Anda di halaman 1dari 10

Nama : Syawaludin

NIM : 11811020

Kelas/semester : A/III (tiga)

Mata Kuliah : Sejarah Pendidikan Islam

Dosen pengampu : Kartini, S.Ag., M.Ag.

UTS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

IBNU JARIR AL-THABARI

1. Biografi Ibnu Jarir al-Thabari


Nama lengkap adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin
Katsir bin Khalid al-Thabari, ada pula yang mengatakan Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Thabari. Ia dilahirkan
di Amil, ibu kota Tabaristan 224 H/838 M (ada juga yang menyatakan tahun
225H/839 M). Beliau merupakan salah seorang ilmuan yang sangat
mengagumkan dalam kemampuannya mencapai tingkat tertinggi dalam
berbagai disiplin ilmu, antara lain fiqh (hukum islam) sehingga pendapat-
pendapatnya yang terhimpun dinamai Mazhab al-Jaririyah.
Ayah al-Thabari, Jarir Ibn Yazid adalah seorang ulama, dan dialah
yang turut membentuk at-Thabari menjadi seorang yang menggeluti di bidang
agama. Ayahnya pula lah yang memperkenalkan dunia ilmiah kepada al-
Thabari dengan membawanya belajar pada guru-guru di daerahnya sendiri,
mulai belajar al-Qur’an hingga ilmu-ilmu agama lainnya.
Hidup dilingkungan yang mendukung penuh karir intelektual al-
Thabari, tidak heran jika di waktu usia 7 tahun sudah hafal Al-Qur’an. Hal
tersebut pernah diungkapkan oleh al-Thabari : “aku telah menghafal Al-
Qur’an ketika berusia tujuh tahun dan menjadi imam shalat ketika aku berusia
delapan tahun serta menulis hadis-hadis nabi pada usia sembilan tahun.
Abu Ja’far al-Thabari (sebutan Abu Ja’far) bukanlah penisbatan,
sebagaimana budaya Arab tatkala menyebut nama seorang ayah dengan Abu
Fulan. Abu Ja’far adalah panggilan kehormatan bagi al-Thabari karena
kebesaran dan kemuliaannya. Al-Thabari mulia menuntut ilmu ketika ia
berumur 12 tahun, yaitu pada tahun 236 hijriah di tempat kelahirannya.
Setelah al-Thabari menuntut ilmu pengetahuan dari para ulama-ulama
terkemuka di tempat kelahirannya, seperti kebiasaan ulama-ulama lain pada
waktu itu Ibnu Jarir dalam menuntut ilmu pengetahuan mengadakan
perjalanan kebeberapa daerah Islam.
Dalam bidang sejarah dan fiqh, al-Thabari berangkat menuju baghdad
untuk menemui Imam Ahmad bin Hambal, tetapi diketahui telah wafat
sebelum Ibnu Jarir sampai di negeri tersebut, untuk itu perjalanan dialihkan
menuju ke Kufah dan di negeri ini mendalami hadis dan ilmu-ilmu yang
berkenaan dengannya. Kecerdasan dan kekuatan hafalannya telah membuat
kagum ulama-ulama di negeri itu. Kemudian Thabari berangkat ke Baghdad
di sana mendalami ilmu-ilmu Al-Qur’an dan fiqh Imam Syafi’I pada ulama-
ulama terkemuka di negeri tersebut, selanjutnya berangkat ke Syam untuk
mengetahui aliran-aliran fiqh dan pemikiran-pemikiran yang ada disana.
Kota Baghdad menjadi domisili terakhir al-Thabari, sejumlah karya
telah berhasil ia keluarkan dan akhirnya wafat pada senin, 27 Syawwal 310 H
bertepatan dengan 17 Februari 923M. kematiannya disholati oleh masyarakat
siang dan malam hari hingga beberapa waktu setelah wafatnya. Ia wafat pada
usia 86 tahun, yaitu pada tahun 310 hijriah. Imam al-Thabari juga sangat
terkenal di Barat, biografinya pertama kali diterbitkan di Ladien pada tahun
1789-1910. Julius Welhousen menempatkan itu ketika membicarakan zaman
(660-750) dalam buku The Arab Kingdom and Fall.
Karir pendidikan diawali dari kampung halamannya di Amil tempat
yang sangat kondusif untuk membangun struktur fundamental awal
pendidikan al-Thabari. Kemdian al-Thabari dikirim ke Rayy, Basrah, Kufah,
Syiria dan Mesir dalam rangka “travelling in quest of knowledge” (ar-Rihlah
Talab A’jijm) dalam usia yang masih belia. Sehingga namanya bertambah
populer dikalangan masyarakat karena otoritas keilmuannya.
Di Ray, al-Thabari berguru kepada Ibnu Humaid, Abu Abdallah
Muhammad bin Humaid al-Razi, disamping ia juga menimba ilmu dari al-
Musanna bin Ibrahim al-Ibili, khusus dibidang hadis. Selanjutnya ia menuju
Baghdad berekpetasi untuk studi kepada Ahmad bin Hambal (164-241 H/
780-855 M), ternyata ia telah wafat, kemudian segera putar haluan menuju
dua kota besar selatan Baghdad, yakni Basrah dab Kufah, sambil mampir ke
Wasit karena satu jalur perjalanan dalam rangka studi dan riset. Di Basrah al-
Tabari berguru kepada Muhammad bin Abd al-A’la al-Shan’ani (w. 245 H/
859 M), Muhammad bin Musa al-Harasi (w. 248 H/ 862 M) dan Abu al-As’as
Ahmad bin Miqdam (w. 253 H/867 M), disamping kepada Abu al-Jawza’
Ahmad bin Usman (246 H/860 M). khusus bidang tafsir al-Thabari berguru
kepada seorang Basrah Humaid bin Mas’adah dan Bisr bin Mu’az al-‘Aqadi
(w. akhir 245 H/859-860 M), meski sebelumnya pernah banyak menyerap
pengetahuan tafsir dari seorang kufah Hannad bin Sari (w. 243 H/857 M).
2. Karya al-Thabari
Dalam dunia ilmu pengetahuan, al-Thabari terkenal tekun mendalami
bidang-bidang ilmu yang dimilikinya, juga gigih dalam menambah ilmu yang
dikuasainya. Di samping itu, al-Thabari mampu menuangkan ilmu-ilmu yang
dikuasainya ke dalam bentuk tulisan. Kemudian kitab-kitab karangannya
mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, hadis, fikih, tauhid, ushul
fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu kedokteran.
Akan tetapi, kitab-kitab al-Thabari tidak diperoleh informasi yang pasti
berapa banyakbuku yang pernah ditulisnya, karena karya-karya al-Thabari
tidak semuanya sampai ke tangan kita sekarang. Diperkirakan banyak
karyanya yang berkaitan dengan hukum lenyap bersamaan dengannya
Madzhab Jaririyah.
Lewat karya tulisannya yang cukup banyak dan sebagian besar dalam
bentuk kumpulan riwayat hadis dengan bahasa yang sangat indah. Al-Thabari
bukan saja terkenal seorang ilmuan yang agung melainkan juga sebagai orang
yang dikagumi berbagai pihak. Semua karya ilmiah al-Thabari yang
diwariskan kepada kita sebagian ditemukan dan sebagian lain belum
ditemukan. Dr. Abdullah bin Abd al-Muhsin al-Turkiy, dalam Muqaddimah
Tahqiq Tafsir al-Thabary menyebutkan 40 lebih karya Ibnu Jarir al-Thabari
diantaranya:
1) Bidang hukum: Adab al Manasik, al Adar fi al Ushul, Basith al Qaul fi
Ahkam Syara’I al Islam, Ikhtilaf, khafif, lathif al Qaul fi Ahkam Syara’I al
Islam (dan telah diringkas menjadi) Al Khaff Fi Ahkami Syara’I al Islam,
Radd ‘Ala Dzi al Afsar, Ikhtiyar min Aqawil Fuqaha.
2) Bidang Al-Qur’an dan Tafsir: Fashl Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, Jami’al
Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, kitab al Qira’at.
3) Bidang hadis: Fi ‘Ibarah al Ru’ya Fi al Hadits, Al Musnad al-Mujarad,
Musnad Ibn ‘Abbas, Syarih al-Sunnah.
4) Bidang teologi: Dalalah, Fadhail Ali ibn Abi Thalib, al Radd ‘Ala al
Harqussiyah, Syarih dan Tabsyir atau al Basyir Fi Ma’alim al Din.
5) Bidang etika keagamaan: Adab al-Nufus al Jayyidah wa al-Akhlaq Wa al-
Nafisah, Adab al-Tanzil.
6) Bidang sejarah: Dzayl al-Mudzayyil, Tarikh al-Umam Wa al Muluk dan
Tahdzib al Ashar.
3. Tafsir (Jami’ al-Bayan An Ta’wil Ayi al-Qur’an)
1) Sejarah penulisan
Kitab tafsir karya al-Thabari adalah Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
adalah nama yang lebih masyhur, sedangkan nama yang diberikan oleh al-
Thabari adalah Jami al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, di tulis pada
akhir kurun yang ketiga dan mulai mengajarkan kitab karangannya ini
kepada muridnya dari tahun 283 sampai tahun 290 hijriah.
Tafsir ini terdiri dari 30 juz yang masing-masing berjilid tebal dan
besar, kitab karya al-Thabari ini kemudian dicetak untuk pertama kalinya
ketika beliau berusia 60 tahun ( 284 H/889 M ). Dengan terbitnya tafsir al-
Thabari ini terbukalah khazanah ilmu tafsir.
Disebutkan bahwa tafsir Ibnu Jarir al-Thabari ini merupakan tafsir
yang pertama di antara sekian banyak kitab-kitab tafsir pada abad pertama,
juga sebagai tafsir pertama pada waktu itu karena merupakan kitab tafsir
yang pertama yang diketahui, sedangkan kitab-kitab tafsir lain yang
mungkin ada sebelumnya telah hilang ditelan zaman. Syekh al-Islam Taqi
ad-Din Ahmad bin Taimiyah pernah ditanya tentang tafsir yang manakah
yang lebih dekat dengan al-Qur’an dan as-Sunnah? Beliau menjawab
bahwa di antara semua tafsir yang ada pada kita, tafsir Muhammad bin
Jarir al-Thabari lah yang paling otentik.
2) Bentuk/corak Penafsiran
Tafsir al-Thabari ini dikenal sebagai tafsir bi al-ma’sur, yang mana
mendasarkan penafsirannya pada riwayat-riwayat bersumber dari Nabi
Muhammad saw, para sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabi’in. Ibnu Jarir
dalam tafsirnya telah mengkompromikan antara riwayat dan dirayat.
Dalam periwayatan ia biasanya tidak memeriksa rantau periwayatannya,
meskipun kerap memberikan kritik sanad dengan melakukan ta’dil dan
tarjih tentang hadis-hadis itu sendiri tanpa memberikan paksaan apapun
kepada pembaca. Sekalipun demikian, untuk menentukan makna yang
paling tepat terhadap sebuah lafadz, al-Thabari juga menggunakan ra’yu.
3) Metode
Adapun metode yang dipakai oleh al-Thabari untuk menyusun
tafsirnya adalah dengan tahili, secara runtut yang pertama-tama al-Thabari
lakukan adalah membeberkan makna-makna kata dalam terminologi
bahasa Arab disertai struktur linguistiknya, dan (I’rab) kalau diperlukan.
Pada saat tidak menemukan rujukan riwayat dari hadis, ia akan melakukan
pemaknaan terhadap kalimat dan ia kuatkan dengan untaian bait syair dan
prosa kuno yang berfungsi sebagai syawahid dan alat penyidik bagi
ketetapan pemahamannya.
Dengan langkah-langkah ini, proses tafsir (takwil) pun terjadi.
Berhadapan dengan ayat-ayat yang saling berhubungan (munasabah) mau
tidak mau al-Thabari harus menggunakan logika (mantiq). Metode
semacam ini termasuk dalam kategori Tafsir Tahili dengan orientasi
penafsiran bi al-ma’sur dan bi ar-ra’yi yang merupakan sebuah terobosan
baru dibidang tafsir atas tradisi penafsiran yang berjalan sebelumnya.
4. Model
Kitab tafsir karya al-Thabari ini memuat tafsir al-Qur’an secara
keseluruhannya yaitu 30 juz yang dikemas dalam 15 jilid (terbitan Dar al Fikr
Beirut 1984) dengan perincian jilid 1 (juz 1), jilid 2 (juz 2), jilid 3 (juz 3-4),
jilid 4 (juz 5-6), jilid 5 (juz 7-8), jilid 6 (juz 9-10), jilid 7 (juz 11-12), jilid 8
(juz 13-14), jilid 9 (juz 15-16), jilid 10 (juz 17-18), jilid 11 (juz 19-21), jilid
12 (juz 22-24), jilid 13 (juz 25-27), jilid 14 (juz 28-29) dan jilid 15 (juz 30).
Menurut Dr, A Hasan Asy’ari Ulama’I ada 5 rujukan (masdhar) al-
Thabari dalam menafsirkan ayat, antara lain: al-Qur’an itu sendiri (lihat
contoh 1) riwayat atau hadits baik yang marfu’, mauquf, maupun maqtu’ (lihat
contoh 2), ilmu lughlah (bahasa Arab) seperti ilmu nahwu, (lihat contoh 3),
syair-syair kuno (lihat contoh 4), dan ilmu qiro’at (lihat contoh 5).
a. Contoh 1 ( Tafsir al An’am: 82 yang ditafsiri QS. Luqman: 113, jilid 5, h.
253-259).
Dalam tafsir ayat ini dikemukakan beberapa makna dhulm yang
masing-masing didasaran pada riwayat yang pada akhirnya ditarjih al-
Thabari dengan merajihkan riwayat Ibn Mas’ud yang mengemukakan
makna tafsir dhulm tersebut ada pada kalimat Luqman inna asy sirka
ladhulmun’adhim.
b. Contoh 2 tentang Aborsi
Aborsi menurut pengertian medis adalah mengeluarkan hasil konsepsi
atau pembuahan, sebelum janin dapat hidup du luar tubuh ibunya. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa makna Aborsi adalah
pengguguran. Sedang menurut bahasa Arab disebut dengan al-Ijhadh
berasal dari kata “ajhadha – yajhidhu” yang berarti wanita yang
melahirkan anaknya secara paksa dalam keadaan belum sempurna
penciptaannya atau juga berarti bayi yang lahir karena dipaksa atau bayi
yang lahir dengan sendirinya. Aborsi di dalam istilah fikih juga sering
disebut dengan “isqhoth” (menggunakan) atau “ilqaa’ (melempar) atrau
“tharhu” (membuang) (al Misbahal Munir, hlm: 72)
Yang dimaksud dengan Aborsi dalam pembahasan ini adalah
menggugurkan secara paksa janin yang belum sempurna penciptaanya atas
permintaan atau kerelaan ibu yang mengandungnya.
Di dalam teks-teks al-Qur’an dan hadis tidak didapati secara khusus
hukum aborsi, tetapi yang ada adalah larangan untuk menumbuh jiwa
orang tanpa hak. Pandangan umum ajaran Islam tentang nyawa, janin dan
pembunuhan, yaitu sebagai berikut:
a) Manusia adalah ciptaan Allah yang mulia, tidak boleh dihinakan baik
dengan merubah ciptaan tersebut, maupun menguranginya dengan cara
memotong sebagian anggota tubuhnya, maupun dengan cara
memperjual belikannya, ataupun dengan cara menghilangkannya sama
sekali yaitu dengan membunuhnya, sebagaimana firman Allah SWT:
َ‫وﻟَ ْﻘﺪ َ ﱠﻛ ْﺮﻣﻨَﺎﺑَﻨِﻲ َآ َدم‬
“Dan sesungguhnya kami telah memuliakan umat manusia” (QS. Al-
Isra’ :70)
Al-Thabari memberikan penjelasan bahwa manusia dimuliakan
dengan diberikan kekuasaan dari pada makhluk yang lain, kehalalan
dan kelezatan makanan dan minuman. Manusia dapat mengambil
makanan dan minuman dengan tangannya dan memasukkannya ke
dalam mulutnya dan ini tidak mudah bagi makhluk selain manusia.
Pendapat ini disandarkan pada riwayat yang disampaikan oleh Qasim
dari Husain dan Hujjaj yang diterima dari Juraij. Al-Thabari juga
memperkuat pendapatnya dengan menyampaikan riwayat daru Husain
bin Yahya yang diterima dari Razak, Ma’mar dan Zaid bin Aslam
bahwa maksud َ‫ وﻟَ ْﻘﺪ َ ﱠﻛ ْﺮﻣﻨَﺎ ﺑَﻨِﻲ َآد‬adalah bahwa Allah telah memberikan
kepada anak Adam Dunia seisinya, yang dengannya ia bisa
memakannya dan menikmatinya.
b) Membunuh satu nyawa sama artinya dengan membunuh semua orang
dan menyelamatkan satu nyawa sama artinya dengan menyelamatkan
semua orang.
ِ‫ﺳﺮاﺋِﻴَﻞ َأﻧﱠﻪُ َ ْﻣﻦ ﻗَـﺘَﻞ ﻧَـْﻔًﺴﺎ ﺑِ َْﻐﻴِﺮ ﻧَـْﻔ ٍﺲ َْأو ﻓَﺴﺎٍد ﻓِﻲ ْا ْﻷَر ِض‬ َ ‫ْﻣﻦ َْأ ِﺟﻞ َذﻟِ َﻚ َﻛ ْﺘَﺒـﻨَﺎ َﻋﻠَﻰ ﺑَﻨِﻲ ِْإ‬
‫ﻓَﻜﺄَﻧﱠَﻤﺎ ﻗَـﺘَﻞ اﻟﻨﱠﺎَس َ ِﺟﻤﻴًﻌﺎ َ َو ْﻣﻦ َْأﺣﻴَﺎَﻫﺎ ﻓَﻜﺄَﻧَﱠﻤﺎ َْأﺣﻴَﺎ اﻟﻨﱠﺎَس َ ِﺟﻤﻴًﻌﺎ َوﻟَ ْﻘﺪ َﺟﺎ َء ْﺗـ ُ ْﻬﻢ ُ ُرﺳﻠ ُﻨَﺎ ﺑِﺎ ْﻟﺒَـﻴﱢـﻨَﺎ‬
ِ ْ ‫ِت ﺛُﱠﻢ ِإﱠن َﻛﺜِﻴًﺮا ِ ْﻣﻨـ ُ ْﻬﻢ ﺑَـْ َﻌﺪ َذﻟِ َﻚ ﻓِﻲ ْا ْﻷَر ِض ﻟَُﻤ‬
‫ﺴﺮﻓُ َﻮن‬
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, maka seakan-akan
dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang
memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah
dia telah memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya”. (QS.
Al-Maidah:32)
c) Dilarang membunuh anak (termasuk di dalamnya janin yang masih
dalam kandungan), hanya karena takut miskin. Sebagaimana firman
Allah SWT:
َ‫وﻻَ ﺗَـْﻘﺘُـﻠُﻮ ْا َْأوﻻَ ُد ْﻛﻢ َﺧ ْﺸﻴَﺔَ ِْإﻣ ٍﻼق ْﻧﱠ ُﺤﻦ ﻧَـْ ُﺮزﻗُـ ُ ْﻬﻢ َوِإﻳﱠﺎُﻛﻢ إﱠن ﻗَـْﺘـﻠَُ ْﻬﻢ َﻛﺎَن ِﺧ ْﻂ ًءا َﻛ ﺒِﻴًﺮا‬
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat.
Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa besar”. (QS. Al-
Isra’ :31)
Pada ayat ini, al-Thabari memberikan penjelasan bahwa
manusia dilarang untuk membunuh anak kecil karena takut hina dan
fakir. Sebagaimana riwayat-riwayat yang berkembang yang
menyatakan bahwa orang-orang Arab banyak yang membunuh anak-
anak perempuan mereka karena takut mendapatkan “cacat” dengan
keharusan memberikan nafqah kepada mereka. Kemudian Allah
memberikan nasehat atau menghilangkan kekhawatirannya dengan
menyatakan bahwa Allah lah yang akan memberikan rezeki kepadanya
dan kepada anak-anaknya.

Sumber:
https://www.academia.edu/12630711/JAMI_AL-BAYAN_FI_TAFSIR_AL-
QUR_AN_KARYA_IBN_JARIR_AT-THABARI

https://media.neliti.com/media/publications/195083-ID-manhaj-tafsir-jami-al-bayan-
karya-ibnu-j.pdf

http://digilib.uinsby.ac.id/12969/4/Bab%202.pdf

Anda mungkin juga menyukai