ULUMUL HADIST
Disusun Oleh:
Kelompok 4:PAI 1 E
1.MEGAWATI :22.11.2876
KUALA TUNGKAL
.S e h i n g g a m a k a l a h y a n g b e r j u d u l “ S E J A R A H D A N
P E M B U K U A N H A D I S T ” ini dapat terselesaikan untuk memenuhi
tugas mata kuliah UlumulHadist. Tak Lupa kami ucapkan terima kasih
kepada dosen Ulumul Hadist kamiyaitu Bapak Deden Suparman, yang telah dan
selalu membimbing kami.Makalah ini tak lepas dari kesalahan, maka dari itu
kritik dan saran kamib u t u h k a n u n t u k m e m b u a t m a k a l a h l e b i h b a i k
lagi.
DAFTAR ISI
ii
Kata Pengantar ...................................................................................................ii
A. Kesimpulan ...............................................................................................16
B. Saran –Saran .............................................................................................16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada masa Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang
menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-
Qu’ran. Pada masa itu, di samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi
Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Menurut pendapat para ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits
serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh
ulama-ulama diberbagai kota-kota besar lainnya.
Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan serta
disempurnakan oleh para ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga
menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus
Sittah dan lain sebagainya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Sejarah penulisan dan pembukuan hadits.
2. Sejarah penulisan dan pembukuan hadits.
3. Latar belakang pemalsuan hadits dan upaya penyelamatannya
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits?
2. Untuk mengetahui Sistem Ulama-ulama Abad Kedua Membukukan
Hadits?
3. Untuk mengetahui Masa-masa Hadits di Bukukan?
4. Untuk mengetahui Kedudukan dan Keadaan Kitab dan Hadist abad ke
II H?
5. Untuk mengetahui Pemisahan Hadits-hadits Tafsir dan Hadits-hadits
Sirah?
6. Untuk mengetahui Hadits dalam Abad Ketiga
7. Untuk mengetahui Masalah-masalah dalam Penulisan dan Pembukuan
Hadits?
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Selain kepada gubernur madinah khalifah umar juga menulis surat kepada
gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis dengan cepat. Dan khalifah
juga menulis surat secara khusus kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim bin
Ubaidillah bin Syihab Azzuhri. Kemudian Syihab Azzuhri ini mulai
melaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga beliau menjadi salah satu ulama
yang pertama kali membukukan hadis.
Kemudian di kembangkan pula oleh ulama-ulama berikutnya. dalam
pembukuan hadis ini juga sekaligus dilakukan usaha penyeleksian hadis yang di
terima(maqbul) dan di tolak(mardud) dengan menggunakan metode sanad dan
isnad.
Metode sanad dan isnad ini adalah metode yang di gunakan untuk menguji
sumber perawi dengan mengetahui keadaanny para perawi seperti,riwayat
hidupnya,kapan dan dimana hidupnya,teman semasanya dan daya tangkap
ingatannya1
Pada dasarnya pada masa rasul sudah banyak umat islam yang bias
membaca dan menulis. Bahkan Rasul sendiri mempunyai 40 orang penulis wahyu
disamping penulis-penulis untuk urusan lainnya. Oleh karenanya, argument yang
menyatakan kurangnya jumlah umat islam yang bias baca tulis adalah penyebab
tidak dituliskannya hadis secara resmi pada masa Rasul, karena tidak tepat dan
ternyata berdasarkan keterangan diatas bahwa setelah banyak umat islam pada
saat itu yang mampu membaca dan menulis. Meskipun demikian, kenyataannya
pada masa Rasul keadaan hadis, berbeda dengan Al Quran dan belum ditulis
resmi. 2
1
https://www.kompasiana.com/nurafnita0404/5f360c90d541df23f126d583/sejarah-
pembukuan-hadis#:~:text=Pembukuan%20hadis%20terbentuk%20pada%20masa,sebagai
%20khalifah%20rasyidin%20yang%20kelima.
2
https://elanurainiblog.wordpress.com/2016/04/09/sejarah-penghimpunan-dan-pembinaan-
hadis/
4
C. PRIODE SAHABAT (ABAD KE II)
5
3
kalau ia mengarang kitab, ia akan memulainya dengan âtsâr dan kemudian diikuti
dengan keputusan-keputusan hukum. Oleh karena itu, ia menyusun Muwaththa`.8
Kebutuhan akan karya semacam itu semakin bertambah luas ketika perkembangan
problem-problem kehidupan masyarakat keagamaan tidak lagi dirintangi oleh
dinasti Umaiyah. Pengarang kitab ini, Imam Mâlik, tertarik dengan persoalan
hukum dan ingin membangun sebuah sistem hukum yang didasarkan pada ‘amal
ahli Madinah.9 Meskipun demikian, kitab ini tetap sebagai tipe kitab hadis pada
abad II H. Kesalahan penilaian terhadap Muwaththa` sebagai kitab hukum karena
pada saat itu belum terjadi pemilahan (spesialisasi) antara disiplin ilmu hadis
dengan ilmu fikih. Para ulama pada saat itu belum terbedakan antara ulama hadis
dan ulama fikih. Imam Mâlik adalah seorang ahli di bidang hadis dan fikih
sekaligus. Tidak heran kalau Mâlik selain diklam sebagai seorang Imam di bidang
hadis juga seorang Imam di bidang fikih. Oleh karena itu, Muwaththa` adalah
kitab hadis dan kitab fikih (hukum Islam).
Kitab ini disusun berbeda dengan tradisi penulisan hadis pada abad I H., yaitu tipe
shahîfah, dan awal abad II H. seperti dilakukan oleh Muhammad b. Syihâb al-
Zuhrî (w. 134 H).10 Kalau kitab hadis tipe shahîfah dan kitab hadis yang ditulis
oleh Ibnu Hazm dan al-Zuhrî ditulis untuk tujuan terbatas, yakni hanya sekedar
menulis hadis-hadis yang beredar secara lisan tanpa adanya sistematisasi dan
klasifikasi dalam bab-bab tertentu, maka kitab hadis pertengahan abad II H.
disusun dengan cara mensistematisir dan mengklasifikasi hadis-hadis berdasarkan
bab-bab fikih. Oleh sebab itu, gerakan pengumpulan hadis pada pertengahan abad
II H. disebut sebagai gerakan Mushannaf yang berarti diklasifikasikan
(dikelompokkan).
Muwaththa` dan Mushannaf adalah dua kata yang memiliki makna yang sama.
Dalam istilah ahli hadis, Muwaththa` dan Mushannaf didefinisikan sebagai kitab
hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fikih.11 Kalau Muwaththa` dan
Mushannaf memiliki arti yang sama, lalu mengapa Imam Mâlik tidak menamakan
kitabnya dengan Mushannaf, sebuah nama populer bagi literatur hadis pada saat
itu. Dalam beberapa laporan dikatakan, kitab ini dinamakan Muwaththa` karena si
3
https://uinsgd.ac.id/perkembangan-literatur-hadis-dari-abad-i-hingga-abad-iv-h/
6
pengarang, Imam Mâlik, menulis kitab ini untuk mempermudah dan
mempersiapkan kitab itu (waththa`ahû) untuk umat manusia. Pendapat lain
menyatakan, sebab dinamakannya kitab ini dengan Muwaththa` adalah karena
Mâlik telah menyodorkan kitab itu untuk dikoreksi oleh tujuh puluh ulama
Madinah yang semuanya sepakat “denganku (waththa`anî)”. Maka ia
menamakannya Muwaththa`.12
Karya Mâlik b Anas (93-179 H) ini tidak hanya berisi hadis nabi semata, tetapi
juga berbagai fatwa shahabat dan tabiin. Shubhî al-Shâlih menyebutkan bahwa
dalam Muwaththa` terdapat 613 hadis mawqûf, fatwa para shahabat dan 285 hadis
maqthû’, fatwa para tabiin.13 Oleh karena itu, terjadi perdebatan serius di
kalangan para ahli. Banyak para ahli dengan berbagai alasan dan argumen
menolak jika Muwaththa` dikatakan sebagai kitab hadis.
Mengenai karya Malik ini, Ignaz Goldzher mengatakan, kitab Muwaththa` tidak
dianggap sebagai kitab hadis terbesar pertama dalam Islam, tidak pula dianggap
sebagai kitab hadis dalam literatur kaum muslim. Karya ini tidak mendapatkan
tempat sama sekali dalam al-kutub al-sittah dan hanya merupakan referensi
generasi belakangan yang ingin memperluas sirkulasi literatur kanonik. Dalam
kenyataannya, karya Mâlik bukan sebuah koleksi hadis (corpus traditionum),
tetapi lebih sebagai sebuah koleksi hukum (corpus juris). Kitab ini tidak
membentuk skema isi dalam koleksi-koleksi hadis, tetapi lebih kepada tujuan dan
rencana penyusunannya. Tujuan karya ini disusun bukan untuk menghimpun
elemen-elemen hadis yang beredar di dunia Islam, tetapi untuk menggambarkan
praktik hukum, ritual, dan keagamaan. Selain itu, karya ini banyak dipenuhi
dengan berbagai fatwa dari para tokoh terkemuka, baik dari kalangan shahabat
maupun tabiin.14 Alasan-alasan ini membuat Goldziher tidak setuju kalau
Muwaththa` dikatakan sebagai kitab hadis. Ia lebih suka mengatakannya sebagai
kitab hukum.
Senada dengan Goldziher, dalam The Tradition of Islam, Alfred Guillaume
mengatakan, Muwaththa` adalah bukan sebuah koleksi hadis. Ketertarikan
pengarang kitab ini adalah dalam persoalan hukum, dan tujuannya ialah untuk
mendirikan sebuah sistem hukum berdasarakan ‘amal masyarakat Madinah.
7
Tujuannya tidak seperti tujuan para kolektor hadis lainnya untuk memastikan
hadis-hadis nabi yang beredar di dunia Islam dan menguji keshahihannya dengan
berbagai kriteria, tetapi ia memiliki tujuan praktis dan terbatas, yaitu mendirikan
sebuah sistem hukum yang bersumber pada ijmâ’ ahli Madinah. Selain itu, ia
tidak menelusuri sanad hadis yang dikumpulkan hingga kepada Nabi saw. Karya
ini mencakup hadis-hadis yang tidak mendapat tempat dalam karya-karya
berikutnya karena tidak didukung dengan daftar nama-nama periwayat yang
bersambung dari nabi saw. hingga Mâlik.15 Argumen yang diajukan Guillaume
dalam rangka menolak Muwaththa` sebagai kitab hadis tampak tidak jauh berbeda
dengan argumen Goldziher. Selain dua tokoh di atas, masih banyak lagi tokoh
yang mendukung pandangan serupa.16
Goldziher, Guillaume, dan D.B. Macdonald melihat Muwaththa` dengan kaca
mata kitab-kitab hadis abad III H. yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: telah
mencakup hampir seluruh hadis, tidak mementingkan masalah hukum, dan
memisahkan dengan tegas antara hadis nabi saw. dan fatwa para tokoh, baik dari
kalangan shahabat maupun tabiin. Padahal kitab-kitab hadis itu mengalami
perubahan dan perkembangan yang kemudian mencapai kesempurnaan pada abad
III H. Jadi, sangat wajar apabila terjadi perbedaan dalam memandang karya Mâlik
tersebut. Hal itu tidak lain karena perbedaan sudut pandang dan tolak ukur yang
digunakan sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda dan bertolak
belakang. Oleh karena itu, kitab Muwaththa` seharusnya dilihat dari sudut sejarah
perkembangan dan penyusunan kitab hadis. Dari situ, dapat diamati dengan jelas
bahwa Muwaththa` merupakan tipe kitab hadis abad II H.
Sekarang saatnya membicarakan persoalan ketiga, yaitu persoalan kualitas hadis
kitab Muwaththa`. Tentang persoalan ini, banyak para ulama hadis telah
memberikan penjelasan dan uraian. Namun masih juga terdapat kesimpangsiuran
dan ketidakjelasan. Ibnu Hajar al-‘Asqalânî mengatakan, kitab Muwaththa` Mâlik
adalah kitab shahîh menurut pandangannya sendiri dan orang-orang yang
mengikutinya. Ini disebabkan karena menurut mereka, hadis mursal dan munqati’
dapat dijadikan hujjah. Ibnu ‘Abd al-Bar berpendapat, seluruh hadis dalam
Muwaththa`, baik yang menggunakan redaksi sanad balaghanî atau ‘an al-tsiqah
8
sebenarnya muttashil (sanadnya bersambung sampai kepada Nabi) kecuali empat
hadis. Menurut Muhammad Abû Zahw, empat hadis itu masing-masing memiliki
syâhid (pendukung) yang membuktikan bahwa seluruh hadis dalam Muwaththa`
itu muttashil.17
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah sifat kemuttashilan sebuah hadis
berasal dari dalam hadis atau dari luar hadis, dari syâhid. Tampaknya para ulama
hadis, seperti Abu Zahw, tidak jelas dalam melakukan pembedaan antara hadis
muttashil karena dirinya sendiri dengan hadis muttashil karena adanya syâhid.
Dari sudut pandang ini, hadis-hadis Muwaththa` tidak dapat begitu saja dianggap
muttashil secara keseluruhan, apalagi pada saat itu metodologi kritik hadis
(manhaj naqd al-hadîts) belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang matang dan
baku. Jadi, wajar saja kalau Imam Mâlik masih mencampuradukkan antara hadis
shahîh dengan hadis dha’îf.
Berbeda dengan Abû Zahw, Abdul Rauf dengan tegas menyatakan, di antara 1720
hadis yang terdapat dalam Muwaththa` versi Yahyâ b. Yahyâ al-Laytsî, terdapat
61 hadis tanpa sanad, beberapa hadis dengan sanad terputus (munqati’) dan 222
hadis yang di dalamnya tidak terdapat periwayat dari kalangan shahabat
(mursal).18 Senada dengan pendapat ini, Subhî al-Shâlih menyatakan, tidak
semua hadis yang terdapat dalam Muwaththa` bersambung sanadnya hingga
kepada Nabi. Dalam Muwaththa` terdapat hadis-hadis mursal, mu’dhal, dan
munqati’.19 Dengan demikian, Mâlik dalam Muwaththa’ belum melakukan
pembedaan yang tegas antara hadis shahîh dan dha’îf. Kitab ini memang tidak
dimaksudkan untuk menghimpun hadis-hadis yang shahîh semata. Oleh karena
itu, wajar saja kalau di dalamnya masih terdapat hadis dha’îf. Kenyataan ini tidak
perlu dianggap merendahkan Muwaththa`, tetapi justru dari fakta ini dapat
diketahui perkembangan yang terjadi dalam literatur hadis dan bentuk kitab hadis
pada pertengahan abad II H. Kalau fakta ini ditutupi dan tidak diperhatikan, maka
katakteristik Muwaththa` yang membedakannya dengan kitab hadis pada akhir
abad II H., yakni kitab-kitab masânid, dan abad III H., yakni kitab-kitab shahîh,
menjadi tidak jelas.
Dari sini, kesimpulan yang didapat setelah menganalisa Muwaththa`, karya Mâlik,
9
sebagai tipe kitab hadis pertengahan abad II H. adalah bahwa bentuk dan
karateristik kitab hadis hasil penulisan pada saat itu adalah: pertama, dalam
masalah penyusunan, Muwaththa` telah disusun berdasarkan sistematisasi dan
klasifikasi hadis-hadis sesuai dengan topik-topik fikih (hukum Islam); kedua
dalam masalah isi, kitab hadis abad II H. masih mencampuradukkan antara hadis
marfû` (yang bersumber dari nabi saw.), mawqûf (yang bersumber dari shahabat),
maqthû` (yang bersumber dari tabiin); dan ketiga, dalam masalah kualitas hadis
belum adanya pemisahan yang jelas antara hadis shahîh, hasan, maupun dha’îf.
Sebagai gejala umum, ciri-ciri ini tidak hanya melekat pada Muwaththa`, tetapi
juga dapat digeneralisir pada seluruh kitab hadis yang mengikuti model
Mushannaf sebagai perkembangan kedua literatur hadis dan sekaligus perbaikan
dari model kitab hadis sebelumnya, baik yang berupa shahîfah maupun kitab hadis
yang merupakan karya Ibnu Shihâb al-Zuhrî. M.M. Azami ketika membicarakan
kitab-kitab hadis pada abad I H. dan awal abad II H., mengkategorikan kitab-kitab
itu dalam dua kelompok: pertama, kitab-kitab hadis yang berisi hadis-hadis
semata dan hanya bermaksud menghimpun hadis tanpa adanya penyusunan materi
hadis dalam bab-bab tertentu; kedua, kitab-kitab hadis yang berisi hadis-hadis
nabi saw. yang bercampur dengan keputusan-keputusan hukum dari para khulafâ`
râsyidûn, para shahabat lainnya dan para tabiin. Materi-materi hadisnya juga tidak
disusun secara sistematis.20 Yang dimaksud oleh Azami dengan model pertama
adalah bentuk shahîfah dan model kedua adalah kitab hadis karya Ibnu Syihâb al-
Zuhrî.
Dari tiga ciri itu, ciri pertamalah yang membedakan gerakan shahifah dengan
gerakan Mushannaf.21 Oleh karena itu, ciri yang pertama tersebut dijadikan nama
oleh hampir seluruh kitab hadis pertengahan abad II H.
10
Oleh karena itu, timbul gerakan yang mencoba memperbaiki kekurangan gerakan
musnad yang muncul secara simultan dan bertujuan menghimpun hadis-hadis
shahîh semata4. Karya-karya para ulama hadis yang mencerminkan tipe ini adalah
Shahîh al-Bukhârî, oleh Muhammad b. ‘Abd Allâh al-Bukhârî (w. 256 H), Sunan
al-Tirmidzî oleh Muhammad b. ‘Îsâ al-Tirmidzî (w. 279 H), Sunan al-Nasâ’i oleh
Ahmad b. Syu’ayb al-Nasâ’î (w. 303 H), Sunan Ibnu Mâjah oleh Muhammad b.
Yazîd Ibnu Mâjah (w. 273 H), dan Sunan al-Dârimî oleh ‘Abd Allâh b. ‘Abd al-
Rahmân al-Dârimî (w. 225).
Terdapat perbedaan antara kitab shahîh dan kitab sunan. Pertama, kitab shahîh
seperti Sahîh al-Bukhârî mencakup seluruh aspek, sementara kitab sunan seperti
Sunan al-Nasa’î hanya mencakup persoalan hukum saja. Kedua, kitab shahîh
hanya memuat hadis-hadis yang autentik (shahîh) sedangkan kitab sunan berisi
tidak hanya hadis shahîh tetapi juga hadis dha’îf demi kepentingan hukum.
Meskipun kitab sunan seringkali memasukkan hadis-hadis yang berkualtas dha’îf
namun para penyusun kitab itu menjelaskan dan menunjukkan kualitas hadis-
hadis itu. Inilah yang dijadikan alasan mengapa kitab sunan dimasukkan dalam
kelompok kitab shahîh.30
Bukhârî (194-256 H) adalah pendiri gerakan shahîh dan orang pertama yang
menyusun kitab hadis dengan model ini. Ia mulai mengkaji hadis pada usia yang
sangat muda, kurang dari sepuluh tahun. Di usianya yang keenam belas, ia telah
menghapal beberapa buku karya para ulama terkemuka seperti Ibnu al-Mubârak
dan Waqî’. Ia tidak hanya menghapal hadis dan karya ulama tersebut, tetapi juga
mempelajari biografi seluruh periwayat (rijâl) yang terdapat dalam hadis yang
berkaitan dengan tempat lahir, tanggal lahir, dan wafatnya seorang periwayat. Ia
tinggal di Hijaz selama enam tahun untuk mempelajari hadis dan juga berkali-kali
mengembara ke Baghdad.
Ketika Bukhârî berada di Baghdad, para ulama Baghdad ingin menguji kekuatan
hapalannya. Dipilihlah sepuluh orang yang masing-masng membacakan sepuluh
hadis. Seluruh sanad hadis itu dirubah dan diletakkan dalam matan yang berbeda.
Satu persatu dari mereka mulai membacakan hadis dan bertanya kepada al-
4
https://uinsgd.ac.id/perkembangan-literatur-hadis-dari-abad-i-hingga-abad-iv-h/
11
Bukhârî, “Apakah ia mengetahui hadis itu? Ia menjawab, “Saya tidak tahu.”
Orang-orang yang tahu bahwa itu hanyalah pengujian terhadap Bukhârî
mengatakan bahwa ia memahami persoalan itu.” Namun kesan umum
menunjukkan pengetahuan Bukhârî sangat payah dan hapalannya sangat lemah.
Setelah pertanyaan itu berakhir Bukhârî lalu menjelaskan kepada mereka secara
sistematis dengan cara mengembalikan masing-masing sanad kepada matannya.31
Dalam Pandangan Bukhârî, kitab-kitab hadis yang disusun pada masanya dan
masa sebelumnya tidak hanya mencakup hadis shahîh, tetapi juga hadis hasan dan
dha’îf. Oleh karena itu, para pembaca yang bukan ahli hadis mengalami kesulitan
ketika membaca kitab itu untuk membedakan antara hadis shahîh dan hadis dha’îf.
Di samping itu, kitab-kitab tersebut tidak menghimpun hadis yang berhubungan
dengan hukum-hukum syar’iyyah karena kitab-kitab itu hanya bertujuan
menghimpun seluruh hadis yang beredar pada saat itu.
Dalam pada itu, ketakpedulian para ahli hadis akan pemahaman hadis (fiqh al-
hadîts) serta tersebarnya hadis-hadis dha’îf dan mawdhû’ membuat Bukhârî
tergerak untuk menyusun sebuah koleksi hadis yang hanya berisi hadis shahîh.
Niat Bukhârî itu menjadi kuat ketika gurunya, Ishâq b. Râhawayh, mengatakan
kepada murid-muridnya, di mana al-Bukhârî termasuk di dalamnya, “Seandainya
kalian mau menghimpun kitab ringkasan yang berisi hadis nabi yang shahîh.”
Bukhârî lalu menyusun al-Jâmî al-Shahîh yang ia seleksi dari 600.000 hadis.
Dalam kitabnya itu, ia tidak memasukkan hadis kecuali yang benar-benar
bersumber dari nabi dengan sanad muttashil dan para periwayatnya yang ‘âdil dan
dhâbith. Hal ini sesuai dengan nama kitab tersebut, yakni al-Jâmi’ al-Musnad al-
Shahîh al-Mukhtashar min Umûr Rasûl Allâh sallâ Allâh ‘alayhi wa sallama wa
sunanihî wa ayyâmihî yang berarti penghimpun hadis shahîh yang musnad yang
diringkas dari persoalan-persoalan Rasulullah saw., sunnah-sunnahnya dan hari-
hari peperangannya.
Ia menghabiskan waktu enam belas tahun untuk menyusun kitab tersebut.
Kerangka kitab itu dibuat di Masjid al-Haram, Mekkah, dan draft akhirnya
diselesaikan di masjid Nabawi, Madinah. Setelah itu, Bukhârî menyodorkan kitab
tersebut kepada para ulama, sepert Ahmad b. Hanbal, Ibnu Ma’în, dan Ibnu al-
12
Madinî untuk dikoreksi. Para ulama mengakui keshahîhan kitab tersebut dan
menganggapnya sebagai kitab yang mengungguli kitab-kitab hadis sebelumnya.32
Meskipun Bukhârî menyatakan, ia tidak memasukkan dalam kitabnya kecuali
hadis-hadis yang shahîh, akan tetapi masih ada kritik para ulama terhadap kitab
ini. Kritik itu di antaranya adalah bahwa terdapat hadis-hadis mu’allaq dalam
karya Bukhari itu. Kritik ini dijawab oleh Qasthalânî dengan mengatakan, dalam
meriwayatkan hadis mu’allaq ini, Bukhârî hanya bermaksud menyederhanakan
sanad hadis, dan bukan karena kecacatan periwayat.33
Demikianlah Bukhârî adalah benar-benar peletak dasar pertama bagi penyusunan
kitab hadis dengan tipe shahîh.34 Gerakan shahîh ini merupakan reaksi terhadap
kemunculan dan perkembangan hadis-hadis yang tidah shahîh.
Ulama lain yang menyusun kitab hadis dalam bentuk shahîh adalah Muslim b. al-
Hajjaj (204-261 H). Ia menyusun kitab itu setelah menyeleksi 300.000 hadis.
Kemudian ia menyempurnakan dan merevisi kembali selama 15 tahun. Tentang
kitabnya ini, ia mengatakan, “Tidaklah setiap hadis yang menurutku shahîh, aku
masukkan di sini. Aku hanya memasukkan hadis-hadis yang disepakati
keshahîhannya.”35 Kitab itu lalu dinamakan al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar
min al-Sunan bi Naql al-‘Adl an ‘Adl ‘an Rasul Allâh.36
Muslim banyak mengambil manfaat dari Bukhârî sebagai guru dan pendahulunya.
Ketika Bukhârî datang ke Nisabur, Muslim mendatanginya dan seringkali
mengunjunginya. Meski demikian terdapat perbedaan antara Shahîh Bukhârî dan
Shahîh Muslim, baik dari segi penyusunan maupun dari segi kriteria yang
digunakan dalam menyeleksi hadis.
Dalam masalah penyusunan, Muslim tidak memberi batas-batas resmi. Perhatian
sering difokuskan pada mutâbi’at dan syawâhid. Kitab yang berisi 3.033 hadis ini
berada setingkat di bawah Shahîh Bukhârî. Namun dibandingkan Shahîh Bukhârî,
kitab ini mempunyai beberapa kelebihan seperti: Muslim lebih teliti dalam
meriwayatkan hadis secara lafdzi; Shahîh Muslim lebih sistematis daripada
Shahîh Bukhârî.37
Dalam pada itu, kriteria keshahîhan Imam Muslim tidak jauh berbeda dengan
kriteria Bukhârî. Hanya saja, dalam persoalan hadis mu’an’an, kriteria Bukhârî
13
lebih selektif daripada Kriteria Muslim. Bukhârî memberikan dua syarat: agar
hadis mu’an’an dapat dianggap sebagai hadis muttashil: yakni mu’âsharah dan
liqâ`. Sementara Muslim hanya memberikan satu syarat saja, yakni mu’âsharah.
Muslim memastikan bahwa hadis mu’an’an yang memenuhi satu syarat itu pasti
muttashil.38
Meskipun Bukhârî dan Muslim sedikit berbeda dalam hal kriteria keshahîhan
hadis, tetapi keduanya sepakat dalam hal menyeleksi hadis-hadis yang beredar
dengan metode kritik hadis yang dimilikinya untuk membedakan hadis shahîh dan
hadis dha’îf. Inilah yang membedakan keduanya dengan generasi Ahmad b.
Hanbal yang hanya sebatas mengumpulkan hadis musnad semata tanpa
menyeleksi lebih lanjut apakah hadis itu autentik atau tidak. Ini pula yang
membedakan gerakan musnad dan gerakan shahîh.
Demikianlah terlihat bahwa perkembangan literatur hadis dari gerakan shahîfah
hingga gerakan shahîh mencerminkan upaya serius para muhadditsûn untuk
melestarikan hadis, di satu sisi, dan menjaga kemurniannya, di sisi lain, baik dari
kelemahan para periwayat maupun dari pemalsuan. Perbedaan antara gerakan
shahîfah, mushannaf, musnad, dan shahîh benar-benar menggambarkan perjalanan
hadis yang cukup panjang dan melelahkan. Dengan mengetahui perbedaan
karakteristik masing-masing gerakan itu, para peneliti dapat melihat literatur hadis
dengan cakrawala dan wawasan yang lebih luas. Ia tidak lagi memandang sebuah
literatur hadis abad I H dengan kaca mata abad III H. atau sebaliknya, tetapi
menempatkan masing-masing literatur hadis dalam konteks ruang dan waktu di
mana kitab itu disusun karena penyusunan kitab hadis tidak lepas dari tujuan
historis para penyusunnya dan sekaligus merupakan respon terhadap zamannya.
14
hadis. Sejak abad keempat/kesepuluh dan selanjutnya, kontribusi para ulama hadis
didasarkan atas literatur hadis yang telah dihasilkan sebelumnya dan terfokus pada
upaya untuk menambah, mensyarah, meringkas, mengkritik, mengomentari dan
merevisi karya-karya yang sudah ada. Gerakan syarh dan ikhtishâr ini dilakukan
karena para ulama telah menyadari bahwa upaya seleksi hadis telah mencapai
puncaknya pada gerakan shahîh yang dipelopori oleh Bukhârî sehingga pada abad
IV H. dan seterusnya para ulama hanya sebatas melengkapi, mensyarah dan
meringkas karya-karya sebelumnya.39
1. Karya-karya tambahan (istidrâkât)
Di antara karya tambahan (suplementary work) adalah al-Ilzâmât ‘alâ al-Bukhârî
wa Muslim, karya al-Dâruquthnî (w. 385/955). Dalam kitab ini, Dâruquthnî
menghimpun hadis-hadis berdasarkan kriteria Bukhârî dan Muslim dan dengan
demikian dapat dimasukkan dalam hadis-hadis shahîh mereka. Tipe ini dinamakan
istidrâk (bentuk jamaknya: istidrâkât). Dâruquthnî menggunakan istilah ilzâmât
untuk menekankan bahwa hadis-hadis dalam kitabnya dapat diterima. Tidak
seperti para penghimpun kitab sunan yang hanya menyajikan hadis-hadis hukum,
al-Ilzâmât mendapatkan tempat yang tinggi di antara kompilasi shahîh.
Karya pelengkap kedua adalah al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn karya al-Hâkim.
Dalam kitab ini, al-Hâkim menghimpun hadis-hadis berdasarkan syarat-syarat
Bukhârî dan Muslim, tetapi tidak ada dalam kitab shahîh mereka. Al-Hâkim juga
menambahkan hadis-hadis lain yang ia anggap pantas dinilai shahîh. Namun para
kritikus hadis menjelaskan bahwa hanya separuh pertama dari karya al-Hâkim
tersebut yang memenuhi standar Shahîh Bukhârî dan Muslim, sementara separuh
kedua dari karya itu berisi hadis-hadis hasan dan dha’îf karena al-Hâkim
mendiktekan hadis-hadis tersebut setelah hapalannya melemah. Buku ini disusun
berdasarkan topik-topik hukum.40
2. Karya-karya syarh
Salah satu karya syarh (komentar) yang lahir pada periode ini adalah Ma’âlim al-
Sunan, karya al-Khaththâbî (w. 386/ 996), sebuah komentar atas kitab Sunan Abû
Dâwud dan merupakan kitab syarah hadis pertama. Ia juga menulis I’lâm al-
Sunan, komentar atas Shahîh al-Bukhârî, yang ia tulis setelah ia menyelesaikan
15
karya yang pertama.
Ulama selanjutnya yang menulis syarah hadis adalah al-Nawâwî (w.676/ 1278).
Karyanya, al-Minhâj fî syarh Shahîh Muslim b. al-Hajjâj merupakan karya ilmiah
agung yang ditulis oleh seorang ulama terkemuka dan mengandung banyak hal
penting dan bermanfaat.
Selanjutnya Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852/ 1449) menulis Fath al-Bârî ‘alâ
Shahîh al-Bukhârî, sebuah syarah atas Shahîh Bukhârî yang paling luas dan berisi
informasi yang bernilai, data biografis tentang para periwayat hadis, penjelasan-
penjelasan linguistik dan anekdot-anekdot yang menarik.41 .
3. Karya-karya ikhtishâr
Beberapa kitab ikhtishâr atas karya tertentu dapat disebut, misalnya, karya al-
Qâbisî (w. 403/ 1012), al-Mulakhkhis Limâ fî al-Muwaththa` min al-Hadîts al-
Musnad yang berisi 525 hadis dengan isnâd-isnâd yang lengkap, karya al-Zubaydî
(w. 893/ 1488), al-Tajrîd al-Sharîh yang merupakan karya populer yang
menghimpun matan-matan hadis Bukhârî, tetapi membuang isnâd-isnâd dan
pengulangan-pengulangannya. Selain itu, hanya para shahabat yang meriwayatkan
hadis saja yang disebutkan.425
5
https://uinsgd.ac.id/perkembangan-literatur-hadis-dari-abad-i-hingga-abad-iv-h/
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menelusuri dan menganalisa bahan-bahan tentang perkembangan
literatur hadis, paling tidak dapat disimpulkan bahwa dari abad I hingga abad IV
H., literatur hadis yang merupakan hasil penulisan dan penghimpunan hadis yang
dilakukan oleh para ulama hadis mengalami lima periode perkembangan: periode
shahîfah, mushannaf, musnad, shahîh, dan periode syarh dan ikhtisâr.
Pada abad pertama/ketujuh dan awal abad kedua/kedelapan kompilasi hadis
terbatas pada penulisan hadis-hadis untuk penyebaran lisan. Oleh karena itu,
literatur hadis yang dihasilkan adalah tipe shahîfah, sebuah literatur hadis yang
disusun secara acak tanpa berdasar pada topik atau bab tertentu. Pada saat itu,
belum ada upaya sistematisasi dalam penyusunan kitab hadis.
Untuk menyempurnakan gerakan shahîfah, para ulama di masa selanjutnya mulai
mengelompokkan hadis dengan judul yang mengindikasikan persoalan yang
dihimpunnya. Tipe ini dinamakan mushannaf, yang berarti kompilasi yang
dikelompokkan atau disistematiskan.
Namun, literatur hadis dengan tipe mushannaf, walaupun telah disusun secara
sistematis, masih mencampuradukkan antara hadis Nabi dengan berbagai
keputusan dan tambahan hukum dari para khalifah, shahabat senior (kibâr al-
shahâbah) dan tabiin. Sebagai upaya perbaikan terhadap literatur hadis tipe
mushannaf, muncul gerakan selanjutnya yang mencoba menghimpun hadis-hadis
dengan model musnad.
Akan tetapi gerakan musnad juga dianggap masih memiliki kekurangan oleh para
ulama hadis. Gerakan musnad belum membedakan antara hadis autentik (shahîh)
dengan hadis dha’îf dan sangat sulit bagi pembaca untuk menggunakan kitab ini
karena tema-tema hadis tersebar di berbagai bagian. Oleh karena itu, timbul
gerakan yang mencoba memperbaiki kekurangan gerakan musnad yang muncul
secara simultan dan bertujuan menghimpun hadis-hadis shahîh semata. Inilah
17
gerakan shahîh yang merupakan puncak dari upaya menyeleksi hadis yang
autentik dan palsu.
Setelah itu, sejak abad keempat/kesepuluh dan selanjutnya, kontribusi para ulama
hadis didasarkan atas literatur hadis yang telah dihasilkan sebelumnya dan
terfokus pada upaya untuk menambah, mensyarah, meringkas, mengkritik,
mengomentari dan merevisi karya-karya yang sudah ada. Gerakan syarh dan
ikhtishâr ini dilakukan karena para ulama telah menyadari bahwa upaya seleksi
hadis telah mencapai puncaknya pada gerakan shahîh yang dipelopori oleh
Bukhârî sehingga pada abad IV H. dan seterusnya para ulama hanya sebatas
melengkapi, mensyarah dan meringkas karya-karya sebelumnya
B. Saran
Setelah menguraikan berbagai macam penjelasan tentang Sejarah
Pembukuan / Penulisan Hadist. Diharapkan makalah ini mampu menjadi acuan
bagi mahasiswa agar mampu, memahami, dan menjadikannya sebagai contoh
teladan.
18
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kompasiana.com/nurafnita0404/5f360c90d541df23f126d583/sejarah-pembukuan-
hadis#:~:text=Pembukuan%20hadis%20terbentuk%20pada%20masa,sebagai%20khalifah
%20rasyidin%20yang%20kelima.
https://elanurainiblog.wordpress.com/2016/04/09/sejarah-penghimpunan-dan-
pembinaan-hadis/
https://uinsgd.ac.id/perkembangan-literatur-hadis-dari-abad-i-hingga-abad-iv-h/
https://uinsgd.ac.id/perkembangan-literatur-hadis-dari-abad-i-hingga-abad-iv-h/
https://uinsgd.ac.id/perkembangan-literatur-hadis-dari-abad-i-hingga-abad-iv-h/
19