Anda di halaman 1dari 25

Kajian Reguler Al-Ijaz

Ikatan Keluarga Pondok Modern Cab. Kairo


Kamis, 8 Jumadilakhir 1434 H
18 April 2013 M

Mengungkap Maha Karya Tafsir Al-Thabari
(Telisik Penerapan Israiliyat dan Metode Penafsiran Al-Quran Perspektif Imam Thabari)

A. Pendahuluan
Aktifitas penafsiran seolah tiada habisnya. Semenjak zaman Rasulullah hingga sekarang, penafsiran
terhadap ayat-ayat Al-Quran terus dilakukan oleh para ulama pada masa mereka masing-masing.
Penafsiran pun berkembang mengikuti kebutuhan manusia yang semakin beraneka ragam. Salah satu
faktor perkembangan tafsir tersebut adalah perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran dengan segala kandungannya akan terus berlaku, tak lekang
oleh zaman dan tak terbatas oleh tempat. Sebagaimana yang disamapaikan oleh Muhammad Al-
Mutawali Al-Syarawi bahwa kandungan Al-Quran mampu memberikan anugerah kepada seluruh
umat, meski masa mereka yang berbeda-beda. Artinya, segala kebutuhan umat pada masa apa pun
itu- maka Al-Quran mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
1


Seiring waktu berjalan, maka muncullah Imam Thabari pada abad ke-2. Dengan metode yang
dimilikinya, ia berusaha untuk mengungkap segala sesuatu yang dikandung oleh Al-Quran. Meski hal
itu tak akan pernah terjadi, tetapi Imam Thabari telah berhasil menulis buku tafsir yang
pembahasannya meliputi banyak hal. Oleh karena itu, para ulama pun menilai tafsir Al-Thabari sebagai
tafsir yang terbaik dan terluas pembahasannya dan merupakan tafsir pertama yang tertulis berjilid.

Karena pentingnya mengetahui induk penafsiran tersebut, maka makalah sederhana ini berusaha untuk
mengupas tuntas metode Imam Thabari dalam menafsirkan Al-Quran, sikapnya terhadap periwayatan
Israiliyat dan perjalanan hidupnya, sehingga mampu menguasai banyak disiplin ilmu dan berkontribusi
positif terhadap khazanah intelektual Islam.


1
Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nataamal Maa Al-Quran, (Kairo: Dar Al-Syuruq, 2011), Cet. VIII, hal. 63.
B. Lahirnya Imam Multitalented
Imam Thabari hidup di antara abad ke-2 dan ke-3. Masa tersebut terkenal dengan perkembangan ilmu
pengetahuannya yang begitu pesat. Sejarah mencatat, pada masa tersebut kodifikasi berbagai macam
ilmu begitu gencar. Hal ini salah satunya karena masa tersebut masih dipenuhi oleh para ulama dari
kalangan tabiin yang kadar keimanan dan ketakwaannya masih suci. Sebagaimana hadis Nabi dari
Umran bin Al-Hishin, Sebaik-baik umatku adalah umat- pada zamanku, setelah itu adalah yang datang
setelah mereka, setelah mereka dan seterusnya.
2


Perkembangan ilmu ketika itu bukan hanya dilihat dari maraknya kodifikasi berbagai macam ilmu,
tetapi juga bisa dilihat dari tersebarnya halakah, madrasah, perpustakaan yang tujuan pembangunannya
tiada lain untuk menyebarkan ilmu pengetahuan. Masjid-masjid ketika itu dipenuhi oleh para ulama
yang ikhlas mengajarkan ilmunya, khususnya para ulama hadis yang mengajarkan hadis Nabi, baik
secara riwayat atau dirayah. Sehingga bisa disimpulkan bahwa hampir setiap orang yang hidup pada
masa tersebut seakan-akan saling berlomba dalam mencari dan menyebarkan ilmu. Perkembangan
ilmu seperti ini sebagaimana diamini oleh Ibnu Khaldun dalam karyanya, Muqaddimah, ternyata
tidak terjadi di kawasan Iran saja, tetapi juga terjadi di banyak tempat, seperti Irak, Yaman, Bashrah,
Kufah, Syam, Damaskus, Palestina, Mesir, Andalusia, Mekah, Madinah dan lain sebagainya.
3


Imam Thabari hampir menghabiskan umurnya di bawah kepemerintahan Abasiah. Para ahli sejarah
menuliskan bahwa Imam Thabari melewati hampir sebelas kekhilafahan yang berbeda-beda, yaitu Al-
Mutashim, Al-Watsiq, Al-Mutawakil, Al-Muntashir, Al-Mustain, Al-Mutaz, Al-Muhtadi, Al-
Mutamid, Al-Muqtashid, Al-Muktafi dan terakhir Al-Muqtadir. Ia pun menyaksikan bagaimana
kekuasaan ketika itu berpindah dari Abasiah ke Turki Utsmani dan bagaimana kawasan Abasiah ketika
itu terpecah menjadi beberapa kawasan, yaitu ketika zaman setelah kepemerintahan Al-Mutawakil
(232-247 H).
4


Namun pada masa tersebut, beberapa keburukan pun tersebar luas. Di antaranya, tersebarnya paham
ateisme, lunturnya budaya masyarakat dari budaya Islami, seperti pada masa-masa sebelumnya,

2
Ali bin Abd Al-Aziz, Imam Al-Mufasirin wa Al-Muhadditsin wa Al-Muarrikhin Abu Jafar Muhammad bin Jarir Al-
Thabari, (Riyadh: Maktabah Al-Rusyd, 2004), Cet. I, hal. 9.
3
Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir inda Al-Imam Al-Thabari, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2008), Cet. I, hal. 171. Hal
lain yang menunjukkan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat kala itu adalah banyaknya aktifitas periwayatan,
penerjemahan, dan pencetakan ulang karya-karya ulama yang dilakukan oleh para pencari ilmu kala itu. Lihat, Ahmad
Nashri, Al-Manhaj Al-Naqdi F Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa Muqawwamatuhu, (Beirut: Dar Ibn Hazm. 2012). Cet. I, hal. 22.
4
Op. cit., hal. 12.
munculnya pembagian kasta dalam tatanan masyarakat. Ahmad Nashri dalam bukunya, Al-Manhaj Al-
Naqdi F Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa Muqawwamatuhu membagi tatanan masyarakat ketika zaman
Abasiah tersebut menjadi tiga kasta. Kasta pertama diberi istilah kasta Astaqrathiyah. Golongan yang
termasuk pada kasta ini di antaranya, keluarga khalifah, menteri, hakim, para pejabat dan para
saudagar. Selanjutnya kasta kedua. Golongan yang termasuk kasta ini di antaranya, para pedagang,
penyair, pujangga, penulis dan pekerja biasa yang diberi biaya hidup oleh golongan kasta yang ada di
atasnya. Terakhir kasta yang paling rendah. Golongan yang termasuk kasta ini di antaranya, para petani
dan mereka yang termasuk pekerja kasar. Golongan ini rentan dengan kesengsaraan, karena tidak sama
sekali mendapatkan tunjangan hidup dari golongan lainnya. Dan ternyata, masyarakat waktu itu secara
dominan termasuk pada golongan ini.
5


Menengahi hal yang saling bertolak belakang- tersebut, Ahmad Nashri menukil perkataan Syauqi
Dhaif, bahwa termasuk sikap yang salah jika kita menilai dengan negatif keadaan masa Abasiah waktu
itu secara keseluruhan, karena hal tersebut tidak menutup kemungkinan munculnya kelompok-
kelompok yang zuhud dan saleh pada waktu itu dan di sebagian wilayah lain masih terdapat masyarakat
yang berbudaya islami yang sarat dengan akhlak karimah.
6


Ahli sejarah sepakat bahwa Imam Thabari dilahirkan di kota Amol, ibu kota Tabaristan.
7
Kawasan ini
kini berada di Iran bagian barat. Dari sebelah utara, kawasan tersebut berbatasan dengan Laut Kaspia.
Sedangkan di bagian barat, kawasan tersebut berdekatan dengan pegunungan Albers. Kawasan
tersebut dikuasai Islam setelah ditaklukkan pasukan Islam yang dipimpin oleh Said bin Ash pada tahun
650 M. Pada awalnya, kawasan tersebut bernama Mazandaran, tapi seiring waktu berjalan, berubah
menjadi Tabaristan. Nama Tabaristan diambil karena kawasan tersebut dipenuhi debu bekas
peperangan.

Sedangkan untuk tanggal, mereka masih berbeda pendapat. Sebagian mereka berpendapat bahwa ia
dilahirkan di akhir tahun 224 H (838 M) dan sebagian lainnya berpendapat, ia dilahirkan pada awal

5
Ahmad Nashri, Al-Manhaj Al-Naqdi F Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa Muqawwamatuhu, hal. 18-20.
6
Ibid., hal. 19.
7
Melihat kenyataan seperti ini, orientalis Jerman, Carl Brockelmann menyatakan bahwa Imam Thabari termasuk
ulama non Arab. Akan tetapi tuduhan ini tidak benar dan terbantahkan dengan beberapa faktor, yaitu, karya-karyanya yang
sarat dengan kaidah bahasa Arab yang benar, kedalaman ilmunya tentang kaidah qiraat, komentar dalam buku sejarahnya,
Non Arab mengira atau Orang Persia mengira, dan nama-nama nasabnya yang terlepas dari nama asing. Lihat, Amal
Muhammad Rabi, Al-Israiliyat Fi Tafsir Al-Thabary, dirasah fii Al-lughah wa Al-Mashadir Al-Ibryah, (Kairo: Al-Majlis Al-Ala,
2010), t.c., hal. 13-14.
tahun 225 H (839 M).
8
Laki-laki yang bernama lengkap Abu Jakfar bin Muhammad bin Jarir bin Yazid
bin Katsir bin Ghalib Al-Thabari
9
ini tumbuh besar di dalam lingkungan keluarga yang menjunjung
tinggi perkara agama dan ilmu pengetahuan, karena sebagaimana tadi disebutkan, bahwa masa tersebut
adalah masa di mana ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dan semua orang berlomba untuk
mencari dan mengamalkannya.
10
Keilmuan dan keluasan wawasannya sudah terlihat semenjak kecil.
Terbukti pada umur ke-7, Imam Thabari kecil sudah menghafal seluruh isi al-Quran, selanjutnya pada
umur ke-8, ia sudah mampu memimpin masyarakat dalam Shalat dan pada umur ke-9, ia sudah
memulai menulis hadis dengan belajar dari para Syaikh yang ada di Tabaristan dan sekitarnya seperti
kawasan Ray.
11


Ada beberapa riwayat yang datang dari Imam Thabari, di mana ia menceritakan rutinitasnya dalam
mencari ilmu, Ketika itu kami selalu pergi ke daerah Ray menemui Muhammad bin Ahmad Al-
Daulabi untuk mempelajari ilmu sejarah, setelah itu kami kembali dengan segera demi bertemu dengan
Muhammad bin Hamid Al-Razy untuk mendengarkan pendiktean hadis Nabi darinya.
12
Selain itu,
kami pun mempelajari Fikih dari Abu Muqatil, Ahli Fikih yang ada di kawasan Ray.

Tak puas menimba ilmu di tanah kelahirannya, pada umur 16 tahun, Imam Thabari memutuskan
untuk berkelana dari tanah kelahirannya demi memperluas wawasan dan menambah ilmu
pengetahuannya. Tujuan pertama Imam Thabari saat itu adalah menemui Ahmad bin Hambal yang ada
di kawasan Irak untuk menimba ilmu darinya, namun takdir berkata lain, karena Ahmad bin Hambal
terlebih dahulu meninggal dunia, sebelum Imam Thabari menemuinya.
13
Namun demikian, ia tidak
putus asa, ia pun meneruskan perjalanan ilmiahnya ke kawasan yang bernama Wsith untuk menimba

8
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qadhi Ibnu Al-Kamil, bahwa ia bertanya kepada Imam Thabari tentang
waktu kelahirannya, Bagaimana kamu ragu terhadap tanggal lahirmu sendiri? Imam Thabari pun menjawab, Ketika itu
masyarakat di kawasan kami menulis atau mengingat sejarah dengan kejadian, bukan dengan waktu, sehingga ketika aku
bertanya kepada mereka tentang waktu kelahiranku, maka mereka pun berbeda pendapat, di antaranya ada yang
mengatakan pada akhir tahun 224 H, sebagian lain berpendapat pada tahun 225 H. Op. cit., hal. 30.
9
. Op. cit., hal. 26-27. Lihat juga, Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 174; Abu Jakfar
Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Jmi Al-bayn an Tawl yi al-Qurn, (Kairo: Dar al-Salam, 2009), Cet. IV, hal. 1.
10
Ayahnya benar-benar mendukung Imam Thabari dalam proses pengembangan ilmu pengetahuannya. Selain
faktor di atas, juga karena mimpi yang dialami ayahnya. Diriwayatkan dari Imam Thabari sendiri, bahwa suatu malam, Ayah
Imam Thabari bermimpi melihatnya berada di samping Rasulullah Saw. sambil membawa tas yang berisi batu dan ia pun
melemparkan batu-batu tersebut dengan tas yang ada pada dirinya. Ketika ditanya, Ahli tabir mimpi menjawab bahwa
Imam Thabari kecil, kelak ketika besar akan menjadi penasihat dalam perkara agama dan penjelas terhadap syariat Allah
dan Rasul-Nya. Ali bin Abd Al-Aziz, Imam Al-Mufasirin wa Al-Muhadditsin wa Al-Muarrikhin Abu Jafar Muhammad bin Jarir
Al-Thabari, (Riyadh: Maktabah Al-Rusyd, 2004), Cet. I, hal. 16.
11
Ibid.
12
Ibid.
13
Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 177.
ilmu hadis dari Jamaah yang ada di kawasan tersebut. Merasa masih kurang dengan kadar ilmu yang
dimiliki, ia meneruskan perjalanannya ke Kufah. Di kawasan ini, selain mempelajari hadis dari Abu
Kuraib Muhammad bin Al-Ala Al-Hamdani, ia pun berguru kepada Sulaiman Al-Thalhi dalam bidang
ilmu qiraah. Pengembaraan tidak hanya berhenti di Kufah saja, tetapi Imam Thabari muda
meneruskan perjalanan ilmiahnya ke Baghdad. Di sini ia mempelajari ilmu qiraah dari Ahmad bin
Yusuf Al-Taghlabi dan fikih Syafii dari Al-Hasan bin Muhammad Al-Shabah Al-Zafarani dan Abu
Said Al-Ishthakhari.
14


Umar Muhyiddin dalam bukunya, Manhaj Al-Tafsir Inda Al-Imam Al-Thabari menuliskan bahwa pada
tahun 253 H, Imam Thabari meneruskan perjalanan ilmiahnya ke Mesir. Ketika itu, Mesir di bawah
kepemimpinan Ahmad bin Thulun. Ia menetap di kawasan Fustat. Setelah itu ia keluar lagi ke Syam
dan kembali lagi pada tahun 256 H. Di Mesir ia tinggal di Kairo dan berguru kepada murid-murid
Abdullah bin Wahb guna mempelajari fikih Maliki. Selain itu, ia pun mempelajari fikih Syafii kepada
tokoh-tokoh yang ada di kawasan tersebut, seperti Al-Rabi bin Sulaiman Al-Maradi, Muhammad bin
Abdullah bin Al-Hikam, Abdurrahman dan Ismail bin Ibrahim Al-Mazni.
15


Selain terkenal dengan kerja kerasnya dalam mencari ilmu, ia juga terkenal sebagai guru yang memiliki
wibawa baik di depan murid-muridnya. Tiada lain, hal tersebut karena kadar ilmu dan wawasannya
yang begitu luas. Proses mengajar yang dilakukan oleh Imam Thabari memakan waktu hampir 40
tahun. Setiap harinya ia mendiktekan ilmu kepada murid-muridnya sebanyak 40 lembar. Di hadapan
murid-muridnya, ia pun dikenal sebagai guru yang penuh kasih sayang. Suatu hari ada seseorang di
antara muridnya yang izin karena sakit. Imam Thabari pun sengaja tidak meneruskan pelajaran, kecuali

14
Ibid., hal. 176.
15
Al-Farghani Abu Muhammad berkata, Telah berbicara kepadaku Harun bin Abd Al-Aziz, bahwa Abu Jafar
Al-Thabari telah berkata kepaku, Aku bermazhab Syafii. Aku mempelajarinya selama dua puluh tahun. Proses belajar
tersebut aku lalui sebagiannya (10 tahun) di Baghdad. Ibnu Bassyar Al-Ahwal guru Ibnu Suraih pun belajar fikih Syafii
kepadaku. Namun setelah kadar ilmu fikih dan ushul al-fiqh yang ia miliki matang, maka ia pun sebagaimana dikatakan Al-
Khatib Al-Baghdadi- berijtihad dan menyelesaikan sebuah permasalahan dengan perkataan dan ilmunya sendiri. Hal
tersebut menghantarkan dia sebagai seorang Mujtahid sebagaimana yang disepakati Syeikh Ibnu Taimiyah, sekaligus
dianggap sebagai mazhab tersendiri yang diikuti oleh seluruh murid-muridnya. Mazhab tersebut dinamai oleh para
muridnya dengan nama Al-Jaririyah. Akan tetapi mazhab ini tidak bertahan lama setelah wafatnya Imam Thabari-
karena murid-muridnya tidak berusaha untuk menyebarkannya, kecuali ijitihad-ijtihad yang dilakukan Imam Thabari yang
tertulis di dalam karya-karyanya. Ibid., hal. 182. Lihat juga, Ali bin Abd Al-Aziz, Imam Al-Mufasirin wa Al-Muhadditsin wa Al-
Muarrikhin Abu Jafar Muhammad bin Jarir Al-Thabari, hal. 47-48.
murid yang sakit itu sehat kembali. Hal tersebut dilakukan, karena ia sadar bahwa hanya merekalah
yang akan mewarisi ilmu yang ia miliki.
16


Banyak tokoh yang muncul setelah berguru kepadanya, diataranya Syaikh Al-Qadli Abu Bakar Ahmad
bin Kamil, seorang qdhi di kawasan Kufah dan memiliki banyak karya, seperti Al-Syuruth Al-Kabir
dalam bidang fikih. Abu Syuaib Abdullah bin Al-Hasan Al-Harani, umurnya lebih tua daripada Imam
Thabari dan meiliki karya dalam bidang hadis yang masih terjaga hingga sekarang di Universitas
Riyadh. Al-Imam Al-Hafiz Abu Al-Qasim Sulaiman bin Ahmad Al-Thabrani, seorang ahli Jarh wa
Tadil, memiliki beberapa karuya dalam bidang sunah, hadis dan majim. Al-Imam Abu Ahmad
Abdullah bin Adi, penulis buku Al-Kmil F Dluaf Al-Rijl dan buku Ilalu Al-Hadist. Al-Qadli
Abu Al-Faraj Al-Maafi bin Zakaria Al-Nahrani yang dikenal dengan sebutan Ibnu Tharar,
merupakan murid terbaik Imam Thabari, ia menghafal hampir seluruh perkataan gurunya tersebut,
khususnya dalam bidang fikih. Ia pun memiliki karya dalam bidang tafsir yang diberi nama Al-Bayan
Al-Mujaz An Ulum Al-Quran Al-Mujaz.
17


Proses ilmiah yang ia lewati di atas, menghantarkan dia menjadi seorang Ulama yang dikagumi oleh
seluruh Ulama lainnya, baik klasik atau kontemporer.
18
Kadar ilmu yang ia miliki benar-benar diakui
oleh seluruh Umat Islam. Jika setiap masa memiliki seseorang yang diunggulkan, maka Imam Thabari
lah yang diungulkan pada masanya. Yaqut Al-Hamwi berkata, Imam Thabari adalah seorang Muqri
yang mengetahui seluruh ilmu yang berkaitan dengan qiraah, ia seorang ahli hadis yang mengetahui
seluruh ilmu tentang hadis, ia pun seorang ahli fikih yang mengetahui seluruh permasalahan fikih, ia
seorang ahli nahu yang mengetahui seluruh ilmu tentang nahu, dan ia pun seorang ahli hisab yang
mengetahui seluruh permasalahan tentang hisab. Ada sebuah riwayat yang datang dari Imam Thabari
sendiri yang membuktikan bagaimana ia benar-benar seorang pelajar dan guru yang sangat
berkompeten dalam seluruh bidang ilmu dan benar-benar memiliki himmah besar dalam menguasainya.
Ia berkata, Suatu hari, seorang laki-laki mendatangiku dan bertanya tentang ilmu Arudh. Ketika itu
aku belum menguasai ilmu tersebut, aku pun berkata kepadanya, Jika kau mau, datanglah kemari lagi

16
Imam Thabari selama hidupnya pun memilih untuk tidak berkeluarga. Ia memutuskan hal tersebut, tiada lain
untuk kepentingan mencari dan menyebarkan ilmu. Baginya jika ia berkeluarga, maka proses mencari dan mengajar ilmu
akan terganggu, sehingga hal ini membentuk karakter Imam Thabari yang penyayang terhadap murid-muridnya. Dengan
kata lain, Ia menganggap murid-muridnya sebagai anak kandungnya sendiri. Ibid., hal. 179.
17
Ali bin Abd Al-Aziz, Imam Al-Mufasirin wa Al-Muhadditsin wa Al-Muarrikhin Abu Jafar Muhammad bin Jarir Al-
Thabari, hal. 32-33.
18
Dengan kadar ilmu yang begitu luas, ia memiliki banyak julukan, yaitu Al-Imm, Al-Mujtahid, Al-Mufassir, Al-
Muhaddis, Al-Hfiz, Al-Fakh, Al-Muarrikh, Al-Allmah, Al-Lughawi, Al-Tsiqah Al-Tsubut, Al-Muqri. Ibid., hal. 15.
esok pagi. Setelah laki-laki tersebut pergi, aku pun langsung menemui Khalil bin Ahmad untuk
mempelajari ilmu Arudh. Sehingga sore itu aku benar-benar tidak tahu tentang ilmu Arudh, tetapi pagi
setelah itu melalui proses belajar- aku pun menjadi ahli dalam bidang ilmu Arudh
19


Ali bin Abd Al-Aziz menuliskan bahwa aktifitas sehari-hari yang dilewati Imam Thabari tidak
terlepas dari perkara belajar dan mengamalkan ilmu. Di pagi hari, setelah makan, ia tidur dengan
pakaian sederhana yang kain lengannya begitu pendek dari ukuran badannya. Setelah ia bangun, ia pun
berwudlu guna melaksanakan shalat dzuhur. Setelah itu ia menulis hingga waktu shalat Asar tiba.
Setelah melaksanakan shalat Asar, ia duduk bersama murid-muridnya guna menyampaikan ilmu sampai
waktu Maghrib tiba. Setelah shalat Maghrib, ia melanjutkan pengajarannya dalam bidang fikih sampai
waktu shalat Isya datang. Setelah melaksanakan shalat berjamaah, ia kembali ke rumahnhya dan
membagi malamnya antara istirahat dan kebutuhan lainnya. Aktifitas seperti ini benar-benar sangat
efektif dan menjadikannya termasuk dari ulama-ulama yang produktif dalam menghasilkan karya dalam
banyak disiplin ilmu. Di antaranya, Jmi Al-Bayn An Tawl yi Al-Qurn dalam bidang tafsir; Ikhtilf
Ulam Al-Amshr F Ahkm Syarii Al-Islm dalam bidang fikih; Trkh Al-Umam wa Al-Mamlk
dalam bidang sejarah; Shrih Al-Sunnah dalam bidang Sunah; Tahdzb Al-tsr wa Tafshl Al-Tsbit An
Raslillah min Al-Akhbr dalam bidang hadis dan karya-karya lainnya yang sangat banyak dan bermafaat
untuk umat.
20


Imam Thabari termasuk Ulama yang lurus, tidak terlepas dari cobaan dan rintangan, sebagaimana
sabda Rasulullah Saw., Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, setelah itu orang-orang shalih, dan
setelah mereka dan seterusnya. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar keimanannya. Jika keimanannya tinggi,
maka ujiannya pun akan semakin besar.
21
Dalam proses belajar dan mengajarnya, sering kali ia tertimpa
cobaan, salah satunya adalah fitnah terhadapnya bahwa ia termasuk ulama Syiah. Dalam Lisan Al-
Mizan, Ibnu Hajar menuliskan bahwa Imam Thabari termasuk ulama yang jujur terpercaya dan sedikit
terpengaruhi oleh pemikiran Syiah. Yaqut Al-Hamwi berkata, Imam Thabari benar-benar dituduh
termasuk ulama Syiah, sehingga disebutkan bahwa ia dikuburkan pada malam hari, karena rasa takut
terhadap masyarakat sekitar. Al-Dzahabi dalam Al-Mizan menuliskan bahwa yang dimaksud oleh
Yaqut Al-Hamwi adalah perkataan Al-Hafiz Ahmad bin Ali Al-Sulaimani.
22
Ada tiga sebab mengapa
Imam Thabari tertimpa fitnah seperti ini. Pertama, Imam Thabari telah menulis hadis (... ) dan

19
Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 181.
20
Op. cit., hal. 35. Lihat juga, Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 189-190.
21
Ibid., hal. 84.
22
Ibid.
menuliskan dalam salah satu karyanya hadis-hadis tentang keutamaan yang dimiliki oleh Imam Ali ra.
Kedua, ada sebuah hukum dalam permasalahan fikih yang bersumber darinya, yaitu bolehnya mengusap
kaki sebagai ganti dari mencuci kaki (dalam proses berwudlu) dan tidak mewajibkannya. Terakhir,
karena buku Basyarah Al-Mushthafa yang berisi tentang Syiah dan derajatnya yang disematkan kepada
Imam Thabari.
23


Sebab-sebab tersebut dengan sendirinya terbantahkan, karena dalil yang digunakan ketiga sebab
tersebut tidak sama sekali masuk akal dan tidak dibenarkan. Sebab pertama tidak dibenarkan, karena
hadis (... ) merupakan hadis sahih yang Imam Thabari dengar sendiri dari ulama-ulama
Baghdad. Sedangkan hadis-hadis yang dikumpulkan yang berisi tentang keutamaan Ali ra., benar-benar
kosong dari untur syiah. Dan hadis-hadis yang digunakan pun memiliki sanad yang sahih dan jelas.
Sebab kedua pun salah, karena hukum tersebut sebenarnya bukan berasal dari Imam Al-Thabari, tetapi
dari salah satu ulama Syiah yang memiliki nama mirip dengannya, yaitu Abu Jakfar Muhammad bin
Jarir bin Rustam Al-Thabari.
24
Adapun sebab yang terakhir juga salah. Karena Imam Thabari belum
pernah menulis buku dengan judul Basyarah Al-Mushthafa. Selain itu, ia pun belum pernah
menuliskannya dan tidak ada ulama yang menisbahkannya kepada Imam Thabari. Kemungkinan besar
yang ada, buku tersebut merupakan karya seorang ulama syiah abad ke-6 yang namanya hampir mirip
dengan Imam Thabari, yaitu Abu Jakfar Muhammad bin Ali bin Muslim bin Al-Thabari Al-Amoli.
25


Segala sesuatu yang berawal pasti berakhir. Begitu juga Imam Thabari sebagai manusia. Meski ilmu dan
wawasannya sangat luas, tetap saja ia lemah di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui. Setelah hampir
85 tahun yang dilewatinya untuk mencari dan menyebarkan ilmu, akhirnya pada hari senin, tanggal 26
Syawal 310 H ia mengakhiri hayatnya. Para ahli sejarah sepakat bahwa ia meninggal dan dikuburkan di
Baghdad. Ketika itu pada masa Abasiah yang dipimpin oleh Al-Muqtadir billah. Para ahli sejarah
sempat berbeda pendapat tentang tempat di mana Imam Thabari dikuburkan, karena di Mesir, yaitu di
kawasan gunung Mukattam terdapat makam yang bernisankan Imam Thabari. Akan tetapi hal tersebut
tidak benar, sebagaimana yang disepakati Ibnu Khallikan, Ibnu Yunus dalam kitab sejarahnya,
muridnya, Ahmad bin Kamil yang menyebutkan bahwa ia dikuburkan di tempat keharibaan Nabi
Yaqub, yaitu Baghdad.
26



23
Ibid., hal. 86-87.
24
Ahmad Nashri, Al-Manhaj Al-Naqdi F Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa Muqawwamatuhu, hal. 27.
25
Ibid., hal. 87.
26
Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 191-192..
C. Induk Penafsiran
Para ulama sepakat bahwa Tafsir Al-Thabari merupakan tafsir pertama yang muncul dengan hasil akhir
penafsirannya dicetak berjilid. Tapi hal ini tidak memberikan sebuah kesimpulan bahwa sebelum Imam
Thabari, tidak ada aktifitas penafsiran, karena sebagaimana yang diketahui bahwa aktifitas penafsiran
sudah dilakukan semenjak zaman Nabi, sahabat, tabiin dan setelahnya.

Penafsiran pun dengan sendirinya berkembang. Salah satunya dipengaruhi oleh munculnya kelompok-
kelompok, mazhab-mazhab dan lain sebagainya, sehingga penafsiran pun semakin bercorak,
tergantung siapa atau kelompok mana yang menafsirkan. Selain itu, perkembangan penafsiran tersebut
dipengaruhi oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, sehingga setiap orang menafsirkan ayat Al-Quran
sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka kuasai, seperti Al-Zujaj yang menafsirkan Al-Quran dengan
berkonsentrasi pada nahunya; Abu Ubaidah yang berkonsentrasi terhadap kegariban yang ada di dalam
Al-Quran dan lain sebagainya.
27


Tafsir Jmi Al-Bayn an Tawl yi Al-Qurn, sesuai dengan namanya, tafsir ini benar-benar mencakup
seluruh penafsiran yang dibutuhkan oleh umat. Di dalamnya terkumpul penafsiran-penafsiran dengan
berbagai metode, dari metode bi al-matsur, bi rayi, fiqih dan lain sebagainya. Penulis tafsir yang
berakidah ahlusunnah ini sengaja mengarang tafsir tersebut, karena ia merasa akan pentingnya disiplin
ilmu tafsir terhadap kehidupan Umat. Artinya, dengan ilmu tersebut mampu memahami kandungan
Al-Quran dan menimbulkan rasa tentram ketika mendengarnya. Abu Bakr Muhammad bin Mujahid
berkata, Aku mendengar Abu Jakfar berkata, Aku sangat heran dengan mereka bagaimana mungkin
merasa tentram dalam membaca Al-Quran tanpa mengetahui penafsirannya?
28


Selain kedudukan ilmu tafsir tersebut, juga karena keinginan Imam Thabari sendiri. Hal ini
penafsiran ayat Al-Quran- sudah datang kepadaku saat aku kecil. Setelah melewati perjalanan ilmiah
dan merasa telah cukup menguasai berbagai macam ilmu, ia pun beristikharah untuk melaksanakan
azam tersebut. Imam Thabari berkata, Aku telah beristikharah kepada Allah untuk melaksanakan
proses penafsiran tersebut. Aku pun meminta kepada-Nya untuk menolongku atas apa yang aku sudah
niatkan tersebut selama tiga tahun, maka Allah pun menolongku.
29



27
Op. cit., hal. 20.
28
Ahmad Nashri, Al-Manhaj Al-Naqdi F Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa Muqawwamatuhu, hal. 111.
29
Ibid., hal. 110.
Buku tafsir yang menjadi induk penafsiran ini mengalami proses penulisan selama tujuh tahun.
Merupakan prestasi yang menkjubkan, dengan waktu sesingkat itu, Imam Thabari mampu menulis
buku tafsir yang isinya mengandung banyak hal. Suatu hari Imam Thabari bertanya pada murid-
muridnya, Apakah kalian bersemangat untuk menafsirkan Al-Quran? mereka berkata, Mampu
mencakup berapa halaman? tiga puluh ribu lembar kalau seperti itu, sebelum habis
menyelesaikannya, umur pun sudah habis terlebih dahulu. Maka Imam Thabari pun meringkasnya
menjadi tiga ribu lembar. Artinya, setiap sepuluh lembar, ia jadikan menjadi satu lembar. Jika riwayat
tersebut benar, maka banyak hal yang sengaja dihilangkan oleh Imam Thabari yang mungkin sangat
bermanfaat untuk umat.
30


Muhammad bin Ahmad bin Yaqub berkata, telah berkata Muhammad bin Abdullah Al-Nisaburi Al-
Hafiz, Aku mendengar Abu Bakr bin Bilwaih berkata, Abu Bakr bin Ishaq telah berkata kepadaku,
Beri tahu aku bahwa kau telah menulis tafsir dari Muhammad bin Jarir. Aku berkata, Iya aku
menulis darinya secara dikte, maka Abu Bakr pun meminjamnya dan mengembalikannya setelah
beberapa tahun seraya berkata, Aku sudah melihat dari awal hingga akhir kitab tersebut, dan aku tidak
tahu apakah ada orang di atas muka bumi ini yang lebih tahu daripada Muhammad bin Jarir.
31


Sumber penafsiran yang digunakan Imam Thabari terbagi menjadi dua, sumber tertulis dan sumber
verbal (syafahi). Menurut Ahmad Nashri, merupakan hal yang tidak bahaya ketika kita tidak tahu
perbedaan keduanya, namun yang harus diperhatikan adalah syubhat yang datang dari Fuad Sazkin. Ia
mengatakan bahwa Imam Thabari dalam membuat tafsirnya, merujuk kepada buku tafsir yang telah
dicetak. Perkataan ini otomatis salah, karena sebagaimana yang disepakati para Ulama, tidak mungkin
ada buku tafsir yang tercetak sebelum buku tafsir Imam Thabari muncul. Fuad Sazkin pun
menambahkan bahwa ia mampu menyebutkan nama-nama pengarang buku tafsir yang dirujuk oleh
Imam Thabari, salah satunya buku tafsir yang dimiliki Mujahid. Imam Thabari telah merujuk tafsir
Mujahid kira-kira sebanyak 700 kali.
32


Syubhat di atas kembali terbantahkan dengan dua hal. Pertama, tidak adanya bekas penukilan Imam
Thabari dalam tafsirnya yang dilakukan dari buku tafsir Mujahid. Kedua, apa yang telah dilakukan oleh

30
Ibid., hal. 112.
31
Ibid., hal. 111.
32
Ibid., hal. 125.
Abdu al-Rahman Al-Thahir, di mana ia menahkik tafsir Mujahid dengan merujuk kepada tafsir Al-
Thabari.
33


D. Metode Imam Thabari dalam Penafsiran
Banyak ulama yang mengategorikan tafsir Thabari sebagai tafasir yang menggunakan metode bi Al-
Matsur. Metode ini merupakan metode paling baik dalam menafsirkan Al-Quran, karena yang apa yang
datang dari Rasulullah Saw. (sunah) merupakan penjelas isi kandungan Al-Quran. Namun demikian,
ada beberapa hadis, khususnya yang datang dari sahabat atau tabiin yang tidak benar-benar datang dari
Rasulullah Saw., alias hadis mauquf atau bahkan palsu. Oleh karena itu, dalam memakai metode
tersebut pun tetap harus berhati-hati.

Kita tidak bisa menyalahkan apa yang diyakini para ulama tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya
Imam Thabari tidak hanya fokus pada metode bi Al-Matsur saja, tetapi metode lain pun ia gunakan,
seperti metode penafsiran bi Al-Rayi, fiqhi, bayani, sehingga tafsirnya membahas banyak hal. Secara
umum, ketika Imam Thabari menafsirkan Al-Quran, maka ia akan menjelaskan makna ayat tersebut
sejelas mungkin, sehingga mudah difahami. Setiap lafal di dalam ayat tersebut, ia jelaskan dari segi
maknanya, menafsirkannya dengan riwayat-riwayat hadis yang datang dari Rasulullah Saw.. Jika tidak
ada, maka ia akan menafsirkannya dengan atsar yang datang dari sahabat dan tabiin. Setelah itu, ia
menjelaskan kedudukan setiap riwayat tersebut, sehingga jika ada sebuah riwayat yang penafsirannya
tidak berhubungan dengan ayat tersebut, maka ia akan menolaknya, termasuk jika sanad hadis tersebut
tidak sempurna. Selain itu, ia pun menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran-penafsiran para ulama
yang telah mendahuluinya dan pada akhirnya ia memakai akal pikirannyaa guna memfilter riwayat-
riwayat atau penafsiran-penafsiran tersebut dan menguatkan penafsiran yang sebenarnya.
34


1. Konsentrasi terhadap metode penafsiran bi al-Matsur.
35

Sebagaimana disebutkan, bahwa riwayat pertama yang digunakan Imam Thabari dalam menafsirkn
auta Al-Quran adalah riwayat yang datang dari Rasulullah Saw.. Sebagaimana yang dilakukannya ketika
menafsirkan ayat 89-90 surat Al-Naml.

: : : :
: : }4`) 47.~E} gOE4=OE^)

33
Ibid.
34
Ibid., hal. 131. Lihat juga, Musaid Ali Jakfar, Manahij Al-Mufasirin, (t.t.: Dar Al-Marifah, 1980), Cet. I, hal. 55.
35
Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 241-257.
N- OOE= Ogu+g)` -4 }g)` v4O
Oj4`O4C 4pONLg`-47 ( , : ) }4`4 47.~E}
gOEj1OO) ;e*l7 _-ON_N O)
jOEL- E- ]u4O^_q` ) 4` +L7
4pOUEu> ) . :

Namun jika Imam Thabari tidak menemukan hadis dari Rasulullah untuk menjelaskan ayat sebuah
ayat, maka ia akan mencari atsar yang datang dari para sahabat dan menggunakannya untuk
menafsirkan Al-Quran. Sebagaimana yang dilakukannya ketika menafsirkan ayat tiga surat Al-Fatihah.

: : : : :
( ^}4uOO- 1gOO- ) . :
( ^}4uOO- 1gOO- ) ,
.

Begitu juga ketika Imam Thabari tidak menemukan penafsiran dari hadis Rasulullah Saw. atau dari
para sahabat, maka ia akan menggunakan periwayatan dari kalangan Tabiin. Para tabiin yang sering
dinukil olehnya di antaranya, Mujahid bin Jabar, Qatadah bin Daamah Al-Dusi, Said bin Jabir, Abu
Al-Aliyah, Al-Dlahak dan yang lainnya. Metode ini digunakan, salah satunya ketika menafsirkan ayat 24
surat Al-Baqarah.

: : : ( : E-1O~4
+EEL- 7E4OE^-4 . : )

2. Mengupas tuntas sanad hadis
36

Sebagaimana metode sebelumnya, selain meriwayatkan hadis untuk menafsirkan Al-Quran, Imam
Thabari juga mengkritisi sanad setiap hadis tersebut. hal ini dilakukan untuk mengetahui benar
tidaknya riwayat tersebut. Cara ini benar-benar ilmiah, karena selain untuk menilai kedudukan sebuah
riwayat, juga bisa mengetahui sumber riwayat tersebut. Maka tak heran, jika sebagian ulama berkata
bahwa sanad sebagian daripada agama.


36
Ibid., hal. 258-265.
Oleh karena itu, Imam Thabari sangat memperhatikan sanad dalam meriwayatkan hadis. Termasuk
kelebihannya, ketika meriwayatkan hadis atau atsar, maka ia akan menuliskan semua sanad dengan
sempurna dari awal hingga akhir dan mengoreksinya. Hak tersebut tiada lain karena kadar ilmu
pengetahuannya, khusunya dalam ilmu hadis dan konsentrasinya dalam belajar, di mana sebagaimana
disebutkan bahwa ia tidak pernah berumah tangga demi aktifitas mencari dan mengajarkan ilmu.

4O4C4 NCELNC O) jOOO- 4v@OE }4` O)
g4OEOO- }4`4 O) ^O- ) }4`
47.E- +.- _ 74 +O> 4@O=E1
37

Imam Thabari berkata: Abu Kuraib telah berkata: Abdurrahman bin Muhammad bin Al-Muharibi
telah berkata dari Ismail bin Rafi; Al-Madani dari Yazid bin Ziyad. Melihat kesalahan pada sanad ini,
Imam Thabari pun berkomentar, Yang benar adalah Yazid bin Abu Ziyad.

3. Mengoreksi beberapa riwayat dan menguatkan salah satunya.
38

Dalam menafsirkan ayat Al-Quran, Imam Thabari tidak cukup menyebutkan satu riwayat saja. Artinya,
ia menyebutkan seluruh riwayat hadis atau atsar dan pada akhirnya menguatkan salah satu riwayat
tersebut dengan rasionya sendiri. Hal ini sebagaimana dilakukannya ketika menafsirkan ayat sepuluh
syrat Al-Qashash.

( E4l;4 1-E g-q _E<ON` ~^@O W p)
;E1 Ogl+ gO) O p E4;C4O
_O>4N E_):U~ ]O74-g =}g` --gLg`u^- )
Imam Thabari berkata, Sebagian ulama berbeda pendapat dalam memaknai firman Allah yang
menunjukkan bahwa hati ibu Nabi Musa As. menjadi kosong. Apakah hati tersebut kosong dari
kesedihan atau kepedihan atau adri hal lainnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa hati Sang Ibu
menjadi kosong dari segala sesuatu, kecuali ingatannya terhadap anaknya. Dari Said bin Jabir dari Ibnu
Abbas, ia berkata, hatinya menjadi kosong dari segala sesuatu, kecuali ingatan kepada anaknya.

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hati Sang Ibu kosong dari wahyu yang memerintahkannya
untuk menghanyutkan anaknya di sungai. Dari Abu Bakr bin Abdullah, Ia berkata: Al-Hasan telah
berkata, Hatinya menjadi kosong dati janji yang dijanjikan kepadanya akan kembalinya sang anak

37
QS. Al-Naml: 87.
38
Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 264-267.
kepada pangkuannya, bahkan ia melupakan semuanya, sehingga hampir saja ia menyatakan rahasia
tentang Nabi Musa As. jika saja tidak kami kuatkan hati Ibu Musa As. Dan sebagian lainnya pun ada
yang manafsirkan bahwa hati Sang Ibu kosong dari kesedihan, karena ia tahu bahwa anaknya tidak
akan tenggelam.
39


Adapun pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hati ibu Musa As. kosong
dari segala sesuatu kecuali keinginannya terhadap Musa As. itu sendiri. Penafsiran ini paling kuat,
karena kalimat sebelumnya sesuai dan maknanya saling berkaitan. Aapun penafsiran bahwa hati Sang
Ibu kosong dari segala sesuatu, kecuali wahyu, maka ini keliru. Karena jika penafsiran benar seperti ini,
maka tidak akan diiringi setelahnya dengan kalimat gO) Ogl+ E1
p).
4. Penafsiran dengan metode bi Al-Rayi.
40

Imam Thabari meyakini bahwa metode ini memiliki peran penting dalam ranah penafsiran. Al-Darini
berkata, Imam Syatibi menyepakati sebagian besar Al-Quran sengaja tidak ditafsirkan oleh pemilik
syariat, agar mampu diketahui oleh para mujtahid dengan menggunakan pikiran mereka. Oleh karena
itu, hal tersebut menggunakan pikiran untuk menafsirkan ayat Al-Quran- merupakan ibadah.
Namun di sisi lain, banyak orang atau kelompok yang menafsirkan Al-Quran dengan pikiran yang
batil, sehingga makna ayat pun jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu selain mendukung metode
ini, Imam Thabari pun mencelanya tatkala menggunakan pikiran yang batil. Bahkan di dalam
mukadimah tafsirnya, ia menuliskan beberapa hadis yang berkaitan tentang penggunaan akal pikiran
untuk menafsirkan Al-Quran. Metode ini Imam Thabari gunakan salah satunya ketika menafsirkan
ayat 25 surat Al-Baqarah.
;4) N7+uj4N 4g~-.- W-uE4;N-
74g` O) ge:OO- E4U _ W-O+^O7
EE14Og~ (4-g*OE=
Dari Mujahid, ia berkata, Hati-hati mereka berubah menjadi hati monyet. Dan hal ini adalah
pemisalan yang datang dari Allah, sebagaimana mereka dimisalkan dengan keledai yang membawa
kitab. Imam Thabari berkata, Apa yang ditafsirkan oleh Mujahid adalah tidak benar dan tidak sesuai,
karena hal tersebut bertentangan dengan zahir ayat Al-Quran itu sendiri. Sedangkan penafasiran yang
sesuai, bahwa mereka secara zahir berubah menjadi monyet, babi dan hamba tagut.
41



39
Ibid.
40
Ibid., hal. 268-277.
41
Ibid.
5. Konsentrasi penafsiran terhadap segi bahasa.
42

Sebagaiman yang diketahui bahwa Al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa arab, sehingga
bangsa arab kala itu akan mudah untuk memahaminya. Hal ini sebagaimana tercantum pada ayat 17
surat Al-Qamar. Para mufasir, termasuk Imam Thabari pun menilai bahwa bahasa memiliki kedudukan
penting dalam ranah penafsiran. Akan tetapi, ada yang berbeda dengan Imam Thabari dalam
menggunakan metode ini, yaitu selain untuk mencari makna sebuah lafal, juga pembahasan bahasa ini
ia gunakan untuk menguatkan atau melemahkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu dalam
menafsirkan sebuah ayat. Selain itu, Imam Thabari pun tidak hanya berkonsentrasi pasa sisi nahu atau
saraf saja, tetapi semua yang berkaitan dengan bahasa, ia gunakan.

a. Segi Makna.
43

Penafsiran ayat dari segi makna sering ia lakukan demi ayat tersebut bisa difahami dengan baik.
Salah satunya ia gunakan ketika menafsirkan ( ). Abu Jakfar berkata,
istiadzah bermakna meminta perlindungan. Salah satu penafsiran seorang mufasir mengatakan, aku
berlindung kepada Allah, tanpa selainnya dari makhluk-makhluk seperti setan yang dapat
membahayakanku dalam perkara agama atau menghalangiku dari kebenaran yang harus aku
kerjakan untuk tuhanku. Sedangkan dalam percakapan arab, bermakna segala sesuatu
yang berpaling, baik dari jin, manusia, hewan atau segala sesuatu lainnya. Selain itu juga dikatakan
bahwa berasal dari kata kerja yang bermakna yang
bermakna

b. Menguatkan makna dengan syair.
44

C 4 u E U O p 4 O + ` 4 C E = 4 . 7 + ` g } ` O 4 O O @ C U =
1g1E>4 pE_4 -4OO_^~E
O~4 `e4Oc-O _ W-EOUE;N- 4-47
E1N-E1 -wO'7- _ O)U~4 ;}g)` EOg14:gN
+OO7O=-
45


42
Ibid., hal. 281.
43
Ibid., hal. 283.
44
Ibid., hal. 322.
45
QS. Saba: 13.
Imam Thabari berkata bahwa kata yang digaris bawahi merupakan bentuk plural dari kata
yang bermakna masjid atau musala atau rumah. Sebagaimana yang diucapkan Adi bin
Ziyad dalam syairnya, # .
46


c. Segi Irab
47

Dalam penafsiran secara bahasa, Imam Thabari tidak meninggalkan pembahasan ayat dari sisi Irab,
karena ia tahu bahwa dengan mengupas ayat dari sisi Irab, maka mampu memunculkan penafsiran
yang mudah difahami. Salah satunya ia lakukan pada ayaht 26 surat Al-Baqarah.
Ep) -.- +/u^4-O4C p =)O;EC 1EV4`
` E 4 N O = O L E O ~ _ E _ ` E
-g~-.- W-ON44`-47 4pOUu41 +O^^
O-E^- }g` )_)O W E`4 4g~-.-
W-NOE ]O7O4O .-O4` E1-4O +.-
-EOE_) 1EV4` O O_NC gO) -LOOgV
Og;_4C4 gO) -LOOg1E _ 4`4 O_NC
gO) ) 4-OE^-
Huruf pada ayat di atas berkududukan manshub, salah satunya karena berkedudukan
manshub karena adanya kata kerja . Dan kata memiliki ikatan dengan
tersebut, maka ia pun di-Irab-kan dengan kedudukan yang ia miliki, yaitu manshub. Seperti yang
dilakukan Hasan bin Tsabit: # . dalam syair
tersebut di-Irab-kan dengan kedudukan yang sama dengan karena keduanya memiliki
hubungan. Dan bangsa arab sering melakukan ini, khususnya pada dan .

6. Konsentrasi penafsiran terhadap segi qiraat.
48

Dalam hal ini, Imam Thabari memiliki standar tersendiri terhadap kesahihan qiraat. Ada tiga ayarat
untuk menjadikan qiraat tersebut sahih dan bisa diterima. Pertama, sesuai dengan riwayat yang
mutawatir. Kedua, sesuai dengan mushaf. Ketiga, sesuai dengan kaidah bahasa arab. Selain menyajikan
beberapa qiraat, Imam Thabari pun berusaha untuk menguatkan salah satunya sesuai dengan
kaidahnya dan dalil yang menguatkannya. Hal ini dilakukan tiada lain untuk membuat sevuah ayat yang
ditafsirkan mampu difahami dengan baik. Seperti yang dilakukannya pada ayat 94 surat Al-Kahfi.

46
Ibid.
47
Ibid., hal. 323.
48
Ibid., hal. 337.
Ep) EON_4C EON_4`4 4pO^N` O)
^O-
Imam Thabari menuliskan bahwa para ulama berbeda qiraat dalam membaca ayat tersebut. Ulama
Qura dari Ahlu Hijaz, Irak dan selainnya membaca ayat tersebut dengan EON_44
ON_ p) tanpa menggunakan hamzah, karena kedua isim di atas memiliki bentuk .
Adapun hamzah setelahnya, hanya hamzah pemabah saja, bukan asli dari kata tersebut. Sedangkan
Ashim bin Abu Al-Nujud dan Al-Araj, mereka berdua membacanya dengan menggunakan hamzah.
Adapun qiraat yang benar adalah qiraat yang tidak menggunakan hamzah, karena kuatnya alasan
mereka dan kata tersebut masyhur di kalangan masyarakat Arab, sebagaimana yang dikatakan Ruyah
bin Al-Ajaj, # .
49


7. Konsentrasi penafsiran terhadap segi fikih.
50

Ilmu fikih yang dimilikinya tidak membuat Imam Thabari ketinggalan dari penafsiran dengan metode
fikih. Artinya, ketika ada ayat Al-Quran yang berkaitan dengan fikih, maka ia akan berusaha untuk
membahasnya dengan mencantumka beberapa pendapat ulama yang mendahuluinya berseta dalilnya
dan pada akhirnya ia memfilter serta menguatkan satu dari pendapat-pendapat tersebut. Salah satunya
sebagaimana yang dilakukan ketika menafsirkan ayat 222 surat Al-Baqarah.
C4^OU4*OEC4 ^}4N ^*1E^- W ~ 4O-
O+O W-O7jO4;N 47.=Og)4- O)
^*1E^- W 4 O}-O+4O^> _/4EO
4pO_;C4C
Menurut Imam Thabari para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat di atas. Sebagian ulama
berpendapat bahwa suami harus menjauhi seluruh badan istrinya yang haid (ketika dalam keadaan
bersetubuh). Mereka berdalil dengan riwayat yang datang dari Auf dari Muhammad, ia bertanya
kepada Ubaidah, Apa yang halal bagiku dari istriku ketika ia dalam keadaan haid? Ia menjawab, satu
selimut dan beda kasur. Sebagian lainnya berpendapat bahwa perintah Allah tersebut sebenarnya
menjauhi bagian yang kotor saja. Dari Masruq bin Al-Ajda, ia berkata: Aku bertanya kepada Aisyah:
Apa yang halal bagiku dari istriku ketika ia dalam keadaan haid? Aisyah pun menjawab, Segala
sesuatu kecuali jimak. Sebagian ulama lainnya berpendapat, bahwa bagian yang harus dijauhi suami
adalah antara pusar dan lutut. Mereka berdalil dengan riwayat yang datang dari dari Ibnu Syirin dari Al-

49
Ibrahim Rafidah, Al-Nahu wa Kutub Al-Tafsir, (Tharablis: Al-Dar Al-Jamahiriyah, 1990), Cet. III, hal. 625-630.
50
Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 346-351.
Aswad dari Aisyah, ia berkata, Jika di antara kami (Ummu Al-Muminin) sedang haid, maka Rasulullah
menyuruhnya untuk menggunakan sarung, lalu melakukan jimak dengannya.
51


Imam Thabari berkata, sebab perbedaan antara mereka adalah pemahaman mereka terhadap nas
hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah tetap melaksanakan jimak, meski istrinya dalam keadaan
haid. Jika ayat tersebut bermakna untuk menjauhi seluruhnya, maka Rasulullah pun tidak akan
melakukannya. Adapun pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa seorang
laki-laki diperbolehkan untuk melakukan jimak dengan istrinya, kecuali pada bagian yang bersarung,
yaitu antara pusar dan lutut.
52


8. Konsentrasi penafsiran terhadap akidah dan corak pemikiran sebuah kelompok.
53

Sebagaimana disebutkan di awal makalah, bahwa perkembangan tafsir salah satunya dipengaruhi oleh
munculnya kelompok-kelompok di kalangan masyarakat, sehingga setiap kelompok tersebut
menafsirkan Al-Quran sesuai dengan apa yang diyakini oleh kelompok tersebut, meski jauh dari makna
sebenarnya atau bertentangan dengan akidah. Oleh karena itu, Imam Thabari pun selain menafsirkan
ayat Al-Quran agar mudah difahami, juga terkadang mengkritik penafsiran kelompok-kelompok yang
bertentangan dengan akidah, seperti penafsiran Al-Qadariyah, Al-Muktazilah, Khawarij, Al-Jamhiyah,
Al-Musyabbihah dan kelompok lainnya.
54


Contohnya ketika ia mengkritisi keyakinan kelompok Al-Qadariyah dalam menafsirkan ayat 6 surat Al-
Fatihah.( 474-O^- O4O_^-4^gu--).
Imam Thabari berkata, menurut kami ayat tersebut menunjukkan permintaan seorang hamba kepada
Tuhannya berupa taufik agar bisa melaksanakan apa yang telah dibebankan kepadanya berupa ibadah
selama ia memiliki umur. Apa yang kami ucapkan ini adalah benar. Sedangkan Al-Qadariyah melihat
ayat ini, mereka menafsirkan bahwa apa yang telah diperintahkan dan dibebankan kepada kita, maka
itu sudah sekaligus dengan pemberian pertolongan untuk melaksanakannya, sehingga untuk
melaksanakan itu semua tidak perlu kepada Tuhan lagi. Apa yang mereka yakini adalah salah, karena
jika memang seperti itu, maka ayat Allah sebelumnya salah. Oleh karena itu, agar ayat tersebut tetap
benar, maka penafsiran yang benar adalah apa yang kami gunakan.
55


51
Ibid.
52
Ibid.
53
Ibid., hal. 352.
54
Ibid.
55
Ibid., hal. 353.

E. Israiliyat Perspektif Imam Thabari
Rasulullah Saw. bersabda, Setiap keturunan Nabi Adam pasti memiliki dosa dan sebaik-baik yang berdosa
adalah mereka yang bertaubat. Hadis ini menunjukkan bahwa kita semua tidak ada yang sempurna, pasti
memiliki kekurangan dan kelebihan. Termasuk dengan Imam Thabari, meski menguasai banyak ilmu
pengetahuan, tetap saja tidak terlepas dari kesalahan. Salah satunya apa yang ia lakukan di dalam buku
tafsirnya yang menjadi rujukan utama para pencari ilmu di dalam bidang tafsir. Imam Al-Suyuthi
berkata, kitab milik Imam Thabari- merupakan kitab tafsir terbaik dan teragung. Di dalamnya
terdapat riwayat-riwayat untuk menafsirkan sebuah ayat serta penguatan antara riwayat tersebut. Selain
itu, terdapat Irab kosa kata, pengambilan hukum yang benar-benar membuatnya berbeda dengan
penafsiran para Ulama sebelumnya.
56


Sebagaimana dituliskan Umar Muhyiddin dalam bukunya Manhaj Al-Tafsir inda Al-Imam Al-Thabari,
salah satu kekurangan Imam Al-Thabari dalam buku tafsirnya, yaitu pemakaian riwayat Israiliyat dalam
penafsiran ayat Al-Quran.
57
Dalam mukadimah tafsirnya, Imam Thabari menyebutkan para mufasir
yang tergolong ke dalam penafsir dengan tafsiran yang buruk, seperti Al-Saddi dan Al-Kalbi. Akan
tetapi anehnya, Imam Thabari pun terbukti meriwayatkan dari mereka berdua dan selain mereka yang
masyhur meriwayatkan dari kalangan Ban Isril, seperti Wahb bin Munabbih, Kaab Al-Ahbar, Ibnu
Juraij dan lain sebagainya.
58


Kaidah mengatakan bahwa musabab tidak akan terlepas dari sebab. Begitu pun adanya pencantuman
riwayat Israiliyat di dalam tafsir Al-Thabari. Mustahil, jika Imam Thabari dengan kadar keilmuannya
yang tidak diragukan lagi, menggunakan riwayat Israiliyat dalam menafsirkan al-Quran tanpa alasan.

Lima faktor yang membuat Imam Thabari riwayatkan Israiliyat di dalam tafsirnya dan kesengajaannya
untuk tidak menkritisi sebuah riwayat yang daif atau maudlu. Pertama, sengaja menyerahkan urusan
yang berat kepada para Ulama lainya, ahli hadis, baik dari segi riwayat atau ilmu pengetahuannya.
Seolah ia berkata, Aku hanya mengumpulkan, merekalah yang akan memurnikan dan
menerangkannya. Kedua, ia berpendapat bahwa siapa yang menyerahkan sesuatu kepada seseorang,

56
Ahmad Nashri, Al-Manhaj Al-Naqdi F Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa Muqawwamatuhu, hal. 122. Lihat juga,
Husain Al-Dzahabi, Al-Tafsrir wa Al-Mufasirun, (Kairo: Dar Al-Salam, 2005), t.c., hal. 182.
57
Kebanyakan dari riwayat tersebut mengandung khurafat yang bertentangan dengan akidah dan bisa
menghilangkan kemuliaan para Nabi dan Rasul, sehingga dapat merusak keimanan dan ketakwaan seseorang.
58
Op. cit., hal. 367.
maka ia bertanggungjawab terhadap yang diserahkan tersebut. Ketiga, ia berprasangka baik bahwa
ulama pada zamannya dan setelahnya benar-benar mengetahui tentang sanad, kesahihan, kedaifan
hadis. Keempat, ia tidak mengkritisi riwayat-riwayat tersebut ditakutkan akan memperpanjang dan
memperluas pembahasan yang ada di dalam tafsirnya tersebut. Kelima, penggunaan Israiliyat bertujuan
hanya untuk menjelaskan arti kosa kata yang sebenarnya, karena terkadang ada beberapa kosa kata
yang mirip tapi berbeda makna.
59


Alasan di atas dijawab lugas oleh Amal Muhammad Rabi, jika menyerahkan perkara besar tersebut
kepada para Ulama, ahli hadis dan ahli tafsir setelahnya, maka alasan tersebut tidak sama sekali benar,
karena kenyataan saat ini, buku tersebut sampai kepada orang-orang yang tidak termasuk ahli hadis,
ahli tafsir dan kalangan ulama lainnya. Kedua, kaidah yang digunakan Imam Thabari tersebut tidaklah
benar, apalagi dalam perkara penafsiran ayat al-Quran. Ketiga, jika prasangka baik yang dilakukan oleh
Imam Thabari tidak tapat, maka ia bersalah. Keempat, kami tidak menerima alasan yang tidak logis ini,
karena bukan merupakan perkara yang bahaya, jika pembahasan riwayat tersebut membuat tafsirnya
semakin banyak jilidnya.
60
Adapun alasan kelima sebagaimana yang dipaparkan salah satu penahkik
tafsir Al-Thabari- masih diterima oleh sebagian orang, karena terkadang ada benarnya, seperti halnya
penggunaan syair dalam menafsirkan ayat Al-Quran.
61


Terlepas itu semua, kita harus mengetahui hakikat yang sebenarnya, bahwa Israiliyat meski memiliki
sanad sahih yang sampai kepada Tabiin seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah dan lainnya- atau
bersumber dari buku klasik Bani Israil yang penuh dengan khurafat, tetap saja riwayat Israiliyat tersebut
tidak sama sekali bersumber dari Rasulullah Saw. Oleh karena itu, riwayat tersebut benar-benar tidak
bisa digunakan untuk menafsirkan Al-Quran, kecuali untuk menjelaskan kesalahan dan kebatilannya.
62


Imam Thabari, selain meriwayatkan dari para tabiin yang masyhur meriwayatkan dari kalangan Ban
Isril, juga menukil dari buku-buku klasik yang mengandung khurafat-khurafat yang tidak masuk akal
dan benar-benar tidak sesuai dengan disiplin ilmu apapun.
63
Hal ini terbukti pada beberapa penafsiran
Imam Al-Thabari, di mana riwayat yang digunakan olehnya benar-benar percis dengan isi Taurat.


59
Amal Muhammad Rabi, Al-Israiliyat Fi Tafsir Al-Thabary, dirasah fii Al-lughah wa Al-Mashadir Al-Ibryah, hal. 142.
60
Ibid., hal. 143-145.
61
Ibid.
62
Ibid.
63
Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 362.
1.

( )
64


Ketika Imam Al-Thabari menafsirkan ayat di atas, ia menuliskan beberapa riwayat, pertama, Ali bin Al-
Hasan telah berkata kepada kami, ia berkata, telah berkata Muslim Al-Jurmi dari Muhammad bin
Mushab dari Qais bin Al-Rabi dari Khafish dari Mujahid, bahwa ia berkata, Ia telah mengajarkan
kepadanya nama gagak, merpati dan segala benda lainnya. Dan kedua, telah berkata kepada kami Ibnu
Waki, ia berkata: ayahku telah berkata kepada kami dari Syarik dari Salim Al-Afthas dari Said bin
Jubair, ia berkata, Ia mengajarinya nama unta, sapi dan domba. Dua riwayat tersebut menerangkan
bahwa gagak dan merpati termasuk jenis burung, sedangkan unta, sapi dan domba termasuk hewan
darat, sehingga pembatasan jenis hewan macam ini sama halnya apa yang ada di dalam Taurat, Maka
Adam diberi ilmu tentang nama seluruh hewan-hewan, burung-burung yang terbang di langit dan
seluruh hewan darat. (Sifr Al-Takwin, Ishah: 20).
65


2.
66
(

)

Dalam ayat ini Imam Thabari menafsirkannya dengan sebuah riwayat dari Tabiin yang isinya benar-
benar percis dengan apa yang ada di sifr takwin, ishah: 21-23. Ibnu Hamid telah berkata kepada kami, ia
berkata, telah berkata kepada kami Salmah, ia berkata, Setelah penciptaan Adam sudah pada tahap
sempurna, selanjutnya diambil dari tulang rusuk sebelah kirinya dan ia dalam keadaan tidur sampai
terciptanya Hawa dari tulang rusuk yang diambil tersebut. Setelah terbangun dari tidurnya, Adam
melihat Hawa di sampingnya seraya berkata, Wahai darah dagingku, wahai darahku, wahai wahai
istriku, Adam pun merasa tentram bersamanya. Adapun yang ada di dalam Taurat, Diceritakan
bahwa Adam pingsan dan tertidur. Setelah itu, salah satu tulang rusuknya diambil dan diisi ruang
kosong tersebut- dengan daging. Tuhan pun menciptakan dari tulang rusuk yang diambil tersebut
seorang perempuan untuk dipersembahkan kepada Adam. Ia pun berkata, Kini kau adalah bagian dari
tulang rusukku, kesatuan dari darah dagingku.

3. (

)
67


64
QS. Al-Baqarah: 31.
65
Para ulama telah menyepakati Taurat sebagai sumber utama Israiliyat. Menurut kalangan Yahudi, Taurat
merupakan penjanjian lama yang sangat berbeda dengan perjanjian baru yang dimiliki oleh Kaum Nashrani. Adapun istilah
() adalah istilah yang sama dengan makna () di dalam Al-Quran. Sedangkan () merupakan istilah yang sama
dengan () di dalam Al-Quran. Adapun Sifr yang ada di dalam Taurat di antaranya, sifr Al-Takwin; Al-Khuruj; Al-Lawiyyin;
Al-Adad; Al-Tatsniyah dan lain sebagainya. Op. cit., hal. 55.
66
QS. Al-Nisa: 1.

Seperti contoh sebelumnya, Imam Thabari menafsirkan ayat ini dengan memakai riwayat Israiliyat
yang benar-benar sama dengan apa yang ada di Sifr Al-Takwin, Ishah: 15-16. Basyar telah bercerita
kepada kita bahwa ia berkata, Yazid telah berkata kepada kita bahwa ia berkata, Said telah berkata
kepada kita bahwa ia berkata, dari Qatadah, ia berkata, Disebutkan kepada kami, sesungguhnya
perahu Nabi Nuh memiliki panjang 300 hasta, lebarnya 50 hasta dan tingginya 30 hasta. Sedangkan
pintu perahu tersebut terdapat di sampingnya. Adapun redaksi yang ada di Taurat, Dan seperti inilah
perahu Nuh diciptakan. Ia memiliki panjang 300 hasta, lebarnya 50 hasta, tingginya 30 hasta dan pintu
masuk perahu tersebut ada pada bagian pinggir perahu tersebut. Kemiripan redaksi antara riwayat
yang dinukil Imam Thabari dengan isi Taurat, merupakan bukti kuat penukilan Imam Thabari dari
Bani Israil, baik melalui tabiin Ahlulkitab yang menjadi Muslim atau langsung dari Taurat itu sendiri.

Sikap Imam Thabari terhadap periwayatan Israiliyat pun bukan hanya mencantumkan tanpa
mengoreksinya saja. Menurut Amal Muhammad Rabi, sikap Imam Thabari tersebut dibagi menjadi
tiga.
68
Pertama, mencantunmkan Israiliyat serta menyetujui tanpa mengoreksinya, sebagaimana yang
dilakukannya dalam menafsirkan ayat ( ) ia berkata, Arti dari ayat tersebut adalah membelah
lautan menjadi dua belas, karena mereka berjumlah dua belas kelompok. Sehingga Allah pun
membelah lautan menjadi dua belas, agar semua orang kala itu mampu menyebrangi lautan. Hal ini
menunjukkan bahwa Imam Thabari menyetujui hal tersebut, meski pada nyatanya pembelahan laut
menjadi dua belas bagian tersebut sama halnya dengan apa yang ada di dalam Taurat.
69


Kedua, mencantumkan Israiliyat dan mengingkarinya, sebagaimana yang ia lakukan pada ayat
70
(

). Setelah mencantumkan beberapa riwayat yang penuh dengan Israiliyat, di mana sebagian
riwayat tersebut mengatakan bahwa yang beriman hanya berjumlah delapan orang. Sebagian riwayat
lainnya mengatakan sepuluh orang, riwayat lainnya mengatakan berjumlah tujuh orang, bahkan ada
yang mengatakan bahwa jumlahnya mencapai delapan puluh orang. Imam Al-Thabari pun mengoreksi
riwayat-riwayat tersebut seraya berkata, Sikap yang benar dalam menentukan jumlah tersebut adalah
dengan menyerahkannya kepada Allah dan meyakini bahwa jumlahnya adalah sedikit. Adapun jumlah

67
QS. Al-Syuara: 119.
68
Apa yang dijelaskan Amal Muhammad Rabi ini, membantah mereka yang mengatakan bahwa Tafsir Al-Thabari
merupakan tafsir yang penuh dengan khurafat tanpa ada pengoreksian atau pembenaran yang dilakukan oleh pengarangnya,
karena kenyataannya sebagian Israiliyat tersebut, Imam Thabari koreksi, bahkan menolaknya jika bertentangan dengan
akidah.
69
Op. cit., hal. 145.
70
Hud: 40.
dalam angka, kita tidak bisa menentukannya begitu saja, karena di dalam Al-Quran dan hadis Nabi
Saw. pun tidak terdapat penentuan tersebut.
71
Sikap yang diambil Imam Thabari menunjukkan ia tahu
bahwa tidak ada hadis yang datang dari Rasulullah Saw. atau ayat Al-Quran lainnya yang menjelaskan
jumlah tersebut yang sebenarnya.

Ketiga, mencantumkan Israiliyat serta menyetujuinya sekaligus menolaknya. Sikap terakhir ini sedikit
membingungkan, karena sikap Imam Thabari tersebut seolah tidak konsisten terhadap pendiriannya
sendiri. Sikap ini muncul, sebagaimana ketika menafsirkan
72
( ). Setelah menuliskan
riwayat-riwayat yang penuh dengan khurafat, di mana sebagian riwayat tersebut mengatakan bahwa
tersebut bermakna Nabi Yaqub As.. Sebagian lain mengatakan bahwa kata tersebut bermakna
penjelmaan Malaikat dan lain sebagainya yang jauh dari kebenaran. Imam Thabari berkata, perkataan
yang paling benar yaitu bahwa Allah memberi tahu kepada kita tentang perkara Yusuf As. dengan
Zulaikha. Keduanya sebagai manusia biasa- saling menginginkan satu sama lain. Jika Yusuf As. tidak
melihat petunjuk dari Allah, maka ia akan melakukan apa yang ia inginkan dan terjerumus ke lubang
kehinaan. Perkataan Imam Thabari sampai bagian ini masih dalam koridor yang benar dan sesuai
dengan akidah. Akan tetapi ia melanjutkan perkataannya yang di mana dengan jelas ia menyetujui apa
yang datang dari riwayat Israiliyat sebelumnya yang penuh dengan khurafat, Dan diperbolehkan untuk
memaknai kata tersebut jelmaan dari Nabi Yaqub As., atau malaikat, atau ancaman bagi
mereka yang melakukan perbuatan zina.
73


F. Penutup
Tafsir Jami Al-Bayan an Tawil Ayi Al-Quran merupakan salah satu maha karya Imam Thabari yang
dipersembahkan untuk Umat Islam. Tafsir tersebut menjadi saksi bahwa Al-Quran dengan segala
kandungannya akan terus menjadi pedoman hingga hari akhir dan menjadi titik awal di mana para
ulama setelahnya berlomba-lomba untuk menulis tafsir Al-Quran. Hal tersebut tiada lain karena
kegigihan Imam Thabari sendiri dalam mencari dan mengajarkan ilmu. Karena sebagaimana yang kita
ketahui, bahwa ilmu tidak akan berguna, kecuali diamalkan.

Apa yang diyakini para ulama bahwa tafsir Al-Thabari merupakan tafsir yang menggunakan metode bi
Al-Matsur pun sedikit keliru. Memang benar, Imam Thabari merupakan mufasir pertama yang menulis

71
Op. cit., hal. 155.
72
QS. Yusuf: 24.
73
Op. cit., hal. 160.
tafsir dengan metode tersebut, tapi kenyataannya di dalam tafsir Al-Thabari tersebut mengandung
banyak pembahasan yang tentunya dengan metode berbeda-beda. Dengan kata lain, tafsir Al-Thabari
sebagaimana diyakini oleh Ibnu Asyur merupakan tafsir ilmiah yang mengandung banyak hal yang
sangan penting bagi umat. Adapun mereka yang menilainya termasuk tafsir bi Al-Matsur, maka mereka
hanya melihatnya dari sisi zahir saja. Ibnu Asyur berkata, Mereka tidak melihat bagaimana usaha
Imam Thabari selain dalam meriwayatkan hadis, juga memfilternya, baik dari segi matan atau
sanadnya. Bahkan sebagian ulama ada yang mengategorikan tafsir tersebut termasuk tafsir Naqli wa
Aqli.
74


Terlepas dari itu semua, kelebihan yang dimiliki tafsir Thabari tersebut, menjadikan para ulama
mengapresiasi dan menjadikannya sebagai rujukan utama dalam manafsirkan Al-Quran. Oleh karena
itu, kelemahan Imam Thabari dalam mencamtumkan Israiliyat di dalam tafsirnya seolah-olah bias
dengan kelebihan tersebut. Wallahu Alam.

Bab Al-Ahmar, dalam naungan cinta dan kasih-Nya

Hilmy Mubarok
Mahasiswa Ushuluddin Jur. Tafsir, Universitas Al-Azhar Kairo









Daftar Pustaka
Abd Al-Aziz, Ali, Imam Al-Mufasirin wa Al-Muhadditsin wa Al-Muarrikhin Abu Jafar Muhammad bin Jarir
Al-Thabari, Riyadh: Maktabah Al-Rusyd, 2004.
Al-Dzahabi, Husain, Al-Tafsrir wa Al-Mufasirun, Kairo: Dar Al-Salam, 2005.
Ali Jakfar, Musaid, Manahij Al-Mufasirin, t.t.: Dar Al-Marifah, 1980.

74
Ibnu Asyur, Al-Tafsir wa Rijaluhu, (Kairo, Dar Al-Salam, 2008), Cet. I, hal. 46-47.
Al-Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nataamal Maa Al-Quran, Kairo: Dar Al-Syuruq, 2011.
Al-Thabari, Abu Jakfar Muhammad bin Jarir, Jmi Al-bayn an Tawl yi al-Qurn, Kairo: Dar al-
Salam, 2009.
Asyur, Ibnu, Al-Tafsir wa Rijaluhu, Kairo, Dar Al-Salam, 2008.
Muhyiddin, Umar, Manhaj Al-Tafsir inda Al-Imam Al-Thabari, Damaskus: Dar Al-Fikr, 2008.
Nashri, Ahmad, Al-Manhaj Al-Naqdi F Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa Muqawwamatuhu, Beirut: Dar Ibnu
Hazm. 2012.
Rabi, Amal Muhammad, Al-Israiliyat Fi Tafsir Al-Thabary, dirasah fii Al-lughah wa Al-Mashadir Al-Ibryah,
Kairo: Al-Majlis Al-Ala, 2010
Rafidah, Ibrahim, Al-Nahu wa Kutub Al-Tafsir, Tharablis: Al-Dar Al-Jamahiriyah, 1990.

Anda mungkin juga menyukai