Anda di halaman 1dari 11

BAB III

TAFSIR AT-THABARI; CORAK TAFSIR DAN SETTING SOSIAL


MUHAMMAD IBNU JARIR AT-THABARI

Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh di masa Nabi Muhammad Saw dan beliaulah
mufassir pertama yang menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepada-
Nya. Sahabat-sahabat Rasul tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an ketika Rasul
masih hidup. Sesudah Rasul wafat, barulah para sahabat yang alim dan mengetahui
rahasia-rahasia Al-Qur’an serta telah mendapatkan petunjuk dari Rasul merasa perlu
menerangkan apa yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami
tentang maksud-maksud Al-Qur’an. Setelah itu tugas mentafsirkan Al-Qur’an
diteruskan ulama-ulama berikutnya.1

Sepeninggal para sahabat, para penafsir berikutnya membutuhkan ilmu-ilmu


bantu untuk memahami firman-firman Allah. Karena begitu terasa setelah ditinggal
para sahabat. Dengan berjalannya waktu, dan bermunculan berbagai masalah baru, baik
dalam kenyataan sosial maupun hanya terbatas dalam pikiran masyarakat tabiin,
bertambah banyak pula riwayat-riwayat yang penyampaiannya (para rawinya) sering
tidak mengandalkan ketelitian. Hal ini disebabkan oleh ingatan yang lemah, hal itu
mengakibatkan bercampur baurnya riwayat-riwayat yang shahih (benar) dengan yang
dhaif (lemah atau palsu).

Melihat kenyataan diatas para ulama melakukan seleksi-seleksi yang cukup ketat
antara lain dengan mempelajari biografi para perawi itu. Sehingga pada akhirnya
lahirlah ilmu al-jahr wa al-ta’dil, yaitu satu ilmu yang memberi penilaian positif atau
negative terhadap seorang perawi sehingga riwayatnya dapat terima atau ditolak. Abd
Al-Malik Ibn Juraij (wafat 149) tercatat sebagai ulama pertama atau utama dalam
menghimpun riwayat-riwayat tafsir disusul oleh Yahya Ibn Salim. Kemudian Al-
Thabari melanjutkan rintisan ulama-ulama sebelumya serta memperluas bidang Tafsir
Al-Ma’tsur.2

A. Biografi Ibn Jarir At-Thabari

1
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002)
2
Ibid, hlm. 94
Nama lengkap Ibn Jarir at-Thabari ini adalah Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn
Khalid At-Thabari, ada yang menyatakan Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir
Ibn Galib At-Thalib, ada juga yang menyebut Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Kasir
al-Muli at-Thabari yang bergelar Abu Ja’far At-Thabari lahir di Amul, sebuah wilayah
provinsi Tabaristan3 pada tahun 224 H/838 M (ada juga yang menyatakan tahun 225
H/839 M), kemudian ia hidup dan berdomisili di Baghdad hingga wafatnya, yaitu pada
tahun 310 H/923 M, pada hari Sabtu, kemudian dimakamkan pada hari Ahad di
rumahnya pada hari keempat akhir Syawal 310 H.4

At-Thabari hidup pada masa Islam berada dalam kemajuan dan kesuksesan dalam
bidang pemikiran. Iklim seperti ini secara ilmiah mendorongnya mencintai ilmu
semenjak kecil. At-Thabari juga hidup dan berkembang dilingkungan keluarga yang
memberikan perhatian besar terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan.
Mengkaji dan menghafal Al-Qur’an merupakan tradisi yang selalu ditanamkan dengan
subur pada anak keturunan mereka termasuk at-Thabari. Dedikasinya yang tinggi
terhadap ilmu pengetahuan sudah terlihat semenjak ia masih kanak-kanak. Salah satu
prestasinya adalah ia telah menghafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun. Hal itu tentu
saja sesuatu hal yang sangat fenomenal, mengingat Imam Syafi’i menghafal Al-Qur’an
pada usia 9 tahun dan Ibnu Sina sekitar 10 tahun.5

Jarir Ibn Yazid adalah seorang ulama, dan dialah yang turut membentuk At-
Thabari menjadi seorang yang menggeluti di bidang agama. Ayahnya pula lah yang
memperkenalkan dunia ilmiah kepada At-Thabari dengan membawanya belajar pada
guru-guru di daerahnya sendiri, mulai dari belajar al-Qur’an hingga ilmu-ilmu agama
lainnya. Dengan ketekunan dalam belajar at-Thabari hafal Al-Qur’an pada usia 7 tahun,
kemudian pada usia 8 tahun sering dipercaya masyarakat untuk menjadi imam sholat
dan pada umur 9 tahun ia mulai gemar menulis hadits Nabi. Doktor Muhammad Az-
Zuhaili berkata: “Berdasar berita yang dapat dipercaya, sesungguhnya semua waktu
Abu Ja’far At-Thabari telah dikhususkan untuk ilmu dan mencarinya. Dia bersusah
payah menempuh perjalanan jauh untuk mencari ilmu sampai masa mudanya

3
Syauqi Abu Khalil, Atlas Hadits (Uraian Lengkap Seputar Nama, Tempat, Dan Kaum Yang
Disabdakan Rasulullah), (Jakarta: Al Mahir, 2009), hlm. 241
4
Srifariyati, Manhaj Tafsir Jami’ Al Bayan Karya Ibnu Jarir At-Thabari, Jurnal Madaniyah,
Volume 7 Nomor 2 Edisi Agustus 2017
5
Muhammad Razi. 50 Ilmuwan Muslim Populer, (Jakarta: Qultum Media, 2005).Cet ke-
I, hlm. 109.
dihabiskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia tidak tinggal
menetap kecuali setelah usianya mencapai antara 35-40 tahun. Dalam masa ini, Abu
Ja’far At-Thabari hanya memiliki sedikit harta karena semua hartanya dihabiskan untuk
menempuh perjalanan jauh dalam musafir menimba ilmu, menyalin, dan membeli
kitab. Untuk bekal semua perjalanannya, pada awalnya Abu Ja’far At-Thabari
bertumpu pada harta milik ayahnya. Tatkala Abu Ja’far sudah kenyang menjalani hidup
dalam dunia perjalanan mencari ilmu, akhirnya dia pun tinggal menetap. Tatkala
hidupnya terputus dari kegiatan musafir untuk menimba ilmu, maka sisa usianya
difokuskan untuk menulis, berkarya dan mengajar ilmu yang dimilikinya kepada orang
lain. Ilmu telah menyibukkannya dan memberikan kenikmatan dan kelezatan tersendiri
yang tidak pernah dirasakan kecuali bagi yang telah menjalaninya. Ketika seseorang
telah tenggelam dalam lautan ilmu di masa mudanya, maka menikah sering terabaikan.
Ketika usia telah mencapai 35-40 tahun dan tersibukkan dalam majlis ilmu, maka
keinginan menikah menjadi semakin hilang. Beliau manfaatkan waktunya untuk
mempelajari kitab-kitab yang berjilid-jilid dan berlembar-lembar serta untuk berkarya.6

At-Thabari menganut aliran Ahlussunnah wal Jamaah. Karyanya yang berkaitan


dengan aliran ini adalah Sharih As-sunnah. Disamping itu ia mendukung madzhab
ulama salaf dalam bidang tafsir. Sementara itu, berkaitan dengan sanad riwayat yang
dikutip dalam tafsir, pada umumnya At-Thabari tidak menyertakan penjelasannya
tentang sanad yang shahih dan dha’if. Adapun berkaitan dengan hukum fiqih yang
disampaikan menyertakan pendapat ulama dan mazhabnya, serta memilih salah satu
pendapat lalu mentarjihnya.7

Tafsir At-Thabari menjadi rujukan awal para mufassir yang berkecimpung di


bidang tafsir bil atsar, Ibnu Jarir menyebutkan tafsir dengan sanad yang terhubung
hingga sahabat, tabi’in, dan pengikut para tabiin, membahas pendapat-pendapat lalu
mentarjih diantaranya. Para ulama yang menjadi acuan sepakat bahwa tak seorang pun
menulis di bidang tafsir yang sebanding dengannya. Keistimewaan yang dimiliki Ibnu
Jarir adalah membuat kesimpulan dan mengisyaratkan I’rab yang sulit. Sehingga tafsir

6
Srifariyati, Op. Cit
7
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014)
At-Thabari berada di atas tafsir-tafsir lainnya. Ibnu Katsir sering kali menukil dari Ibnu
Jarir.8

At-Thabari memiliki kemampuan untuk berijtihad sehingga ia dikenal sebagai


mujtahid mutlak. Tidak jarang para mufassir merujuk kepada pendapatnya. Oleh sebab
itu, ia disebut bapak para mufassir. Dari segi qiraah, ia sangat antusias untuk
menjelaskan arti pentingnya, sekaligus menolak bacaan yang keluar dari kaidah serta
pengaruh yang ditimbulkan, baik dari segi perubahan maupun penggantian yang
merusak makna. Kitab tafsir At-Thabari memiliki andil yang sangat besar dalam bidang
ilmu Bahasa dan nahwu. Ia mengemukakan pendapat para ahli bahasa termasuk
mengutip syair Arab Jahiliyah, kemudian bertarjih.9

B. Guru dan Murid Ibn Jarir At-Thabari

Dalam bidang ilmu hadis ia berguru kepada ulama hadis dimana Imam Bukhori
(ahli hadis terkemuka) berguru, sedang dalam bidang sejarah, kitabnya yang kenamaan
Tarikh al Umam wa Al Muluk yang menceritakan sejarah kemanusiaan sejak Adam
A.s sampai dengan masa Islam termasuk peperangan-peperangan yang terjadi setelah
masa Rasul Saw.

Silih berganti guru yang di datanginya dengan tujuan menimba ilmu. Setelah di
Persia ia berkunjung ke Irak dan ketika dalam perjalanan menuju Baghdad ia
mendengar berita wafatnya Imam Ahmad Ibn Hanbal (W 863 M), lalu ia berguru ke
Bashrah Ibn al A’la al-Hamzani, Hannad Ibnu Sayry dan Ismail bin Musa, dan dalam
bidang Fiqih khususnya Madzhab al-Syafi’I ia berguru pada al-Hasan ibn Muhammad
al-Za’farany.

Dari Irak menuju mesir dalam perjalanan kesana singgah terlebih dahulu ke
Beirut untuk memperdalam ilmu Qiraat, kepada Abbas Ibn al-Walid al-Bairuni. Di
Mesir ia bertemu dengan sejarawan kenamaan Ibn Ishaq dan atas jasanya al-Thabari
mampu menyusun karya sejarahnya yang terbesar Tarikh al Umam Wa al-Muluk. Di
mesir juga ia mempelajari mazhab maliki disamping menekuni Madzhab Syafi’I
(madzhab yang dianutnya sebelum ia berdiri sendiri sebagai mujtahid) kepada murid
langsung imam Syafii yaitu al Rabi al-Jizi. Selama di Mesir semua ilmuwan datang

8
Manna’ Al-Qaththan, Dasar-Dasar Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Ummul Qura, 2017), hlm. 573
9
Samsurrohman, Op.cit
menemuinya sambil mengujinya sehingga ia menjadi sangat terkenal di sana. Dari
Mesir ia kembali ke Negeri asalnya Thabaristan, tapi pada tahun 310 H (923M) dengan
usia sekitar 75 tahun ia meninggal di Baghdad.10

Para guru Ibn Jarir at-Thabari sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi yaitu:


Muhammad bin Abdul Malik bin Abi asy-Syawarib, Ismail bin Musa as-Sanadi, Ishaq
bin Abi Israel, Muhammad bin Abi Ma’syar, Muhammad bin Hamid ar-Razi, Ahmad
bin Mani’, Abu Kuraib Muhammad bin Abd al-A’la Ash-Shan’ani, Muhammad bin al
Mutsanna, Sufyan bin Waqi’, Fadhl bin Ash-Shabbah, Abdah bin Abdullah Ash-
Shaffar, dan lain-lain.

Sedangkan muridnya yaitu: Abu Syu’aib bin al Hasan al Harrani, Abu al Qasim
at-Thabrani, Ahmad bin Kamil Al-Qadhi, Abu Bakar AsySyafi’i, Abu Ahmad Ibn Adi,
Mukhallad bin Ja’far al Baqrahi, Abu Muhammad Ibn Zaid al-Qadhi, Ahmad bin al-
Qasim al-Khasysyab, Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan, Abu Ja’far bin
Ahmad bin Ali al-Katib, Abdul Ghaffar bin Ubaidillah al Hudhaibi, Abu al Mufadhdhal
Muhammad bin Abdillah Asy-Syaibani, Mu’alla bin Said, dan lain-lain.11

C. Karya Ibn Jarir At-Thabari

Ath-Thabari dapat dikatakan sebagai ulama multi talenta dan menguasai berbagai
disiplin ilmu. Tafsir, qira’at, hadits, ushul al-din, fiqih perbandingan, sejarah, linguistik,
sya`ir dan `arudh (kesusateraan) dan debat (jadal) adalah sejumlah disiplin ilmu yang
sangat dikuasainya. Namun tidak hanya ilmuilmu agama dan alat, Ath-Thabari pandai
ilmu logika (manthiq), berhitung, al-Jabar, bahkan ilmu kedokteran.12

Karya-karya At-Thabari meliputi banyak bidang keilmuan, ada sebagian yang


sampai ke tangan kita, namun terdapat karya yang tidak sampai pada kita. Karya-karya
ini menjadi bukti konkrit tentang kejeniusan dan keluasan keilmuannya. Dr. Abdullah
bin Abd al Muhsin al Turkiy, dalam Muqaddimah Tahqiq Tafsir al-Thabary
menyebutkan 40 lebih karya Ibn Jarir al-Thabari. Diantara karyanya di bidang hukum,
Adab al Manasik, al Adar fi al Ushul, Basith al Qaul fi Ahkam Syara’i al Islam (belum

10
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), hlm.96
11
Ibid, hlm. 96
12
Amaruddin, Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an Karya Ath-Thabari.
Jurnal Syahadah. Vol. II. No. II. Oktober 2014
sempurna ditulis), khafif, lathif al Qaul fi Ahkam Syara’i al Islam dan telah diringkas
dengan judul Al Khafif Fi Ahkami Syara’i al Islam, Radd ‘Ala Ibn ‘Abd al Hakam ‘Ala
Malik, Adab alQudhah al-Radd ‘Ala Dzi al Asfar (berisi bantahan terhadap Ali Dawud
bin Ali al-Dhahiry), Ikhtiyar min Aqawil Fuqaha. Dalam bidang Al-Qur’an dan
tafsirnya, Fashl Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, Tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Qur’an,
dan kitab al Qira’at. Dalam bidang hadits, kitab Fi ‘Ibarah al Ru’ya Fi al Hadits, Al
Musnad al-Mujarad, Musnad Ibn ‘Abbas, Syarih al-Sunnah. Dalam bidang teologi,
Dalalah, Fadhail Ali ibn Abi Thalib, al Radd ‘Ala al Harqussiyah, Syarih dan Tabsyir
atau al Basyir Fi Ma’alim al Din. Dalam bidang etika keagamaan, Adab al Nufus al-
Jayyidah wa al-Akhlaq Wa al-Nafisah, Adab al-Tanzil (berupa risalah). Dalam bidang
sejarah, Dzayl al-Mudzayyil, Tarikh al-Umam wa al Muluk dan Tahdzib al Ashar.13
Tarikhul rijal wa ikhtilaful fuqaha.14

D. Latar Belakang Penyusunan

Dalam beberapa keterangan menyebutkan latar belakang penulisan Tafsir Jami’


al-Bayan fi Ta’wil Qur’an adalah karena Ath-Thabari sangat prihatin menyaksikan
kualitas pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an. Mereka sekedar bisa membaca
Al-Qur’an tanpa sanggup menangkap maknannya. Karena itulah, Ath-Thabari
berinisiatif menunjukkan berbagai kelebihan Al-Qur’an. Ia mengungkap beragam
makna Al-Qur’an dan kedahsyatan susunan bahasanya seperti nahwu, balaghah dan
lain sebagainya. Bahkan jika ditilik dari judulnya, kitab ini merupakan kumpulan
keterangan (Jami’ al Bayan) yang cukup luas meliputi berbagai disiplin keilmuan
seperti Qiraat, Fiqih, dan Aqidah.15

E. Karakteristik Tafsir

Ath-Thabari menggunakan metode ilmiah yang memiliki unsur-unsur yang jelas


dan sempurna. Ia menggabungkan antara riwayat, dirayat, ashalah (keotentikan). Sisi
riwayat ia peroleh dari studinya terhadap sejarah, sirah nabawiyah, bahasa, syair, qiraat,
dan ucapan orang-orang terdahulu. Adapun sisi dirayat ia peroleh dari
perbandingannya terhadap pendapat-pendapat para fuqaha setelah ia ketahui dalil dari

13
Srifariyati, Manhaj Tafsir Jami’ Al Bayan Karya Ibnu Jarir At-Thabari, Jurnal Madaniyah,
Volume 7 Nomor 2 Edisi Agustus 2017
14
Said Agil Husin Al Munawar. Op.cit
15
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta:Insan Madani, 2007)
masing-masing mereka, dan cara pentarjihannya. Kemudian dari pengetahuannya
terhadap ilmu hadits yang menyangkut studi sanad, kondisi perawi dan kedudukan
hadits. Satu hal yang mempertajam sisi dirayat-nya adalah karena ia pandai ilmu jadal
(perdebatan), yaitu ilmu yang menjadi sarana untuk mengadu dalil dan argumentasi,
dimana Thabari adalah pakarnya.16

F. Sumber Penafsiran

Sumber-sumber penafsiran at-Thabari menurut Khalil Muhy al-Din al-Misi di


dalam Muqaddimah Jami’ al Bayan ini meliputi riwayat atau al ma’surat dari
Rasulullah saw, kemudian pendapat sahabat atau tabi’in, juga penafsiran bi al ma’tsur
dari kalangan ulama pendahulunya khususnya dalam merujuk persoalan nahwu, bahasa
atau pun qiraah . Mashadir lainnya adalah pendapat fuqaha dengan mensikapinya secara
kritis, kemudian dalam bidang sejarah menggunakan kitab-kitab tarikh seperti karya
Ibn Ishaq dan lainnya.17 Walaupun dalam tafsir At-Thabari terdapat penalaran yang
digunakan, namun tafsir at-Thabari termasuk yang menggunakan corak bil-ma’tsur
yang sebagian besarnya menggunakan riwayat.18

Dengan ini at-Thabari telah menempuh langkah metodologis yang sangat


penting, dimana tafsir bukan hanya sekedar berisi penjelasan tentang riwayat-riwayat
dan atsar, melainkan telah bercampur dengan kajian analisa yang tidak keluar dari jalur
kebenaran, itu semua dilakukan dengan mengkaji ‘illah, sebab-sebab dan qarinah (sisi
indikasi dalil).19

G. Metode Penulisan Tafsir

Metode yang digunakan dalam kitab ini yaitu metode tahlili, metode tafsir yang
menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang
terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam alQur’an mushaf
Usmani.

16
Ibrahim Eldeeb, Be A Living Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), hlm. 82
17
Dr. Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an Perkenalan dengan Metode
Tafsir, (Bandung,: Pustaka, 1987) terj.
18
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka setia, 2005), hlm. 146
19
M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999) hlm.
172-173
1. Dalam menafsirkan al-Qur’an, mufasir biasanya melakukan langkah sebagai
berikut:
Menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain
maupun antara satu surah dengan surah lain.
2. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul).
3. Menganalisis mufradat (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab.
4. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
5. Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, dan i’jaz-nya, dianggap perlu.
Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindahan
balaghah.
6. Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila
ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat ahkam, yaitu berhubungan dengan
persoalan hukum.
7. Menerangkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam ayat
bersangkutan. Sebagai sandarannya, Thabari mengambil manfaat dari ayat-ayat
lainnya, hadits Nabi Saw, pendapat para sahabat dan tabi’in, di samping ijtihad
sendiri.20
H. Sistematika Penulisan

Sistematika yang digunakan oleh Thabari dalam setiap bukunnya terdapat


langkah penting, diantaranya:

1. Biasanya Thabari memulai dengan menetapkan dan membatasi tema yang akan
dibahas, baik itu berupa ayat dan penafsirannya atau penjelasan sebuah hadits,
kemudian menyimpulkan berbagai pendapat mengenai aqidah, hukum fiqih,
qira’at, suatu pendapat, atau permasalan yang diperselisihkan.
2. Apabila tema telah ditetapkan, ia mulai mengumpulkan bahan-bahan ilmiah
yang berkaitan dengannya dan berusaha semaksimal mungkin agar bahan yang
ia kumpulkan lengkap dan menyeluruh demi kesempurnaan tema yang
dibahasnya. Semua ini dilakukan sebelum memulai penulisan.

20
Amaruddin, Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an Karya Ath-Thabari,
Jurnal Syahadah, Vol. II, No. II, Oktober 2014
3. Jika semua bahan kajian telah terkumpul, ia pun mulai meneliti dan
mempelajarinya. Beliau meneliti dengan sangat sabar setiap hadits dan atsar
yang menyangkut penafsiran setiap ayat al-Qur’an.
4. Thabari tidak cukup hanya dengan metodologi deduktif, melainkan seringkali
membandingkan antara sanad dengan dalil, dan mengindikasikan kelemahan
atau pertentangan yang terjadi pada yang lebih kuat dalam pengambilan dalil
dan argumentasi. Ketika ia menjelaskan mana dalil yang paling kuat dengan
menggunakan ungkapan ungkapannya yang terulang pada lembaran-lembaran
bukunya, seperti: ash-shawab minal qaul (yang benar dari pendapat ini), ash-
shawab minalqaulain (yang benar dari dua pendapat ini), ash-shawab minal
aqwal (yang benar dari beberapa pendapat ini), fi dzalika ‘indi (dalam hal itu
menurut saya), ‘indana (menurut kami), atau syai’an nahwa dzalika (serupa
itu). Dalam buku tafsirnya akan ditemukan banyak contoh yang menunjukkan
hal itu. Sehingga bisa dikatakan bahwa itu adalah ciri utamanya.21

I. Penilaian Terhadap Imam At-Thabari

Imam Thabari bukan berasal dari keluarga yang mapan atau kaya. Hal ini bisa
dibuktikan dengan bekal dari orang tuanya yang ketika dicuri ia tidak dapat
menggantinya lagi. Begitujuga kisah kelaparan yang dia alami selama di Mesir dan
kiriman orang tuanya yang dikirim terlambat, sehingga ia terpaksa menjual
pakaiannya.Namun dengan keterbatasan ekonomi tersebut tidak lantas melunturkan
semangat Imam Thabari dalam menuntut ilmu.

Penguasaan Ath-Thabari terhadap berbagai disiplin ilmu ini menjadi catatan


sendiri para ulama sepanjang masa, sehingga tidak heran sederet predikat dan
sanjungan disematkan kepadanya. Al-Khathib al-Baghdadi (w.463H) salah satunya.
Dalam kitab Tarikh Baghdad, ia menyatakan,“Ath-Thabari adalah seorang ulama
paling terkemuka yang pernyataannya sangat diperhitungkan dan pendapatnya pantas
menjadi rujukan, karena keluasan pengetahuan dan kelebihannya. Ia menguasai
berbagai disiplin ilmu yang sulit ditandingi oleh siapa pun di masa itu.” Pengakuan
terhadap keilmuan Ath-Thabari tidak hanya datang dari para ulama lintas generasi
sesudahnya yang mengkaji dan meneliti karya-karya besarnya, seperti Ibn al-Atsir

21
Manna’ Khalil Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012)
(w.630H), al-Nawawi (w.676H), Ibn Taimiyah (w.728H), al-Dzahabi (w.748H), Ibn
Katsir (w.774H), Ibn Hajar al-`Asqalani (w.852H), al-Suyuthi (w.911H) dan lain-lain.
Tapi para ulama yang hidup satu generasinya juga tidak kurang menyatakan kekaguman
dan pujiannya, di antara pujian mereka terhadap Imam Thabari adalah sebagai berikut:
Abu Sa’id berk ata, “Muhammad bin Jarir berasal dari daerah Amul, menulis di negri
Mesir. Lalu pulang ke Bagdad, dan telah mengarang beberapa kitab yang monumental,
dan itu menunjukkan luasnya ilmu beliau.” Al Khatib berkata, “Muhammad bin Jarir
bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, beliau adalah salah satu Aimmah Ulama’ (sesepuh
ulama’), perkataannya bijaksana dan selalu dimintai pendapatnya karena
pengetahuannya dan kemuliaannya. 22
As-Suyuti menjelaskan “ Kitab tafsir
Muhammad bin Jarir At-Thabari adalah tafsir paling besar dan luas. Di dalamnya ia
mengemukakan berbagai pendapat dan mempertimbangkan mana yang paling kuat,
serta membahas i’rab dan istinbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para
mufassir”.23

Beliau telah mengumpulkan ilmu-ilmu yang tidak penah ada seorang pun yang
melakukannya semasa hidupnya. Beliau adalah seorang Hafidz, pandai ilmu Qira’at,
ilmu Ma’ani faqih tehadap hukum-hukum Al-Qur’an, tahu sunnah dan ilmu cabang-
cabangnya, serta mampu mengetahui mana yang shahih dan yang cacat, nasikh dan
mansukhnya, aqwalus shahabah dan tabi’in, tahu sejarah hidup manusia dan
keadaanya. Beliau memiliki kitab yang masyhur tentang “sejarah umat dan
biografinya” dan kitab tentang “tafsir” yang belum pernah ada mengarang semisalnya
dan kitab yang bernama “Tahdzibul Atsar” yang belum pernah aku (Imam Adz
Dzahabi) lihat semacamnya, namun belum sempurna. Beliau juga punya kitab-kitab
banyak yang membahas tentang “Ilmu Ushul Fiqih” dan pilihan dari aqwal para
Fuqaha’. Imam Adz Dzahabi berkata: “Beliau adalah orang Tsiqah, jujur, khafidz,
sesepuh dalam ilmu tafsir, imam (ikutan) dalam ilmu fiqh, ijma’ serta hal-halyang
diperselisihkan, alim tentang sejarah dan harian manusia, tahu tentang ilmu Qira’at dan
bahasa, serta yang lainnya.” Al-Hasan ibn Ali al-Ahwazi, ulama Qira’at, menyatakan,
“Abu Ja`far Ath-Thabari adalah seorang ulama fiqih, hadits, tafsir, nahwu, bahasa dan

22
Amaruddin, Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an Karya Ath-Thabari,
Jurnal Syahadah, Vol. II, No. II, Oktober 2014
23
Manna’ Khalil Qattan, Op.cit
`arudh. Dalam semua bidang tersebut dia melahirkan karya bernilai tinggi yang
mengungguli karya para pengarang lain.”24

24
Amaruddin, Op.Cit

Anda mungkin juga menyukai