Anda di halaman 1dari 17

TAFSIR QS.

AL-SYU’ARA’: 214-217

MENURUT AL-SAMARQANDI< DAN AL-ANDALU<SI<

Tugas Makalah

‘Ulum al-Qur’a>n dan Tafsir Ayat Dakwah

Dosen pengampu:

Ahmad Rohmatullah, S.Th. I, M.Ag.

Penyusun:

1. EKA NUUR SETIANI (201103030003)

2. NETA AYU WANTI (204103030010)

3. UMMUL KARIMAH (201103030011)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

FAKULTAS DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Yang telah
memberikan nikmat dan hidayah-Nya kepada kami. Sehinga kami manpu
menyelesaikan makalah yang berjudul “TAFSIR QS. Al-SYU’ARA’: 214-217
MENURUT AL-SAMARQANDI< DAN AL-ANDALU<SI<” ini sesuai dengan
waktu yang kami rencanakan. Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi
salah satu syarat penilaian mata kuliah Pendidikan dan Kewarganegaraan. Yang
meliputi tugas nilai individu.

Penyusunan makalah ini tidak berniat untuk mengubah materi yang sudah
ada. Namun, hanya lebih pendekatan pada materi atau membandingkan beberapa
materi yang yang sama dari berbagai referensi. Yang bisa memberikan tambahan
pada hal yang terkait dengan Tafsir.

Pembuatan makalah ini menggunakan metode pengumpulan data dari


beberapa sumber, yaitu buku, google books, jurnal yang kami siasati dengan
scholar, dan beberapa referensi lainnya yang berhubungan dengan materi yang
kami angkat. Saya menggunakan metode pengumpulan data ini, agar makalah
yang kami susun dapat memberikan informasi yang mudah dipahami.

Lamongan, 14 Oktober 2020

PENYUSUN

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan .........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi pengarang al-Samarqandi< dan al-Andalu>si ..............................2
B. Profil kitab al-Samarqandi< dan al-Andalu>si............................................5
C. Penafsiran al-Samarqandi< dan al-Andalu>si terhadap
QS.Al-Syu’ara’; 214-217...........................................................................11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................13
B. Saran...........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Setiap mufassir memiliki karasteristik tersendiri dalam menafsirkan


ayat-ayat al Qur'an, karasteristik ini juga nampak jelas ketika dicoba
memilah-milah fase-fase dan kurun waktu antara para mufassirin karena
mereka dalam menafsirkan al Qur'an tidak terlepas dari kondisi
permasalahan yang mereka hadapi.
Tafsir pada abad-abad pertama kemunculan Islam berbeda dengan
gaya penafsiran mupassir yang hidup pada masa modern. Juga dapat
dilihat perbedaan tersebut ketika ditelusuri kota tempat tinggal mufassir
tersebut sehingga penafsiran yang diproduk oleh ulama-ulama yang hidup
di Bagdad berbeda coraknya dengan penafsiran yang dilakukan oleh ulama
yang hidup di Mesir.
Namun, dalam menentukan arah serta rel yang dilalui oleh seorang
mufassir dalam memberikan interpretasi masing-masing memiliki
metodologi yang mereka konsisten terhadapnya. Tanpa metodologi
tersebut niscaya akan menimbulkan kerancuan sikap serta cara dalam
menafsirkan al Qur'an. Dalam makalah ini penulis berusaha memaparkan
metodologi yang dikembangkan oleh Nas}ar ibn Muh}ammad al-
Samarqandi> (tafsir al-Samarqandi<) dan Abu> Hayya>n al-Andalu>si>
(tafsir al-Andalu>si).
2. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana biografi pengarang al-Samarqandi< dan al-Andalu>si?

2. Bagaimana profil kitab tafsir al-Samarqandi< dan al-Andalu>si?

3. Bagaimana penafsiran al-Samarqandi< dan al-Andalu>si terhadap QS.


Al-Syu’ara’: 214-217?

3. TUJUAN

1. Untuk mengetahui biografi pengarang al-Samarqandi< dan al-


Andalu>si.

2. Untuk mengetahui profil kitab tafsir al-Samarqandi< dan al-Andalu>si

3. Untuk mengetahui penafsiran al-Samarqandi< dan al-Andalu>si


terhadap QS. Al-Syu’ara’: 214-217.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Pengarang tafsir al-Samarqandi< dan al-Andalu>si.


a. Biografi Nas}ar ibn Muh}ammad al-Samarqandi> (tafsir al-
Samarqandi<).

Pengarang tafsir Bahr al-Ulum mempunyai nama lengkap “Abu


al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim al-Samarqandi.
[1]1 Beliau mempunyai nama-nama julukan antara lain al-Faqih. Al
Faqih yang menandakan bahwa beliau telah sampai pada derajat yang
tinggi dalam dunia ilmu Fiqih yang mana pada saat itu tiada
seorangpun yang dapat menyamainya pada zamannya. Beliau begitu
menyukai julukan tersebut dan beliau juga tabarrukan dengan julukan
tersebut, di karenakan julukan tersebut diberikan langsung oleh Nabi
Saw melelui mimpi beliau. Hal itu terjadi ketika beliau mengarang
kitab “Tanbihul Ghafilin” lalu beliau membawa kitab tersebut untuk
sowan ke Raudlahnya Nabi Saw setelah itu beliau menginap di sana,
kemudian beliau bermimpi melihat Nabi Saw mengambil kitabnya
seraya berkata “Ambillah kitabmu, Wahai Faqih”. Lalu beliau pun
terjaga dan beliau menemukan di dalam kitabnya tempat-tempat yang
di koreksi Nabi. Dan julukan yang lainnya yaitu Imam al-Huda.
Beliau yang dikenal sebagai seorang fakih, muhaddis, dan mufassir ini
dilahirkan di desa Samarqan, Uzbekistan, salah satu kota besar di
Khurasan. Namun, tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti,
hanya dikatakan sekitar abad IV H, yakni antara tahun 301 H – 310 H.
Beliau sangat dikenal dengan kata-katanya yang selalu mengandung
hikmah dan karya-karyanya yang cukup terkenal.

Beliau dilahirkan di Samarkand yang merupakan salah satu kota


dari Khurasan, sekarang masuk dalam daerah Uni Soviet, ada pula
yang mengatakan bahwa kota itu termasuk bagian Arab, Samarkand
merupaan kota yang besar beserta beberapa iklim di dalamnya. Kota
ini juga menjadi kiblat bagi para pelajar yang haus akan ilmu
pengetahuan, karena banyak dari fuqaha’ , mutasawwif yang pergi
kesana. Sehingga pada saat itu Samarkand menempati tempat tertingi
di antara negara-negara Islam dalam hal keilmuan.

1
Abu al-Lais\, Tafsir al-Samarqandi> al-Musamma Bah}r al-‘Ulum, Cet. 1 (Beiru>t: Da.r al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1993 M/1413 H), Juz 1, h. 8-9.

2
Mazhab yang dianut oleh beliau adalah mazhab hanafi,[3] oleh
karenanya beliau melakukan perjalanan ke kota Balkh dan berguru
kepada beberapa guru yang ternama, antara lain ; Abu Ja’far al-
Handawani (w. 326 H), Muhammad bin al-Fadhl al-Balkhi seorang
mufassir (w. 319 H). Khalil bin Ahmad bin Isma’il (w. 368 H) dan
Muhammad bin al-Hasan al-Haddadi (w. 388 H). Beliau wafat pada
malam Rabu, 11 Jumadil Akhir 395 H, dan dimakamkan di kota Balkh
berdampingan dengan guru utamanya Abu Ja’far al-Handawani. Beliau
mempunyai murid-murid antara lain; lukman al-Farghani dan Na’im
al-Khatib Abu Malik.[4]

b. Biografi Abu> Hayya>n al-Andalu>si> (tafsir al-Andalu>si).

Beliau adalah Asiirudin Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf bin


Ali bin Yusuf bin Hayan al Andalusiy al Garnatiy al Hayyaniy, yang
lebih dikenal dengan Abu> Hayya>n2. Abu> Hayya>n dilahirkan di
Andalusia pada tahun 654 H dan menuntut ilmu disana sampai ia
berpindah ke Iskandariyah Mesir dan belajar Qiraat dari ulama yang
bermukim disana.
Abu> Hayya>n merupakan seorang yang terkenal sebagai ahli
Bahasa Arab, banyak menyusun syair yang membuktikan kedalaman
ilmunya dalam bidang Nahwu dan Sharaf. Dalam hal Qiraat, beliau
belajar dari Ali Abd Nasir bin Ali al Maryutiy yang bermukim di
Iskandariyah dan Ali Abi Thahir Ismail bin Abdillah al Mulijiy yang
tinggal di Mesir.
Pada awal mulanya Abu> Hayya>n menganut mazhab Zahiriy,
lalu berganti ke mazhab al Syafiiy dan yang terakhir beliau menganut
mazhab al Salafi hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada 745 H di
Mesir.
Abu> Hayya>n tidak hanya pandai dalam ilmu tafsir saja, namun
di berbagai bidang pula. Karena ia adalah seorang pengembara ilmu.
Beliau memiliki banyak guru yang menuntunnya, bahkan Jalaluddin al
Suyutiy menyatakan bahwa Abu> Hayya>n pernah belajar Hadis di
Andalusia, Afrika, Iskandariyah, Mesir dan Hijaz. Berikut adalah
beberapa guru dari seorang Abu> Hayya>n :
a) Ahmad bin Ibrahim bin Zubair bin Hasan bin al Husain al
Tsaqafiy al ashimiy. Beliau merupakan seorang yang ahli
dalam bidang hadis, nahwu, ushul, adab dan fasih dalam
bacaan Al-Qur’an.
2
Muhammad Husain al Zahabiy, al Tafsir wa al Mufassirun,Juz 1(Cet. VI; Kairo: Maktabah
Wahbah, 1995 M/1461 H), h. 325.

3
b) Al Husain bin Abd Aziz bin Muhammad bin Abd Aziz bin
Muhammad al Imam Abu Ali bin Abi al Ahwaz al qarsyi.
Beliau seorang yang faqih, ahli hadis, nahwu dan banyak
menyusun karangan mengenai qiraat.

c) Ali bin Muhammad bin Abd Rahim al Khasyniy, al Absyiy


Abu al Hasan.

d) Muhammad bin Ali bin Yusuf al Allamah RadiyuddinAbu


Abdillah Anshariy al Syatibiy.

e) Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad bin Abi Nasr.

Beliau juga memiliki banyak murid, diantaranya:


1. Ali bin Abd al Kafi bin Ali bin Tamam bin Yusuf bin Musa
bin Hamis bin Yahya bin Umar bin Usman bin Ali bin Siwar
bin Salim al Subki.

2. Muhammad bin Abd al Bir bin Yahya bin Ali bin Tamam
Baha'uddin.

3. Ahmad bin Yusuf bin Abd al Daaim bin Muhammad al Halabi


Syihab al Din.

4. Abdllah bin Abd Rahman bin Abdullah bin Muhammad bin


Akil al Qarsyi.

Tidak lupa pada karya-karya karangannya. Abu> Hayya>n


banyak menulis mengenai bab disiplin ilmu. Pada daftar karanganyya
mencakup Tafsir, Qiraat, Fiqh, bahasa dan yang lainnya. Berikut
beberapa karangan beliau:
a) Dalam bidang tafsir

‫البحر المحيط‬
‫النهر المد‬

b) Dalam qiraat

‫عقدالال لى فى القر اءات السبع العو الى‬


‫الحلل الحاليةفى أسا نيد‬
‫الموردالغمر في قر اءت أبى عمرو‬
‫تقريب النا ئى فى قراءةالكسائى‬
c) Dalam fikh

4
‫الوهاج فى اختصارااألعال‬

‫األنوراألجلى فى اختصارالمحلى‬

‫مسائل الرشدفى تجريدمسائل نهايةابن رشد‬

‫األ عال م بأركان اإلسالم‬

d) Dalam bahasa

‫إتخاف األريب بمافىالقرآن من الغريب‬

‫اإلىراك لسان الترك‬

e) Dalam nahwu

‫التذ كرة‬

‫الشذافى مسا لةكذا‬

‫اية اإلحسان فى علم اللسان‬

‫إعراب القرآن‬

‫الهداتة فى النحو‬

B. Profil kitab tafsir al-Samarqandi< dan al-Andalu>si.


1. Profil Kitab Bah}r al-‘Ulu>m (tafsir al-Samarqandi<)

Tafsir al-Samarqandi< masih satu Generasi dengan kitab atafsir


al thabary, sehingga tafsir ini termasuk tafsir Berdasarkan atas riwayat
atau dikenal dengan tafsir bi al ma'tsur, sementara dalam kitabnya
sendiri di tahqiq oleh ali muhammad mu'awwad menganggapnya
sebagai gabungan antara tafsir bi al ma'tsur dengan tafsir bi al ra'yi,
namun pada umumnya Ulama menganggap sebagai tafsir al ma'rsur
karena atsar lah yang paling dominan dalam menjelaskan ayat ayat al
qur'an.Hanya saja dalam mengungkapkan atsar tidak memberikan
penilaian yang kritis terhadap isnad atau mata rantai perawi hadis.

Sebagai tafsir yang bercorak riwayat, tafsir al-Samarqandi<


termasuk tafsir tahlily, dengan demikian, operasional dalam tafsirnya
menggunakan sumber-sumber dan pendekatan yang digunakan dalam
penafsirannya.Sumber-sumbernya adalah :

A. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena suatu


asumsi dasar bahwa al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan.

5
Dalam hal ini, Al-Suyuthi berpendapat bahwa barang siapa
yang ingin menafsirkan al-Qur’an, yang pertama harus dilihat
adalah al-Qur’an karena tidak ada sebuah penafsiran yang
paling akurat keculi dengan al-Qur’an. Seperti disebutkan
dalam al-Qur’an : ‫ات‬66‫ندخلهم جن‬66‫الحات س‬66‫وا الص‬66‫وا وعمل‬66‫ذين آمن‬66‫وال‬
Menurut Abu al-Laits ayat di atas ditafsirkan dengan ayat : ‫مثل‬
‫الجنة التى وعد المتقون فيها انهار من ماء غير آس‬

B. Sumber kedua dalam menafsirkan al-Qur’an adalah hadis.


Menurut abu al-Laits bahwa bilamana tidak ditemukan
penjelasannya dalam al-Qur’an, maka sebagian penjelasan
diambil dari hadis.

C. Sumber ketiga adalah perkataan sahabat. Di antara sahabat


yang banyak dinukil oleh Abu al-Laits adalah Ali bin abi
Thalib, Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’b, Ibnu Abbas, Jabir
bin Abdullah, Abdullah bin Zubair dan sahabat yang lainnya.

D. Sumber keempat adalah perkataan tabi’in. Di antara mereka


yang dijadikan sumber tafsir di kalangan tabiin adalah al-
Hasan, Said bin Jubair, Atha’, ‘Ikrimah, Wahab bin
Munabbih, al-Suddy, Muqatil, dan sumber paling banyak
diambil dari Mujahid.

Di samping ke empat sumber di atas, di dalam tafsir Abu al-Lais


juga menggunakan sumber-sumber lain dalam menafsirkan al-Qur’an.
Di antara sumber itu adalah:

 Ada cerita yang tidak jauh bertentangan dengan al-Qur’an dan


diriwayatkan dengan sumber hadis shahih. Ini dianggap
shahih, seperti penentuan nama sahabat nabi Musa yaitu
Khidr.

 Cerita yang bertentangan dengan syariat atau bertentangan


dengan akal manusia, seperti yang disebutkan dalam kitab
Taurat bahwa yang disembelih dalam kisah nabi Ibrahim
adalah Ishaq bukan Ismail. Menurut ulama bahwa kisah ini
tidak bisa diterima.

 Cerita yang tidak ditolak dan tidak pula diterima. Kita ber-
tawaqqup saja. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi,
sebagaimana dalam sabdanya: “Janganlah kamu
membenarkan dan mendustakan cerita ahl al-kitab,

6
katakanlah bahwa kami percaya kepada Allah dan apa yang
diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada
kamu”.

Abu Al-laits dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an digunakan


beberapa pendekatan berupa ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu
tafsir, karena hal itu sangat diperlukan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Di antaranya adalah:

a) al-Lughawy. Bahasa mempunyai peranan penting dalam


menafsirkan al-Qur’an, karena bagaimana mungkin lahir
sebuah penafsiran yang akurat tanpa didasari dengan
pengetahuan bahasa Arab. Oleh karenanya, Abu al-Laits
menyatakan bahwa tidak boleh seseorang menafsirkan al-
Qur’an dengan pendapatnya sendiri sebelum mengenal dan
mengetahui bahasa Arab dan Asba>bun Nuzul .

b) Ulum al-Qur’an. Tentang ulum al-Qur’an ini dalam pengantar


kitabnya dia membagi kepada bebarapa bagian, yaitu:

 Pertama, mengenai qira’at. Abu al-Laits sangat


memperhatikan qiraat sampai dia mengemukakan
beberapa qira’at dengan menyebutkan argumen masing-
masing, kemudian terkadang menguatkan salah satunya
atau menggabungkan keduanya, misalnya dalam Qs. Al-
Baqarah 2: 59 “ ‫و خطة‬66‫ “وقل‬Kata “khiththah” ada yang
membacanya dengan rafa’ dan yang lainnya membaca
nasab, menurutnya bahwa pendapat kedua adalah syaz.
Dan yang paling kuat adalah rafa’.

 Kedua, al-Nasikh al-Mansukh. Dalam persoalan ini


terdapat perbedaan ulama dalam menyikapinya, akan tetapi
Abu al-Laits tanpaknya tetap mamahami bahwa dalam al-
Qur’an ada al-nasikh wa al-mansukh, baik dalam
bentuknya al-Qur’an bil al-Qur’an maupun dalam bentuk
al-Qur’an bil al-hadis, misalnya dalam QS al-Nisa 15,
menurutnya ayat ini dinasihk dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Ubadah bin Shamith,
sesungguhnya Nabi bersabda: Allah telah menjadikan
baginya (perempuan yang berzina) jalan, yaitu perjaka
dengan gadis dipukul dengan 100 kali, al-sayyib dengan
al-sayyib dirajam dengan batu.

7
 Ketiga, Asba>bun Nuzul . Asba>bun Nuzul adlah salah
satu alat yang sangat penting dalam memahmi ayat al-
Qur’an, karena terkadang dalam satu ayat itu memiliki
sebab turunnya, sehingga bila seseorang tidak memahami
sebab turunnya tentu pemahamannya pasti keliru. Dengan
demikian, tentunya juga Abu al-Laits sangat
memperhatikannya dalam menafsirkan ayat yang ada
Asba>bun Nuzul nya.

 Keempat, masalah fiqhi. Sebagaimana telah diosebutkan


terdahulu bahwa Abu al-Laits memiki gelar “al-faqih”
sudah barang tentu dia memiliki ilmu yang sangat
mendalam tentang fikh. Dan fikhnya bercorak Hanafy,
akan tetapi meskipun bermazhab Hanafi dia tidak
memihak kepada corak fikhinya dalam penafsirannya. Hal
ini dapat dilihat misalnya dalam Qs. Al-Baqarah 222, yang
menjelaskan boleh tidaknya perempuan yang sudah haid
digauli sebelum mandi wajib. Ayat ini bila dibaca dengan
“‫رن‬66‫ “ يطه‬dengan tasydid huruf tha dan ha maka berarti
samapi suci dari haid. Jadi boleh mendekatinya sebelum
dia mandi. Akan tetapi bila dibaca dengan “‫ ”يطهرن‬tanpa
tasydid bermakna sampai dia mandi. Jadi baru boleh
dodekati bila dia sudah mandi wajib.

2. Profil Kitab al-Bah}r al-Muhi>t} (tafsir al-Andalu>si>)

Tafsir al-Bah}r al-Muhi>t} merupakan salah satu kitab tafsir


yang tergolong Tafsir Bir-Rayi’. Pengarangnya yaitu Asiirudin Abu
Abdillah Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayan al
Andalusiy al Garnatiy al Hayyaniy, yang kerap kali disebut Abu>
Hayya>n. Ada beberapa karakteristik dari kitab tafsir ini, yakni:
1. Dalam tafsir al-Bah}r al-Muhi>t} dilengkapi dengan beberapa
cabang ilmu yang meliputi Nahwu, Saraf, Balaghah, hukum
fikih dan yang lainnya yang dianggap masih berhubungan
dengan rujukan tafsir.

2. Penggunaan bahasa dalam kitab al-Bah}r al-Muhi>t} yang


cukup mudah.

3. Dinamakan dengan al-Bah}r al-Muhi>t}, karena memandang


secara penuh didalamnya mengenai tafsir.

8
4. Abu> Hayya>n banyak tergantung pada kitab yang
sebelumnya, seperti Ibn Atiyah.

5. Dalam kitab al-Bah}r al-Muhi>t} disebutkan tentang


Israiliyyat dan hadis maudhu’, tetapi kebanyakan menyatakan
kedudukan, ketidakshahihan dan penjelasan agar tidak
terpedaya oleh hadis tersebut.

6. Menggunakan syawahid syair dalam menulikan tafsirnya,


karena disisinya syawahid syair mempunyai tempat yang
tinggi dalam pembinaan Qawaid Nahwu dan lebih mudah
baginya menerangkan makna ayat.

7. Adanya keterangan-keterangan Qiraat dan I’rab.

Terbentuknya tafsir Abu> Hayya>n tidak lepas dari asas Nahu


dan Lughah. Di dalam menulis tafsirnya Abu> Hayya>n banyak
menggunakan metode dirayah dan Ijtihad. Berikut ini kaidah-kaidah
tafsir al-Bah}r al-Muhi>t} dari Abu> Hayya>n :
A. Meletakkan kalimat-kalimat yang mufradatnya berkaitan
dengan ayat di permulaan Surah. Tujuannya agar penafsiran
lebih jelas dan menghindari kesalahan.

B. Meletakkan Asba>bun Nuzul. Ini sangat penting dikarenakan


ini salah satu ilmu yang harus dan wajib dipahami oleh
seorang penafsir. Untuk mengetahui kepada siapa dan untuk
apa ayat tersebut diturunkan, mengetahui Nasikh dan
Mansukh dan kemunasabahan ayat-ayat bila dibandingkan
ayat sebelum atau selepasnya.

C. Meletakkan hadis yang disebutkan Zaid bin Sabit kepada Nabi


Muhammad pada ayat dan meletakkan nuqilan-nuqilan dari
para sahabat dan golongan yang Thiqah dari golongan tabi’in.

D. Tidak memastikan kepada dirinya menilai keshahihan suatu


hadis, akan tetapi melalui analisa asal atau sumber hadis
tersebut.

E. Terdapat hadis dhaif didalam tafsirannya yang diriwayatkan


oleh seorang yang thiqah.

F. Meletakkan pembahasan fikih 4 mazhab.

9
Abu> Hayya>n dalam menyusun tafsirnya juga tidak lepas dari
berbagai referensi kitab klasik lainnya. Di sini Abu> Hayya>n tidak
jarang melakukan kritik pada kitab terdahulu, dan membantahnya
apabila dirasa tidak sesuai dengan pedoman Islam yakni Al-Qur’an
dan hadis. Berikut beberapa referensi yang diambil oleh Abu>
Hayya>n dalam kitab al-Bah}r al-Muhi>t} :3
i. Bidang Tafsir. Dari kitab syaikhnya Imam Sholeh al-
Qudwah al-Adib Jamaluddin Abi Abdullah Muhammad bin
Sulaiman bin Hassan bin Hussin al-Maqdisi al-Ma’ruf bi
Ibni Naqib, yakni:

 Al-Kasyaf,

 Muharar al-wajiz, dan

 Tahrir wa tahbir.

ii. Bidang Qiraat.

 Al-Iqna’, dan

 Kitab Misbah

iii. Bidang Hadis.

 Shahih Bukhari dan Shahih Muslim,

 Sunan Abi Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Tirmidzi, Sunan


Ibn Majah, dan Sunan Daruqutni,

 Musnad Thialisi

 Mu’jam Kabir, dan

 Awsad Shorir.

iv. Bidang Nahwu.

1) Al-Kitab, Al Thasil, Al-Mumta’, Al-Takmil syarah


Thasil dan Al-Tazkirah.

v. Bidang Ushul Fiqh.

3
Muhammad Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Bahru al-Muhith”. Dosen Jurusan Dakwah STAIN
Qaimuddin Kendari. Hal 46.

10
 Al-Mahsul, Al-Isyarah dan Al-Qawaid,

 Syarh kitab Isyarah, dan

 Mukhtasar al-Mahsul

vi. Bidang Fiqh.

 Al-Mahla, Al-Sirah dan Al Anwar al-Ajali fi Ikhtisar al-


Mahla,

 Bidang Tarikh

 Qalaid al-Aqyan wa Mahasin al-A’yan, dan

 Syilah.

C. Penafsiran al-Samarqandi dan al-Andalu>si terhadap QS. Al-


Syu’ara’: 214-217.

Dari penafsiran al-Samarqandi maupun al-Andalusi mengenai tafsir


QS. Al-Syu’ara’ ayat 214-217 intinya sama yakni mengenai “kewajiban
berdakwah”. Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar
menyampaikan agama Allah kepada keluarganya yang dekat,
menyampaikan kepada mereka janji dan ancaman Allah terhadap orang-
orang yang memungkiri dan mensyarikatkannya. Selain itu Allah juga
menyuruh Rasulullah SAW agar memberi peringatan kepada kerabat-
kerabatnya yang terdekat dan bahwasanya tidak ada yang dapat
menyelamatkan para kerabat kecuali keimana mereka kepada Tuhan-Nya4.
Keluarga dekat dari yang terdekat kalipun, tidak boleh
mengakibatkan seseorang yang beriman mengorbankan keimanannya demi
karena keluarga. Memang akan ada di antara mereka yang tidak setuju
dengan seruan dakwah, tetapi hendaklah tegar menghadapi mereka dan
berpegang teguh pada petunjuk Allah Swt.
Iman Ahmad meriwayatkan bahwa Aisyah berkata:
“Tatkala ayat’ dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat’
diturunkan, Rosulullah saw bersabda, hai fatimah binti Muhammad, hai
syafiyah binti Abdul Muthalib, hai bani Abdul Muthalib, aku tidak
memiliki kekuasaan sedikitpun untuk menolak siksa Allah darimu.
Mintalah sebagian hartaku yang kamu kehendaki5.”

4
Muhammad Nasib Ar-rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Karsir Jilid 3, Gema Insani,
Jakarta,2000.hlm:60.
5
Ibid. hal 612.

11
Jadi, disinilah fungsinya da’i atau pedakwah. Mereka selaku da’i
(pelaku dakwah) memiliki sikap yang penuh rendah hati dan penuh
perhatian kepada orang-orang mukmin yang mengikuti seruan dakwahnya.
Hal ini dimaksudkan agar mereka tetap setia berada dalam jalan kebaikan
dan tidak menjauhi dakwahnya. Ayat ini menyadarkan dan menguatkan
kepada juru dakwah bahwa tidak semua orang mau mengikuti seruhan
dakwah yang dilakukan. Jika ada orang yang mengingkari seruan dakwah,
maka sang juru dakwah sudah terlepas tanggungjawabnya.
Tugas pendakwah adalah menyampaikan ajaran Islam, sedangkan
yang memberi hidayah (petunjuk) orang yang didakwahi itu mau
menerima atau mengikuti seruhan, itu sudah menjadi hak Allah Swt.
Karena itu, seorang dai tidak boleh membenci apalagi merasa sakit hati
kepada orang yang tidak mau mengikutinya. Karena itulah, ayat ini
memerintahkan untuk bertawakkal dan menyerahkan urusan itu kepada
Allah Swt adalah untuk menguatkan hati optimisme da’i bahwa Allah
Maha Perkasa. Betapapun keras hati kaum/masyarakat (mad’u) menentang
seruan dakwah, namun kehendak Allah Swt tidaklah akan dapat mereka
tentang. Jerih paya da’i dalam menyampaikan dakwah itu tidaklah akan
dibiarkan Allah Swt hilang dengan percuma saja.

12
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN.

 Pengarang tafsir Bahr al-Ulum mempunyai nama lengkap “Abu al-Laits


Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim al-Samarqandi
 Pengarang tafsir al-Bah}r al-Muhi>t} adalah Asiirudin Abu Abdillah
Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayan al Andalusiy al
Garnatiy al Hayyaniy, yang lebih dikenal dengan Abu> Hayya>n.
 Tafsir al-Samarqandi< masih satu Generasi dengan kitab atafsir al
thabary, sehingga tafsir ini termasuk tafsir Berdasarkan atas riwayat atau
dikenal dengan tafsir bi al ma'tsur, sementara dalam kitabnya sendiri di
tahqiq oleh ali muhammad mu'awwad menganggapnya sebagai gabungan
antara tafsir bi al ma'tsur dengan tafsir bi al ra'yi
 Tafsir al-Bah}r al-Muhi>t} merupakan salah satu kitab tafsir yang
tergolong Tafsir Bir-Rayi’. Pengarangnya yaitu Asiirudin Abu Abdillah
Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayan al Andalusiy al
Garnatiy al Hayyaniy, yang kerap kali disebut Abu> Hayya>n.
 Dari penafsiran al-Samarqandi maupun al-Andalusi mengenai tafsir QS.
Al-Syu’ara’ ayat 214-217 intinya sama yakni mengenai “kewajiban
berdakwah”.

B. SARAN.

Dalam pembuatan makalah ini tentunya kami sebagai penyusun


menyadari akan adanya kesalahan yang tidak kami ketahui atau sadari.
Maka dari itu, kami mohon saran dan kritik yang membangun dari
pembaca agar kami dapat lebih teliti lagi dan lebih baik lagi dalam
pembuatan makalah di kemudian hari.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Lais\, Tafsir al-Samarqandi> al-Musamma Bah}r al-‘Ulum, Cet. 1 (Beiru>t: Da.r al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1993 M/1413 H), Juz 1, h. 8-9. Muhammad Husain al Zahabiy, al Tafsir wa al
Mufassirun,Juz 1(Cet. VI; Kairo: Maktabah Wahbah, 1995 M/1461 H), h. 325 Muhammad Hasdin
Has, “Karakteristik Tafsir al-Bahru al-Muhith”. Dosen Jurusan Dakwah STAIN Qaimuddin Kendari.
Hal 46.
Muhammad Nasib Ar-rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Karsir Jilid 3, Gema Insani, Jakarta,2000.hlm:60
Ibid. hal 612

14

Anda mungkin juga menyukai