Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MANHAJ AL- MUFASSIRIN

Tentang

IMAM AL-THABARI DAN KITAB TAFSIR AL- JAMI’ AL-BAYAN ‘AN TAKWIL
AYY AL-QUR’AN

Disusun Oleh :

AZEN PRANANDI : 2120080006

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Syafruddin, M.Ag

Dr. Zulbadri, M.Ag

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

PROGRAM PASCASARJANA (S2)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

IMAM BONJOL PADANG

1443 H/ 2022 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur‟an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia memiliki
karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan, ini dapat dilihat dalam realitas sejarah
penafsiran al-Qur‟an sebagai respon umat islam dalam upaya memahaminya.
Pemahaman atasnya tidak pernah terhenti, tetapi terus berkembang secara dinamis
mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan
munculnya beragam mazhab dan corak dalam penafsiran al-Qur‟an.
Studi al-Qur‟an telah banyak dilakukan oleh para ulama dan sarjana tempo
dulu salah satunya oleh imam al-Thabari dengan tafsirnya yang berjudul“al-Jami‟ al-
Bayan „an Takwil Ayy al-Qur‟an” atau yang lebih populer dengan sebutan tafsir al-
Thabari yang akan kita ulas sekarang.
Kitab ini memuat eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen terutama
dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa arab yang telah dikenal secara luas di
kalangan masyarakat. Di sisi lain, tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat
sebagai sumber penafsiran (ma‟tsur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan
para sahabat, tabi‟in, tabi‟ tabi‟in melalui hadis yang mereka riwayatkan maupun
riwayat-riwayat yang mu‟tabar dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang telah setia
masuk Islam. Kitab ini juga didukung dengan nalar (ra‟yu) untuk membangun
pemahaman-pemahaman obyektifnya.

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian


Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah penulis jelaskan di atas dan
untuk memperjelas masalah yang akan dibahas maka perumusan masalah yang akan
diteliti sebagai berikut :
1. Menjelaskan Biografi Imam al-Thabari yang mencakup : Riwayat Pendidikan,
karya-karya-Nya dan ulasan singkat kitab Tafsir al-Jami‟ al-Bayan „an Takwil
Ayy al-Qur‟an
2. Contoh Penafsiran al-Thabari terkait kepemimpinan perempuan dalam Qs an-
Naml ayat 23-24

1
BAB II
PEMBAHASAN
MENGENAL IMAM AL-THABARI DAN KITAB TAFSIR AL- JAMI’ AL-BAYAN
‘AN TAKWIL AYY AL-QUR’AN

A. Biografi Imam al-Thabari

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid ibn Katsir Ghalib, Abu
Ja‟far. Ia dilahirkan di kota Amul (kota terbesar di Tabaristan). Mayoritas sejarawan
mengatakan bahwa Imam al-Thabari dilahirkan tahun 224 H, sedangkan sebagian yang
lain mengatakan bahwa ia dilahirkan pada awal tahun 225 H (sekitar 893 M atau 840 M).
Ketidakpastian tahun lahirnya imam al-Thabari karena penduduk negerinya pada masa itu
menetapkan tanggal kelahiran seseorang sesuai dengan kejadian tertentu dan bukan
dengan tahun, dan tanggal lahir Imam al-Thabari pun ditetapkan sesuai kejadian yang
terjadi di negeri tersebut pada saat itu.1

Perhatian-Nya terhadap ilmu pengetahuan tumbuh bersamaan dengan


pertumbuhan umurnya. Ia sudah hafal al-Qur‟an ketika berusia tujuh tahun, mengimami
shalat ketika berusia delapan tahun, dan menulis hadis ketika berusia sembilan tahun. al-
Thabari hidup pada masa Islam berada dalam puncak kemajuan dan kesuksesan bidang
pemikiran. Iklim seperti itulah yang memungkinkannya menggali ilmu sedalam-dalamnya
. Namun hal itu tidak mudah dilakukan karena letak pusat ilmu yang dipadati para ulama
jauh dari tempat tinggalnya.2

al-Thabari memiliki kemampuan untuk berjihad sehingga ia dikenal sebagai


mujtahid mutlak, tidak jarang para mufassir menunjuk kepada pendapatnya. Oleh sebab
itu, ia disebut bapak para mufassir.3 Ia adalah seorang ulama yang sulit dicari
bandinganya, banyak meriwayatkan hadis, luas pengetahuanya dalam bidang penukilan
dan pen-tarjih-an (penyeleksian untuk memilih riwayat yang kuat), riwayat-riwayat, serta
mempunyai pengetahuan luas dalam bidang sejarah para tokoh dan berita umat
terdahulu.4

Imam al-Thabari (839-923 M/224-310 H) dipandang sebagai tokoh pewaris


terpenting dalam tradisi keilmuan Islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, lughah, tarikh,
termasuk pula tafsir al-Qur‟an. Dua karya besarnya, tarikh al-Umam wa al-Mulk yang

1
Al-Thabari, al-Jami‟ al-Bayan „an Ta‟wil Ayy al-Qur‟an, ter. Ahmad Abdurraziq al Bakri, et al, (
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 7
2
Dedi Permana Irawan, „Eksistensi Ahlul Bait dalam Kitab Tafsir Jami‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an
Karya Imam Ibn Jarir al-Thabari (Studi Kritis Surat al-Ahzab ayat 33)‟, skripsi, (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 2001), h. 14
3
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), cet-1, h. 221
4
Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa 2013), cet-
16, h. 526
2
berbicara tentang sejarah dan Jami‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an menjadi rujukan utama,
sehingga berhasil mendongkrak popularitasnya ke panggung dunia di tengah-tengah
“masyarakat membaca”. Kitab tersebut merupakan sebuah ensiklopedi komentar dan
pendapat tafsir yang pernah ada sampai masa hidupnya. Tafsir bi al-ma‟tsur yang
dikembangkan oleh al-Thabari telah mengilhami dan menyemangati para mufasir
generasi berikutnya, seperti Ibnu Katsir yang banyak mengutip tafsir ini. Oleh karena itu,
kitab ini menjadi sumber yang tak terhindarkan bagi tafsir tradisional, yang tersusun dari
hadis-hadis yang diteruskan dari otoritas-otoritas awal. Meskipun ilmuan seperti
Muhammed Arkoun masih melihat bahwa tafsir besar yang ditulis al-Thabari belum
menjadi subyek studi ilmiah yang mementingkan posisinya dalam sejarah tafsir. Itulah
sebabnya tulisan berikut ini ingin menyajikan sosok al-Thabari dengan segala kelebihan
dan kekurangan melalui karya memumentalnya Jami‟ al-Bayan „an Takwil Ayy al-
Qur‟an dengan menilik aspek metodologis dan karakteristik dalam konstelasi penafsiran
al-Qur‟an. Sehingga upaya untuk mengenalkan lebih dekat terhadap tafsir al-Qur‟an.5

B. Riwayat Pendidikan Imam al-Thabari

Imam al-Thabari hidup, tumbuh, dan berkembang di lingkungan keluarga yang


memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan terutama di bidang
keagamaan, berbarengan dengan situasi Islam yang sedang mengalami kejayaan dan
kemajuan di bidang pemikirannya. Kondisi sosial yang demikian secara psikologis turut
berperan dalam membentuk kepribadian al-Thabari dalam menimbuhkan kecintaannya
terhadap ilmu. Iklim kondusif seperti itulah secara ilmiah telah mendorongnya untuk
mencintai ilmu semenjak kecil.

Karir pendidikan diawali dari kampung halamannya Amul tempat yang cukup
kondusif untuk membangun struktur fundamental awal pendidikan al-Thabari. Ia diasuh
oleh ayahnya sendiri, kemudian dikirim ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir, Siria dalam
rangka al-rihlah fi thalab al-ilm dalam usianya yang sangat belia. Di Rayy ia berguru
kepada ibn Humayd, Abu Abdullah Muhammad bin Humayd al-Razi. Selanjutnya ia
menuju ke Baghdad untuk berguru kepada Ibn Hanbal, ternyata sesampainya di Baghdad
Ibn Hanbal telah wafat, dan al-Thabari pun berputar haluan menuju dua kota besar selatan
Baghdad yakni Basrah dan Kufah, sambil mampir ke Wasit karena satu jalur perjalanan
dalam rangka studi dan riset. Di Basrah ia berguru kepada Muhammad bin Abd Ala al-
San‟ani (w 245 H/859 M), Muhammad bin Musa al-Harasi (w 253 H/ 867 M). Dalam
bidang fikih khususnya mazhab al-Syafi‟i, ia berguru pada al-Hasan Ibn Muhammad al-
Za‟farany. Khusus dalam bidang tafsir al-Thabari berguru pada seorang Basrah Humayd
bin Mas‟adah dan Basir bin Mu‟az al-Aqadi (w akhir 245 H/ 859-860 M), meski

5
Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014), cet-1, h. 19
3
sebelumnya pernah banyak menyerap pengetahuan tafsir dari seorang kufah yang
bernama Hannad bin al-Sari (w 243 H/ 857 M).6

Dari Irak ia menuju mesir, dalam perjalanannya ke sana ia singgah di Beirut untuk
memperdalam ilmu Qira‟at, kepada al-Abbas Ibn al-Walid al-Bairuni. Di mesir ia
bertemu dengan sejarawan kenamaan Ibn Ishaq dan atas jasanya al-Thabari mampu
menyusun karya sejarahnya yang terbesar “Tarikh al-Umam Wa al-Muluk‟. Di Mesir, ia
juga mempelajari Mazhab Maliki di samping menekuni Mazhab Syafi‟i (mazhab yang
dianutnya sebelum ia berdiri sendiri sebagai mujtahid) kepada murid langsung Imam
Syafi‟i yaitu al-Rabi al-Jizi. Selama di Mesir semua ilmuan datang menemuinya sambil
mengujinya, sehingga ia menjadi sangat terkenal di sana. Dari Mesir ia kembali ke negeri
asalnya Thabristan, tapi pada tahun 310 H (923 M) dengan usia sekitar 75 tahun ia
meninggal di Baghdad.7

Doktor Muhammad Az-Zuhaili berkata: berdasarkan berita yang dapat dipercaya,


sesungguhya semua waktu Abu Ja‟far al-Thabari telah dikhususkan untuk ilmu dan
mencarinya. Dia bersusah payah menempuh perjalanan jauh untuk mencari ilmu sampai
masa mudanya dihabiskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia tidak
tinggal menetap kecuali setelah usianya mencapai antara 30-40 tahun. Dalam masa ini,
Abu Ja‟far al-Thabari hanya memiliki sedikit harta karena semua hartanya dihabiskan
untuk menempuh perjalanan jauh dalam menimba ilmu, menyalin, dan membeli kitab.
Untuk bekal semua perjalanannya, pada awalnya Abu Ja‟far al-Thabari bertumpu pada
harta milik ayahnya. Tatkala Abu Ja‟far sudah kenyang menjalani hidup dalam perjalanan
mencari ilmu. Akhirnya dia pun tinggal menetap. Maka sisa usianya beliau manfaatkan
untuk menulis, berkarya, dan mempelajari kitab-kitab yang berjilid-jilid dan berlembar-
lembar serta untuk berkarya.8

Dalam rangka mencari ilmu, imam Al-Thabari tidak cukup hanya dengan usaha
yang keras dan sabar, akan tetapi ia dinilai sebagai sosok yang jujur, ikhlas, zuhud, wara‟,
dan amanah. Hal ini terlihat dari karya lainya yakni kitab Adab An-Nufus. Ia
meninggalkan gemerlap kehidupan dunia dan tidak mencari kenikmatan yang ada
padanya.

6
Asep Abdurrahman, Metodologi al-Thabari dalam Tafsir Jami‟ul al-Bayan fi Takwili al-Qur‟an,
Jurnal Kordinat, (Tenggerang: Universitas Muhammadiyah, 2018), vol, 17. No. 1, h. 70
7
Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur‟an Membangun, Tradisi Keslehan Hakiki, (Ciputat: PT Ciputat
Press, 2005), cet-IV, h. 97
8
Srifariyati, Jurnal Madaniyah, Manhaj Tafsir al-Bayan Karya Ibnu Jarir al-Thabari, (STIT: Pemalang,
2017), vol. 7, no. 2, h. 322
4
C. Karya-karya Imam al-Thabari

Tidaklah berlebihan apabila para sejarawan Timur dan Barat, muslim dan non-
Muslim mendeskripsikan al-Thabari sebagai sosok pecinta ilmu, tokoh agama guru yang
commited, yang waktunya dihabiskan untuk menulis dan mengajar, maka julukan yang
tepat baginya adalah seorang “ ilmuan ensiklopedik” yang hingga kini belum usang dan
jenuh dibicarakan di tengah-tengah belantara karya –karya tafsir, dengan demikian ia
telah meninggalkan warisan keislaman tak ternilai harganya yang senantiasa disambut
baik di setiap masa dan generasi.9

Popularitas al-Thabari semakin meluas ketika dua buah karyanya meluncur,


Tarikh al-Umum wa al-Muluk dan Jami‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an. Keduanya menjadi
rujukan penting bagi para sejarawan dan mufasir yang menaruh perhatian terhadap kedua
buku tersebut, disamping karya-karya penting lainnya yang berhasil ditulis. Secara tepat,
belum ditemukan data mengenai jumlah buku yang berhasil diproduksi dan
terpublikasikan, yang pasti dari catatan sejarah membuktikan bahwa karya-karya al-
Thabari meliputi banyak bidang keilmuan, ada sebagian sampai ke tangan kita. Sejumlah
karya berdasarkan klarifikasi subtansi materialnya, sebagai berikut:

1. Hukum

a. Adab al-Manasik.

b. Al-Adar fi al-Ushul.

c. Basit (belum sempurna di tulis).

d. Ikhtilaf.

e. Khafi.

f. Latif al-Qaul fi Ahkam Syara‟i al-Islam dan telah diringkas dengan judul al-Khafif
fi Ahkam Syar‟i al-Islam

g. Mujaz (belum sempurna ditulis).

h. Radd „ala Ibn „Abd al-Hakam.

2. Qur’an ( termasuk tafsir)

a. Fasl al-Bayan fi al-Qur‟an.

b. Jami‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an.

9
Ismatulloh, Konsepsi Ibnu Jarir al-Thabari tentang al-Qur‟an, Tafsir dan Takwil, Jurnal Fenomena (
STAIN SAMARINDA, 2012), vol-IV, no. 2, h. 206
5
c. Kitab al-Qira‟at.

3. Hadis

a. Ibarah al-Ru‟ya.

b. Tahzib ( belum sempurna ditulis).

c. Fada‟il ( belum sempurna ditulis).

d. al-Musnad al-Mujarrad.

4. Teologi

a. Dalalah.

b. Fad‟il Ali ibn Abi Thalib.

c. Radd „ala zi al-Asfar (sebelum 270 H) dan belum sempurna ditulis berupa risalah.

d. Ar-Radd ‟ala al-Harqusiyyah.

e. Sarih.

f. Tabsir atau al-Basir fi Ma‟alim al-Din (sekitar 290 H).10

5. Etika Keagamaan

a. Adab al-Nusfus al-Jayyidah wa al-Akhlaq al-Nafisah.

b. Fada‟il dan Mujaz.

c. Adab al-Tanzil, berupa risalah.

6. Sejarah

a. Zayl al-Muzayyil (setelah 300 H), mengenai riwayat para sahabat dan tabi‟in.

b. Tarikh al-Umam wa al-Muluk (294 H), kitab sejarah yang amat terkenal.

c. Tahzib al-Asar.

7. Sejumlah buku yang belum sempat dipublikasikan antara lain:

a. Ahkam Syara‟i al-Islam.

b. „Ibarat al-Ru‟ya.

c. Al-Qiyas (yang direncanakan pada akhir hayatnya).


10
Ibid, h. 207
6
Kitab tafsir karya al-Thabari, memiliki nama ganda yang dapat dijumpai di
berbagai perpustakaan: Pertama, Jami‟ al-Bayan ‟An Ta‟wil Ayy al-Qur‟an (Beirut: Dar
al-Fikr, 1995 dan 1998), kedua, Jami‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an ( Beirut: Dar al-Kutub
al-„Ilmiyyah, 1992), terdiri dari 30 juz/jilid besar. Al-Thabari mencoba mengelaborasi
tema takwil dan tafsir menjadi sebuah kontruksi pemahaman yang utuh dan holistik.
Baginya kedua istilah itu adalah mutaradif (sinonim). Keduanya merupakan peranan
penting untuk memahami kitab suci al-Qur‟an yang pada umumnya tidak cukup hanya
dianalisis melalui kosakatanya, tetapi memerlukan peran aktif logika dan aspek-aspek
penting lainnya, seperti munasabah ayat atau surat, Asbab al-Nuzul dan sebagainya.

Pada awalnya kitab ini pernah menghilang, tidak jelas keberadaannya, ternyata
tafsir ini dapat muncul kembali berupa manuskrip yang tersimpan di maktabah (koleksi
pustaka pribadi) seorang Amir (pejabat) Najet, Hammad ibnu Amir Abd al-Rasyid.
Goldziher berpandangan bahwa naskah tersebut dikemukakan lantaran terjadi
kebangkitan kembali percetakan pada awal abad 20-an. Menurut al-Subki bentuk tafsir
yang sekarang adalah khulasah (resume) dari kitab orisinalnya. 11

D. Kitab Tafsir al- Jami’ al-Bayan ‘an Takwil Ayy al-Qur’an

Tafsir al-Jami‟ al-Bayan „an Ta‟wil Ayy al-Qur‟an atau yang lebih populer
dengan sebutan “Tafsir al-Thabari” merupakan sebuah karya monumental yang sangat
spesifik, dan pantas saja menduduki posisi paling tinggi di antara karya-karya tafsir yang
ada sepanjang masa. Di antara unsur-unsur penting yang digunakan Imam al-Thabari
adalah, mempelajari tema kajian, dan di sini dia tertumpu pada pendapat-pendapat yang
ada dan dikuatkan dengan sanad-sanadnya dari ayat, hadis dan atsar pada setiap ayat al-
Qur‟an, sehingga bukunya dapat mencakup seluruh pendapat yang ada, dan hampir tidak
ada celah yang kosong. Dalam mukaddimah kitabnya telah dijelaskan bahwa dia
memohon pertolongan kepada Allah SWT agar menunjukinya pendapat yang benar dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an. Mengenai ayat yang muhkam dan mutasyabih, perkara
halal dan haram, umum dan khusus, global dan terperinci, nasikh dan mansukh, jelas dan
samar, dan yang hanya menerima pentakwilan dan penfsiran. 12 Secara umum, pendekatan
tafsir yang digunakan Imam al-Thabari ialah menggunakan pendekatan Tafsir Tahlili,
yakni suatu pendekatan tafsir dengan melakukan penafsiran sesuai dengan urutan mushaf
Utsmani.13

Beberapa keterangan menyebutkan bahwa latar belakang penulisan kitab tafsir al-
Jami‟ al-Bayan „an Takwil Ayy al-Qur‟an karena Imam al-Thabari sangat prihatin

11
Ahmad Baidowi, Studi Kitab Tafsir Klasik -Tengah, (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga TH Press), h.
29
12
Al-Thabari, op.cit., h. 41
13
Zenrif, Sintesis Paradigma Studi al-Qur‟an, ( UIN: Malang Press, 2008), cet-1, h. 56
7
menyaksikan kualitas pemahaman umat Islam terhadap al-Qur‟an. Mereka sekedar bisa
membacanya tanpa sanggup mengungkap makna yang hakiki. Karena itulah, Imam al-
Thabari berinisiatif menunjukkan berbagai kelebihan al-Qur‟an. Ia mengungkap beragam
makna al-Qur‟an dan kedahsyatan susunan susunan bahasanya seperti nahwu, balaghah
dan lain sebagainya. Bahkan jika dilihat dari judulnya, kitab ini merupakan kumpulan
keterangan (Jami‟ al-Bayan) yang cukup luas meliputi berbagai disiplin keilmuan seperti
Qira‟at, fiqh dan akidah.14

Kitab tafsir ini memuat tafsir al-Qur‟an secara keseluruhannya yaitu 30 juz yang
dikemas dalam 15 jilid (terbitan Dar al-Fikr Beirut 1984) dengan perincian jilid 1 (juz 1)
jilid 2 (juz 2) jilid 3 (juz 3-4) jilid 4 ( juz 5-6) jilid 5 (juz 7-8) jilid 6 (juz 9-10) jilid 7 (juz
11-12) jilid 8 (juz 13-14) jilid 9 ( juz 15- 16) jilid 10 (juz 17-18) jilid 11 (juz 19-21) jilid
12 (juz 22-24) jilid 13 (juz 25- 27) jilid 14 (juz 28-29) dan jilid 15 (juz 30). Kitab tafsir
yang disusun pada akhir abad III ini merupakan tuangan fikiran al-Thabari yang
didektekan kepada muridnya sejak tahun 283-290 H atau selama 7 tahun.15

Untuk melihat seberapa jauh karekteristik sebuah tafsir, maka paling tidak dapat
dilihat dari aspek-aspek yang berkaitan dengan bahasa, laun (corak) penafsiran, akurasi
dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis, kecenderungan
aliran (mazahab) yang diikuti dan objectivitas penafsirannya. Dari sisi linguistik (lughah),
Imam al-Thabari sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan
dengan bertumpu pada syair-syair Arab kuno dalam menjelaskan kosa kata, acuan
tehadap aliran-aliran ilmu gramatika bahasa (nahwu), dan penggunaan bahasa Arab yang
telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Sementara itu, ia sangat kental dengan
riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran, yang disandarkan pada pendapat dan
pandangan para sahabat.16

Tafsir al-Thabari dikenal sebagai tafsir bi al-ma‟tsur yang mendasarkan


penafsirannya pada riwayat-riwayat otoritas-otoritas awal. Tetapi ia biasanya tidak
memeriksa rantai periwayatannya, meskipun kerap memberikan kritik sanad dalam
melakukan ta‟dil dan tajrih tentang hadis-hadis itu sendiri tanpa memberikan paksaan
apapun kepada pembaca. Untuk menunjukkan kepakarannya di bidang sejarah, maka
ayat-ayat yang ia jelaskan berkenaan dengan aspek historis ia jelaskan secara panjang
lebar, dengan dukungan cerita-cerita pra-Islam (Isra‟illiyat). Al-Thabari mengambil
riwayat-riwayat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah Muslim, seperti: Ka‟ab
al-Akhbar Wahab Ibnu Munabbih, Abdullah Ibn Salam dan Ibnu Juraij, dengan persepsi
14
Amruddin, Mengungkap Tafsir Jami‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an karya al-Thabari, Jurnal
Syahadah, ( Riau: UIN Indragiri Tembilahan, 2014), vol. II, no. II, h. 11
15
Amruddin, Mengungkap Tafsir Jami‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an karya al-Thabari, Jurnal
Syahadah, ( Riau: UIN Indragiri Tembilahan, 2014), vol. II, no. II, h. 11
16
Ahmad Baidowi, op. cit., h. 29
8
yang kuat bahwa riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh masyarakat Arab dan tidak
menimbulkan kerugian dan bahaya bagi agama. Dengan pendekatan sejarah yang ia
gunakan, tampak kecenderungannya yang independem. Ada dua pernyataan mendasar
tentang konsep sejarah yang dilontarkan al-Thabari. Pertama, menekankan esensi
ketauhidan dari misi kenabian, kedua, pentingnya pengalaman-pengalaman dan umat dan
konsistensi pengalaman sepanjang zaman. 17

Adapun langkah metodologis tafsir al-Thabari secara umum adalah sebagai


berikut:

1. Menempuh jalan tafsir atau takwil.


2. Melakukan penafsiran ayat dengan ayat (munasabah) sebagai aplikasi
norma tematis al-Qur‟an yufassiru ba‟duhu ba‟d‟.
3. Menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Sunnah atau al-Hadis (bi al-Ma‟tsur).
4. Bersandar pada analisis bahasa (lughah) bagi kata yang riwayatnya
diperselisihkan.
5. Mengeksplorasi sya‟ir dan menggali prosa Arab (lama) ketika menjelaskan
makna kosa kata dan kalimat.
6. Memperhatikan aspek i‟rab dengan proses pemikiran analogis untuk ditashih
dan tarjih.
7. Pemaparan ragam qira‟at dalam rangka mengungkap makna ayat.
8. Membeberkan perdebatan di bidang fiqh dan teori hukum Islam (ushul al-
fiqh) untuk kepentingan analisis dan istinbat hukum.
9. Mencermati kolerasi (munasabah) ayat sebelum dan sesudahnya, meski dalam
kadar yang relatif kecil.
10. Melakukan sinkronisasi antar makna ayat untuk memperoleh kejelasan dalam
rangka untuk menangkap makna secara utuh.
11. Melakukan kompromi (al-Jam‟u) antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh
tidak kontradiktif (ta‟arud) dari berbagai aspek termasuk kesepadanan
kualitas sanad.18

Imam al-Thabari dalam tafsirnya memadukan antara riwayat dan bahasa.


Mengingat bahwa tafsir al-Thabari merujuk kepada al-Qur‟an dan hadis maka dapat
dipastikan bahwa tafsir yang bercorak bi al-ma‟tsur ini memiliki keistimewaan
dibandingkan corak penafsiran lainnya. Adapun diantara keistimewaannya adalah:19

17
Al- Thabari, op.cit., h. 31-32
18
Ibid, h. 33
19
Maya Sari, “Tinjaun Hukum Islam terhadap Pengabaian Kewajiban oleh Istri karena Nusyuz Suami (
Studi terhadap Penafsiran Imam al-Thabri Terhadap Ayat 128 Surat al-Nisa‟)”, Skripsi, (Banda Aceh: UIN Ar-
Raniri Darussalam, 2017), h. 58
9
a. Tafsir bi al-riwayah, oleh kebanyakan bahkan seluruh mufassir dinyatakan sebagai
tafsir yang paling berkualitas dan paling tinggi kedudukannya;20

b. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur‟an. Misalnya


memaparkan kesimpulan-kesimpulan tentang hukum dan menerangkan bentuk-
bentuk i‟rab (kedudukan kata-kata dalam rangkaian kalimat) yang menambah
kejelasan makna;

c. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya dan


mengikat mufassir dalam bingkai-bingkai teks-teks ayat, sehingga membatasi
agar tidak terjerumus dalam subjektivitas berlebihan. Seperti mengetengahkan
penafsiran para sahabat Nabi dan kaum Tabi‟in selalu disertai dengan isnad
(sumber-sumber riwayatnya) dan diperbandingkan untuk memperoleh penafsiran
yang paling kuat dan tepat.21

Tafsir bi al-ma‟tsur memang memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan


diunggulkan posisinya, akan tetapi tidak menutup kemungkinan kitab-kitab tafsir bi
al-ma‟tsur juga terdapat kelemahan. Sekurang kurangnya menyangkut hal-hal tertentu
terutama ketika dihubungkan dengan tafsir al-Qur‟an yang diwarisi dari sahabat dan
tabi‟in. Di antara kelemahannya yaitu:

a. Mencampuradukkan antara riwayat yang shahih, seperti dapat dikenali dari


berbagai informasi yang sering dinisbahkan (dihubungkan) kepada sahabat dan
tabi‟in tanpa memiliki rangkaian sanad yang valid hingga membuka peluang bagi
kemungkinan bercampur antara yang hak dengan yang batil;22

b. Dalam buku-buku tafsir bi al-ma‟tsur sering dijumpai kisah-kisah Israilliyat


yang penuh dengan khurafat, tahayul, dan bid‟ah yang sering kali menodai akidah
Islamiyah yang sangat steril dari hal-hal semacam itu;.

c. Sebagian pengikut mazhab tertentu sering kali mengklaim (mencatat) pendapat


mufassir-mufassir tertentu, misalnya tafsir Ibnu Abbas untuk menjustifikasi
penafsirannya tanpa membuktikan kebenaran sesungguhnya;

d. Sebagian orang kafir zindiq yang memusuhi Islam seringkali menyisipkan


(kepercayaannya) melaui sahabat dan tabi‟in sebagaimana halnya mereka juga
berusaha menyisipkannya melalui Rasulullah Saw di dalam hadis Nabawiyah.
Mereka sengaja melakukan itu untuk menghancurkan Islam dari dalam.

20
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), cet-1, h. 345
21
Maya Sari, op.cit, h. 59
22
Muhammad Amin Suma, op.cit, h. 345
10
E. Penafsiran al-Thabari terkait kepemimpinan perempuan dalam surat an-Naml
ayat 23-24
Untuk mengetahui penafsiran al-Thabari terkait kepemimpinan perempuan
dalam surah an-Naml ayat 23-24 maka penulis memuat teks ayat dan terjemahan
dibawah ini:

                         

                             

             


Ayat 23-24 :
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan Disa
dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar, Aku mendapati Dia
dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka
memandang indah perbuatanperbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan
(Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk .

Allah Swt berfirman menceritakan ucapan hud-hud kepada Sulaiman untuk


memberitahukan alasan ketidakhadiranya, ‫إوي وجدت إمراة‬ “sesungguhnya aku menjumpai
seorang wanita yang memerintah mereka”. Maksudnya adalah pemimpin saba‟. Kabar ini
menjadi alasan dan hujjah bagi hud-hud di hadapan sulaiman yang menyebabkanya lepas
dari ancaman yang tadinya dijanjikan sulaiman; karena sulaiman tadinya tidak melihat ada
seorang pun yang memiliki kerajaan di muka bumi bersama dirinya. Kendati demikian,
beliau adalah orang yang menyukai jihad dan perang. Manakala hud-hud menunjukkan
kepadanya sebuah kerajaan lain di suatu tempat di muka bumi, dan mereka adalah kaum
kafir yang menyembah selain Allah, dan baginya pahala dan ganjaran yang besar di akhirat
jika ia berjihad melawan mereka dan menggabungkan kerajaan lain ke dalam kerajaanya,
maka hud-hud berhak mendapatkan kemamfaatan dan benarlah alasanya tidak hadir di
hadapan sulaiman.
Firman-Nya, ‫“ وأتيت مه كل شيء‬Dan dia dianugerah segala sesuatu” maksudnya adalah,
dan dia (ratu saba) memiliki segala seuatu yang dimiliki raja dalam kehidupan dunia,
temasuk perlengkapan dan peralatan perang. 23

23
Al- Thabari, Jami‟ al-Bayan „an Takwil Ayy al-Qur‟an, ter. Ahmad Abdurrazak al Bakri, (Jakarta:
Pustaka Azam, 2007), Jilid 19, h. 818-821
11
Firmanya, ‫“ ولها عرش عظيم‬serta mempunyai singgasana yang besar” ,maksudnya
adalah, dan ia mempunyai kursi yang besar. Makna ‫ عظيم‬disini adalah besar nilainya dan
besar gunanya, bukan besar ukiranya.
Al- Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata: Al-Husain menceritakan kepada
kami, ia berkata: Hajjaj menceritakan kepadaku dari Ibn Jurair, dari Atha al-Khurasani,
dari Ibn Abbas, tentang Firman Allah, “serta mempunyai singgasana yang besar”, ia

berkata “maksudnya adalah singgasana yang mulia, bagus buatanya. Singgasananya terbuat

dari emas dan tiang-tiangnya dari permata serta intan.


Firmanya,‫“ وحد تها وقىمها يسحد للشمس مه دون هللا‬aku mendapati dia dan kaumnya
menyembah matahari, selain Allah, maksudnya adalah, aku mendapati wanita ini, yaitu
ratu saba‟ dan kaumnya, yaitu kaum saba‟ sujud kepada matahari.
Firmanya ‫“ وزيه لهم الشيطه أعملهم‬Dan syetan telah menjadikan mereka memandang
indah perbuatan-perbuatan mereka”, maksudnya adalah, dan iblis membuat mereka
menganggap bagus penyembahan mereka kepada matahari dari selain Allah, serta
menganjurkan menganjurkan mereka melakukan hal itu.
Firmanya, ‫ “فصدهم عه سبيل‬lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), maksdunya
adalah, maka mereka ketika syetan telah 49 menganjurkan mereka untuk sujud kepada
matahari dari selain Allah dan kafir kepadanya tidak mendapat petunjuk kepada jalan yang
benar dan tidak bisa menempuhnya. Akan tetapi mereka ragu dalam kesesatan.
Seperti yang terdapat dalam tafsir Ibn Katsir bahwa, burung Hud-hud menjumpai
seorang wanita yang berasal dari keluarga kerajaan dan meiniliki 312 peinimpin dewan
musyawarah. Di mana setiap satu orang peinimpin meiniliki anggota 10.000 orang.
Kerajaan ini berada di daerah yang dikenal dengan dengan Ma‟rib yang berjarak 3 inil dari
kota Shan‟a. Dia (ratu Balqis) dianugerahi singgasana yang amatlah besar, agung, serta
dihiasi emas dan berbagai macam mutiara berlian. Ilmuan sejara mengatakan; “singgasana
ini berada ini berada di istana yang besar, berkilau serta tinggi menjulang. Di dalamnya
terdapat 360 jendela di arah timur dan barat. Bangunan tersebut dibuat sedemikian rupaya
supaya matahari dapat masuk setiap hari dari jendela dan terbenam dari bagian jendela
yang lain, di mana mereka sujud kepadanya diwaktu pagi dan petang.24
Deimikianlah ayat 23-24 ini menjelaskan bagaimana gambaran atau keadaan yang ada
pada kerajaan Saba‟ yang dipimpin oleh Ratu yang bemama Balqis. Seperti yang terdapat

24
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir......h. 211
12
dalam tafsir al-Maraghi, bahwa pembicaraan hud-hud tersebut dapat disimpulkan sebagai
berikut: Mereka dipimpin oleh seorang ratu benama Balqis binti Syurahail.Sebelumnya,
bapaknya juga seorang raja yang agung yang memiliki kerajaan yang luas.

13
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan :

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas maka dapat


disimpulkan sebagai berikut :

1. Penafsiran al-Thabari dalam Tafsir al-Jami‟ al-Bayan „an Takwil Ayy al-Qur‟an
Kajian surah an-Naml ayat 23-24 dapat ditarik kesimpulan bahwa surah ini
berbicara tentang Kepemimpinan seorang perempuan yang bernama Ratu Balqis
di Negeri Saba‟ , sosok pemimpin wanita yang cinta damai dan tidak menyukai
kekerasan. Hal ini dapa di lihat ketika sang ratu mengambil sebuah tindakan atau
keputusan terhadap permasalahan yang dialami negeri nya, dia tidak terburu-buru
terhadap keputusannya, dia memilih dengan secara demokrasi dan diplomatis
dengan pola komunikasi yang tawadhu‟.
2. Kriteria Kepemimpinan perempuan dalam tafsir al-Thabari yaitu kepemimpinan
Ratu Balqis hampir tidak memiliki cacat cela dan kelemahan sama sekali
walaupun ia adalah seorang wanita. Hal itu dapat dilihat dari kepemimpinanya
yaitu: Bijaksana dan Demoratis, Mengutamakan Kesejahteraan dan ketentrman
Rakyat.

14
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Al- Thabari, al- Jami‟ al- Bayan „an Ta‟wil Ayy al- Qur‟an, ter. Ahmad Zenrif, Sintesis
Paradigma Studi al-Qur‟an, UIN: Malang Press, 2008, cet-1
Al- Qattan, Manna‟ Khalil Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
2013, cet-16.
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), cet-1
Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014), cet-1
Al- Munawar, Said Aqil Husain, al-Qur‟an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
Ciputat: PT Ciputat Press, 2005.
Baidowi, Ahmad, Studi kitab Tafsir Klasik- Tengah, Jokyakarta: UIN Sunan Kalijaga TH
Press
Zenrif, Sintesis Paradigma Studi al-Qur‟an, ( UIN: Malang Press, 2008), cet-1

B. Jurnal/ Artikel
Amaruddin, “Mengungkap Tafsir Jami‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an karya al-Thabari”,
Jurnal Syahadah, Riau: UIN Indragiri Tembilahan, 2014, Vol. II, no. II
Abdurrahman, Asep “Metodologi al- Thabari dalam Tafsir jami‟ ul al-Bayan fi Takwil al-
Qur‟an, Jurnal Kordinat, Tenggerang: Universitas Muhammadiyah, 2018, vol, 17.
No.1
Irawan, Dedi Permana “Eksitensi Ahlul Bait dalam Kitab Tafsir Jami‟ al-Bayan fi Tafsir
al- Qur‟an karya Imam Ibn Jarir al- Thabari (Studi Kritis Surat al- Ahzab ayat 33)”,
skripsi, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2001
Ismatulloh, “Konsepsi Ibnu Jarir al-Thabari tentang al-Qur‟an, Tafsir dan Ta‟wil, Jurnal
Fenomena, STAIN SAMARINDA, 2012, Vol- IV, no.2.
Sari, Maya “Tinjauan Hukum Islam terhadap Pengabaian kewajiban oleh Istri karena
Nuzyuz Suami (Studi terhadap Penafsiran Imam al-Thabari Terhadap Ayat 128
Surat al-Nisa‟), Skripsi, Banda Aceh: UIN Ar-Raniri Darussalam, 2017
Srifariyati, Jurnal Madaniyah, “Manhaj Tafsir al-Bayan Karya Ibnu Jarir al-Thabari‟
STIT: Pemalang, 2017,Vol.7,no.2

15

Anda mungkin juga menyukai