Anda di halaman 1dari 13

PRANATA SOSIAL DALAM POLITIK DAN

PEMERINTAHAN DALAM ISLAM

DOSEN MATA KULIAH STUDI ISLAM

Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA

DI SUSUN OLEH :
Muhammad Asyraf Nurshidiq ( 11200340000025 )
Mochammad Fikri Fuady ( 11200340000001 )
Muhammad Dimas Geraldy ( 11200340000015 )
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena telah mencurahkan
nikmat kesehatan dan kesempatan agar kami bisa menyelesaikan makalah ini.Shalawat dan
salam tidak lupa kami hadiahkan kepada nabi besar Muhammad Saw yang telah membawa
ummat dari zaman jahiliyah ke zaman Islamiyah.

Berkat kerjasama dari semua anggota, akhirnya penyususnan makalah ini dapat terselesaiksan
juga. Kami menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT dan kami mengucapkan
banyak terima kasih jika ada saran yang membangun dari berbagai pihak.
Pendahuluan

Penelusuran terhadap sejarah perpolitikan di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara
serta dapat digunakan untuk mengungkap perjalanan perubahan sistem politik umat Islam di
Indonesia. Berpikir secara dialektis akan terlihat perjalanan sejarah sebagai sesuatu yang mapan
dan mendapat reaksi hingga pada akhirnya melahirkan sintesa baru. Pendekatan ini tentu dapat
digunakan untuk mengamati perjalanan sejarah Islam dan politik di Indonesia sebagai umat
mayoritas yang memeluk agama Islam. Keberadaan umat Islam di negara ini sering menjadi
bahan pembicaraan dan peranannya pun mengalami pasang surut1 . Berbagai pembicaraan
tentang Islam dalam konteks politik di Indonesia juga mengindikasikan bahwa politik Islam tidak
dapat dipisahkan dengan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.Seperti yang terjadi pada akhir-
akhir ini. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2017 yang diterbitkan pemerintah baru-
baru pada dasarnya dapat menjadi senjata pemerintah dalam menyentil, menggebuk ataupun
memberangus Organisasi Kemasyarakat (Ormas) yang bermasalah. Utamanya yang anti atau
bertentangan dengan Ideologi Negara Pancasila. Sebagai penjaga pilar-pilar kesatuan dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)serta ideology negara, memang
seharusnya pemerintah memiliki senjata itu. Pemerintah tidak boleh kalah dan menyerah, dari
kemungkinan adanya sebagian rakyat bangsa ini yang “nakal” yang menyebarkan bibit-bibit
perpecahan negara, karena menyempal dari ideology negara. Diterbitkannya PP No. 2 Th 2017
itu nampaknya pemerintah melihat adanya indikasi dan kecenderungan itu.Indikasi dan
kecenderungan itu seperti misalnya tampaknya terlihat pada HTI (Hisbut Tahrir Indonesia).
Hizbut Tahrir Indonesia yang sering disingkat HTIadalah salah satu kelompok gerakan Islam
sebagaimana Salafy, Ihwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, dan beberapa kelompok Islam lainnya,
yang pada dasarnya merupakan implementasi gagasan pembaruan Islam. Gerakan semacam ini
pada tahapan tertentu mengambil bentuk organisasinya sendiri hingga terbentuk kelompok
kelompok yang saling terpisah berdasarkan ciri masing masing. Hizbut Tahrir adalah
kependekan dari nama aslinya Hizb at Tahrir al Islami (Partai Pembebasan Islam) yang didirikan
di Al Quds pada tahun 1952 oleh Taqiyudin an Nabhani (Hafidzul Quran, Qadhi/hakim Palestina
lulusan Al Azhar). Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari
kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundangundangan, dan
hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh
negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah
Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah SWT dapat diberlakukan
kembali. Tujuan untuk membangunDaulah Khilafah Islamiyahdi muka bumi dengan system
kekhalifahan (khilafah) yang tunggal, yang dicanangkan HTI inilah agaknya yang dikawatirkan
pemerintah dapat mengganggu keutuhan NKRI serta merorong ideology negara Pancasila.
Padahal satu hal yang harus difahami-- siapun umat dan khususnya pemikir Islam/ intelektual
Islam dari zaman dahulu, hingga di zaman modern sekarang ini-- bahwa dengan dibuat serta
diundangkannya Piagam Madinah (Madinah Charter) oleh Rasulullah Muhammad SAW
pada tahun 622 M sebagai konstitusi masyarakat atau Negara (Madinah) yang dibangunnya,
sesungguhnya Rasulullah sendiri tidak bermaksud—juga menganjurkan-- untuk mendirikan
Negara Agama (Daulah Khilafah Islamiyah).Atau negara yang berfaham teokrasi. Teokrasi
dalam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan “cara memerintah negara yang
didasarkan kepercayaan bahwa Tuhan langsung memerintah negara, hukun negara yang berlaku
adalah hukum Tuhan, pemerintahan yang dipegang oleh ulama atau organisasi keagamaan”2 .
Tetapi Rasulullah sebaliknya justru membangun negara yang bersifat demokratis yang menganut
sistem nomokrasi Islam3 . Atau suatu masyarakat (negara) yang dijiwai oleh prinsif dan dasar-
dasar nilai serta hukum Islam. Sayangnya, konsep nomokrasi, belum masuk dalam cerapan
Bahasa Indonesia. Konsep nomokrasi Islam, terdapat dalam buku “Teori Hukum Konstitusi”
karya Dr King Faisal Sulaiman SH, LLM4 yang menjelaskan nomokrasi Islam atau suatu
masyarakat (negara) yang dijiwai oleh prinsif dan dasar-dasar nilai serta hukum Islam bahwa
“Hukum Islam (nomokrasi Islam) merupakan perintah-perintah suci dari Allah SWT yang
mengatur seluruh aspek kehidupan setiap muslim5 dan meliputi materi-materi hukum secara
murni serta materi-materi spiritual keagamaan dengan tetap mengacu pada Al Quran dan Al
Hadist atau Ass Sunnah Nabi Muhammad SAW
PEMBAHASAN

1. Politik dalam islam


Politik (Yunani: Politikos; Arab: ‫سياسة‬, siyasah) (dari bahasa Yunani: politikos, yang
berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai
definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Kata atau istilah “politik” dalam bahasa Indonesia terambil dari kata bahasa Inggris,
yakni politic, yang secara harfiah bermakna(1)acting or juding wisely; prudent(2) well judged;
prudentatau sikap bijaksana atau hati-hati dalam bersikap, dan melakukan kebijaksanaan
atau tindakan bijak. Kata tersebutjuga bermakna The art of governmentatau tata
pemerintahan/seni pemerintahan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “politik” diartikan dengan (1) (pengetahuan)
yang berkenaan dengan ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti sistem pemerintahan dan
dasar pemerintahan); (2) Segala urusan dan tindakan(kebijakan, siasat dsb.) mengenai
pemerintahan negara atau terhadap negara lain; (3). Cara bertindak (dalam menghadapi
dan menangani suatu masalah).9Kata turunandari kata “politik”, seperti “politikus” atau
“politisi” berarti orang yang ahli di bidang politik atau ahli ketatanegaan atau orang yang
berkecimpung di bidang politik.Kata, “politis” berarti bersifat politik atau bersangkutan dengan
politik, dan “politisasi” berarti membuat keadaan (perbuatan, gagasandan sebagainya) bersifat
politis.10Sementara itu, makna dari kata “aspek-aspekpolitik” yaitu segala sesuatu yang
berkaitan dengan urusan pemerintahan, sistem negara, hubungan antara pemerintah dengan
rakyat, hubungan antar negara.
Dalam ilmu Fiqh, adasatu bagian pokok yang membicarakan tentang masalah
perpolitikan, yaituFiqh al-Siyasah. Menurut Prof.Dr.H. Ahmad Sukarja, SH., MA., Fiqh
Siyasah adalah ilmutata negara, yang membicarakan tentang seluk-beluk kenegaraan
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan tuntunan syariat.
Kata atau istilah lain yang semakna dengan itu adalah Siyasah Syar’iyah, al-Ahkam al-
Sulthaniyahdan al-Khilafah. Pada prinsipnya, ada empat hal pokok yang dibicarakan dalam
Fiqh Siyasah, yaitu (1) Institusi pemerintahan sebagai pengendali aktifitas pemerintahan, (2)
masyarakat sebagai pihak yang diatur, (3) kebijaksanaan dan hukum yang menjadi instrumen
pengaturan masyarakat dan (4) cita-cita ideal dan tujuan yang hendak dicapai.23Dari apa
yangdikemukakan di atas, ternyata, bidang politik adalah salah satu bidang yang secara
serius dibicarakan dalam Islam, dan itu berarti bahwa bidang politik adalah bidang yang cukup
penting, sebagaimana pentingnya bidang-bidang lain seperti kalam, fiqh (pada umumhya), tafsir,
hadist dan sebagainya.Kesimpulan di atas akan menjadi lebih kuat, mengingat ada beberapa
nashyang secara jelas menyebutkan hal tersebut. Di antaranya adalah firman Allah pada
QS. Al-Nisa/4: 59
2. Pemerintahan dalam islam

Sistem pemerintahan Islam adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang dapat


memberikan jalan keluar atas berbagai permasalahan kehidupan manusia karena manusia hanya
diperbolehkan tunduk kepada hukum-hukum Allah SWT yang Maha Mengetahui ciptaan-Nya.
Dengan sistem pemerintahan Islam, manusia mempunyai kekuasaan untuk memastikan
agar sang pemimpin hanya menerapkan hukum Allah SWT secara kaffah dan tidak
mengedepankan hawa nafsunya.
Sistem pemerintahan Islam menjamin pelayanan administratif dan penyediaan fasilitas
bagi seluruh warganya, baik muslim maupun non muslim, supaya dapat hidup dengan mudah
menurut kerangka Islam.
Dalam sistem pemerintahan Islam, negara akan menjadi sarana yang efektif untuk
menyebarluaskan dakwah Islam kepada seluruh umat manusia di dunia. Negara Islam akan
memiliki angkatan bersenjata yang kuat untuk mempermudah tugas ini, serta untuk memelihara
pertahanan dan keamanan negara Islam dari serangan musuh-musuh Islam.
3. Sistem Pemerintahan dalam Islam
Menurut Hasan al-Banna sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdul Qadir Abu Faris,
pemerintahan Islam adalah pemerintah yang terdiri dari pejabat-pejabat pemerintah yang
beragama Islam, melaksanakan kewajiban kewajiban agama Islam dan tidak melakukan maksiat
secara terang-terangan, melaksanakan hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama Islam. Sistem
pemerintahan yang pernah dipraktikkan dalam Islam sangat terkait dengan kondisi konstektual
yang dialami oleh masing-masing umat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad
ke-7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan
yang meliputi sistem pemerintahan khilafah (khilafah berdasarkan syura dan khilafah monarki),
imamah, monarki dan demokrasi.
Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teritorial, sehingga
kekhalifahan Islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mempersatukan kekhalifahan
adalah Islam sebagai agama. Pada intinya, khilafah merupakan kepemimpinan umum yang
mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi Saw. Dalam bahasa Ibn Khaldun,
kekhalifahan adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk
menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan memikul da'wah Islam ke seluruh dunia.
Jabatan ini merupakan pengganti Nabi Muhammad Saw, dengan tugas yang sama, yakni
mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga ini disebut khilafah
(kekhalifahan). Orang yang menjalankan tugas itu disebut khalifah. Dalam hubungannya dengan
sub judul ini, maka pemerintahan yang dimaksud yaitu pemerintahan dalam perspektif Islam
yang tentunya pembahasan dengan menengok pemerintahan di masa Nabi Muhammad Saw
(negara Madinah). Sehubungan dengan itu, menurut Mohammed S. Elwa bahwa siapa saja
terlibat dalam sebuah riset tentang prinsip-prinsip sistem politik Islam dan sejarahnya, maka
harus menerima kenyataan bahwa Rasulullah Saw adalah yang pertama kali membentuk
pemerintahan Islam, sesudah hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Menurut Hasan al-Banna, Islam menganggap pemerintahan sebagai salah satu dasar
sistem sosial yang dibuat untuk manusia. Islam tidak menghendaki kekacauan atau anarkis dan
tidak membiarkan satu jamaah tanpa Imam (pemimpin). Jadi orang yang menganggap bahwa
Islam tidak memberi penjelasan tentang politik atau politik bukan bidang pembahasannya, maka
ia mengkhianati dirinya dan juga mengkhianati Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa masa kenabian adalah masa yang pertama dari sejarah
Islam, dan semenjak Rasulullah memulai dakwahnya sampai beliau wafat yang dinamakan masa
itu dengan masa kenabian atau masa wahyu, mengingat ciri-ciri yang membedakannya dari
masa-masa yang lain, adalah masa yang ideal, yang di masa itulah puncak berwujudnya
keagungan Islam. Masa kenabian itu, terbagi kepada dua periode yang dipisahkan oleh hijrah.
Dalam pada itu tidak ada di antara kedua fase itu perbedaan yang tegas bahkan periode yang
pertama, adalah sebagai perintis jalan bagi yang kedua. Di dalam periode yang pertama,
timbullah benih masyarakat Islam dan dalam periode inilah ditetapkan dasar-dasar Islam yang
pokok. Dalam periode yang kedua, disempurnakan pembentukan masyarakat Islam serta
dijelaskan sesuatu yang tadinya dikemukakan secara ringkas (global) dan disempurnakan
perundang-undangan dan tata aturan dengan melahirkan prinsip-prinsip baru, serta menerapkan
prinsip-prinsip itu ke dalam kenyataan. Dalam periode inilah nampak masyarakat Islam dalam
bentuk kemasyarakatan sebagai satu kesatuan yang bergerak menuju kepada satu tujuan.
Dari segi tinjauan politik, sejarah lebih memperhatikan periode yang kedua, karena
jamaah Islamiyah pada waktu itu telah memperoleh kedaulatannya yang sempurna dan
kemerdekaan yang penuh serta prinsipprinsipnya mulai diterapkan ke dalam alam kenyataan.
Dalam pada itu, keduadua periode ini dapat dikatakan dalam tinjauan sejarah, adalah masa
pembentukan dasar dan membangun. Maka dia mempunyai kedudukan yang sangat tinggi
nilainya. Karena dialah yang memberi jiwa kepada masa-masa yang datang sesudahnya. Dari
segi tafkir nazhary, maka masa ini membentuk daya gerak yang menghasilkan teladan-teladan
yang sempurna yang menjadi tumpuan pikiran para ahli, dan membentuk pula titik perjumpaan
bermacam aliran. Walaupun satu sama lainnya menempuh jalan sendiri-sendiri.
Terbentuknya Negara Madinah, akibat dari perkembangan penganut Islam yang
menjelma menjadi kelompok sosial dan memiliki kekuatan politik riil pada pasca periode
Mekkah di bawah pimpinan Nabi. Pada periode Mekkah pengikut beliau yang jumlahnya relatif
kecil belum menjadi suatu komunitas yang mempunyai daerah kekuasaan dan berdaulat. Mereka
merupakan golongan minoritas yang lemah dan tertindas, sehingga tidak mampu tampil menjadi
kelompok sosial penekan terhadap kelompok sosial mayoritas kota itu yang berada di bawah
kekuasaan aristokrat Quraisy, yang masyarakatnya homogen. Tapi setelah di Madinah, posisi
Nabi dan umatnya mengalami perubahan besar, Di kota itu, "mereka mempunyai kedudukan
yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi
kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu negara.
Suatu negara yang daerah kekuasaannya di akhir zaman nabi meliputi seluruh Semenanjung
Arabia. Dengan kata lain di Madinah Nabi Muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul,
tetapi juga mempunyai sifat Kepala Negara.
Praktek pemerintahan yang dilakukan Muhammad SAW sebagai Kepala Negara tampak
pada pelaksanaan tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam Madinah
beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi, yang berarti pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif
dan yudikatif. Tapi walaupun pada masa itu orang belum mengenal teori pemisahan atau
pembagian kekuasaan, namun dalam prakteknya beliau mendelegasikan tugastugas eksekutif dan
yudikatif kepada para sahabat yang dianggap cakap dan mampu.
Timbulnya berbagai masalah yang dihadapi dan perkembangan wilayah kekuasaan
menuntut adanya peta pembagian tugas. Untuk pemerintahan di Madinah, Nabi menunjuk
beberapa sahabat sebagai pembantu beliau, sebagai katib (sekretaris), sebagai 'amil (pengelola
zakat) dan sebagai qadhi (hakim). Untuk pemerintahan di daerah, Nabi mengangkat seorang
wali,seorang qadhi dan seorang 'amil untuk setiap daerah atau propinsi. Pada masa Rasulullah
Negara Madinah terdiri dari sejumlah propinsi, yaitu Madinah, Tayma, al-Janad, daerah Banu
Kindah, Mekkah, Najran, Yaman, Hadramaut, Oman dan Bahrain. Masing-masing pejabat
memiliki kewenangan sendiri dalam melaksanakan tugasnya. Seorang qadhi diberi beberapa
kebebasan penuh dalam memutuskan setiap perkara, karena secara struktural ia tidak berada di
bawah wali. Ali bin Abi Thalib dan Muaz bin Jabal adalah dua orang qadhi yang diangkat Nabi,
yang bertugas di dua propinsi berbeda. Nabi juga selalu menunjuk sahabat untuk bertugas di
Madinah bila beliau bertugas keluar, memimpin pasukan misalnya. Demikian pula kedudukan
beliau sebagai panglima perang, beliau sering wakilkan kepada para sahabat. Seperti dalam
perang Muktah (8 H), beliau menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglimanya. Beliau juga
berpesan: Kalau Ziad gugur, maka Ja'far bin Abi Thalib memegang pimpinan, dan kalau Ja'far
gugur, maka Abdullah bin Rawaha memegang pimpinan.
Adapun pranata sosial di bidang ekonomi yang juga menjadi bagian dari tugas
kenegaraan, adalah usaha Nabi Muhammad SAW mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial
rakyat Madinah. Untuk tujuan ini beliau mengelola zakat, infaq dan sadaqah yang berasal dari
kaum muslimin, ghanimah yaitu harta rampasan perang dan jizyah (pajak) yang berasal dari
warga negara non-muslim. Jizyah oleh kalangan juris muslim disebut juga "pajak perlindungan"
(protection tax).
Sedangkan praktek pemerintahan Nabi Muhammad di bidang hukum adalah kedudukan
beliau sebagai hakam untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul di kalangan masyarakat
Madinah, dan menetapkan hukuman terhadap pelanggar perjanjian. Ketika kaum Yahudi
melakukan pelanggaran sebanyak tiga kali terhadap isi Piagam Madinah, dua kali beliau
bertindak sebagai hakamnya., dan sekali beliau wakilkan kepada sahabat untuk
melaksanakannya. Kedudukannya sebagai hakam dan tugas ini pernah beliau wakilkan kepada
sahabat, dan penunjukan Muaz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib sebagai hakim, merupakan bukti
praktek pemerintahan Nabi di bidang pranata sosial hukum.
Dari sebagian contoh praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Muhammad SAW
tersebut, tampak bahwa beliau dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara dalam memerintah
Negara Madinah dapat dikatakan amat demokratis. Sekalipun undang-undangnya berdasarkan
wahyu Allah yang beliau terima, dan Sunnah beliau termasuk Piagam Madinah. Beliau tidak
bertindak otoriter sekalipun itu sangat mungkin beliau lakukan dan akan dipatuhi oleh umat
Islam mengingat statusnya sebagai Rasul Allah yang wajib ditaati.
Pada umumnya, para ahli berpendapat, masyarakat yang dibentuk oleh Nabi di Madinah
itu adalah negara, dan beliau sebagai kepala negaranya. Watt, seorang orientalis, menyatakan
masyarakat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad di Madinah bukan hanya masyarakat agama,
tetapi juga masyarakat politik sebagai pengejawantahan dari persekutuan suku-suku bangsa
Arab. Instansi persekutuan itu adalah rakyat Madinah dan Nabi Muhammad sebagai
pemimpinnya. Sebab beliau disamping seorang Rasul juga adalah Kepala Negara.. Hitti juga
berpendapat, terbentuknya masyarakat keagamaan di Madinah yang bukan berdasarkan ikatan
darah membawa kepada terbentuknya Negara Madinah. Di atas puncak negara ini berdiri Tuhan,
dan Nabi Muhammad adalah wakil Tuhan di muka bumi. Beliau disamping tugas kerasulannya
juga memiliki kekuasaan dunia seperti kepala negara biasa. Dari Madinah teokrasi Islam tersebar
ke seluruh Arabia dan kemudian meliputi sebagian terbesar dari Asia Barat sampai Afrika Utara.
Dalam Negara Madinah itu memang ada dua kedaulatan, yaitu kedaulatan Syariat Islam
sebagai undang-undang negara itu, dan kedaulatan umat. Syariat Islam sebagai undang-undang
di satu segi ia membatasi kekuasaan umat untuk membuat undang-undang mengenai hukum
sesuatu bila penjelasan hukumnya sudah jelas dalam nash syariat. Tapi di segi lain ia memberi
hak kebebasan kepada umat untuk menetapkan hukum suatu hal yang belum jelas hukumnya,
memerintahkan kepada umat agar memusyawarahkan setiap urusan mereka, yaitu urusan yang
belum jelas hukumnya dalam nash syariat. Ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad sebagai
salah satu aktivitasnya yang menonjol di bidang pranata sosial politik dalam memimpin negara
Madinah. Jadi negara Madinah itu adalah negara yang berdasarkan Syariat Islam, tapi ia
memberi hak bermusyawarah dan berijtihad kepada umat. Dengan demikian corak Negara
Madinah adalah negara berasaskan syariat Islam, dan bersifat demokratis.
Berdasarkan paparan di atas, dapatlah ditegaskan bahwa praktek pemerintahan yang
dilakukan Muhammad SAW sebagai Kepala Negara tampak pada pelaksanaan tugas-tugas yang
tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam Madinah beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi,
yang berarti pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tapi walaupun pada masa
itu orang belum mengenal teori pemisahan atau pembagian kekuasaan, namun dalam prakteknya
beliau mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap
cakap dan mampu.
Abu Bakar menjadi khalifah cukup singkat yaitu 2 tahun (11-13 H), tapi
pengangkatannya merupakan awal terbentuknya pemerintahan negara Madinah model Khilafah
dalam sejarah Islam. Pemerintahan model Khilafah ini tampaknya belum berbeda jauh dengan
sistem pemerintahan pada masa Nabi. Sepeninggal Abu Bakar, jabatan khalifah diamanatkan
kepada 'Umar bin Khaththab yang bergelar Khalifatu-khalifatu Rasulullah. namun Umar sering
dipanggil Amir al-Mu'min. Umar tidak diangkat berdasarkan musyawarah, melainkan
penunjukan Abu Bakar yang didahului konsultasi dengan sahabat lain. Abu Bakar mengambil
inisiatif ini karena khawatir akan terulang peristiwa Bard Saqifah.Oleh karena itu sikap Abu
Bakar ini dianggap para Yuris Sunni sebagai ijtihad Abu Bakar pribadi.
Di zaman pemerintahan 'Umar terjadi perluasan daerah yang begitu cepat sehingga
administrasi pemerintahan mengalami perkembangan. Sistem pembayaran gaji dan pajak mulai
diatur dan ditertibkan, pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan
lembaga eksekutif, jawatan kepolisian dibentuk.
Salah satu mekanisme pemerintahan yang penting ialah pembentukan Majelis
Permusyawaratan yang anggota-anggotanya terdiri dari suku Aus dan Kazraj yang berfungsi
sebagai lembaga legislatif. Dengan demikian 'Umar jauh sebelum lahimya teori "Trias Politica"
telah mengatur administrasi pemerintahannya melalui pembagian atau pemisahan kekuasaan
yaitu eksekutif yang ia pimpin, sedangkan yudikatif dilimpahkan kepada hakim dan kekuasaan
legislatif ada pada Majelis Permusyawaratan.
Pakar – Pakar Politik Muslim
Al-Farabi
Nama lengkapnya, Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkas bin Auzalagh. Dia
lahir pada 870 Masehi di Utrar, wilayah yang kini menjadi bagian dari negara Uzbekistan. Kota
tersebut bernama lain Farab sehingga dari sanalah nama gelarnya berasal.
Banyak pakar menilai, pemikiran al-Farabi menunjukkan pengaruh gagasan para filsuf
Yunani Kuno, semisal Plato atau Aristoteles. Menurut dia, tatanan bermasyarakat bertujuan
untuk menghasilkan kebahagiaan bagi setiap warga, baik di dunia maupun akhirat kelak.
Karya-karyanya yang terkait dengan ilmu politik ialah as-Siyasah al-Madaniyah dan Ara’
Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Menurut dia, ada dua kualitas, yakni negara utama (al-madinah al-
fadhilah) dan negara bukan utama.
Sifat utama dapat dilekatkan pada suatu negara bila di dalamnya masyarakat hidup rukun
dan saling bekerja sama. Tiap warga bagaikan satu bagian tubuh yang apabila salah satunya
terluka, maka rasa sakitnya dirasa seluruh badan.
Tentu saja, tiap bagian tubuh memiliki fungsi yang berlainan. Akan tetapi, perbedaan itu
tak menjadi halangan untuk saling bekerja sama. Justru, kolaborasi itulah yang membuat mereka
berfungsi dengan baik.
Peran kepala negara sangat penting. Sebab, dialah yang mengarahkan tiap elemen
masyarakat agar dapat mencapai tujuan berbahagia. Seorang kepala negara, dalam pemikiran al-
Farabi, harus memiliki kapasitas intelektual yang di atas rata-rata. Dalam hal ini, gagasan
ilmuwan Muslim yang wafat pada 950 Masehi itu tampak terinspirasi dari negara ideal menurut
Plato.

Al-Mawardi
Pemikir ini memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Habib al-Mawardi. Dia lahir di
Basrah, Irak. Mengutip buku Pemikiran Politik Islam tulisan Muhammad Iqbal dan Amin Husein
Nasution, al-Mawardi hidup di tengah gejolak yang dialami Dinasti Bani Abbasiyah.
Baghdad saat itu tak mampu membendung desakan daerah-daerah yang hendak lepas dari
pengaruh sentralistik. Menurut al-Mawardi, imamah dilembagakan untuk menggantikan
kenabian (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia.
Sosok yang pernah menjadi ketua mahkamah agung di Baghdad ini menegaskan adanya
kontrak sosial antara kepala negara dan masyarakat yang diwakili oleh para ahl al-ikhtiyar.
Seorang kepala negara memiliki 10 tugas. Di antaranya adalah memelihara agama dan menjaga
keamanan dalam negeri agar tiap warga dapat beraktivitas dengan aman.
Di sisi lain, rakyat wajib taat pada pemimpin, sekalipun pemimpin mereka sedang dalam
ekses keburukan. Bagaimanapun, al-Mawardi menilai, umat dapat tak taat bila kepala negara
menyimpang dari keadilan, kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya, dan dikuasai orang-
orang dekat atau musuh.

Ibnu Khaldun
Dunia modern mengenangnya sebagai Bapak Sosiologi. Nama lengkapnya cukup
panjang: Wali al-Din Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakr Muhammad
al-Hasan bin Khaldun. Dia lahir di Tunis, Afrika Utara, pada 1332. Ibnu Khaldun hidup saat
umat Islam umumnya sedang diterpa berbagai musibah, termasuk serbuan balatentara Mongol
terhadap kota-kota penting di Dunia Islam.
Ibnu Khaldun pernah aktif di dunia pemerintahan. Namun, penguasa saat itu, Abu al-
Abbas menolaknya dan bahkan berupaya memenjaranya. Ibnu Khaldun pun hijrah ke Spanyol
melalui Maroko. Pada masa inilah, dia menulis kitab besar, Al-Ibar. Kitab itu terdiri atas enam
jilid dan dibuka dengan pendahuluan berjudul Muqaddimah.
Terkait persoalan politik kenegaraan, dia berpendapat, agama adalah faktor penting yang
dapat menyatukan berbagai perbedaan di dalam masyarakat. Agama pun mesti menjadi
penggerak solidaritas sosial. Dia juga mengajukan tesis tentang lima fase perkembangan negara,
yakni sejak awal kebangkitan hingga kehancuran. Patut diduga, pemikirannya ini tak lepas dari
pengalamannya diburu rezim yang otoritatif.
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal merupakan seorang penya’ir, filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan
reformasi politik. Beliau lahir di Sialkot pada 22 Februari 1873, lahir dari keluarga yang nenek
moyangnya berasal dari lembah Kashmir. Beliau memulai pendidikanya pada ayahnya yang
bernama Nur Muhammad, seseorang yang dikenal sebagai ulama’.
Kemudian setelah menamatkan pendidian sekolah dasar di kampong kelahirannya pada
tahun 1895 segera melanjutkan pelajarannya ke Lahore. Di kota ini ia telah mendapat binaan dan
gemblengan dengan jiwa muda yang berhati baja oleh Maulana Mir Hasan, seorang ulama’
kawakan yang merupakan teman ayahnya.
Dan ulama’ ini memberikan dorongan dan semangat yang mewarnai dan mendasari jiwa
Iqbal dengan ruh agama yang senantiasa bersemayam dalam jiwa, menggelora dalam hati, serta
menentukan gerak, langkah, tujuan dan arah. Sehingga keberhasilan ulama tersebut dalam
membinanya membawa kesan yang mendalam di hati Muhammad Iqbal.1[1]
Selain itu, di kota ini Muhammad Iqbal juga bergabung dengan perhimpunan sastrawan
yang sering diundang Musya’arah. Dalam perkumpulan ini, dimana sasatra Urdu berkembang
pesat dan bahasa Persi semakin terdesak, pada usia mudanya Iqbal membacakan sajak-sajaknya.
Berikutnya, Muhammad Iqbal juga memberanikan diri untuk memberanikan sajaknya tentang
Himalaya dihadapan para anggota terkemuka organisasi sastra di Lahore.
Sehingga dengan adanya hal ini namanya semakin mencuat, dan menjadi semakin
populer diseluruh tanah air setelah sajaknya dimuat dalam majalah Maehan, suatu majalah
bahasa Urdu. Melaui majalah itu pula masyarakat luas semakin mengenal sehingga mendorong
majalah dan harian lainnya berebut meminta izin untuk menyiaran sajak-sajaknya.
Selain sebagai penya’ir, Muhammad Iqbal merupakan ahli politik terkemuka, yang mana
sumbagan dan perjuangannya merupakan modal pokok terbentuknya Negara Republik Islam
Pakistan di Barat Laut India.
Disamping ahli politik, beliau juga ahli pendidikan dan pengacara yang dijabatnya sejak
1908 sampai1937. Tujuan utamanya hanya sekedar untuk menartik hidup. Beliau jujur dan
ramah, sehingga tidak pernah menerima suatu perkara kalau sudah diyakini bahwa perkara itu
tidak dapat dibela olehnya
Begitulah Muhammad Iqbal, masih banyak bidang-bidang lain yang dikuasainya. Dan
pengaruh yang sedemikian besarnya sebagai penyair maupun filosof diabadikan sebagai nama
beberapa lembaa di Jerman, Italia, dan negara-negara lainnya.
Karya karyanya antara lain;
1. Ilm al Iqtisad, (1903)
2. Development of Metaphysis in Persia: A Constribution to the History of Muslim Philosophy
(1908).
3. Islam as a Moral and Political Ideal, (1909)
4. Asrar-I Khudi (Rahasia Pribadi)
5. Rumuz-I Bekhudi (RahasiaPeniadaan Diri)
6. Payam-I Masyriq (Pesan Dari Timur)2

Anda mungkin juga menyukai