Anda di halaman 1dari 18

KAIFA NATA’AMAL MA’A AL-SUNNAH AL-NABAWIYAH

(YUSUF QARDHAWI)
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Naskah Tafsir dan Hadits
Dosen Pengampu : Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A

Di Susun Oleh :

Fadly Nur Rahman 11200340000133


Muhammad Amin Husaini 11200340000031
Maharani 11200340000013

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji
syukur kehadirat Allah yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya. Sholawat serta salam
senantiasa kami curahkan pada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, serta umatnya
sepanjang zaman ini.

Ucapan terimakasih kami sampaikan. Makalah dengan judul ”Kaifa Nata’amal Ma’a al-
Sunnah al-Nabawiyah (Yusuf Qardhawi)” ini ditulis dengan tujuan untuk memenuhi salah satu
rangkaian tugas mata kuliah Studi Naskah Tafsir dan Hadits, Fakultas Ushuluddin Universitas
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan belum
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
perbaikan makalah yang selanjutnya. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan menjadi referensi untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca.

Ciputat, 15 November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii

BAB I ................................................................................................................................................

PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................................................ 1

C. Tujuan Masalah ................................................................................................................................ 2

BAB II ..............................................................................................................................................

PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 3

A. Biografi Yusuf Qardhawi ................................................................................................................ 3

B. Latar Belakang Penulisan Kitab ..................................................................................................... 4

C. Kedudukan Sunnah .......................................................................................................................... 6

D. Kewajiban Muslimin Terhadap as-Sunnah ................................................................................... 7

E. Metode Berinteraksi dengan as-Sunnah......................................................................................... 9

BAB III.............................................................................................................................................

PENUTUP.................................................................................................................................... 14

A. Kesimpulan ..................................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah hadits jika dipecahkan melibatkan banyak masalah, mulai dari otentisitas
yang banyak diperdebatkan oleh para orientalis, hingga transmisi (isnad). Dari sejarah
perubahan hadits verbal hingga kodifikasi hadits menjadi teks, dan masalah pemahaman
dan makna. Masalah ini memiliki posisi penting dan pada hakekatnya memberi
kehidupan, pengkajian ulang dan penafsiran kembali terhadap pemahaman dan penafsiran
hadits yang berbeda-beda.
Pemahaman ini kemudian dicoba dipecahkan oleh para pemerhati hadits dan para
ualama hadits yang mencoba memahami matan hadits dengan menggunakan metode yang
berbeda. Salah satunya adalah Yusuf al-Qardhawi, yang dalam karyanya mencoba
memberikan metode untuk memahami hadits, yaitu pertama dipahami dengan sunnah
berdasarkan al-Qur’an al-Karim, kedua mengumpulkan hadits dalam satu objek, ketiga
menggabungkan atau mentarjih antara hadits-hadits yang kontradiktif, keempat
memahami hadits-hadits dengan berdasarkan sebab, hubungan dan tujuannya, kelima
membedakan antara perubahan sarana dan tujuan permanen hadits, keenam membedakan
antara hakikat dan majas dalam memahami hadits, ketujuh membedakan antara yang
ghaib dan yang nyata, kedelapan menegaskan pengertian dari kata-kata hadits. Dengan
demikian hadits nabi harus dipahami dengan benar dan tepat. Namun, karena beberapa
serangan yang dilakukan orang-orang barat, banyak muslim mulai memiliki pendapat
yang berbeda dalam memaknai dan memahami hadits-hadits itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang Yusuf Qardhawi dalam menulis kitabnya?
2. Bagaimana kedudukan sunnah?
3. Apa kewajiban muslimin terhadap sunnah?

1
C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas
mata pelajaran Agama Islam, tetapi juga untuk memberikan pengetahuan mengenai :
1. Penjelasan latar belakang menulisan kitab.
2. Penjelasan kedudukan masalah.
3. Penjelasan kewajiban muslimin terhadap sunnah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Yusuf Qardhawi


Yusuf Qardawi memiliki nama lengkap yaitu Yusuf bin Abdullah bin Yusuf bin Ali
al-Qardawi, ia dilahirkan di desa Shaft Turab di tengah Delta Sungai Nil, daerah Mahallah al-
Kubra, Republik Arab Mesir, pada tanggal 9 September 1926. Ayahnya bernama Abdullah,
Yusuf Qardawi hanya dua tahun bersama ayahnya, karena ayahnya dipanggil oleh Allah.
Lalu ia diasuh oleh pamannya dan menganggap paman nya seperti ayahnya sendiri.
Saat berusia 5 tahun, ia mendapat pendidikan untuk menghafal al-Qur‘an secara
intensif oleh pamannya,dan pada usia 10 tahun ia sudah menghafalkan seluruh al-Qur’an
dengan fasih. Dengan keahliannya itu ia dijadikan imam salat lima waktu di desanya dan
pada usia yang sangat muda.1 Setelah menyelesaikan pendidikan di Ma’had Thantha dan
Ma’had Tsanawi.
Yusuf Qardawi kemudian melanjutkan sekolah nya ke Universitas al-Azhar, Fakultas
Ushuluddin. Oleh sebab itu, tidaklah bisa diragukan bahwa ia memiliki pengetahuan yang
cukup tentang Ilmu Aqidah, Ilmu Filsafat, Ilmu Tafsir dan Ilmu Hadis. Dan lulus tahun 1952-
1953 dengan predikat terbaik. Setelah ia melanjutkan pendidikanya di jurusan bahasa Arab
selama 2 tahun. Pada jurusan ini ia lulus dengan peringkat pertama diantara 500 mahasiswa.
Setelah itu ia melanjutkan studinya ke Lembaga Tinggi Riset dan Penelitian Masalah-
Masalah Islam dan Perkembangannya selama 3 tahun. Pada tahun 1960 Yusuf al-Qaradawi
memasuki pascasarjana (Dirasah al-Ulya) di Universitas al-Azhar, Cairo di fakultas ini ia
memilih jurusan Tafsir-Hadist atau jurusan Akidah-Filsafat. Lalu beliau menjalani program
doktor dan menulis disertasi berjudul Fiqh azZakat (Fiqih zakat). AlQardawi juga pernah
menjabat sebagai Dekan Fakultas Syari`ah Universitas Qatar dan menjadi anggota Rabitah
al-`Alam al-Islami. Selain itu, ia juga aktif memenuhi undangan seminar-seminar di berbagai
negara yang membahas berbagai persoalan yang dihadapi kaum muslimin dewasa ini.
Al-Al-Qaradawi juga aktif di bidang dakwah. Dalam bidang ini, selain di masjid-
masjid, al-Al-Qaradawi juga aktif menyampaikan pesan-pesan keagamaan melalui program
khusus di radio dan televisi. Diantaranya, program Misykat al-Nubuwwah dan Nur wa
1
Isam Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardhawi (terj) Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 3

3
Hidayat di radio Qatar, program acara Hady al-Islam yang disiarkan secara langsung oleh
televisi Qatar, program Syari’at wa al-Hayat di televisi al-Jazirah, program al-Muntada di
stasiun televisi Dubai. Disamping media audio visual, alAl-Qaradawi juga aktif menyebarkan
dakwahnya melalui media cetak. Tulisan-tulisan al-AlQaradawi tersebar di berbagai majalah
Islam, seperti al-Azhar, ad- Da’wah, Nurul Islam, Mimbar Islam, al-Sya’ab, al-Ahram, Afaq
Arabiyah, Liwa’ al-Islam, al- I’tisham dan majalahmajalah lain di Mesir, majalah Hadharat
al-Islam di Damaskus, al- Wa’yu al-Islami, alMujtama’, al-‘Arabi di Kuwait, al-Syihab di
Beirut, al-Ba’ats al-Islami di India, al-Da’wah di Duha, al-Ummah di Qatar, Manar al-Islami
di Abu Dhabi, dan majalah al-Muslim al-Mu’ashir yang terbit di Libanon.2

B. Latar Belakang Penulisan Kitab Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah


Yusuf al-Qardawi telah menyusun berbagai karya ilmiah di bidang keilmuan Islam.
Karya-karya ilmiah tersebut ada yang berbentuk buku, dan ada juga yang berbentuk artikel.
Buku-buku karya Yusuf al-Qardawi yang telah diterbitkan kurang lebih sekitar lima puluhan,
di antaranya:
1. Al-haram wa al-haram fi al-islam
2. Al-ibadah wa fi al-islam
3. Al-iman wa al-hayah
4. Fiqh wa al-zakah
5. Al-khasais wa al-ammah li al-islam
6. Al-nas wa al-haq
7. Dar al-nukhbah al-saniyah
8. Alam wa tagiyah
9. Fatawa mu’asirah
10. Al-sabr fi al-islam
11. Haqiqah al-tauhid
12. Nisa’ al-muk’minah

2
Amru Abdul Karim Sa’dawi, Qadhaya al-Mar’at fi fiqh al-Qardhawi, Terj., Cet. 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2009), h. 12.

4
13. Al-rasul wa al-ilm
14. Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma’alim wa Dawabi

Kitab Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah merupakan karya Yusuf al-
Qardawi dalam bidang Hadis dan ‘Ulum al-Hadis yang sangat monumental. Kitab Kayfa
Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi
tiga bagian pembahasan. Bagian pertama membahas tentang kedudukan sunnah, kewajiban
kita terhadapnya dan metode berinteraksi dengannya. Dalam bagian ini, al-Qardawi
mengemukakan bahwa sunnah merupakan metode pelaksanaan ajaran Islam yang
komprehensif, seimbang dan memudahkan.
Bagian kedua dari kitab ini membahas tentang kedudukan sunnah di dalam fiqh dan
dakwah. Menurutnya, para ahli fiqih baik dari madrasah al-Hadis maupun dari madrasah al-
ra`yi menjadikan hadis sebagai sumber asasi atau sumber hukum. Maka mengingat hadis
merupakan sumber asasi fiqih, fuqaha’ diharuskan mendalami ilmu hadis dengan baik.
Dalam bidang dakwah, sunnah merupakan sumber yang tidak pernah kering dan harta karun
yang tidak pernah habis. Meski demikian, seorang da`i agar bersikap hati-hati ketika
menyebutkan sebuah hadis yang dijadikannya sebagai dalil. Hanya sumber-sumber otentik
saja yang dapat dijadikan dalil dalam berdakwah.
Sedangkan bagian ketiga menguraikan tentang petunjuk metodologis untuk
memahami hadis, yaitu:
1. Memahami sesuai dengan petunjuk al-Qur’an
2. Menggabungkan hadis-hadis yang satu tema
3. Mengkompromikan atau mentarjih-kan antara hadis-hadis yang bertentangan
4. Memahami sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi serta tujuannya
5. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap
6. Membedakan antara ungkapan haqiqah dan majaz
7. Membedakan antara yang gaib dan yang nyata
8. Memastikan makna kata-kata dalam hadis.

Buku ini disusun atas permintaan al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami (Lembaga
Internasional untuk Pemikiran Islam) di Washington, Amerika Serikat dan al-Majma’ al-
Malaki li Buhus al-Had arah al-Islamiyyah (Akademi Kerajaan untuk Pengkajian

5
Kebudayaan Islam) di Yordanian. Lembaga tersebut memintanya untuk menulis karya
tersebut sebagai usaha untuk meredam gejolak yang terjadi atas diterbitkannya karya Syaikh
Muhammad al-Ghozali yang berjudul al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl
al-Hadis oleh lembaga yang sama. Buku yang terakhir ini menimbulkan kontroversi karena
dianggap telah melemahkan hadis-hadis yang dianggap sahih oleh kalangan ahli hadis
dengan alasan bahwa hadis-hadis tersebut bertentangan dengan nash-nash al-Qur`an. Buku
karya Yusuf al-Qardawi ini diterbitkan oleh lembaga tersebut pada tahun 1410 H/1990 M.

C. Kedudukan Sunnah
Menurut Yusuf Al-Qardhawi Sunnah Nabi SAW adalah manhaj yang terinci bagi
kehidupan seorang muslim dan masyarakat muslim. As-Sunnah (hadis Nabi SAW)
merupakan penafsiran Al-Quran dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual
dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi saw. merupakan perwujudan dari Al-Quran
yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-
hari. Makna seperti itulah yang dipahami oleh Ummul-Mukminin Aisyah r.a. sebagai
jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang akhlak Nabi saw.: "Akhlak beliau
adalah A1-Quran!" Oleh sebab itu, siapa saja yang ingin mengetalui tentang manhaj
(metodologi) praktis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal
itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasikan dalam Sunnah Nabawiyah, yakni
ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw.
Di antara para pemikir kontemporer, al- Qordhawi memberikan penjelasan yang luas
tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode
sistematis untuk menilai otensitas hadits. Menurut al- Al-Qardhawi sunnah Nabi mempunyai
3 karakteristik, yaitu komprehensif (Manhaj Syumuli), seimbang (Manhaj Mutawazzun), dan
memudahkan (Manhaj Muyassar)
a. Komprehensif (Manhaj Syumuli)
Adalah metode yang bersifat universal untuk kehidupan manusia seluruhnya,
secara panjang, lebar dan dalam. Maksudnya adalah segala aspek yang mencakup
kehidupan manusia dari sejak lahir hingga meninggal dunia, bahkan sejak periode janin
hingga kehidupan setelah mati. Dalam hal ini juga termasuk dari aspek poin ini adalah
mencakup semua aspek kehidpan, dimana berjalan bersamanya petunjuk Nabi di dalam

6
ruman, pasar, masjid, jalan, pekerjaan, berhubungan dengan Allah, berhubungan dengan
diri sendiri, berhubungan dengan keluarga, baik sesama muslim ataupun yang bukan
muslim, bahkan dengan sesame manusia, binatang dan benda mati sekalipun. Poin ini
juga mencakup eksistensi kedalaman manusia, mencakup tubuh, akal dan ruh. Juga
mencakup lahir batin, ucapan, perbuatan dan niat.
b. Seimbang (Manhaj Mutawazzun)
Ia adalah metode yang mencoba memahami hadis dengan menyeimbangkan aspek
ruh dan tubuh, antara akal dan hati, antara dunia dan akhirat, antara ideal dan realita,
antara teori dan praktekm antara yang gaib dan nyata, antara kebebasan dan tanggung
jawab, antara individu dan masyarakat, antara mengikuti dan berkreasi
c. Memudahkan (Manhaj Muyassar)
Karakteristik dari metode ini adalah juga mudah dan toleran. Sehingga dalam
sunnah Nabi Muhammad saw. ini tidak ada yang menyulitkan manusia dalam kehidupan
beragamanya, atau membuat mereka susah payah dalam kehidupan dunianya.

D. Kewajiban Muslimin Terhadap as-Sunnah

As-Sunnah adalah manhaj yang detail bagi kehidupan individu Islam dan
masyarakatnya. Dengan demikian, berarti Rasulullah adalah penjelas bagi al-Qur`an dan
sekaligus perwujudan atau jelmaan dari Islam dengan melalui perkataannya, perbuatannya
dan sirahnya.

Antara kewajiban orang Islam adalah dia harus mengetahui manhaj Nabi yang
lengkap, yang mana di dalamnya terdapat ciri-ciri kesyumulan (lengkap), kesempurnaan,
seimbang dan mudah. Dan menjelaskan tentang ketuhanan yang utuh, kemanusiaan yang
unggul dan kepribadian atau akhlak yang berasas.

Atas dasar inilah maka Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari
dalam berinteraksi dengan Sunnah, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang mengisyaratkan
tentang apa yang akan menimpa ilmu kenabian serta warisan risalah, akibat ulah kaum
ekstrem dan sesat. Oleh Ibn Jarir dan Tammim dalam Fawaidnya serta Ibn 'Adiy dan
beberapa selain mereka, dari Nabi saw bersabda.

7
“Ilmu ini akan dibawa dan dipelihara oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi. Mereka
ini akan membersihkannya dari tahrif (penyimpangan) kaum ekstrem, manipulasi kaum
sesat, dan penafsiran kaum yang bodoh.”

a. penyimpangan kaum ekstrem.

Penyimpangan dilakukan dengan cara mengubah sesuatu dari yang sederhana


menjadi sesuatu yang seolah-olah istimewa dalam agama, merubah konsep toleransi yang
menjadi ciri agama, dan mengubah konsep taisir (memudahkan) yang merupakan ciri
taklif syariat (pembebanan pelaksanaan syariat). Dalam hal ini Allah berfirman:
“katakanlah (Muhammad), “wahai ahli kitab janganlah kamu berlebih-lebihan dengan
cara yang tidak benar dalam agama. Dan janganlah mengikuti keinginan orang-orang
yang (telah )tersesat dahulu dan telah menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri
tersesat dari jalan yang lurus.”

b. manipulasi orang-orang sesat (Intihal al- Mubthilin),

Dalam hal ini para orang-oang sesat itu melakukan pemalsuan terhadap ajaran-ajaran
Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan aqidah
dan syari’a

Untuk mengatasi manipulasi itu para ulama memberikan syarat-syarat ketika


menemui suatu hadis. Di antaranya adalah: hendaknya tidak menerima sebuah hadis pun
tanpa sanad, tidak menerima sanad tanpa menjelaskan rawi-rawinya satu persatu.
Sehingga dikenal siapa dan diketahui riwayat hidupnya, dari mulai kelahirannya hingga
wafatnya. Dan kita juga harus mengetahui dimana rawi hadis itu mendengarkan hadisnya,
siapa guru-gurunya, siapa sahabat-sahabatnya dan siapa murid-muridnya, kemudian
bagaimana hafalan dan ingatannya (kedabitannya). Oleh karena itu para para ulama itu
mengatakan: “isnad itu sebagian dari agama, jika tanpa isnad, orang akan berkata
sekehendaknya masing-masing”. Para ulama juga tidak menerima hadis melainkan hadis
itu muttasil (tersambung) dari awal hingga akhir, perawinya siqqah, ‘adil, dhabit tanpa
ada kecacatan dan terlepas dari syadz atau illah (cacat).

c. Penakwilan orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin).

8
Takwil ini adalah takwil yang buruk yang dapat menjatuhkan hakikat Islam,
mengubah perkataan dari tempatnya sehingga akan mengurangi kandungan Islam dan
mengeluarkan hukum-hukum Islam dari dasarnya. Hal ini akan terlihat dari adanya
orang-orang batil yang memasukkan sesuatu yang bukan berasal dari Islam ke dalam
Islam, mengakhirkan apa yang seharusnya didahulukan dan mendahulukan apa yang
seharusnya diakhirkan. Kita harus mewaspadai orang-orang batil ini karena mereka
seolah-olah memakai pakaian ulama dan mendzahirkan sikap hukumanya.

E. Metode Berinteraksi dengan as-Sunnah

Menurut Syeikh Yusuf Qardhawi, Bagi siapa saja yang akan berinteraksi dengan hadis,
maka ia harus memperhatikan prinsip-prinsip asas ini:

1. Hendaklah Ia mencari kebenaran mengenai ketsabitan (ketetapan) as-Sunnah dan


kesahihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ilmiah yang mendalam yang telah
ditentukan oleh para imam dalam bidangnya, berupa sanadnya dan matannya, hadis itu
berasal dari perkataan, perbuatan atau pengakuan Nabi.
2. Hendaklah ia memperbaiki pemahamannya terhadap nash hadis, mendalami seluk beluk
bahasa, aspek pembicaraan hadis, sabab al-wurudnya (sebab adanya), menyadari bahwa
hadis di bawah naungan al-Qur`an.
3. Memastikan kedudukan nash-nash hadis yang bertentangan dengan nas yang lebih kuat,
entah dari al-Qur`an atau hadis-hadis lain yang jumlahnya lebih banyak, atau
ketsabitanya lebih sahih, atau juga lebih sesuai dengan al-usul (asalnya) dan hikmah
tasyri’nya (penetapan syariatnya) dan sesuai dengan maqashid syariah-nya (tujuan
pensyariatannya).

a. As-Sunnah yang Dijadikan Rujukan dalam Tasyri dan Pengarahan

Sunnah merupakan sumber rujukan kedua dalam Islam, dari sudut tasyri’ dan
pengarahannya. sunnah menjadi rujukan ahli fikih dalam beristimbat (mengambil)
hukum, juga menjadi rujukan pendakwah dan pendidik dalam mendapatkan ide-ide yang
jelas, nilai-nilai yang unggul, hukum-hukum yang pasti, dan kaidah-kaidah yang
mendekatkan ke arah kebaikan dan menjauhkan keburukan.

9
Karena pentingnya hal di atas, maka tentu sunnah itu harus dibuktikan ke-tsabitannya
dari Rasulullah. Hal ini akan diketahui dengan ilmu hadis, yang mana hadis yang
dijadikan saksi (rujukan) haruslah sahih atau hasan. Derajat hadis yang sahih diibaratkan
dengan nilai yang mumtaz (sempurna) atau jayyid jiddan (bagus sekali) dalam ukuran
jami’ (keseluruhan). Sedangkan hasan serupa dengan derajat nilai yang jayyid (bagus)
dan maqbul (diterima). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa derajat hasan yang paling
tinggi itu mendekati kesahihan dan derajat ke-hasanan yang sangat lemah itu mendekati
dengan derajat ke-dhaifan. Hal ini merupakan syarat yang telah disepakati oleh para
ulama.

Namun para ulama berbeda pendapat tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan
masalah fadhailul a’mal (keutamaan amal) dan adzkar (peringatan), at-targhib wa at-
tarhib (pujian dan ancaman) dan yang lainnya yang tidak termasuk kedalam tasyri’ yang
jelas.

Apabila suatu hadis derajatnya sahih dan kuat, maka tidak usah diperdebatkan lagi,
namun jika ada hadis yang sanadnya daif, maka para ulama bersepakat bahwa hadis-hadis
seperti itu hanya dapat diamalkan dalam rangka at-at-targhib wa at-tarhib saja seperti
dalam kitab al-Adzkar karya an-Nawawi. Kemudian, apabila suatu hadis derjatnya
maudhu’ (palsu) maka tidak dapat diamalakan.

b. Menolak Hadis-hadis Sahih Sama Seperti Menerima Hadis-hadis Maudhu’

Apabila penerimaan hadis-hadis maudhu’ yang disandarkan kepada Rasulullah saw


merupakan suatu kesalahan, kekeliruan dan sesuatu yang berbahaya, maka sama saja ia
telah menolak hadis-hadis sahih dan tsabit dengan menggunakan hawa nafsu,
meninggikan diri, dan seolah-olah kita telah mengajari Allah SWT dan Rasul-Nya
dengan cara menambahkan hadis, berprasangka buruk terhadap umat Islam, ulama-
ulamanya dan imam-imamnya dari kalangan generasi yang baik dan zaman gemilang.

Jika kita menerima hadis-hadis maudhu’, maka sama saja kita telah memasukkan sesuatu
yang bukan agama ke dalam agama. Adapun penolakan hadis-hadis sahih, berarti
mengeluarkan sebagian agama dari agama. dan tidak diragukan bahwa ini merupakan

10
suatu yang keji dan ditolak, karena berarti kita telah menerima yang salah dan menolak
yang benar.

c. Penolakan Hadis-hadis Sahih Karena Pemahaman yang Salah

Antara penyakit yang dihadapi oleh as-sunnah adalah adanya orang-orang yang
tergesa-gesa membaca suatu hadis sehingga ia gampang mengambil kesimpulan dari
pemahamannya sendiri. Dengan adanya ketergesa-gesaan ini sehingga akan
memunculkan pemahaman hadis yang keliru dan tertolak meskipun hadisnya sahih.

d. Pembaharuan Agama

Hadis riwayat Abu Daud: “Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini
seorang pembaharu terhadap agamanya setiap satu kurun (100 tahun)”.

Dari hadis di atas ada sebagian yang memahami bahwa agama itu bisa diperbaharui
agar bisa disesuaikan dengan jaman. Namun sebagian berkata bahwa agama itu tidak
diperbaharui dan tidak berubah bahkan agama adalah tsabit (tetap), namun zamanlah
yang harus disesuaikan dengan agama. Ada juga yang menyangka bahwa pembaharuan
agama yang disebut dalam hadis di atas adalah bahwa disetiap zaman kita akan diberikan
satu bentuk yang baru, memperbaiki prinsip-prinsip dan pengajaran-pengajarannya yang
sesuai dengan keperluan-keperluan manusia dan perubahan yang tiba-tiba.

Dari macam-macam pendapat tentang maksud dari pembaharuan di atas, maka al-
Qardawi berpendapat bahwa pembaharuan agama adalah pembaharuan dalam memahami
agama, keimanan dan pengamalannya. Dengan kata lain pembaharuan adalah sesuatu
yang berhubungan dengan kembali semula kepada sesuatu yang telah ada atau berlaku
ketika permulaannya dan menzhahirkan sebagaimana dahulu, seolah-olah ia adalah
sesuatu yang baru. Maka tak heran kalau tujuan dari pembaharuan adalah untuk kembali
semula kepada ajaran murni yang ada pada zaman Rasulullah, para sahabat dan orang-
orang yang setelah mereka. Maka pembaharuan bukanlah bermakna mengubah bentuk
yang lama atau menggantikannya dengan sesuatu yang lain yang diada-adakan.

e. Islam Dibina Atas Lima Asas

11
Syeikh Al-Qardhawi merasa sangat heran terhadap sebuah kasus tentang penolakan
hadis yang sahih karena pemahaman yang dangkal, yaitu sebagian orang menolak hadis
yang masyhur yang telah dihafal oleh kaum muslimin, yang awam maupun yang tidak,
yaitu hadis Ibnu Umar dan para perawi yang lain: “Islam dibangun diatas lima
(landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan
Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadlan dan berhaji ke baitullah
bagi orang yang mampu mengerjakannya”

Hujah mereka adalah hadis tersebut tidak menyebutkan tentang jihad beserta
urgensinya di dalam Islam, dan hal inilah yang menjadikan hadis tersebut maudhu’. Ini
adalah hal yang tidak bisa diterima, karena jihad itu hanya wajib bagi sebagian orang saja
dan tidak bagi sebagian yang lain, dan tidak fardhu ain (wajib bagi setiap muslim)
kecuali pada perkara-perkara yang khusus dan tertentu, berbeda dengan landasan yang
lima tersebut, yang merupakan suatu kemestian bagi setiap manusia.

Ibnu Taimiyyah berpendapat tentang pembatasan Islam pada lima perkara ini, yaitu
sebagian manusia telah menjawab bahwa kelima perkara ini adalah setinggi-tingginya
dan sebesar-besarnya syiar Islam, jika seorang hamba menegakkannya maka ia telah
menyempurnakan Islam, dan jika ia meninggalkannya maka ia telah terlepas dari ikatan
ketaatan kepada Islam (Allah). Kewajiban setiap hamba adalah beribadah hanya kepada
Allah dengan ikhlas, dan itu adalah lima perkara ini, sedang hal yang selainnya itu wajib
karena ada sebab tertentu dan tidak berlaku bagi seluruh orang, tidak terkecuali jihad itu
sendiri.

f. Resiko Terburu-buru Menolak Hadis Sahih Sekalipun Itu Musykil (Sukar Dipahami)

Sesungguhnya tergesa-gesa menolak hadis yang sulit kita pahami (walaupun hadis itu
sahih) adalah suatu perbuatan yang gegabah yang tidak berani dilakukan oleh orang yang
luas ilmunya. Mereka berprasangka baik pada ulama salaf. Apabila ada suatu hadis yang
tsabit (sudah tetap) dan tidak diingkari oleh imam yang mu’tabar (terkemuka) maka
mereka menerima hadis itu dan tidak mengkritik dalam hal syadz dan illah-nya.

Seorang yang berilmu wajib memelihara hadis, mengkaji makna yang sesuai dengan
akal, serta penafsiran yang sesuai. Inilah yang dilakukan oleh golongan ahlussunnah

12
yaitu menggunakan pikiran mereka untuk menjelaskan hadis, mengumpulkan hadis yang
berbeda-beda dan mendiamkan hadis-hadis yang bertentangan secara zhahir. Berbeda
dengan golongan Mu’tazilah yang menolak hadis yang musykil yang bertentangan dengan
penerimaan mereka dari segi ilmu dan akal.

Oleh sebab itu Imam Abu Muhammad bin Qutaibah (267 H) mengarang sebuah kitab
yang berjudul “Ta`wil Mukhtalaf al-Hadis” yang berisi penolakan kepada golongan
Mu’tazilah mengenai sebagian hadis yang mereka anggap bertentangan dengan al-Qur`an
dan akal, atau menghapus sebagian hadis yang lain. Disusul oleh Imam Abu Ja’far ath-
Thahawi (321 H) yang mengarang kitab “Syarh Musykil al-Hadist” yang berusaha
mencari penafsiran yang diterima dan sesuai akal terhadap hadis-hadis yang musykil. Dari
sini sewajarnya dilakukan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi saw. Selain itu kita perlu
berhati-hati sebelum menolak hadis semata-mata menggunakan akal yang terkadang
salah dalam memahaminya.

13
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa gagasan atau pemikiran yang dikemukakan oleh Yusuf
Qardhawi menunjukan bahwa metode yang diusulkannya mengarah pada dialog yang
hidup baik pro maupun kontra, yang pada akhirnya membuka peluang adanya upaya
pengemban
gan dalam pemahaman dan mempelajari makna hadits.
Pemikiran Yusuf Qardhawi bukanlah suatu hal yang baru. Beberapa kriteria yang
dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi mencerminkan kondisi realitas di masyarakat dan
berbagai konsep yang dikemukakan oleh para ulama sebelumnya. Sehingga Yusuf
Qardhawi memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadits, mengingat jarak waktu
yang memisahkan realitas persoalan saat ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadits itu
dapat muncul.

14
DAFTAR PUSTAKA

Amru Abdul Karim Sa’dawi, Qadhaya al-Mar’at fi fiqh al-Qardhawi, Terj., Cet. 1, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2009)
Isam Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardhawi (terj) Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2001),
Suryadi, HADIS-HADIS MUKHTALIF DALAM PERSPEKTIF YUSUF AL-QARDAWI (Telaah
Kitab Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah)
Amir Hamzah Nasution, Achyar Zein, Ardiansyah, KONTRIBUSI PEMIKIRAN YUSUF AL-
QARADAWI DALAMKITAB KAIFA NATA’AMAL MA’A AS-SUNNAH NABAWIYAH

15

Anda mungkin juga menyukai