimana timbulnya pemikiran dan perkembangan
politik dalam Islam. Sebagai sebuah entitas keagamaan, Islam lahir dengan konsep
perbaikan kehidupan manusia secara utuh dan menyeluruh yang didalamnya
membangun struktur sosial kemasyarakatan. John
Esposito dalam Islam and Politics, dengan jujur mengakui realitas sejarah
umat Islam di masa awal hingga keruntuhannya senantiasa berpaku kepada aqidah
Islam. Esposito menyatakan bahwa Agama (Islam) memberikan pandangan dunia,
gagasan untuk kehidupan pribadi dan bersama, baik pada masa khulafaurrasyidin,
Umayyah dan Abbasiah, menurutnya dasar ideologi masyarakat maupun Negara
saat itu adalah Islam. Lebih lanjut dia merincikan bahwa legitimasi dan otoritas
penguasa, lembaga-lembaga peradilan, pendidikan dan sosial berakar pada Islam.
(Esposito, 1990). Pengakuan jujur dari seorang orientalis tentunya bukan hanya
Esposito saja, para orientalis –terlepas dari kesimpulan yang diambilnya- lainnya
pun tidak membutakan mata akan Islam sebagai agama spiritual juga agama
politik.
Dalam dunia politik islam, diperlukannya sebuah kelembagaan yang
menjembatani antara agama dan politik maka dari itu terdapat konsep- konsep
mengenai dakwah, konstitusi, legislasi, syura dan demokrasi dan juga mengenai
ummah.

A. SISTEM POLITIK ISLAM

Politik dalam Islam adalah suatu kebijakan untuk mengatur suatu pemerintah
yang berdaulat atau masyarakat dalam bernegara. Sistem politik Islam dalam bahasa
Arab disebut dengan “siyasah” yang terbagi dalam tiga bagian, yaitu :

1. Siyasah Dusturiyah

Ruang lingkup dalam Fiqih Siyasah Dusturiyah (Politik Tata Negara)


merupakan hubungan antara pemimpin dengan rakyatnya yang ada dipihak lain,
dan kelembagaan-kelembagaan yang ada didalam masyarakatnya.

Ruang lingkup Fiqih Siyasah Dusturiyah meliputi :

a. Persoalan Imamah (Kepala Negara), Hak Dan Kewajibannya

Menurut Al-Mawardi definisi dari imamah adalah suatu kedudukan


atau jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian dalam
memelihara agama dan mengendalikan dunia. Hak yang dimiliki oleh
imam yaitu, hak untuk ditaati dan dibantu. Namun seiring dengan
perkembangan zaman, hak bagi imam bertambah satu yaitu, hak untuk
mendapat imbalan dari harta baitul mal untuk keperluan hidup dan
keluarganya.

Adapun kewajiban imam menurut Al-Mawardi adalah memelihara


agama, mentahfidzkan hukum-hukum diantara orang-orang yang
bersengketa dan menyelesaikan perselisihan, memelihara dan menjaga
keamanan, menegakkan hukum-hukum Allah, menjaga tapal batas
dengan kekuatan yang cukup, menentang orang-orang yang menentang
Islam setelah diadakan dakwah kepada mereka dengan baik-baik,
menetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang
berhak., memungut fa’i dan sadaqah sesuai dengan ketentuan,
menggunakan serta mengerahkan pengurusan kekayaan negara kepada
orang-orang yang dapat dipercaya dan jujur, dan melaksanakan sendiri
tugas-tugasnya yang berlangsung didalam membina umat dan menjaga
agama.

b. Persoalan Rakyat, Status, dah Hak-Haknya

Rakyat terdiri dari muslim dan non muslim (kafir dzimi dan
musta’min). Kafir dzimi adalah warga non muslim yang menetap
selamanya. Sedangkan musta’min adalah orang asing yang menetap
untuk sementara. Kafir dzimi memiliki hak-hak kemanusiaan, sipil, dan
hak-hak politik sedangkan musta’min tidak memiliki hak-hak politik.

c. Persoalan Bai’at

Bai’at adalah membai’atkan seorang amir dan mengikatkan


perjanjian, mereka meletakkan tangan-tangan mereka ditangannya
untuk menguatkan perjanjian (jual-beli).

d. Persoalan Waliy Al-Ahdi, Sumber Kekuasaan dan Kriteria Imam

Imamah dapat dipilih dengan dua cara, yaitu dengan pemilihan ahl
al-all wa al-aqdi dan dengan janji (penyerahan kekuasaan) imam yang
sebelumnya. Cara yang kedua inilah yang disebut dengan waliyul ahdi.

Kriteria atau syarat-syarat imam antara lain adil, berilmu, sehat


panca indranya, sehat anggota badan, memiliki kecerdasan dan
kemampuan untuk mengatur rakyat demi kemaslahatan, serta
menjunjung tinggi kebenaran, rasa tanggung jawab, dan tabah.

e. Persoalan Perwakilan dan Ahl Ai-Hall Wa Al-Aqdi

Ahl Ai-Hall Wa Al-Aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi


yang mempunyai wewenang memilih dan membaiat imam,
mengarahkan kehidupan masyarakat kepada maslahat, membuat UU
yang mengikat seluruh umat didalam hal yang tidak diatur secara tegas
oleh Al-Qur’an dan Hadis, mengawasi jalannya pemerintahan dan
sebagai tempat konsultasi imam didalam menentukan kebijakannya.

2. Siyasah Dauliyah

Titik berat pembicaraan Siyasah Dauliyah atau hukum Tata Negara adalah
sekitar hubungan antara negara dan orang-orang yang tercakup dalam hukum
internasional.

Materi pokok pembahasan fiqih siyasah dauliyah antara lain :

a. Korps diplomatik

Korps diplomatik adalah kepala negara asing yang berkuasa di


Darukufar atau di wilayah negeri non muslim termasuk tamu-tamu
sahabat dan perwakilan negara asing (staf Kepala Negara di waktu
mereka berada di negara Darussalam).

b. Tawanan perang

Tindakan terhadap tawanan perang ada dua, yaitu membebaskan


tawanan itu dengan baik (manna) dan menukarkan tawanan itu dengan
tebusan (fida’)

c. Perjanjian damai

Perjanjian yang dilakukan oleh Darussalam dengan negara lainnya


salam keadaan perang itu disebut perjanjian damai atau gencatan
senjata.

d. Penyerahan penjahat antar negara Darusalam

Menurut teori fiqih siasah setiap negara yang termasuk darusalam


dipandang sebagai wakil yang mutlak bagi negara lain untuk
menjalankan hukum Islam

3. Siyasah Maliyah

Di dalam Siyaasah Maliyah dibicarakan bagaimana cara-cara yang harus


diambil untuk mengharmoniskan orang-orang kaya dan orang-orang miskin agar
tidak terjadi kesenjangan. Dalam Siyasah Maliyah ada beberapa hal yang
menjadi pembahasan, antara lain persoalan hak milik, zakat, harta wakaf,
perpajakan, dan bea cukai.
Paradigma Sistem Politik Islam

Paradigma sistem politik islam dalam suatu negara, dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu:

1. Kelompok Integralistik

Kelompok ini memiliki paham bahwa Islam dalam artian yang sebenarnya
tidak hanya sebagai doktrin agama yang membimbing manusia dari aspek
spiritual saja, melainkan juga berusaha membangun sebuah sistem
ketatanegaraan. Menurut paradigma ini, Islam diartikan sebagai lembaga politik
dan kenegaraan yang mengatur hubungan antar manusia dalam aspek sosial
maupun politik kenegaraan melalui doktrin Inna al-Islām Dīn wa Daulah.
Dengan doktrin ini Islam dipahami sebagai teologi politik. Pada akhirnya Islam
menjadi keniscayaan sebagai dasar negara sehingga agama dan politik tidak
dapat dipisahkan dan harus terbentuk secara formalistik-legalistik dalam suatu
wadah yang bernama Negara Islam.1 Ide pemikiran atau pemahaman ini
didasari pada perjalanan sejarah dalam organisasi gerakan Islam Ikhwan
al-Muslmin di Mesir dan Jama`at Islammiyah.

Kelompok ini secara khusus terbagi lagi ke dalam dua aliran, yakni
tradisionalisme dan fundamentalisme. Kalangan tradisionalis adalah mereka
yang tetap ingin mempertahankan tradisi pemerintahan ala Nabi dan keempat
khalifah, dengan tokoh sentralnya adalah Muhammad Rasyid Ridha. Kalangan
fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial,
sistem pemerintahan dan negara untuk kembali kepada konsep Islam secara total
dan menolak konsep selainnya, dan Abu al-A’la al-Maududi adalah salah satu
tokohnya.2

2. Kelompok Sekularistik

Kelompok ini mempunyai tujuan menjadikan politik menjadikan negara


sekuler. Kelompok sekuler ini yang memisahkan Islam dengan urusan
pemerintahan, karena mereka berkeyakinan, bahwa Islam tidak mengatur
masalah keduniawian termasuk pemerintahan dan negara. Tokoh aliran ini yang
paling terkenal dan bersuara lantang adalah ‘Ali ‘Abd ar-Raziq.

1
Abd. Salam Arif, Politik Islam., p. 6
2
Masykuri Abdilah, Tashwirul Afkar, No. 7, Th. 2000: 103
3. Kelompok Substantif-Simbiotik

Menurut penganut aliran ini, dalam agama dan negara harus bersifat
simbiotik dalam hubungan yang berbeda, yaitu suatu hubungan timbal balik
antara keduanya. Negara memerlukan agama sebagai panduan etika dan moral
dan agama memerlukan negara sebagai kawalan dan pedang penolong dalam
menjaga kelestarian serta eksistensinya. Karena tanpa ‘pedang penolong’ itu,
maka Islam tidak akan ditancapkan dalam realitis sosial meskipun memiliki
semua ajarannya yang sempurna dan konprehensif.

Corak teologi politik dari kelompok ini berpendapat bahwa relasi agama
dan negara didasari oleh prinsip-prinsip etis, yang menyatakan tuntutan ataupun
indikasi kuat terhadap sistem politik dari pemerintahan di dalam Islam yang
sama sekali tidak ditemukan dan terbukti. Ini artinya secara argumentatif tidak
ada suatu konsepsi yang secara jelas bahwa islam berisikan ketentuan-ketentuan
tentang sumber kekuasaan negara, pihak pelaksana kekuasaan, bagaimana
kekuasaan itu diperoleh, dan kepada siapa pelaksanaan itu bertanggung jawab.
Kelompok ini (kelompok modernis) memandang bahwa Islam mengatur
masalah keduniaan (termasuk pemerintahan dan negara) hanya pada tataran
nilai dan dasar-dasarnya saja. Di antara tokoh kelompok ini adalah Muhammad
‘Abduh, Muhammad Husain Haikal dan Muhammad As’ad.

Prinsip Sistem Politik Islam

Setidaknya, sistem politik islam berdasarkan atas tiga (3) prinsip yaitu :

1. Hakimiyyah Ilahiyyah

Hakimiyyah atau pemberian kuasa pengadilan dan kedaulatan hukum


tertinggi hanyalah mutlak hak milik Allah.

llah.蘀l h뿀 lla.蘀 hllah.l.蘀 hl. Ϫ ϟl 蘀 .l hl 蘀 o hϪl˴.l.蘀 hl. ahϓ 蘀 l.蘀 h‫ﮈ‬ഏ ahϓ

“Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia,
bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala
penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Al-Qasas: 70)

Hakimiyyah Ilahiyyah membawa pengertian-pengertian berikut:


 Bahawasanya Allah yang menjadi pemelihara manusia, dan tidak ada jalan
lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifat Ilahiyah-Nya
Yang Maha Esa.

 Bahawasanya hak untuk menghakimi dan mengadili hanya dimiliki oleh


Allah karena Dialah satu-satuNya sang Pencipta.

 Bahawasanya hanya Allah saja yang memiliki hak mengeluarkan


peraturan-peraturan sebab Dialah satu-satuNya Pemilik.

 Bahawasanya hukum Allah adalah suatu yang benar sebab hanya Dia saja
yang mengetahui hakikat segala sesuatu.

Hakimiyyah Ilahiyyah membawa arti bahwa sistem politik Islam ialah


tauhid kepada Allah di segi Rububiyyah dan Uluhiyyah.

2. Risalah

Risalah memiliki arti bahwa kerasulan beberapa orang lelaki di kalangan


manusia sejak Nabi Adam hingga kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah suatu
asas yang penting dalam sistem politik Islam. Melalui landasan risalah inilah
dalam bidang perundangan kehidupan manusai, para rasul mewakili kekuasaan
tertinggi Allah. Para rasul meyampaikan, mentafsir dan menterjemahkan segala
wahyu Allah melalui ucapan dan perbuatan.

Dalam sistem politik Islam, Allah telah memerintahkan agar manusia


menerima segala perintah dan larangan Rasulullah s.a.w. serta tunduk kepada
perintah Rasulullah s.a.w dan tidak mengambil selain dari pada Rasulullah s.a.w
untuk menjadi hakim dalam segala perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Firman Allah:

ere蘀 eraa ˴r.蘀 ˴ ar.蘀 er h䁛r.蘀 䁜. ˶rah˶ . l‫ ﮈ‬o h䁛r.蘀 ˶rϓ蘀 rem l.rah˶΍ a h‫ﮈ‬ഏ ԻϠo蘀 Ϡm
蘀rah䘘 l䘙Ϡo hlr濰a rlha䘘䘘䘙 Ϡm h㌰l h䁜h�o h˶rah˶ .蘀 hlha䘘뿀蘀 Ϡm rlhar濰m ԻϠa濰rԻr 蘀 erae Ϣ .r h lrahaԩ r m ˶ra䙄 .蘀
䙄Ϡ䁛.r.蘀 hϪrԩϪ㙀 ‫ﮈ‬ഏ l蘀 ‫ﮈ‬ഏ 蘀ah䁛뿀蘀

Terjemahan : "Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,
Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya."
(Al-Hasyr: 7)

la쳌y Ϡ˴m ϠϢ蘀 ll䘘 hήl䘙蘀 lഏo 蘀l hϪ ԩ lh llh䘘濰lae 㙀 Ϡ˴lao lah˴a.hԩ ‫  ﮈ‬llah濰ml hԩ e΍ o
ϠϢ˴la l 뿀 蘀lah˴ hԩ

Terjemahan: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman


hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamuberikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)

3. Khilafah

Khilafah berarti perwakilan. Kedudukan manusia di atas muka bumi ini


diibaratkan sebagai wakil Allah. Oleh sebab itu, dengan kekuasaan yang telah
diamanahkan, maka hendaklah manusia melaksanakan undang-undang dalam
batas yang ditetapkan Allah. Melalui landasan ini, manusia hanyalah sebagai
khalifah atau Wakil Allah yang menjadi Pemilik yang sebenarnya.

llah ˴l.뿀 elam h˸l濰濰. llϓϪl.e lem ˸l΍l 蘀 o e䘘 ϟ llha濰l .蘀 lh

Terjemahan: "Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti


(mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan
bagaimana kamu berbuat." (Yunus: 14)

Seseorang khalifah yang benar-benar mengikuti hukum Allah baru bisa


disebut khalifah yang sah. Allah menuntun agar tugas khalifah dipegang oleh
orang-orang yang memenuhi syarat-syarat berikut:

 Terdiri dari pada orang-orang yang benar-benar boleh menerima dan


mendukung prinsip-prinsip tanggung jawab yang terangkum dalam
pengertian khilafah.

 Tidak terdiri dari pada orang-orang zalim, fasiq, fajir dan lalai
terhadap Allah serta bertindak melanggar batas-batas yang
ditetapkan olehNya.
 Terdiri dari pada orang-orang yang memiliki kecerdasan, berakal
sehat, berilmu, berilmu, dan memiliki kearifan serta kemampuan
intelek dan fizikal.

 Terdiri dari pada orang-orang yang amanah sehingga dapat memikul


tanggung jawab dengan yakin.

Pemerintahan baru wajib di patuhi kalau politik dan kebijaksanaannya


merujuk kepada Al-Quran dan hadist atau tidak bertentangan dengan keduanya.

Nilai-Nilai Dasar Sistem Politik Dalam Islam

Di dalam sistem politik dalam islam, terdapat nilai-nilai dasar yang harus kita
terapkan dalam menjalankan pemerintahan dalam suatu negara, diantara nilai-nilai
dasar itu adalah:

a. Keharusan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Q.S


Al-Mu’minun:52)

b. Keharusan bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah


ijtihadiyah (Q.S. Asy-Syura:38 dan Q.S. Ali’Imran:159)

c. Keharusan mununaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil (Q.S.


An-Nisa:58)

d. Keharusan untuk taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri (Q.S. An-Nisa:59)

e. Keharusan mendamaikan konflik antar kelompok dalam bermasyarakat (Q.S.


Al-Hujurat:9)

f. Keharusan untuk mempertahankan kedaulatan negara dan larangan


melakukan agresi dan invensi (Q.S. Al-Baqarah:190)

g. Mementingkan perdamaian daripada permusuhan (Q.S. Al-Anfal:61)

h. Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan


keamanan (Q.S. Al-Anfal:61)

i. Keharusan menepati janji (Q.S. An-Nahl:91)

j. Mengupayakan peredaran harta dalam seluruh lapisan masyarakat (Q.S.


Al-Hasyr:7)
B. KELEMBAGAAN/PRANATA ISLAM

Didalam dunia politik sudah sering dilakukan setiap masyarakat baik primitif
atau modern karena sifat dan karakter manusia serta jawaban ilmiah Islam terhadap
tuntutan kehidupan politik memang perlu waktu. Bahkan di kalangan aktifis saja
masih ada sebuah anggapan bahwa berpolitik tidak dilakukan dalam Islam.
Menekankan sejarah Rasulullah SAW serta praktek-praktek kontemporer akan
mengingatkan keagungan Islam dalam menggunakan kekuasaan untuk mencapai
tujuan kehidupan manusia sebagai khalifah fil Ardhi dan Abdullah sekaligus
menyadari pentingnya politik dalam kehidupan Islam.

Yang penting dalam memahami politik dari sudut Islam sekarang ini adalah
mengenali adanya upaya untuk memisahkan salah satu cabang kehidupan manusia
yang ada urusannya dengan penggunaan kekuasaan ini dari sudut konsepsi, teori,
pandangan dan akhirnya praktek umat Islam. Adapun konsep-konsep Kelembagaan
dalam politik Islam antara lain terdiri dari adanya konsep- konsep mengenai dakwah,
konstitusi, legislasi, syura dan demokrasi dan juga mengenai ummah yang akan
dijelaskan dalam pembahasan ini.

1. Dakwah

Dakwah merupakan kewajiban bagi muslim dan muslimah pada setiap


masa dan keadaan. M. Natsir sebagai tokoh umat Islam Indonesia dalam buku
monumentalnya Fiqhud Da’wah, menyatakan bahwa dakwah dalam arti luas,
adalah kewajiban yang harus dipikul oleh tiap-tiap muslim dan muslimah. Tidak
boleh seorang muslim dan muslimah menghindarkan diri darinya (M. Natsir,
1991). Tentang konsep dakwah ini beliau mengutip beberapa ayat al-Qur’an
sebagai panduan yang menguatkan tentang hukum kewajiban berdakwah bagi
setiap muslim dan muslimah antara lain QS. Ali ‘Imran 3: 110, QS. Al-Nashr
103: 1-3).

Pengertian Dakwah

Perkataan dakwah ditinjau dari segi bahasa (etimologi) berasal dari bahasa
Arab rab a dari kata aab a (panggilan) yaitu memanggil atau mengajak
manusia kepada suatu urusan. Sedangkan pengertian dakwah secara terminologi
(istilah) adalah mengajak kepada Allah dan beriman denganNya sebagai
Tuhan yang satu tidak mensyirikkan-Nya, beriman kepada para malaikatNya,
kitab-kitabNya, para nabi dan rasul- Nya, beriman pada hari akhirat dan kepada
takdirNya sama ada yang baik ataupun yang buruk (Abdul Naim Muhammad
Husein 1984: 17).

Media Dakwah

Media dakwah adalah segala sesuatu yang berupa alat, perantara, dan
sarana yang digunakan dalam kegiatan dakwah yang menjadi penunjang
dalam kelangsungan proses penyampaian pesan dari komunikan (da’i) kepada
khalayak (mad’u) secara efektif (Nurdin: 2010). Sebagai suatu aktivitas,
dakwah berupaya mengubah suatu situasi tertentu kepada situasi yang lebih
baik menurut ajaran Islam. Dengan kata lain dakwah, berarti menyampaikan
konsepsi Islam kepada manusia mengenai pandangan dan tujuan hidup di
dunia ini (Endang Saifuddin Anshari. 1969: 85). Media dakwah adalah
instrumen yang dilalui oleh pesan atau saluran pesan yang menghubungkan
antara da’i dan mad’u. Pada prinsipnya dakwah dalam tataran proses, sama
dengan komunikasi, maka media pengantar pesan pun sama. Media dakwah
berdasarkan jenis dan peralatan yang melengkapinya terdiri dari media
tradisional (gendang, rebana, bedug, siter, suling, wayang, dll), media modern
(telephone, radio, tape recorder, surat kabar, buku, majalah, brosur, poster,
dan pamplet), dan perpaduan kedua media tradisional dan modern (wayang,
sandiwara yang bernuansa Islam dan ditayangkan televisi).

Peran dan Tujuan Dakwah

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa dakwah berperan


dalam mewarnai hidup manusia dengan iman dan takwa, dengan demikian
termasuk di dalamnya adalah menjauhkan umat dari kekafiran. Salah satu
faktor yang mendekatkan manusia pada kekafiran adalah kefakiran, sehingga
pengentasan kefakiran merupakan bagian dari kerja dakwah dalam rangka
menjaga iman dan takwa umat. Kefakiran dapat diberantas melalui
pembangunan umat, baik jasadnya (kesehatan) yang juga akan mempengaruhi
jiwanya, akalnya (pendidikan) dan kesejahteraannya secara umum. Juga telah
disebutkan di atas, bahwa dakwah sebagai suatu aktivitas, berupaya
mengubah suatu situasi tertentu kepada situasi yang lebih baik menurut ajaran
Islam. Dengan demikian upaya- upaya dan atau kegiatan-kegiatan dalam
rangka pembangunan umat, merupakan bagian dari dakwah.

Manhaaj Dakwah

Menurut Faishal Ali Yahya (1989) al-manhaj atau al- manhaaj, adalah
dua kata yang semakna, baik dari segi bahasa ataupun istilahnya. Al-manhaj
artinya suatu jalan yang sudah terang dan jelas. Sedangkan al-manhaaj ialah
suatu jalan lempang dan lurus. Ibnu Mandzur dalam menafsirkan kedua kata
tersebut dengan mengutip dari ayat Al-Qur’an, sebagai berikut:

Ϡ蘀Ϡ濰䘘m .㙀΍ ˴濰m Ϡ濰 .蘀 .

Artinya: 'Untuk tiap ummat diantara kalian. Kami berikan aturan dan jalan
yang terang' (QS. Al-Maidah 5: 48).

Dari pengertian diatas penulis sependapat dengan kesimpulan pengertian


manhaj dakwah ialah cara atau aturan yang dianjurkan atau harus diikuti
dalam kerja-kerja atau kegiatan berdakwah atau di bidang pengajaran atau
tuntunan (Said Ramadhan al-Buthy 1997: 70). Hasan al-Banna (1999: 227)
menyatakan dalam mudzakirahnya: Ciri-ciri khusus dakwah antara lain:

1. Bina' dan positif, karenanya dakwah ini bersifat membangun bukan


merusak, berusaha melakukan hal-hal positif. Kewajiban kami
membina diri sendiri terlebih dahulu.

2. Lisan yang sesuai dengan perbuatan. Karena itu kami harus


mempelajari undang-undang (syari'at-red) kami yang didalamnya
tercantum segala sesuatunya. Kami juga berusaha untuk bisa
menerapkan apa yang kami pelajari dan kami ucapkan.

3. Rabbaniyah. Karena itu kami harus menjalin hubungan erat dengan


Allah sekuat kemampuan kami melalui dzikir dan doa-doa ma'tsurat.

4. Tajammu'. Yaitu kami selalu saling bertemu dan merindukan


pertemuan serta menunaikan hak-hak ukhuwah.

5. Ihtiwal dan kifah (saling menanggung beban berat dan berjuang).


Karena itu kami mesti ridha dan melapangkan dada untuk menerima
semuanya.
2. Konstitusi

Dalam fiqh siyasah Konstitusi disebut juga dustur, dustur berarti


kumpulan kaedah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara
sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik yang tidak tertulis
(konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi). Menurut ulama fiqh siyasah,
pada awalnya pola hubungan antara pemerintah dan rakyat ditentukan oleh
adat istiadat. Dengan demikian, hubungan antara kedua belah pihak
berbeda-beda pada masing-masing negara, sesuai dengan perbedaan
masing-masing negara. Akan tetapi karena adat istiadat ini tidak tertulis, maka
dalam hubungan tersebut tidak terdapat batasan-batasan yang tegas tentang
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Akibatnya, karena pemerintah
memegang kekuasaan, tidak jarang pemerintah bersikap absolut dan otoriter
terhadap rakyat yang dipimpinnya. Mereka berlaku sewenang-wenang dan
melanggar hak-hak asasi rakyatnya. Sebagai reaksi, rakyatpun melakukan
pemberontakan, perlawanan, bahkan revolusi untuk menjatuhkan pemerintah
yang berkuasa secara absolut tersebut. Dari revolusi ini kemudian lahirlah
pemikiran untuk menciptakan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai
pedoman dan aturan main dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.
Namun, tidak selamanya konstitusi dibentuk berdasarkan revolusi. Ada juga
pembuatan konstitusi karena lahirnya sebuah negara baru.

3. Legislasi

Didalam Islam, Legislasi (perundang-undangan) terbagi ke dalam empat


bentuk. Dalam kajian fiqh siyasah, legislasi atau kekuasaan legislasi disebut
juga dengan istilah al-sulthah al-tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintah
Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Kekuasaan legislasi berarti
kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang
akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan
ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam syariat Islam. Dengan
demikian, unsur-unsur legislasi dalam Islam meliputi:

 Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum


yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam.
 Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya.
 Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan
nilai-nilai dasar syari’at Islam.

4. Demokrasi

Dalam hal ini demokrasi berasal dari pengertian bahwa kekuasaan ada di
tangan rakyat. Maksudnya kekuasaan yang baik adalah kekuasaan yang berasal
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sejarah demokrasi berasal dari sistem
yang berlaku di negara-negara kota (city state) Yunani Kuno pada abad ke 6
sampai dengan ke 3 sebelum masehi. Waktu itu demokrasi yang dilaksanakan
adalah demokrasi langsung yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk
membuat keputusan politik dan dijalankan secara langsung oleh seluruh warga
negaranya yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas hal tersebut
dimungkinkan karena negara kota mempunyai wilayah yang relatif sempit dan
jumlah penduduk tidak banyak (kurang lebih 300 ribu jiwa). Sedangkan waktu
itu tidak semua penduduk mempunyai hak, bersifat langsung dari demokrasi
Yunani Kuno dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam
kondisi sederhana, wilayahnya terbatas serta jumlah penduduknya sedikit
(kurang lebih 300 ribu jiwa dalam satu kota).

5. Ummah

Dalam Piagam Madinah, pemakaian kata ummah mengandung dua


pengertian, yaitu :

a. Organisasi yang diikat oleh akidah Islam. kedua, organsasi umat yang
menghimpun jamaah atau komunitas yang beragam atas dasar ikatan
sosial politik. Dari ayat-ayat Alqur’an dan piagam madinah dapat
dicatat beberapa ciri esensi yang menggambarkan ummah (Islam).
pertama, ummah memiliki kepercayaan kepada Allah dan keyakinan
kepada Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, memiliki kitab yang
satu dan bentuk pengabdian yang satu pula kepada Allah.
b. Islam yang memberiakan identitas pada ummah mengajarkan semangat
universal. Ketiga, karena umat islam bersifat universal, maka secara
alamiah umat islam juga bersifat organik. Keempat, berdasarkan
prinsip ketiga, maka Islam tidak dapat mendukung ajaran kolektivitas
komunisme dan individualisme kaum kapitalis. Kelima, dari prinsip
tersebut, maka sistem politik yang digariskan Islam tidak sama dengan
pandangan Barat.

Konsep terpenting dalam pemikiran politik Islam adalah konsep Ummah


atau komunitas orang-orang beriman. Permulaan kata Ummah diterjemahkan
sebagai suatu kesatuan yang menimbulkan kesatuan semua warga muslim.
Menurut makna istilah, Ummah “meliputi totalitas (jamaah) individu-individu
yang paling terkait oleh tali atau ikatan agama, bukan kekeluargaan maupun ras.
Di dalam Ummah itu segenap anggota bersaksi sepenuhnya bahwa tidak ada
Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Dihadapan Allah,
semua anggota mempunyai derajat yang sama, tidak ada perbedaan tingkatan,
kelas atau ras”.

Sedangkan makna Ummah dalam arti lebih luas tidak hanya terbatas pada
masyarakat Madinah. Dalam dokumen yang disebut ” Konstitusi Madinah”
istilah Ummah digunakan dalam dua arti yang berbeda dalam dua bagian
dokumen:

a. Pada bagian awal istilah itu digunakan dalam arti khusus, yakni
masyarakat keagamaan orang- orang yang beriman; dan

b. Pada bagian kedua, kata itu diartikan sebagai masyarakat persekutuan


secara umum.

6. Syura

Kata Syura berasal dari sya-wa-ra, yang secara etimologis berarti


mengeluarkan madu dari sarang lebah. Kata syura dalam bahasa Indonesia
menjadi musyawarah mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil
atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh
kebaikan.

Mayoritas ulama syari’at dan pakar undang-undang konstitusional


meletakkan “musyawarah” sebagai kewajiban keislaman dan prinsip
konstitusional yang pokok di atas prinsip- prinsip umum dan dasar-dasar baku
yang telah ditetapkan oleh nash-nash al qur’an dan hadis-hadis nabawi. Oleh
karena itu, musyawarah ini lazim tidak ada alasan bagi seorang pun yang
meninggalkannya.
Kedudukan konstitusional musyawarah juga berada di atas dalam sistem
kebebasan kontemporer (demokrasi barat) yang membedakannya dari sistem
diktatorial sekalipun hanya dinisbatkan kepada sistem demokrasi dari segi
bentuk-bentuk bukan isi. Kedudukan ini terkadang naik ketika berhembus
angin perubahan internasional dan berjatuhan sistem-sitem hukum komunisme
diktatorial di tempat aslinya dan di tempat-tempat yang mengikutinya di Eropa
timur juga negara-negara lain dari negara-negara komunisme atau sosialisme
marxisme.

Musyawarah dalam prinsip hak asasi manusia juga kebebasan umum


mendasar, sangat memperhatikan permasalahan sekarang di dunia pada semua
suku secara umum dan secara khusus suku-suku dalam negara yang disebut
dengan dunia ketiga.

Bila hadis nabawui menetapkan bahwa: pemisah antara seseorang dan


kemusyrikan serta kekafiran adalah shalat maka kami berkata “ bahwa
pembatas antara hukum Islam dan antara hukum diktatorial adalah
meninggalkan musyawarah”. (Khaliq, 2005).

Sistem kenegaraan yang dianjurkan oleh Islam harus memegang prinsip


syura. Allah SWT telah mewajibkan berlakunya sistern syura kepada umat
manusia dalam dun ayat Al-Quran. Teks kedua ayat tersebut cukup jelas
dalam mewajibkan untuk mengikuti prinsip syura. Ayat pertama disampaikan
dalam bentuk perintah terhadap Rasulullah saw. Untuk menjalankan syura.
Jika demikian, tentu umatnya lebih pantas untuk diperintah melakukannya.
Sementara ayat yang kedua menerangkan bagaimana sifat utama dari kaum
muslimin dalam menghadapi berbagai persoalan dan memutuskan
permasalahan dengan selalu saling memahami satu sama lainnya dan saling
tukar pikiran melalui syura.

C. CIRI-CIRI, FUNGSI DAN MANFAAT LEMBAGA ISLAM

Agama merupakan suatu lembaga atau institusi penting yang mengatur


kehidupan rohani manusia. Sebagai umat beragama, sudah menjadi kewajiban untuk
menjalankan rutinitas beribadah, sehingga mencapai rohani yang sempurna
kesuciannya. Di lain sisi, kehidupan jasmani pun terbilang penting guna mendukung
terpenuhi kebutuhan rohani.

Sebagai makhluk sosial, tentunya setiap individu pasti membutuhkan individu


yang lain, baik untuk berinteraksi, saling membantu, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, diperlukan suatu lembaga guna mewujudkanya, melalu suatu lembaga/pranata
Islam. Lembaga Islam merupakan suatu sistem norma yang didasarkan pada ajaran
Islam, yang sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang sangat
beragam mengikuti perkembangan zaman. Lembaga Islam memiliki ciri-ciri, fungsi
dan manfaat bagi kemajuan masyarakat, yakni sebagai berikut :

Ciri-ciri lembaga Islam :

 Lembaga islam adalah suatu organisasi dari pola-pola pemikiran dan


pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas islam.
 Lembaga islam memiliki satu atau beberapa tujuan tertentu.
 Lembaga islam memiliki alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk
mencapai tujuannya, seperti bangunan, peralatan, dan sebagainya.
 Lembaga islam memiliki lambang-lambang.
 Lembaga islam mempunyai tradisi baik yang terltulis maupun tidak tertulis
yang merumuskan tujuannya, tata tertibnya, dan sebagainya.

Manfaat dan fungsi lembaga islam bagi kemajuan masyarakat

1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat muslim tentang bagaimana


mereka harus bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul dan
berkembang di masyarakat, terutama kebutuhan yang menyangkut kebutuhan
pokok.
2. Memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai tentang cara berfikir
dan bertindak yang sesuai dengan kondisi dan situasi.
3. Memberikan pemahaman kepada masyarakat dalam melakukan pengendalian
sosial seperti pengendalian tingkah laku dan peran.
4. Menjaga persatuan dan keutuhan masyarakat.
Nasution, Harun. 1985. Islam : Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid 1 Edisi
Kelima. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia ( UI Press)

Kuntowijoyo. 2013. Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi. Yogyakarta: Tiara


Wacana

Madjid, Nurcholis. 2009. Tradisi Islam : peran dan fungsinya dalam pembangunan
di Indonesia. Jakarta: Paramadina

Al-Sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia. Pustaka Al-Kautsar

Rachmad Faisal Harahap, 2013. Dahlan Iskan Ungkap Sejarah Dakwah. Kampus
Okezone

Al-Butiyy, Muhammad Said Ramadhan, 1997. Rahasia Dakwah Yang Berkesan.


Selangor: Pustaka Ilmi

Djazuli, Ahmad. (2003) Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Umat dalam


Rambu rabu Syariah. Bandung : Kencana

Huwaidi, Fahmi. (1999). Muwathinun la Dzimmiyun, Kairo: Dar al-fikr

Iqbal, Muhammad. (2001). Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam.


Jakarta: Gaya Media Pratama

Khaliq, Farid Abdul. (2005). Fiqh Politik Islam. Jakarta : Amzah

Pulungan, Suyuthi. (2002). Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta :
Rajawali

Pers Saefuddin. (1996). Ijtihad Politik : Cendekiawan Muslim. Jakarta : Bema


Insani Press

Zawawi, Abdullah. Politik Dalam Pandangan Islam. Jurnal Ummul Qura Vol V, No
1, Maret 2015

Wijaya, R. 2012. Makalah Sistem Politik Islam.


<http,//www.scrib.com/doc/89805236/Makalah-Sistem-Politik-Islam>.
Diakses pada tanggal 18 Desember 2020
Baidowi, Achmad. 2018. Prinsip-Prinsip Dasar Politik Islam.
<achbaidowi.com/prinsip-prinsip-dasar-islam/> Diakses pada 18 Desember
2020

Anda mungkin juga menyukai