Anda di halaman 1dari 3

Periode ini disebut Asr al-Kitabahwa al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan).

Masa pembukuansecararesmidimulai pada awalabad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah


Umar Ibn Abdul Aziz tahun 101 H,Sebagai khalifah, Umar Ibn Abdul Aziz sadarbahwa para perawi
yang menghimpun hadis dalam hafalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir
apabila tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada
kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian
para penghafalnya ke alam barzakh

Di sampingitu, Umar mengirimkansurat-suratkepadagubernur yang ada di bawah kekuasaannya


untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di
antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad
Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fikih dan hadis.
Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.

Pembukuanseluruhhadis yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn
Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadis pada
masanya.

Setelahitu, para ulama besar berlomba-lombamembukukanhadisatasanjuran Abu Abbas As-Saffah


dan anak-anaknyadari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.

Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadis :

1. Pengumpulpertama di kota Makkah, Ibnu Juraij (80-150 H)

2. Pengumpulpertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)

3. Pengumpulpertama di kota Bashrah, al-Rabi' Ibn Shabih (w. 160 H)

4. Pengumpulpertama di Kuffah, Sufyan at-Tsaury (w. 161 H.)

5. Pengumpulpertama di Syam, al-Auza'i (w. 95 H)

6. Pengumpulpertama di Wasith, Husain al-Wasithy (104-188 H)

7. PengumpulpertamadiYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)

8. Pengumpulpertama di Rei, Jarir ad-Dhabby (110-188 H)

9. Pengumpulpertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)

10. Pengumpulpertama di Mesir, al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).[13]

Abad ke 3
Pada abad ke-3 H, para ulama mulai memilah hadis-hadis sahih dan menyusunnya ke dalam
berbagai topik. Abad ini disebut sejarah Islam sebagai era tadwin atau pembukuan hadis. Pada masa
ini, muncul ulama-ulama ahli hadis yang membukukan sabda Rasulullah SAW secara sistematis.

Abad ke-3 Hijriyah merupakan abad keemasan Islam dalam sejarah kodifikasi hadist. Hal itu
merupakan efek dari perjalanan panjang dan usaha keras para ulama sebelumnya dalam mencari,
menyusun dan menyeleksi hadist. Pada abad ke-3 ini, kodifikasi hadist berkembang dengan
signifikan. Berbagai macam metode penyusunan hadist lahir di abad ke-3 ini. Tokoh-tokoh besar
hadist yang namanya masih harum hingga sekarang seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, dan Imam
Ahmad merupakan tokoh ulama hadist yang hidup di era ini.

Sejarah mencatat, bahwa kodifikasi hadist selalu mengalami perkembangan di setiap abadnya. Para
ulama selalu mengupgrade dan melakukan penelitian terhadap hadits-hadist Nabi sehingga dari
penelitian itu lahirlah metode-metode baru dalam ilmu hadist terutama dalam kodifikasinya. Maka
bisa kita lihat bahwa di sela-sela abad perkembangan kodifikasi hadist, kita akan menemukan
kekhasan dari abad-abad itu dalam proses mengkaji hadist

Perkembangan kodifikasi hadist tentu tidak lepas dari kebutuhan pada zaman itu. Begitu juga di abad
ke-3 Hijriyah ini, kebutuhan zaman ini menuntut para ulama untuk berfikir kreatif dalam menemukan
metode-metode yang dibutuhkan pada masa itu. Dalam kacamata kultur sosial, abad ke-3 Hijriah ini
masuk ke dalam zaman Dinasti Abbasiyah.

Faktor-faktor kodifikasi hadist pada fase ini :


Perkembangan kodifikasi hadis abad ke-3 H ini dilatar belakangi oleh beberapa hal. Pertama, fitnah
yang terjadi di masa itu. Pertarungan pemikiran yang terjadi antara ahli kalam dan ahli hadist
menuntut para ahli hadits untuk mengumpulkan hadits-hadist dan mencoba menguraikannya secara
benar. Paham kemakhlukan al-Qur’an yang diprakarsai oleh mu’tazilah dan diamini oleh al-Makmun
merupakan salah satu fitnah terbesar abad itu, sehingga para ulama dipaksa untuk mengikuti paham
teologi mereka dan menyiapkan hukuman bagi yang tidak mau mengikutinya.

Kedua, upaya-upaya pemalsuan hadist yang dilakukan oleh kaum Zindiq juga menjadi salah satu
masalah besar abad itu. Usaha mereka dalam menjaga eksistensi golongan mereka perlu legitimasi
yang bersifat superior, sehingga dengan dasar itu orang-orang percaya bahwa kelompoknya
merupakan kelompok yang benar. Kefanatikan yang berkembang di abad itulah yang kemudian
mendorong mereka untuk membuat hadis palsu yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Ketiga, khurafat-khurafat yang tersebar di masa Dinasti Abbasiyah ini juga menjadi salah satu
faktornya. Orang-orang Zindiq menyebarkan dongeng-dongeng keagamaan kepada orang awam untuk
tujuan tertentu. Mereka menceritakan kisah-kisah yang mereka bumbui dengan khayalan mereke
sendiri sehingga orang-orang betah duduk berlama-lama dengannya. Dongeng yang dibalut citra
keagamaan dan disandarkan kepada Rasusullah Saw tentu membuat pendengarnya semakin tertarik.
Seperti kisah Nabi Dawud yang dikatakan bahwa beliau pernah bersujud selama 40 malam. Dalam
sujudnya, Nabi Dawud As menangis sampai air matanya mengairi rerumputan dan menyuburkan
rumput itu. Dongeng-dongeng seperti inilah yang akhirnya ikut menodai kemurnian hadist.

Metode kodifikasi hadist pada fase ini :


Metode pertama, Imam Ibnu Qutaebah merupakan salah satu ulama abad ke-3 H yang berusaha
menjaga sunnah dan martabat para ahli hadist dari tuduhan dan kebatilan yang disebarkan oleh para
pendusta. Dalam kitabnya, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits fi al-Rad ala ‘Ada al-Hadits, Imam Ibnu
Qutaebah menjelaskan tentang pribadi seorang ahli hadist yang jauh dari tuduhan-tuduhan itu bahwa
mereka bukanlah orang yang menyebarkan hadist-hadist dhoif atau bahkan khurafat-khurafat yang
menyesatkan itu. Imam Qutaebah kemudian juga menjelaskan hadist-hadist yang menurut ahli kalam
dinilai kontradiktif dan menghilangkan permasalahan itu.
Metode kedua, mengumpulkan hadist dalam musnad. Ulama hadist dalam hal ini mengumpulkan
hadist-hadist berdasarkan nama-nama sahabat. Hadits-hadist kemudian dikumpulkan berdasarkan
nama sahabat yang meriwayatkan hadist. Walaupun dalam penyusunannya, para ulama hadist
menggabungkan antara hadist yang shohih, hasan, dan dhoif tetapi hal tersebut dapat membantu
menguatkan sebuah hadist karena memiliki jalur periwayatan yang beragam.

Metode ketiga, menyusun hadist-hadist berdasarkan bab-babnya, yaitu dengan men-takhrij hadist
berdasarkan bab fikih atau lainnya. Dalam metode ini, para ulama sudah mulai menjelaskan kualitas
sebuah hadist. Diantaranya ada yang hanya mengumpulkan hadist-hadist yang shohih saja seperti
Imam Bukhori dan Imam Muslim, ada juga yang tidak, artinya di dalam kitab tersebut terdapat
hadist hasan dan dhoif seperti Imam Abu Dawud, Imam an-Nasa’i dan Imam al-Tirmidzi.
Demikianlah, abad ke-3 H ini dianggap sebagai abad keemasan dalam sejarah kodifikasi hadist dan
abad yang paling menggembirakan dalam hadits. Karena di masa ini hadist-hadist sudah tersusun dan
terkumpulkan dengan rapi dan sistematis. Pemisahan antara perkataan tabi’in, sahabat dan Rasulullah
juga dilakukan di abad ini, sehingga tidak terjadi kekeliruan dalam menilai suatu hadist.

Pada masa ini muncul ulama-ulama yang jenius, kritikus-kritikus yang tajam, dan akademisi yang
teliti dalam mengkaji objek penelitiannya seperti Ali bin al-Madini, Yahya bin Main, Abu Zar’ah al-
Rozi, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Muslim bin Hajjaj, Imam Nasa’i, Imam
Turmudzi, Abu Dawud, Imam Ibnu Majah dan lainnya.

Pertanyaan fadli: upaya imam qutaebah menjaga sunnah dan martabat para ahli hadist

Anda mungkin juga menyukai