Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

ULUM AL-QUR’AN

MENGENAL MUFASSIR AL-QUR’AN


DOSEN PENGAMPU : DR. Munjahid, M. Ag.

Kelompok 10

1. Farid Rahman 20108030011


2. Luthfi Isnaini Afifah 20108030020
3. Muhammad Eka Firdaus 20108030022
4. Muhammad Faqih Maskuri 20108030012

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam


Prodi Manajemen Keuangan Syariah

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga


Daerah Istimewa Yogyakarta
2020
KATA PENGANTAR

Assalamua’laikum Wr Wb
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Makalah Ulumul Qur’an ini
dengan tepat waktu. Karena tanpa pertolongan-Nya kami tidak dapat menyelesaikan makalah
ini. Sholawat serta salam terlimpah curah kepada Nabi Muhammad SAW.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas Mata
Kuliah Ulumul Qur’an dan dengan adanya makalah ini bisa menambah ilmu kita mengenai
pengenalan mufassir dan karya tafsirnya.
Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen yang telah memberikan
tugas makalah ini dan kami mohon maaf bila banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini, harap Bapak dapat memakluminya.
Kami ucapkan terima kasih.
Wassalamua’laikum Wr Wb

Yogyakarta,19 November 2020

Tim Penulis
Daftar Isi

SAMPUL..............................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
Daftar Isi..............................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................................5
PEMBAHSAN.....................................................................................................................................5
1. Abd. Rauf as-Singkili...............................................................................................................5
2. Quraish Shihab........................................................................................................................7
3. Buya Hamka.............................................................................................................................8
4. Ibnu Katsir.............................................................................................................................10
5. As-Syaukhani.........................................................................................................................13
6. Ibnu Abbas.............................................................................................................................16
BAB III...............................................................................................................................................22
PENUTUP..........................................................................................................................................22
A. Kesimpulan............................................................................................................................22
B. Saran.......................................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran merupakan kitab suci umat islam, yang berisi pedoman dan petunjuk hidup
manusia. Petunjuk yang ada didalamnya dapat kita ketahui dengan menafsirkannya.
Menafsirkan Al-Quran berarti mengungkap petunjuk, kandungan-kandungan hukum,
makna yang terkandung didalamnya.

Secara umum, metode tafsir menurut Abd al-Hayy al-Farmawi dibagi menjadi empat
metode yaitu : Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhui. Ketika menggunakan sebuah metode
dalam menafsirkan Al-Quran, seorang mufassir tentu berpegang pada salah satu kaidah
yang berlaku, dan penafsirannya sangat diwarnai oleh latar belakang, kecenderungan serta
disiplin ilmu yang dikuasai. Kemampuan setiap mufassir dalam memahami lafal dan
ungkapan ayat pastilah berbeda. Hal ini menjadikan setiap mufassir memiliki
karakterisktik tersendiri dalam menafsirkan Al-Quran.

Proses penafsiran Al-Quran terus berlanjut terus menerus dari satu generasi ke
generasi selanjutnya. Pada kenyataannya, banyak ulama-ulama tafsir muncul dengan
berbagai macam kitab tafsirnya. Masing-masing karya mereka tentu memiliki
karakteristik berbeda, baik dari segi isi maupun metodologi yang digunakan. Perbedaaan
tersebut lebih dikarenakan latar belakang dan kapasitas keilmuan yang dimiliki oleh
setiap mufassir.

Berdasarkan latar belakang tersebut, pada makalah ini tim penulis akan membahas
tentang beberapa mufassir yang ada untuk mengenal mereka dari segi Pendidikan yang
ditempuh sebelum menjadi mufassir dan karya-karya yang mereka buat.

B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja para mufassir Al-Quran?
2. Bagaimana latar belakang kehidupan mereka?
3. Apa saja karya yang telah mereka hasilkan?
BAB II
PEMBAHSAN

1. Abd. Rauf as-Singkili


A. Biografi
Nama lengkap dari Abdur Rauf As-Singkili adalah ‘Abd al-Rauf bin ‘Ali Al-
Fansuri Al-Jawi. Ia merupakan seorang Melayu dari Fansur, Singkil (Singkel) di
wilayah pantai Barat Laut, Aceh. Sebab itu kadang pada belakang namanya
ditambahkan “al-Singkili” untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari Singkel.
Sebutan gelarnya yang terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (Bahasa Aceh, artinya
Syekh Ulama di Kuala). Menurut Muhammad Said, Syekh Abdur Rauf lahir di
Singkel sekitar tahun 1620 M. pendapat lain mengatakan Syekh Abdur Rauf
dilahirkan sekitar tahun 1615 M. dan meninggal pada tahun 1693 M. dan
dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, sekitar 15 Km
dari Banda Aceh.
Semasa kecil ia telah mendapatkan pendidikan dari ayahnya yang merupakan
seorang alim dan mendirikan madrasah kemudian menarik murid-murid dari
berbagai tempat di Kesultanan Aceh. Menurut Hasjmi, Syekh Abdur Rauf
kemudian mengadakan perjalanan ke Banda Aceh, Ibu Kota Kesultanan Aceh
untuk menimba ilmu. Tidak hanya sampai disitu, ia melanjutkan rihla al-ilm ke
Jazirah Arab mulai tahun 1642 M. Perjalanannya menyusuri rute-rute yang biasa
ditempuh dalam ibadah haji, mulai dari Dhuha, Yaman, Jeddah, dan akhirnya
Mekkah dan Madinah.
Di Dhuha ia belajar kepada Abd al-Qadir al-Mawrir meskipun hanya dalam
waktu yang singkat. Setelah itu ia menuju Yaman, terutama di Bayt al-Faqih dan
Zabid yang menjadi pusat pengetahuan Islam di wilayah itu, disana ia menekuni
bidang hadis dan fiqh. Sedangkan di Zabid ia menjadi murid Abd Allah bin
Muhammad al-Adani dan Abd al-Rahim bin al-Shiddiq al-Khash yang disebutnya
sebagai pembaca Al-Qur’an terbaik diwilayah tersebut. Syekh Abdur Ruaf
Kemudia melanjutkan perjalanannya ke Jeddah untuk bertemu muftinya, Abd al-
Qadir al-Barkhali. Selang beberapa waktu, ia berpindah ke Mekkah, disana ia
berguru kepada Ali bin Abd al-Qadir al-Thabari, disamping itu juga ia melakukan
kontak dengan ulama lain, seperti Isa al-Maghrini, Abd al-Aziz al-Zamzami. Taj
al-Din bin Ya’kub dan lain sebagainya.
Tahap terakhir perjalanan panjang Syekh Abd Rauf adalah Madinah. Di Kota
Nabi inilah di merasa puas, karena dia akhirnya menyelesaikan perjalanannya.
Disini ia belajar kepada Ahmad al-Qusyasyi dalam bidang ilm al-bathin yaitu
tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait, sampai kemudian hari ia ditunjuk oleh
al-Qusyasyi sebagai khalifah Tarekat Syatariyah dan Qadariyahnya. Selain itu, ia
juga berguru kepada Ibrahim al-Khurani bidang ilmu pengetahuan yang
menimbulkan pemahaman intelektual tentang Islam.
Syekh Abdur Rauf telah menghabiskan waktu selama 19 tahun di Arabia
untuk menuntut ilmu. Pendidikannya sangat lengkap, mulai syariat, fiqh, hadis,
dan disiplin-disiplin eksoteris lainnya hingga kalam dan tasawuf. Berbekal ilmu
yang komplit, ia memutuskan untuk Kembali ke tanah airnya.

B. Karya-karya
Keluasan ilmu yang dimiliki oleh Syekh Abdur Rauf dapat dilihat dari karya-
karyanya yang banyak. Tercatat ada 22 karyanya di berbagai disiplin ilmu, seperti
fikih, tafsir, kalam, dan tasawuf.
a) Bidang tafsir
Kitab tafsir Tarjuman Al-Mustafid, tafsir ini merupakan tafsir pertama di
Nusantara yang ditulis lengkap 30 juz berbahasa Melayu. Tercatat selama tiga
abad menjadi kitab yang sangat masyhur dan terbaik ketika itu.
b) Bidang Hadis
Hadis Arbain karya An-nawawi di tulis atas permintaan Sultanah Zakiyyat al-
din. Litab al-Mawaizh al-Badiah, sebuah koleksi hadis qudsi.
c) Bidang Fiqh
Mi’rat al-Thullab fi Tasyil Ma’rifah al-Ahkam al-Syariyyah li al-Malik al-
Wahhab (Cermin para penuntut ilmu untuk mengerahui hukum-hukum syara
Tuhan) berbahasa melayu.
d) Bidang Tasawuf
Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Musyrab al-Muhawidin al-Qa’ilin bi
Wahdat al-Wujud (Bekal bagi orang yang membutuhkan Pelepas dahaga ahli
tauhid penganut Wahda al-Wujud) ditulis berbahasa melayu.
C. Tafsir Tarjuman al-Mustafid
Taafsir Tarjuman al-Mustafid adalah kitab tafsir pertama di Nusantara yang
ditulis lengkap 30 Juz berbahasa melayu. Dalam penulisan tafsirnya, Syekh Abdur
Rauf menggunakan sistematika mushafi, metode penafsirannya menggunakan
metode tahlily/analisis. Tafsir ini termasuk kategori tafsir bi al-Ra’yi dengan
corak ijtima’I (sosial kemasyarakatan).
2. Quraish Shihab
A. Biografi
Nama lengkap Quraish Shihab yaitu Muhammad Quraish Shihab , dia lahir
Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944. Quraish Shihab lahir dengan
keturanan yang terpelajar. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab yang
merupakan seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir dan dipandang
sebagai salah satu tokoh terpandang di Sulawesi Selatan. Ayahnya merupakan
salah datu alumni dari jamiat al-Khair Jakarta, sebuah lembaga islam tertua di
Indonesia yang mengedepankan gagasan Islam modern. Quraish Shihab dapat
dikategotikan sebagai mufassir kontemporer, kecintaannya terhadap Al-Quran
mampu menghantarkannya menjadi mufassir dan cendekiawan muslim Indonesia.
semua itu berkat didikan ayahnya sejak kecil. Pada saat masih kecil, ia sudah
dididik oleh ayahnya dengan ilmu-ilmu agama, sehingga sejak kecil ia sudah
menanamkan kecintaannya terhadap Al-Quran.
Pada tahun 1967, Quraish Shihab meraih gelar S1 pada fakultas Ushuluddin
dengan Jurusan Tafsir dan Hadits di Universitas al-Azhar. Kemudian melanjutkan
Pendidikan di fakultas yang sama dan pada rahun 1969 meraih gelar MA untuk
spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul Al-ijaz at-Tasri’I li al-
Quran Al-karim. Kemudian di tahun 1980, dia melanjutkan studi di Mesir dengan
mengambil jurusan Tafsir Hadist di Pascasarajan Fakultas Ushuluddin al-azhar,
hanya dalam 2 tahun ia mampu menyelesaikan disertasinya dan berhasil
dipertahankan dengan nilai sumacumlaude yang disertasi dengan penghargaan
tingkat 1 (Mumtaz Ma’a Martabat al-Syaraf al-Ula). Dengan demikian ia tercatat
sebagai seoarang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.
Setelah lulus S2, Quraish Shihab membantu ayahnya mengelola Pendidikan di
Universitas Alaudin Makassar untuk menjadi dosen dan mendampingi ayahnya
sebagai wakil rector dalam bidang akademis dan kemahasiswaan dari tahun 1972
dan 1980. Kemudian pada tahun 1984 setelah lulus S3 ia ditugaskan di UIN Syarif
Hidayatullah untuk mengajar dibidang tafsir dan ulum Al-Quran. Serta menjadi
rector selama dua periode, yakni pada tahun 1992-1996 dan tahun 1997-1998. Di
samping mengajar, ia pernah menjadi menteri agama, anggota MPR RI, ketua
MUI.
B. Karya-karya
Quraish Shihab merupakan sosok yang prosuktif, selain kesibukannya mengajar
dia sempat menulis karya-karya ilmiah yang telah banyak diterbitkan dan
dipublikasikan. Banyak karya yang dia terbitkan seperti Tafsir Al-Manar, Tafsir
Al-Misbah, Mahkotah Tuntunan Illahi, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak
karyanya Tafsir Al-Misbah merupakan karya paling monumental dari Quraish
Shihab. Tahsir ini telah membumbungkan Namanya sebagai salah satu mufassir
Indonesia yang mampu menulis tafsir Al-Quran 30 juz dengan sangat detail 15
jilid/volume. Dia menafsirkan Al-Quran secara urut sesuai susunan ayat dan surah
dalam Al-Quran.

3. Buya Hamka
A. Biografi
Nama asli dari B u y a Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah
atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya. Beliau lahir
di Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal
16 Februari 1908. Beliau adalah sastrawan Indonesia sekaligus ulama ahli
filsafat, dan aktivis politik.Hamka adalah anak seorang ulama yang bernama H.
Abdul Karim Amrullah, yang pada masa kecilnya dipanggil dengan nama
Muhammad Rasul. Abdul Karim Amrullah merupakan salah seorang dari pelopor
gerakan modern Islam di Indonesia.Ibunya bernama Shafiyah binti Bagindo nan
Batuah.Istrinya bernama Siti Rahma binti Endah Sultan.
Hamka meninggal dunia pada hari Jum'at, 24 Juli 1981 pukul 10 lewat 73
menit dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan
Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir
dihadiri Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara
Lingkungan Hidup Emil Salim serta Menteri Perhubungan Azwar Anas yang
menjadi imam shalat jenazahnya. Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung dan
dishalatkan lagi, dan kemudian akhirnya dimakamkan di Taman Pemakaman
Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsjah Ratoe
Perwiranegara.
Mazhab yang dianut oleh Penafsir ini adalah Mazhab Salaf, yaitu mazhab
Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dan ulama-ulama yang mengikuti jejak
beliau. Untuk menunjukan ke-salaf-an tafsir Al-Azhar adalah ketika membahas
huruf-huruf pembuka suatu surat (fawâtih Al-suwar). Dalam hal ini mufasir Al-
Azhar memilih menyerahkan pengertiannya semata kepada Allah. Sebab hal itu
dinilainya lebih selamat, pula tidak bersentuhan langsung dengan tujuan
pendalaman dan pengkajian Al-Qur’an.
B. Karya-Karya
Sebagai seorang ulama yang hampir menguasai hampir semua disiplin ilmu
keislaman, ia sangat produktif dalam melahirkan beberapa karya ilmiah. Menurut
Jemes Rush, tulisan Hamka mencapai 115 judul dalam berbagai disiplin ilmu.
Karya yang paling utama atau kaya monumentalnya adalah tafsir Al-Azhar yang
sedang dibahas oleh penulis. Secara umum karya-karyanya dapat dilihat
antara lain: Bohong di Dunia: Penilaian Agama Yahudi, Kristen dan
Islam; Perkembangan Kebatinan di Indonesia,dll.

C. Tafsir Al-Azhar
a) Latar belakang penulisan tafsir Al-Azhar.
Tafsir ini sebenarnya materi-materi ceramah shubuh di masjid agung di
Al-Azhar. Pada masa selanjutnya kelangsungan seperti yang telah
berjalan, ternyata tidak dapat dipertahankan. Tepatnya pada tanggal 27 januari
1964, setalah Hamka memberikan ceramah rutinnya di masjid Al-
Azhar ia ditangkap oleh pemerintah orde lama karena dianggap menentang
pemerintah dan ceramah-ceramah banyak mengkritik pemerintah ketika itu.
Namun demikian, kelangsungan penulisan dan penyelesaian Tafsir Al-Azhar
tidak terhambat karena ia meneruskan ketika sedang dalam penjara. Bahkan
keleluasaan yang diperolehnya didalam penjara membuat kupasan-kupasan
tafsirnya lebih mantap dan mendalam.Di bawah pimpinan Soeharto, kondisi
politik ini memberikan kebebasan bagi Hamka untuk menghirup udara
kebebasan. Ketika itu penulisan tafsir Al-Azhar telah selesai dikerjakan,dan
hanya menyempurnakan yang perlu diperbaiki.
b) Metode penafsiran tafsir Al-Azhar
Kalau diperhatikan dari uraian-uraian yang diberikan Hamka serta
secara penafsiran yang dilakukannya, yaitu berdasarkan urutan ayat atau surat
dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan-kandungan lafadz-lafadz,
hubungan ayat-ayat, hubungan surat-surat, asbab Al-Nuzul, dan mufassir itu
sendiri yang tentunya diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan
keahliannya. Maka dalam melakukan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an Hamka
menggunakan metode thalili. Karakteristik yang menonjol dari penggunaan
metode ini adalah bahwa makna dan kandungan ayat ini dijelaskan dari
berbagai seginya dan mufassir tidak pindah ke ayat berikutnya sebelum beliau
menerangkan segala segi yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkannya.

c) Corak tafsir Al-Azhar.


Di dalam melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Mutasyabihat
secara khusus ayat-ayat antropomorfisme Hamka bersikap untuk mengambil
dua jalan, yaitu menggunakan pen-ta’wil-an terhadap ayat-ayat yang
dianggapnya dapat dicari ta’wil-nya dan besikap tawakufi terhap ayat-ayat
yang dianggapnya hanya Allah SWT yang mengetahui ta’wil-nya.

Dengan demikian,bahwa dalam hekekatnya Hamka,bila berhadapan


dengan hal-hal antropomorfisme tersebut cenderung mempergunakan ta’wil
namun Hamka tidak mau memasuki gelanggang perdebatan yang timbul di
sekitar antropomorfisme ini, kerena menilai perdebatan itu akan sia-sia saja
dan tidak bermanfaat sama sekali.Oleh sebab itu, Hamka mengingatkan,
bahwa keputusan yang akan dihasilkan dari perdebatan itu adalah perpecahan.
Sebab manusia, kata Hamka selanjutnya, tidaklah mempunyai alat cukup buat
menyelidiki sifat-sifat Tuhan, karena alat itu masih alam juga.
4. Ibnu Katsir
A. Biografi
Nama lengkap beliau adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin
Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu
Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H di sebuah desa yang menjadi bagian dari
kota Bashra di negeri Syam. Pada usia 4 tahun, ayah beliau meninggal sehingga
kemudian Ibnu Katsir diasuh oleh pamannya. Pada tahun 706 H, beliau pindah
dan menetap di kota Damaskus.
Riwayat Pendidikan Ibnu Katsir tumbuh besar di kota Damaskus. Di sana,
beliau banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya
adalah Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari. Beliau juga menimba ilmu dari Isa
bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi, Ibn
Zarrad, al-Hafizh adz-Dzahabi serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu,
beliau juga belajar kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi, salah
seorang ahli hadits di Syam. Syaikh al-Mizzi ini kemudian menikahkan Ibn Katsir
dengan putrinya. Selain Damaskus, beliau juga belajar di Mesir dan mendapat
ijazah dari para ulama di sana. Prestasi Keilmuan, kitab beliau dalam bidang tafsir
yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih
hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari.
Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik- baik tafsir
yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan
yang terpenting adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al- Qur’an (ayat dengan
ayat yang lain), menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian
dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para
shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa
Arab.
Tercatat guru pertama Ibnu Katsir adalah Burhanuddin al-Fazari, seorang ulama
penganut mazhab Syafi'i. Ia juga berguru kepada Ibnu Taymiyyah di Damaskus,
Suriah, dan kepada Ibnu al-Qayyim. Ia mendapat arahan dari ahli hadis terkemuka
di Suriah, Jamaluddin al-Mizzi, yang di kemudian hari menjadi mertuanya. Ia pun
sempat mendengar langsung hadis dari ulama-ulama Hejaz serta memperoleh
ijazah dari Al-Wani.
Tahun 1366, oleh Gubernur Mankali Bugha Ibnu Katsir diangkat menjadi guru
besar di Masjid Ummayah Damaskus. Ulama ini meninggal dunia tidak lama
setelah ia menyusun kitab Al-Ijtihad fi Talab al-Jihad (Ijtihad Dalam Mencari
Jihad) dan dikebumikan di samping makam gurunya, Ibnu Taimiyah.
B. Karya-Karya
a) Ilmu tafsir
Ibnu Katsir menulis tafsir Qur'an yang terkenal yang bernama Tafsir
Ibnu Katsir. Hingga kini, tafsir Alquran al-Karim sebanyak 10 jilid ini masih
menjadi bahan rujukan dalam dunia Islam.[butuh rujukan] Di samping itu, ia
juga menulis buku Fada'il Alquran (Keutamaan Alquran), berisi ringkasan
sejarah Alquran.
Ibnu Katsir memiliki metode sendiri dalam bidang ini, yakni:
1. Tafsir yang paling benar adalah tafsir Alquran dengan Alquran sendiri.
2. Selanjutnya bila penafsiran Alquran dengan Alquran tidak didapatkan,
maka Alquran harus ditafsirkan dengan hadis Nabi Muhammad, sebab
menurut Alquran sendiri Nabi Muhammad memang diperintahkan untuk
menerangkan isi Alquran.
3. Jika yang kedua tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan oleh
pendapat para sahabat karena merekalah orang yang paling mengetahui
konteks sosial turunnya Alquran.
4. Jika yang ketiga juga tidak didapatkan, maka pendapat dari para tabiin
dapat diambil.

b) Ilmu hadis
Ibnu Katsir pun banyak menulis kitab ilmu hadis. Di antaranya yang terkenal
adalah :
1. Jami al-Masanid wa as-Sunan (Kitab Penghimpun Musnad dan Sunan)
sebanyak delapan jilid, berisi nama-nama sahabat yang banyak
meriwayatkan hadis;
2. Al-Kutub as-Sittah (Kitab-kitab Hadis yang Enam) yakni suatu karya
hadis;
3. At-Takmilah fi Mar'ifat as-Sigat wa ad-Dhua'fa wa al-Mujahal (Pelengkap
dalam Mengetahui Perawi-perawi yang Dipercaya, Lemah dan Kurang
Dikenal);
4. Al-Mukhtasar (Ringkasan) merupakan ringkasan dari Muqaddimmah-nya
Ibn Salah; dan
5. Adillah at-Tanbih li Ulum al-Hadits (Buku tentang ilmu hadis) atau lebih
dikenal dengan nama Al-Ba'its al-Hadits.

c) Ilmu sejarah
Bidang ilmu sejarah juga dikuasainya. Beberapa karya Ibnu Katsir
dalam ilmu sejarah ini antara lain :
1. Al-Bidayah wa an Nihayah (Permulaan dan Akhir) atau nama
lainnya Tarikh ibnu Katsir sebanyak 14 jilid,
2. Al-Fusul fi Sirah ar-Rasul (Uraian Mengenai Sejarah Rasul), dan
3. Tabaqat asy-Syafi'iyah (Peringkat-peringkat Ulama Mazhab Syafii).

Kitab sejarahnya yang dianggap paling penting dan terkenal adalah Al-


Bidayah. Ada dua bagian besar sejarah yang tertuang menurut buku tersebut,
yakni sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan hingga masa
kenabian Rasulullah SAW dan sejarah Islam mulai dari periode dakwah Nabi ke
Makkah hingga pertengahan abad ke-8 H. Kejadian yang berlangsung setelah
hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian tersebut. Tercatat, kitab Al-Bidayah wa
an-Nihayah merupakan sumber primer terutama untuk sejarah Dinasti
Mamluk di Mesir. Dan karenanya kitab ini seringkali dijadikan bahan rujukan
dalam penulisan sejarah Islam.

d) Ilmu fiqih

Dalam ilmu fiqih, Ibnu Katsir juga tidak diragukan keahliannya. Oleh para
penguasa, ia kerap dimintakan pendapat menyangkut persoalan-persoalan tata
pemerintahan dan kemasyarakat yang terjadi kala itu. Misalnya saja saat
pengesahan keputusan tentang pemberantasan korupsi tahun 1358 serta upaya
rekonsiliasi setelah perang saudara atau peristiwa Pemberontakan
Baydamur (1361) dan dalam menyerukan jihad (1368-1369). Selain itu, ia menulis
buku terkait bidang fiqih didasarkan pada Alquran dan hadis.

5. As-Syaukhani
A. Biografi
Beliau adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani
kemudian Ash-Shan’ani. Dilahirkan pada hari Senin tanggal 28 Dzulqaidah 1173
H. Beliau besar di Shan’a (ibukota Yaman-pent), ayahnya seorang qadhi (hakim).
Menghafal Al-Qur’an (sejak kecil) dan sejumlah ringkasan matan dari berbagai
disiplin ilmu. Belajar dari para ulama yang ada di Shan’a sehingga bisa
mengungguli semua rekannya. Tidak pernah melakukan perjalanan jauh (untuk
belajar) karena tidak mendapatkan izin dari orang tuanya. Beliau memadukan
antara belajar dan mengajar ketika belajar pada sejumlah syekhnya. Setelah itu
beliau fokus untuk mengajar setelah menggali dan mengkaji semua yang ada pada
guru-gurunya. Dalam sehari beliau mengajar lebih dari sepuluh kajian dengan
berbagai disiplin ilmu. Beliau menjadi seorang mufti (pemberi fatwa) pada usia
dua puluh tahun. Banyak permintaan fatwa yang datang kepadanya berasal dari
luar Shan’a padahal guru-gurunya saat itu masih hidup. Karena kecerdasannya
beliau pernah mempelajari ilmu matematika, fisika, psikologi dan etika debat tanpa
guru, tetapi dengan cara mengkaji dan membaca (otodidak).
Beliau meninggalkan taklid dan membuangnya kemudian mengajak kembali
kepada al-Qur’an dan Sunnah. Ciri-ciri yang demikian itu terlihat pada karya-
karyanya. Beliau memerangi bid’ah dan segala bentuk kesyirikan, mengajak untuk
meninggalkan ilmu filsafat dan ilmu kalam, untuk kembali kepada aqidah salaf
yang shahih.
Beliau bercerita tentang pengalamannya: “Untuk anda ketahui –semoga Allah
Subhanahu waTa’ala memberi petunjuk kepada saya dan anda– saya tidak
mengatakan hal ini karena bertaklid kepada orang yang mendorongku untuk
meninggalkan masalah-masalah mendetail dari ilmu ini (ilmu kalam) sebagaimana
yang terjadi pada sekelompok ulama, namun saya mengatakan hal ini setelah
hilang sia-sia sisa usia karena disibukkan dengannya, menyembunyikan
pertanyaan bagi orang yang mengetahuinya, mengambil dari orang-orang yang
terkenal dengannya, berkonsentrasi membaca ringkasan dan penjelasan panjang
darinya, sehingga ketika sampai pada hakikatnya saya mengatakan dengan sebuah
syair :
"Puncak yang saya dapatkan dari kajian

dari penelitian setelah panjangnya renungan

adalah berhenti antara dua jalan kebingungan

Tidak ada yang diketahui selain kebimbangan

Padahal saya telah mengarungi samuderanya


Namun saya tidak mendapatkan sesuatu selain pencarian".

B. Karya-karya
Banyak sekali karya-karya tulis yang telah beliau hasilkan, mayoritas dari kitab
tersebut telah tersebar di masa hidup beliau sehingga menjadi tumpuan. Di
antaranya terdapat 240 buku masih berbentuk manuskrif belum melihat cahaya
(belum diterbitkan dalam bentuk kitab). Kitab yang sudah tercetak men-pcapai
empat puluh lebih, di antaranya:
1. Fathul Qadir al-Jami’ baina Fann ar-Riwayat wad Dirayat fit Tafsir (5 jilid).

2. Nailul Authar Syarah Muntaqal Akhbar (4 jilid).

3. As-Sailul Jarar al-Mutadaffiq ala Hada’iqil Azhar (4 jilid).

4. Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul (1 jilid).

5. Al-Badru ath-Thali’ bi Mahasin man ba’da al-Qarni as-Sabi’ (2 jilid).

6. Ad-Dararil Mudhiyyah Syarah ad-Duraril Bahiyah (2 jilid).

7. Ad-Durarul Bahiyyah fil Masa’ilil Fi’iqhiyah (kitab yang sedang


diterjemahkan).

8. Al-Fawa’idil Majmu’ah fil Ahaditsil Maudhu’ah (1 jilid).

9. Tuhfatu az-Zakirin bi ‘Iddatil Hishnil Hashin (1 jilid).

10. At-Tuhaf fil Irsyad ila Mazhab as-Salaf.

11. Al-Qaulul Mufid fi Adillatil Ijtihad wat Taqlid.

Pada tahun 1209 H hakim besar Yaman Yahya bin Shalih asy-Syajri as-Sahuli
meninggal dunia dan digantikan oleh Imam asy-Syaukani sebagai hakim, sampai
beliau wafat pada tahun 1251 H. Semoga Allah Subhanahu waTa’ala memberikan
rahmat yang luas kepada beliau.

Al-Syaukani dengan ajaran-ajaran dalam Syi’ah Zaidiyah sangat erat. ajaran-


ajaran Syi’ah Zaidiyah sangat dekat dengan ajaran yang dianut oleh Ahl al-
Sunnah. Maka ajaran yang dianut oleh al-Syaukani juga tidak jauh dengan ajaran
Ahl Sunnah. Selanjutnya, hubungan al-Syaukani dengan Syi’ah Zaidiyah adalah
ketika al-Syaukani lahir di Yaman, paham yang berkembang pada masa itu adalah
Syi’ah Zaidiyah. Hal ini menandakan bahwa al-Syaukani semenjak kecil sudah
paham dan ajaran Syi’ah Zaidiyah. Maka tidak diragukan keyakinan dan
hubungan al-Syaukani dengan Syi’ah Zaidiyah.

Gambaran umum tafsir fathul qodir al jami karya Imam Asy Syaukani, Tafsir
Fathul Qodir terbagi menjadi lima juz, disetiap juz terdapat beberapa surat dan
ayat beserta penafsiran al-Syaukani dan beberapa pendapat ulama tafsir dan
ulama Hadits. Setiap pembahasan surat dalam tafsir Fathul Qodir menggunakan
tartib ayat, isinya tidak sebatas permasalahan seperti tafsir tematik, tafsir ayat
ahkam dan tafsir maudu’i yang hanya fokus pada beberapa masalah. Akan tetapi
tafsir Fathul Qodir dalam menafsirkan al-Qur’an dengan keseluruhan dengan
singkat dan sistematis. al-Syaukani menyebutkan bahwa biasanya para mufassir
terpecah menjadi dua kelompok; kelompok pertama hanya memfokuskan
penafsiran mereka pada masalah riwayat saja. Sedangkan kelompok kedua,
momfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat. Asy-Syaukâni di dalam tafsir
Fath al-Qadîr uraiannya menggabungkan antara metode riwâyah dan dirâyah.
Metode riwâyah adalah metode yang menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur’an
menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Rasulullah, dan pendapat para
sahabat. Dan metode dirâyah adalah metode yang menggunkan kaidah-kaidah
kebahasaan dalam menganalisa ayat-ayat al-Qur’an. sehingga bisa lebih
sempurna lagi.

6. Ibnu Abbas
A. Biografi
Abdullah bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Makkah tiga
tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan
ibunya bernama Lubabah binti Harits yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara
dari Maimunah, istri Rasulullah. Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain
itu, beliau juga disebut dengan panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal
silsilah khalifah Dinasti `Abbasiyah.
Ibnu `Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama `Abdullah
yang mereka semua diberi titel Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain ialah
‘Abdullah bin `Umar (Ibnu `Umar), `Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair), dan
`Abdullah bin Amr. Mereka termasuk diantara tiga puluh orang yang menghafal
dan menguasai Al-Qur’an pada saat penaklukkan Kota Makkah. Al-`Abadillah
juga merupakan bagian dari lingkar `ulama yang dipercaya oleh kaum muslimin
untuk memberi fatwa pada waktu itu. Beliau senantiasa mengiringi Nabi. Beliau
menyiapkan air untuk wudhu` Nabi. Ketika shalat, beliau berjama`ah bersama
Nabi. Apabila Nabi melakukan perjalanan, beliau turut pergi bersama Nabi.
Beliau juga kerap menhadiri majelis-majelis Nabi. Akibat interaksi yang
sedemikian itulah, beliau banyak mengingat dan mengambil pelajaran dari setiap
perkataan dan perbuatan Nabi. Dalam pada itu, Nabi pun mengajari dan
mendo`akan beliau. Pernah satu hari Rasul memanggil `Abdullah bin `Abbas yang
sedang merangkak-rangkak di atas tanah, menepuk-nepuk bahunya dan
mendoakannya, “Ya Allah, jadikanlah Ia seorang yang mendapat pemahaman
mendalam mengenai agama Islam dan berilah kefahaman kepadanya di dalam
ilmu tafsir.” Ibnu `Abbas juga bercerita, “Suatu ketika Nabi hendak ber-wudhu,
maka aku bersegera menyediakan air untuknya. Beliau gembira dengan apa yang
telah aku lakukan itu. Sewaktu hendak memulai shalat, beliau memberi isyarat
supaya aku bendiri di sebelahnya. Namun, aku berdiri di belakang beliau. Setelah
selesai shalat, beliau menoleh ke arahku lalu berkata, ‘Hai `Abdullah, apa yang
menghalangi engkau dari berada di sebelahku?’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah,
engkau terlalu mulia dan terlalu agung pada pandangan mataku ini untuk aku
berdiri bersebelahan denganmu.’ Kemudian Nabi mengangkat tangannya ke langit
lalu berdoa, ‘Ya Allah, karuniakanlah ia hikmah dan kebijaksanaan dan berikanlah
perkembangan ilmu daripadanya.'” Usia Ibnu `Abbas baru menginjak 15 atau 16
tahun ketika Nabi wafat. Setelah itu, pengejarannya terhadap ilmu tidaklah usai.
Beliau berusaha menemui sahabat-sahabat yang telah lama mengenal Nabi demi
mempelajari apa-apa yang telah Nabi ajarkan kepada mereka semua.
Tentang hal ini, Ibnu `Abbas bercerita bagaimana beliau gigih mencari hadits
yang belum diketahuinya kepada seorang sahabat penghafal hadits: “Aku pergi
menemuinya sewaktu dia tidur siang dan membentangkan jubahku di pintu
rumahnya. Angin meniupkan debu ke atas mukaku sewaktu aku menunggunya
bangun dan tidurnya. Sekiranya aku ingin, aku bisa saja mendapatkan izinnya
untuk masuk dan tentu dia akan mengizinkannya. Tetapi aku lebih suka
menunggunya supaya dia bangun dalam keadaan segar kembali. Setelah ia keluar
dan mendapati diriku dalam keadaan itu, dia pun berkata. ‘Hai sepupu Rasulullah!
Ada apa dengan engkau ini? Kalau engkau mengirimkan seseorang kemari,
tentulah aku akan datang menemuimu.’ Aku berkata, “Akulah yang sepatutnya
datang menemui engkau, karena ilmu itu dicari, bukan datang sendiri.’ Aku pun
bertanya kepadanya mengenai hadits yang diketahuinya itu dan mendapatkan
riwayat darinya.”
Dengan kesungguhannya mencari ilmu, baik di masa hidup Nabi maupun
setelah Nabi wafat, Ibnu `Abbas memperolah kebijaksanaan yang melebihi
usianya. Karena kedalaman pengetahuan dan kedewasaannya, `Umar bin
Khaththab menyebutnya ‘pemuda yang tua (matang)’. Khalifah `Umar sering
melibatkannya ke dalam pemecahan permasalahan-permasalahan penting negara,
malah kerap mengedepankan pendapat Ibnu `Abbas ketimbang pendapat sahabat-
sahabat senior lain. Argumennya yang cerdik dan cerdas, bijak, logis, lembut,
serta mengarah pada perdamaian membuatnya andal dalam menyelesaikan
perselisihan dan perdebatan. Beliau menggunakan debat hanya untuk
mendapatkan dan mengetahui kebenaran, bukan untuk pamer kepintaran atau
menjatuhkan lawan debat. Hatinya bersih dan jiwanya suci, bebas dari dendam,
serta selalu mengharapkan kebaikan bagi setiap orang, baik yang dikenal maupun
tidak.
`Umar juga pernah berkata, “Sebaik-baik tafsir Al-Qur’an ialah dari Ibnu
`Abbas. Apabila umurku masih lanjut, aku akan selalu bergaul dengan `Abdullah
bin `Abbas.” Sa`ad bin Abi Waqqas menerangkan, “Aku tidak pernah melihat
seseorang yang lebih cepat dalam memahami sesuatu, yang lebih berilmu dan
lebih bijaksana daripada Ibnu `Abbas.” Ibnu `Abbas tidak hanya dikenal karena
pemikiran yang tajam dan ingatan yang kuat, tapi juga dikenal murah hati. Teman-
temannya berujar, “Kami tidak pernah melihat sebuah rumah penuh dengan
makanannya, minumannya, dan ilmunya yang melebihi rumah Ibnu `Abbas.”
`Ubaidullah bin `Abdullah bin Utbah berkata, “Tak pernah aku melihat seseorang
yang lebih mengerti tentang hadits Nabi serta keputusan-keputusan yang dibuat
Abu Bakar, `Umar, dan `Utsman, daripada Ibnu `Abbas.”
Perawakan Ibnu `Abbas tinggi tapi tidak kurus, sikapnya tenang dan wajahnya
berseri, kulitnya putih kekuningan dengan janggut diwarnai. Sifatnya terpuji,
memiliki budi pekerti yang mulia, rendah hati, simpatik-empatik penuh kecintaan,
ramah dan akrab, namun tegas dan tidak suka melakukan perbuatan sia-sia.
Masruq berkata mengenainya, “Apabila engkau melihat `Abdullah bin `Abbas
maka engkau akan mengatakan bahwa ia seorang manusia yang tampan. Apabila
engkau berkata dengannya, niscaya engkau akan mengatakan bahwa ia adalah
seorang yang paling fasih lidahnya. Jikalau engkau membicarakan ilmu
dengannya, maka engkau akan mengatakan bahwa ia adalah lautan ilmu.” Saat
ditanya, “Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini?” Ibnu `Abbas menjawab,
“Dengan lisan yang gemar bertanya dan akal yang suka berpikir.” Terkenal
sebagai ‘`ulama umat ini’, Ibnu `Abbas membuka rumahnya sebagai majelis ilmu
yang setiap hari penuh oleh orang-orang yang ingin menimba ilmu padanya. Hari-
hari dijatah untuk membahas Al-Qur’an, fiqh, halal-haram, hukum waris, ilmu
bahasa, syair, sejarah, dan lain-lain. Di sisi lain, Ibnu `Abbas adalah orang yang
istiqomah dan rajin bertaubat. Beliau sering berpuasa dan menghidupkan malam
dengan ibadah, serta mudah menangis ketika menghayati ayat-ayat Al-Qur’an.
Sebagaimana lazimnya kala itu, pejabat pemerintahan adalah orang-orang `alim.
Ibnu `Abbas pun pernah menduduki posisi gubernur di Bashrah pada masa
kekhalifahan `Ali. Penduduknya bertutur tentang sepak terjang beliau, “Ia
mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara. Apabila ia berbicara, ia
mengambil hati pendengarnya; Apabila ia mendengarkan orang, ia mengambil
telinganya (memperhatikan orang tersebut); Apabila ia memutuskan, ia
mengambil yang termudah. Sebaliknya, ia menjauhi sifat mencari muka, menjauhi
orang berbudi buruk, dan menjauhi setiap perbuatan dosa.”
`Abdullah bin Abbas meriwayatkan sekitar 1.660 hadits. Dia sahabat kelima
yang paling banyak meriwayatkan hadist sesudah `Aisyah. Beliau juga aktif
menyambut jihad di Perang Hunain, Tha`if, Fathu Makkah dan Haji Wada`.
Selepas masa Rasul, Ia juga menyaksikan penaklukkan afrika bersama Ibnu Abu
As-Sarah, Perang Jamal dan Perang Shiffin bersama `Ali bin Abi Thalib.
Pada akhir masa hidupnya, Ibnu `Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap
di Tha`if hingga wafat pada tahun 68H di usia 71 tahun. Demikianlah, Ibnu
`Abbas memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan serta akhlaq `ulama.
B. Karya-Karya
Penafsiran surat Al-fatihah dalam tafsir ibnu abbas, Surah al-Fatihah
merupakan surah madaniyyah dan ada yang berpendapat bahwa al-Fatihah
merupakan surah Makiyyah, diturunkan setelah surah al-Mudatstir. Disandarkan
kepada Ibn ‘Abba>s, mengenai firman Allah ‫ هللا الحمد‬beliau mengatakan :
bersyukur kepada Allah merupakan perbuatan (kewajiban) makhluk-Nya dengan
cara memuji-Nya, dikatakan: bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya
yang sempurna kepada hamba-Nya, yaitu orang-orang yang diberi petunjuk
dengan iman, dikatakan pula: kesyukuran, ketauhidan, dan ketuhanan hanya milik
Allah, yang tidak beranak, dan juga tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak rendah
َ ‫)ربِّ ْٱل ٰ َعلَم‬Tuhan
(hina), dan juga tidak memiliki pengganti.( ‫ِين‬ َ seluruh makhluk
yang bernyawa yang ada dimuka bumi dan di langit, dan dikatakan pula pemimpin
jin dan manusia, dan dikatakan yang menciptakan makhluk serta memberi rezeki
dalam keadaan apapun.( ‫)ٱلرَّ حْ ٰ َم ِن‬Maha lembut yaitu belas kasih( ‫ِيم‬
ِ ‫)ٱلرَّ ح‬Yang halus
ِ ‫) ٰ َملِكِ َي ْو ِم ٱل ِّد‬sang hakim pada hari pembalasan yaitu yaumul hisab dan
dan ramah( ‫ين‬
memberi keputusan diantara makhluk-makhlukNya, atau hari pembalasan bagi
manusia sesuai amal mereka dan tidak ada hakim selainNya.( ‫ك َنعْ بُد‬
َ ‫)ِإيَّا‬Kami
mengesahkanmu dan menaatimu,( ُ‫ك َنسْ َتعِين‬
َ ‫)وِإيَّا‬Kami
َ meminta pertolongan
kepadamu dalam ibadah kepadamu dan hanya kepadamu kami mencari kepastian
atas ketaatan kepadamu,( ‫)ٱهْ ِد َنا ٱلص ٰ َِّر َط ْٱلمُسْ َتقِي َم‬tunjukilah kami agama yang lurus
yang engkau ridhoi yaitu islam, dan dikatakan: tetapkanlah bagi kami agama
islam, dan dikatakan: Alquran, Ibn ‘Abba>s berkata: tunjukilah bagi kami yang
halal dan haram dan penjelasan apa yang di dalamnya,( ‫ت‬َ ْ‫ِين َأ ْن َعم‬
َ ‫)صِ ٰ َر َط ٱلَّذ‬agama
orang-orang yang engkau keruniai yaitu pengikut nabi Musa, sebelum engkau
menetapkan bagi mereka yaitu nikmat Allah, sebagaimana awan menaungi
mereka dan Allah menurunkan kepada mereka manna> dan salwa, dan dikatakan:
ِ ‫) َغي ِْر ْٱل َم ْغضُو‬Bukan agama yahudi yang engkau
mereka adalah para Nabi,( ‫ب َعلَي ِْه ْم‬
murkai, engkau membiarkan mereka dan tidak menjaga hati mereka sehingga
mereka menjadi yahudi.( ‫)واَل ٱلضَّٓالِّين‬Dan
َ bukan agama nasrani yang tersesat dari
islam, (‫)آمين‬demikian engkau jadikan kepercayaannya, dan dikatakan hendaklah
demikian, dikatakan: ya tuhan kami tetapkan bagi kami sebagaiman permintaan
kami kepadamu, wallahu ‘alam.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Mufassir Al-Quran adalah sebutan bagi orang-orang yang menafsirkan Al-Quran


menggunakan kapasitas keilmuan yang dimiliki masing-masing. Agar menjadi seorang
mufassir Al-Quran dibutuhkan keilmuan yang cukup, para mufassir banyak
menghabiskan waktu mereka untuk menuntut ilmu karena kecintaan mereka terhadap Al-
Quran. Karya-karya yang telah dibuat oleh para mufassisr dari satu buku tafsir dengan
buku lainnya pasti memiliki perbedaan karakteristik yang disebabkan perbedaan latar
belakang penafsiran yang dilakukan.

B. Saran
Saran penulis terhadap pembaca karena makalah yang dibuat ini masih ada
kekurangan dan kesalahan,untuk itu kami berharap agar pembaca lebih memperkaya
membaca literatur dan tafsir Al-Quran untuk mengenal lebih jauh para mufassir Al-Quran
yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

BAB III BIOGRAFI IMAM AL-SYAUKANI A. Riwayat Hidup ...

digilib.uinsby.ac.id > download pdf

https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Katsir#:~:text=2.4%20Ilmu%20fiqih-,Biografi,ulama
%20penganut%20mazhab%20Syafi'i.&text=Ulama%20ini%20meninggal%20dunia
%20tidak,samping%20makam%20gurunya%2C%20Ibnu%20Taimiyah.

http://repository.uin-suska.ac.id/3924/2/BAB%201.pdf

https://jamalkajian.wordpress.com/mutiara-fiqih-islam/biografi-singkat-imam-asy-syaukani/

https://www.lingkaran.org/biografi-ibnu-abbas.html/comment-page-1

jurnalalmunir.com › downloadPDF

PENAFSIRAN ABDULLAH IBN ABBAS TERHADAP ... - Al-Munir

sc.syekhnurjati.ac.id › risetmhsPDF

http://repo.iain-tulungagung.ac.id/14059/6/BAB%20III.pdf

Anda mungkin juga menyukai