Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

SYURUTH AL- MUFASSIRIN

Tentang

LAFAZ “KANA” DAN “KADA”

Disusun Oleh :

AZEN PRANANDI : 2120080006


YOSI RANI SAPUTRI : 2120080033

WELA MARYANI : 2120080036

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Rusydi AM, Lc, M.Ag
Dr. Zulbadri, M.Ag

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1443 H/ 2021 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an merupakan pedoman pertama dan utama bagi umat Islam. alQur‟an
diturunkan dalam bahasa Arab, namun yang menjadi masalah dan pangkal perbedaan
adalah kapasitas manusia yang sangat terbatas dalam memahami alQur‟an. Karena
pada kenyataannya tidak semua yang pandai bahasa Arab, sekalipun orang Arab
sendiri,mampu memahami dan menangkap pesan Ilahi yang terkandung di dalam al-
Qur‟an secara sempurna. Terlebih orang ajam (non-Arab). Bahkan sebagian para
sahabat nabi, dan tabi‟in yang tergolong lebih dekat kepada masa nabi, masih ada
yang keliru menangkap pesan al-Qur‟an. Kesulitan-kesulitan itu menyadarkan para
sahabat dan ulama generasi berikutnya akan kelangsungan dalam memahami al-
Qur‟an.
Secara teknis, upaya dalam memahami al-Qur‟an dikenal dengan istilah tafsir.
Sekalipun demikian, aktivitas menafsirkan al-Qur‟an bukanlah pekerjaan gampang,
mengingat kompleksitas persoalan yang dikandungnya serta kerumitan yang
digunakannya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan bahwa redaksi ayat-ayat al-
Qur‟an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau
maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Meskipun begitu, upaya
penafsiran al-Qur‟an tetap dilakukan karena, di samping memang dirasakan urgen
setiap saat dan juga ada kaidah-kaidah yang perlu dijelaskan lebih lanjut .
Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan poin-poin penting yang
berkaitan dengan lafadz “kana” dan lafadz “kada” yang harus dikuasai oleh sang
penafsir dalam memhami isi kandungan al-Qur‟an.

B. Rumusan Masalah

Adapun Rumusan masalah yang akan penulis sajikan dalam makalah ini
adalah “Penjelasan lafaz “kana” dan lafaz “kada”...?

1
BAB II
LAFAZ “KANA” DAN “KADA”
1. Lafaz Kana
Seringkali lafaz kana dalam al-Qur‟an digunakan berkenaan dengan dzat Allah
dan sifat-sifatNya. Para ahli nahwu dan yang lain berbeda pendapat tentang lafaz
tersebut, apakah ia menunjukkan arti inqita‟ (terputus), penjelasanya sebagai berikut:1
Pertama, “kana” menunjukkan arti “inqita‟‟ sebab ia adalah fi‟il atau kata kerja yang
memberika arti tajaddud, temporal.
Kedua, “kana” tidak menunjukkan arti inqita‟ melainkan arti dawam (kekal, abadi). Ini
pendapat yang dipilih Ibn Mu‟ti yang mengatakan dalam al- fiyahnya : “wakana lil
madhil ladzi man qatha‟a ( “kana” menunjukkan peristiwa masa lampau yang tidak
terputus).
Mengenai firman Allah :

  
      
 
  
  
    
 
  
  
  
      
  
  
  
 

Artinya :
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan
syaitan itu adalah sangat ingkar kepada tuhanya (al-Isra‟: 27).
Ar- Ragib menyatakan, lafaz “kana” disini menunjukkan bahwa setan sejak
diciptakan senantiasa tetap berada dalam kekafiran.
Ketiga „kana” adalah suatu kata yang menunjukkan adanya sesuatu pada masa lampau
secara samar-samar, yang didalamnya tidak ada petunjuk mengenai ketiadaan yang
mendahuluinya atau keterputusannya yang datang kemudian.
Misalnya firman Allah :

      
  
   
 
 
  
    
   
    
     
   
 
  
       
 
  

            

 

1
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta; Pustaka Al Kautsar, 2015),
hal. 257.

2
Artinya :
kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu ebih baik bagi mereka, di antara mereka
ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Pendapat ini dikemukakan oleh az Zamakhsyari ketika menafsirkan firman-
Nya „kuntum khaira ummatin ukhrijat linnasi” (Ali Imran : 110) dalam al Kasysyaf.
Ibn „Atiyah menyebutkan dalam tafsir surah Fatihah, apabila “kana”
digunakan berkenaan dengan sifat-sifat Allah, maka ia tidak mengandung unsur
waktu.
Abu Bakar ar Razi telah mengkaji dengan seksama penggunaan „kana‟ dalam
al-Qur‟an yang menyimpulkan makna-makna yang terkandung dalam penggunaannya
itu. Ia menjelaskan didalam al-Qur‟an terdapat lima macam „kana‟ sebagai berikut :2
1. Dengan makna azali dan abadi, misalnya firman Allah “wakanallahu „aliman
hakiman” (an Nisa‟; 170).
2. Dengan makna terputus (terhenti) misalnya firman Allah “Wa kana fil
madinati tis‟atu rath” (an-Naml: 48). Inilah makna yang asli diantara makna-makna
„kana‟ , hal itu sebagaimana perkataan “kana zaidun shalihan aw faqiran aw
maridhan aw nahwahu” ( adalah si Zaid itu seorang saleh, seorang fakir, seorang yang
sakit, atau lainnya).
3. Dengan makna masa sekarang, seperti dalam ayat : “kuntum khaira ummatin”
(Ali Imran: 110) dan “innash shalata kanat „alal mu‟minina kitaban mauqutan” (an-
Nisa‟: 103).
4. dengan makna masa akan datang, seperti dalam ayat “wayakhafuna yauman
kana syarruhu mustathiran” (ad Dhar: 7)
5. dengan makna sara (menjadi), seperti dalam ayat “wakana minal kafirin” (al
Baqarah: 34).
„Kana‟ jika terdapat dalam kalimat negatif, maka maksudnya adalah untuk
membantah atau menafikkan kebenaran berita, bukan menafikkan terjadinya berita itu
sendiri. Oleh karenanya ia ditafsirkan dengan “ma sahha wamas taqam” ( tidak sah
dan tidak benar), seperti dalam surah al Anfal : 67 :

2
Ibid., hal 259.

3
             

        

Artinya :
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda
duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

2. Lafaz Kada
Para ulama mempunyai beberapa pendapat tentang lafaz „kada‟ :3
1. „Kada‟ sama dengan fi‟il lainnya baik dalam hal nafi‟ (negatif, meniadakan)
maupun dalam hal isbat (positif , menetapkan). Positifnya ialah positif dan negatifnya
ialah negatif, sebab maknanya ialah muqarabah (hampir, nyaris). Jadi makna kalimat
„kada yaf‟alu‟ adalah qarabal fi‟la ( ia menghampiri pekerjaan itu, hampir
mengerjakan) dan makna kalimat “ma kada yaf „alu” adalah “lam yuqa ribhu” ( ia
tidak menghampiri pekerjaan itu, hampir tidak mengerjakannya). Predikat (khabar)
“kada” selalu negatif, tetapi dalam kalimat positif kenegatifannya itu dipahami dari
makna “kada” itu sendiri. Sebab berita tentang “hampirnya sesuatu” menurut
kebiasannya, berarti sesuatu tersebut tidak terjadi. Jika tidak demikian tentu tidak
akan diberitakan “kehampirannya”. Apabila “kada” itu dinegatifkan maka ketidak
hampiran berbuat menghendaki, secara akal, bahwa perbuatan itu tidak terjadi. Hal
sebagaimana ditunjukkan oleh ayat “ldza akhraja yadahu lam yakad yaraha” (An
Nur: 40). Karena itu ayat ini lebih intens dari kalimat “lam yaraha” (ia tidak
melihatnya), s ebab orang yang tidak melihat mungkin ia telah hampir melihatnya.
2. “Kada” berbeda dengan fi‟il-fi‟il lainnya baik dalam hal positif maupun negatif.
Positifnya adalah negatif, dan negatifnya adalah positif. Atas dasar ini mereka berkata
“kada” jika dipositifkan maka sebenarnya menunjukkan negatif, dan jika dinegatifkan
maka sebenarnya menunjukkan positif. Jika dikatakan ” kada yaf‟alu” maka artinya
„ia tidak melakukan‟ berdasarkan firman Allah “wa inkadu layaftinunaka” (dan

3
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Ilmu-ilmu Al-Qur‟an. PT. Pustaka Rizki Putra,
Semarang. 2002

4
sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu) dalam al Isra : 73, sebab pada

kenyataannya mereka tidak memalingkan Muhammad. Dan jika dikatakan “lam yakad
yaf‟al” maka artinya “ia melakukan”, berdasarkan ayat : „fadza bakhuha wama kadu
yaf‟alun‟ (kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melakukannya. Al Baqarah : 71.
3. “Kada” yang dinegatifkan kadang menunjukkan terjadinya sesuatu dengan susah
payah dan sulit, seperti dalam surah al Baqarah : 71 diatas.
4. dibedakan antara yang berbentuk mudari‟, “yakadu” dengan yang berbentuk
madi, “kada” menegatifkan bentuk mudari‟ menunjukkan arti negatif, namun
menegatifkan yang berbentuk madi menunjukkan arti positif. Yang pertama dapat
dilihat dalam ayat “lam yakad yaraha” mengingat ia tidak melihatnya sedikitpun.
Sedang yang kedua didasarkan pada ayat “ fadzabakhuha wama kadu yaf‟alun” hal
ini karena mereka melakukan penyembelihan tersebut.
5. Kada, yang dinegatifkan adalah untuk menunjukkan arti positif jika lafaz yang
sesudahnya berhubungan dan berkaitan dengan lafaz yang sebelumnya. Misalnya
perkataan ‫( ما كدت أصل إلى مكة حتى طفث بالبيث‬hampir aku tidak sampai di makkah
sampai aku tawaf di baitul haram). Termasuk di antaranya adalah al-baqarah :71di
atas.

5
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :

Adapun pokok inti bahasan yang dapat penulis simpulkan berdasarkan poin-
poin sebagai berikut : Pertama, kana” adalah suatu kata yang menunjukkan adanya
sesuatu pada masa lampau secara samar-samar, yang didalamnya tidak ada petunjuk
mengenai ketiadaan yang mendahuluinya atau keterputusannya yang datang kemudian.
Kedua, didalam al-Qur‟an terdapat lima macam „kana‟ yaitu; Dengan makna azali dan
abadi, Dengan makna terputus (terhenti), Dengan makna masa sekarang, dengan makna
masa akan datang, dengan makna sara (menjadi). Ketiga, lafaz “kada” bermakna
positif dan negatif, makna positifnya ialah “sesuatu” menurut kebiasannya, berarti
sesuatu tersebut tidak terjadi. Namun jika dinegatifkan adalah untuk menunjukkan arti
positif jika lafaz yang sesudahnya berhubungan dan berkaitan dengan lafaz
yang sebelumnya. Misalnya perkataan ‫( ما كدت أصل إلى مكة حتى طفث بالبيث‬hampir aku
tidak sampai di makkah sampai aku tawaf di baitul haram). Termasuk di antaranya
adalah al-baqarah :71di atas.

6
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an. Jakarta; Pustaka


Al Kautsar, 2015.

Ash Siddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu-ilmu Al-Qur‟an. Semarang: PT


Pustaka Rizki Putra. 2000.

Anda mungkin juga menyukai