Anda di halaman 1dari 17

Sejarah Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an

(Rasm Al-Qur’an)

Oleh:

FADILLAH ZAKIYAH (11950120032)

FIRMAN ZAHRI (11950115068)

KELAS A

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt, atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah ini, penulis akan membahas
mengenai “Sejarah Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an (Rasm Al-Qur’an)”. Penulis
ucapkan terima kasih kepada pihak yang memberikan kontribusi materi dan pikirannya.
Harapan penulis semoga makalah ini menambah pengetahuan pembaca dan dapat
mengembangkan makalah ini menjadi lebih baik kedepannya.

Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
Metodologi Studi Islam, Syarifuddin, M.Ag. yang telah memberikan bimbingan kepada
penulis agar dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman, banyak kekurungan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan saran dan kritiknya dari pembaca demi kesempurnaan makalah
selanjutnya.

Pekanbaru, 3 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pada Masa Nabi Muhammad SAW..................................................................3
2.2 Pada Masa Abu Bakar As-Sidiq.......................................................................4
2.3 Pada Masa Usman bin Affan............................................................................5
2.4 Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman.............................9

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan.........................................................................................................12
3.2 Saran...............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rasmul qur’an adalah salah satu bagian disiplin ilmu alqur’an yang mana di dalamnya
mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik
dalam penulisan lafal-lafal maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an
dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani.Tulisan al-Quran ‘Utsmani adalah tulisan yang
dinisbatkan kepada sayyidina utsman ra. (Khalifah ke III). Istilah ini muncul setelah
rampungnya penyalinan al-Quran yang dilakukan oleh team yang dibentuk oleh Ustman 
pada tahun 25H. Para ulama menyatakan cara penulisan ini biasanya di istilahkan dengan
“Rasmul ‘Utsmani’. Kemudian dinisbatkan kepada Amirul Mukminin Ustman ra.
Para ulama berbeda pendapat tentang rasm al-Qur’an, diantara mereka ada yang
berpendapat bahwa tulisan tersebut bersifat taufiqi (ketetapan langsung dari Rasulullah),
mereka berlandaskan riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah menerangkan kepada salah
satu Kuttab (juru tulis wahyu) yaitu Mu’awiyah  tentang tatacara penulisan wahyu. diantara
Ulama yang berpegang teguh pada pendapat ini adalah Ibnul al-Mubarak dalam kitabnya “al-
Ibriz” yang menukil perkataan gurunya “ Abdul ‘Aziz al-Dibagh”, “bahwa tlisan yang
terdapat pada Rasm ‘Utsmani semuanya memiliki rahasia-rahasia dan tidak ada satupun
sahabat yang memiliki andil, sepertihalnya diketahui bahwa al-Quran adalh mu’jizat
begitupula tulisannya”. Namun disisi lain, ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa,
Rasmul Ustmani bukanlah tauqifi, tapi hanyalah tatacara penulisan al-Quran saja.
Oleh karena itu pada makalah ini akan membahas tentang rasm al-Qur’an pada masa
Nabi Muhammad SAW, rasm al-Quran pada masa Abu Bakar as-Siddiq, rasm al-Qur’an pada
masa Usman bin Affan, dan perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar dengan Usman.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana rasm al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW?
2. Bagaiamana rasm al-Quran pada masa Abu Bakar as-Siddiq?
3. Bagaiamana rasm al-Qur’an pada masa Usman bin Affan?
4. Bagaimana perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar dengan Usman?

1
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses rasm al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW
2. Untuk mengetahui proses rasm al-Qur’an pada masa Abu Bakar as-Siddiq
3. Untuk mengetahui proses rasm al-Qur’an pada masa Usman bin Affan
4. Untuk mengetahui perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar dan Usman

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pada Masa Nabi Muhammad SAW


Pada masa Nabi Muhammad SAW para penulis al-Qur’an telah ditunjuk, seperti Ali,
Muawiyah, Ubai bin K’ab, dan Zaid bin Sabit. Ketika ayat turun Nabi Muhammad SAW
memerintakan untuk menulis dan menunjukan tempat turun ayat di dalam surah dengan
bentuk lembaran, sehingga penulisan pada lembaran tersebut dapat membantu proses
penghafalan di dalam hati. Selain itu, para sahabat juga menulis al-Qur’an pada pelepah
kurma, batu, daun lontar, kulit, kayu, dan potongan tulang binatang. Pada masa Nabi
Muhammad SAW cara tersebut yang hanya bisa dilakukan karena pada masa tersebut kertas
belum ada.1
Tulisan-tulisan al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW tidak terkumpul pada
satu mushaf. Tulisan al-Qur’an yang ada pada seseorang belum tentu ada pada orang lain.
Para ulama mengatakan bahwa beberapa golongan seperti Ali, Muawiyah, Ubai bin K’ab,
Zaid bin Sabit, dan Abdullah bin Mas’ud telah menghafal seluruh isi al-Qur’an pada masa
tersebut. Selain itu, Zaid bin Sabit merupakan orang yang terakhir kali membaca al-Qur’an
dihadapan Rasullullah.
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat al-Qur’an dengan
lainnya, Rasullullah tidak membenarkan para sahabat menulis selain hal yang ada di al-
Qur’an. Hadis dari riwayat Muslim dari Abi Said al-Khudriy yang berbunyi:
“Seandainya engkau melihatku tadi malam , diwaktu aku mendengarkan engkau membaca al-
Qur’an. Maka sungguh engkau telah diberi satu seruling darri seruling Nabi Dawud.”
Menurut Dr. Adnan Muhammad Zarzur bahwa Rasullullah melarang untuk tidak menulis
selain al-Qur’an, hal tersebut bertujuan agar menjamin nilai akurasi al-Qur’an. 2
Saat Nabi Muhammad SAW wafat, al-Qur’an telah dihafal dan ditulis pada mushaf.
Susunannya seperti ayat-ayat dan surah-surah dipisahkan, atau dituliskan ayat-ayatnya saja
dan tiap-tiap surah ditulis pada lembaran terpisah. Pada saat tersebut al-Qur’an belum
dikumpul dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Setiap ayat yang turun maka
dihafal oleh para qurra dan ditulis oleh para sahabat. Alasan al-Qur’an belum dituliskan
dalam satu mushaf karena Nabi Muhammad SAW masih menunggu wahyu dari waktu ke

1
Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, Ulil Abshar-Abdalla, Metodologi Studi Al-Qur’an, Gramedia, Jakarta,
2009, hlm. 83.
2
Syaikh Manna Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, 2006, hlm. 153.

3
waktu. Selain itu terdapat ayat yang manasih yaitu menghapuskan sesuatu yang turun
sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan al-Qur’an tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi
dituliskan berdasarkan petunjuk Rasullullah.

2.2 Pada Masa Abu Bakar As-Siddiq


Setelah Rasullullah wafat yang menjalankan urusan pemerintahan dan agama islam
adalah Abu Bakar as-Siddiq. Beliau diuji dengan beberapa penyelewengan yang dilakukan
bangsa Arab seperti murtad. Oleh karena itu, Abu Bakar as-Siddiq mengirim pasukan untuk
menyerang orang-orang murtad. Pada tahun 12 H terjadi perang Yamamah yang melibatkan
para pengahafal al-Qur’an gugur. Perang tersebut mengakibatkan tujuh puluh qari meninggal
dunia. Umar bin Khattab merasa khawatir dengan peristiwa tersebut. Hal ini yang menjadikan
alasan Umar bin Khattab mengusulkan Abu Bakar as-Siddiq mengumpulkan serta
membukukan al-Qur’an agar tidak musnah.3
Namun Abu Bakar as-Siddiq menolak usulan dari Umar bin Khattab. Hal tersebut
karena tidak pernah dilakukan semasa Rasullullah. Umar bin Khattab tetap terus membujuk
Abu Bakar as-Siddiq, sehingga Allah SWT membukakan hati Abu Bakar as-Siddiq untuk
menerima usulan Umar bin Khattab. Kemudian Abu Bakar as-Siddiq memanggil Zaid bin
Sabit dan menceritakan tentang usulan Umar bin Khattab dan meminta Zaid bin Sabit untuk
menulis al-Qur’an karena Zaid bin Sabit merupakan bagian dalam qiraat serta memiliki
kecerdasan dan hadir pada pembacaan terakhir kali bersama Rasullullah.
Pada awalnya Zaid menolak seperti Abu Bakar as-Siddiq, tetapi setelah berdiskusi
dan bertukar pendapat akhirnya Zaid bin Sabit menerima. Zaid bin Sabit menjalankan
tugasnya berdasarkan hafalan yang ada di dalam hati dan catatan yang ada pada penulis.
Kemudian, lembaran-lembaran tersebut disimpan oleh Abu Bakar as-Siddiq. Setelah Abu
Bakar as-Siddiq wafat pada tahun 13 H, lembaran-lembara tersebut disimpan oleh Umar bin
Khattab. Kemudian Umar bin Khattab wafat dan lembaran-lembaran tersebut disimpan oleh
Hafsah putri Umar bin Khattab.
Menurut (Ghazali, Lutfhi, dan Ulil 2009:87) Zaid bin Sabit mengatakan bahwa “Abu
Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita tentang korban perang Yamamah. Ternyata
Umar bin Khattab sudah ada di sana.” Abu Bakar berkata: “Umar telah datang kepadaku dan
mengatakan bahwa perang Yamamah telah banyak menelan korban dari kalangan qurra, dan
ia khawatir kalau terbunuhnya para qurra itu juga terjadi di tempat lain, sehingga sebagian

3
Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, Ulil Abshar-Abdalla, Metodologi Studi Al-Qur’an, Gramedia,
Jakarta, 2009, hlm. 85.

4
besar al-Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan aku agar memerintakan seseorang untuk
mengumpulkan al-Qur’an.” Maka aku katakana padanya “Mana mungkin kita melakukan hal
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasullullah?” tetapi Umar bin Khattab menjawab: “dan
bersumpah, demi Allah, perbuatan tersebut adalah baik.” Abu bakar pun berkata: “Ia selalu
membujukku sehingga Allah SWT membuka hatiku untuk sependapat dengan Umar.” Zaid
bin Sabit berkata lagi “Abu Bakar berkata kepadaku, engkau seorang pemuda yang cerdas
dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk
Rasulullah. Oleh karena itu carilah al-Qur’an dan kumpulkanlah.” Zaid bin Sabit pun
menjawab “Demi Allah sekiranya mereka memintaku untuk memindahkan gunung, rasanya
tidak lebih berat dibandingkan perintah mengumpulkan al-Qur’an.”4
Zaid bin Sabit melakukan tugasnya dengan sangat teliti dan hati-hati. Beliau tidak
mencakupkan pada hafalan saja tetapi juga dengan tulisan. Dr. Adnan Muhammad Zarzur
dalam ‘Ulum al-Qur’an, Madkhal ila Tafsir al-Qur’an wa Bayan I’jazih’ menangkap kalimat
Zaid yang berbunyi: “Hingga aku mendapati akhir surah al-Taubah pada Abu Khuzaimah al-
Anshariy.” Maksudnya adalah surah al-Taubah memang tidak ditemui tulisannya tetapi para
sahabat banyak yang hafal surah tersebut.

2.3 Pada Masa Usman bin Affan


Setelah wafatnya Khalifah Umar bin Khattab, kekhalifaan digantikan oleh Usman bin
Affan. (Menurut Mustafa 1994:91) Pada zaman Usman bin Affan mulai tampak pertikaian
antara kaum muslimin mengenai al-Qur’an karena beberapa alasan:
1. Tidak adanya uniformitas atau keseragaman tentang susunan surah-surah dan naskah-
naskah yang mereka miliki.
2. Tidak adanya uniformitas tentang qirat atau cara membaca ayat al-Qur’an
3. Tidak adanya uniformitas tentang ejaan yang dipakai dalam menuliskan al-Qur’an.
Masalah yang pertama adalah tidak adanya uniformitas tentang susunan al-Qur’an,
hal tersebut karena Rasullullah memang tidak mengatur tentang susunan tertentu. Rasullullah
memang pernah memerinntahkan al-Qur’an (al-Fatihah) dicantumkan pada permulaan al-
Quran, tetapi beliau tidak pernah mengatur tertib seluruh surah-surah al-Qur’an. Pada
dasarnya surah-surah di al-Qur’an tersebut berdiri sendiri, sehingga pada saat tersebut tidak
terlalu penting untuk disusun. Namun pada masa Usman bin Affan al-Qur’an mulai disusun
hal tersebut bertujuan agar tidak timbul hal-hal yang diinginkan.

4
Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, Ulil Abshar-Abdalla, Metodologi Studi Al-Qur’an, Gramedia,
Jakarta, 2009, hlm. 85.

5
Masalah yang kedua adalah tidak adanya keseragaman dalam membaca al-Qur’an, hal
tersebut karena Rasullullah memberikan kebebasan setiap kabilah Arab untuk membaca al-
Qur’an sesuai dengan dialek atau lahjah kabilah masing-masing. Namun pada masa Usman
bin Affan perbedaan tersebut justru menimbulkan perselisihan. Setiap kabilah merasa
bacaannya paling benar dan tepat. Oleh karena itu, perlu untuk membuat aturan terkait cara
membaca al-Qur’an.
Huzaifah ibnul Yaman mmerupakan orang memberikan kabar tentang perpecahan
tersebut. Beliau melihat beberapa kabilah saling membanggakan bacaan. Huzaifah sangat
terkejut dengan kenyataan tersebut dan berpendapat bahwa hal tersebut harus ditanggulangi
untuk mencegah terjadinya perpecahan yang lebih luas. Beliau pergi ke Madinah dan
menyambaikan kabar tersebut kepada Usman bin Affan dan meminta Usman bin Affan agar
segera menertibkan sehingga tidak terjadi perselisihan yang lebih luas.5
(Menurut Mustafa 1994:94) Usman bin Affan menyambut baik usulan dari Huzaifah
serta mengambil langka-langka antara lain:
1. Meminjam naskah yang ditulis Zaid bin Tsabit pada masa Abu Bakar as-Sidiq
yang saat itu sedang dipegang oleh Hafsah binti Umar.
2. Membentuk sebuah panitia yang terdiri dari:
a. Zaid bin Tsabit sebagai ketua.
b. Abdullah bin Zubair.
c. Abdurrahman bin Harits bin Hijam.
3. Memberikan tugas panitia untuk menyalin atau menuliskan kembali ayat-ayat al-
Qur’an tersebut sehingga menjadi mushaf yang sempurna.
4. Khalifah memberikan patokan-patokan kepada panitia untuk melakukan tugas
diantaranya adalah:
a. Ketika menyalin ayat-ayat dari naskah Abu Bakar as-Sidiq harus sesuai
dengan hafalan para sahabat.
b. Ayat-ayat harus ditulis dengan ejaan yang seragam.
c. Ketika terjadi perselisihan tentang ejaan, maka harus mengikuti ejaan dari
lahjah atau dialek suku Quraisy.
d. Susunan atau urutan surah berdasarkan yang telah ditentukan pada masa
Rasullullah.

5
Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, Ulil Abshar-Abdalla, Metodologi Studi Al-Qur’an, Gramedia,
Jakarta, 2009, hlm. 93

6
Panitia tersebut berkerja berdasarkan perintah Khalifah Usman bin Affan. Hasil dari
kerja tersebut menghasilkan lima buku yang berisi semua ayat-ayat dan surah-surah al-
Qur’an. Ayat-ayat masing-masing surah disusun berdasarkan aturan Rasullullah, sementara
surah berdasarkan ijtihad bersama. Selain itu, naskah yang dipinjam dari Hafsah
dikembalikan sebagaimana janji Usman bin Affan.
Empat dari lima buku yang telah dibuat oleh panitia dikirim ke daerah-daerah di luar
Madinah, yaitu Mekkah, Kufah, Bashrah, dan Syam (Syria). Kemudian satu buku lagi
ditinggal di Madinah. Buku atau Mushaf tersebut diberi nama “Mushaf al-Imam”. Mushaf
tersebut menjadi patokan untuk menghafal dan memperbanyak mushaf pada masa
selanjutnya. Khalifah Usman bin Affan memerintahkan agar mushaf-mushaf sebelumnya
dikumpulkan kemudian dibakar kecuali mushaf yang terdapat pada Hafsah. Dengan
demikian, mushaf yang beredar hanya mushaf dari Usman bin Affan.
Kedudukan rasm Usmani diperselisihkan para ulama, pola penulisan tersebut
merupakan petunjuk Nabi atau hanya itjtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka
sebagai berikut:
Kelompok pertama (Jumhur Ulama) berpendapat bahwa pola rasm Usmani bersifat
tauqifi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahat-sahabat yang ditunjuk dan
dipercaya Nabi saw, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma’) dalam
hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsentensi
didalam penulisan AL-Qur’an tidak bisa dilihat hanya berdasarkan standar penulisan baku,
tetapi dibalik itu ada rahasia yang belum dapat terungkapsecra keseluruhan. Pola penulisan
tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi’in.6
Dengan demikian menurut pendapat ini hokum mengikuti rasn Usmani adalah wajib,
dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (taufiqi). pola itu harus
dipertahankan meskipun beberapa diantaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah
dibakukan. Bahkan imam Ahmad Ibn Hambal dan Imam Malik berpendapat bahwa haram
hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm Usmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah
merupakan kesepakatan ulama mayoritas (Jumhur Ulama).7
Kelompok Kedua berpendapat, bahwa pola penulisan di dalam rasm Usmani tidak
bersifat taufiqi, tetapi hanya bersifat ijtihad para sahabat. Tidak ditemukan riwayat Nabi
mengenaiketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat yang dikutip oleh rajab
Farjani. Sesungguhnya Rasulullah SAW. Memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak

6
M.Quraish Shihab, dkk.,Sejarah dan ulum Al-Qur’an,(Cet. III; Jakarta Pustaka Firdaus, 2001), h. 95
7
Lihat, Muhammaad Rajab Farjani, Kaifa nata Abbad Ma’a ai-Mushaf(t.tp. Daar al-I’Tisham.1978),h.1

7
memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak melarang menulisnya dengan pola-pola
tertentu. Karena itu ada perbedaan model-model penulisan Al-Qur’an dalam mushaf-mushaf
mereka. Ada yang menulis suatu lafaz Al-Qur’an sesuai dengan bunyi lafaz itu, ada yang
menambah atau menguranginya, karena mereka tau itu hanya cara. Karena itu dibenarkan
menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu atau pola-pola baru.
Seandainya itu petunjuk nabi, rasm itu akan disebut rasn Nabi, bukan rasn Usmani.
Belum lagi kalau ummi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak mungkin 8 M.Quraish
Shihab, dkk.,Sejarah dan ulum Al-Qur’an,(Cet. III; Jakarta Pustaka Firdaus, 2001), h. 95. 9
Lihat, Muhammaad Rajab Farjani, Kaifa nata Abbad Ma’a ai-Mushaf(t.tp. Daar al-
I’Tisham.1978),h.166. petunjuk teknis dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu riwayat, baik
dari Nabi maupun sahabat bahwa pola penulisan Al-Qur’an itu bersumber dari petunjuk Nabi.
Kelompok ini pula berpendapat bahwa tidak ada masalah juka Al-Qur’an ditulis
dengan pola penulisan standar (rasm Imla’i). soal penulisan diserahkan kepada pembaca,
kalau pembaca merasa lebih muda dengan rasm imla’I, ia dapat menulisnya denga pola
tersebut, karena pola penulisan itu symbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna
AlQur’an.8
Sehubungan ini, mereka menyatakan sebagai berikut: sesungguhnya bentuk dan
model penulisan itu tidak lain hanyalah merupakan tanda atau symbol. Karena itu segala
bentuk serta model tulisan Al-Qur’an yang menunjukan arah bacaan yang benar, dapat
dibenarkan. Sedangkan rasm Usmani yang menyalahi rasm Imla’I. Menyulitkan banyak
orang serta bisa mengakibatkan berat dan kacau bagi pembaca.
Kelompok ketiga Mengatakan, bahwa penulisan Al-Qur’an dengan rasm Imla’I dapat
dibenarkan, tetapi kusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm
Usmani, tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat ini diperkuat al-
Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm Imla’I diperlukan untuk menghindarkan umat dari
kesalahan membaca Al-Qur’an, sedang rasm Usmani diperlukan untuk memelihara keaslihan
msuhaf Al-Qur’an.
Tampaknya pendapat yang ketiga ini berupaya mengkompromikan antara dua
pendapat terdahulu yang bertentangan. Disatu pihak mereka ingin melestarikan rasm Usmani,
sementara dipihak yang lain mereka menghendaki dilakukannya penulisan Al-Qur’an dengan
rasm Imla’I untuk memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan
mendapat kesulitan membaca Al-Qur’an dengan rasm Usmani. Dan pendapat ketiga ini lebih
moderat dan lebih sesuai dengan kondisi umat. Memang tidak tidak ditemukan
8
ibid

8
nashditemukan nash yang jelas diwajibkan penulisan Al-Qur’an dengan rasm Usmani.
Namun demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan rasm usmani harus di
indahkan dalam pengertian menjadikannya sebagia rujuan yang keberadaannya tidak boleh
hilang dari masyarakat islam. Sementara jumlah umat islam dewasa ini cukup besar dan tidak
menguasai rasm Usmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah umat islam yang tidak mampu
membaca aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar
membaca ayat-ayat Al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian, Al-Qur’an dengan
rasm Usmani harus dipelihara sebagai sandar rujukan ketika dibutuhkan. Demikian juga
tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya imiah, rasm Usmani mutlak diharuskan karena
statusnya suda masuk dalam kategori rujuakn dan penulisannya tidak mempunyai alas an
untuk mengabaikannya.
Dari ketiga pendapat diatas penulis lebih cenderung menyatakan, bahwa untuk
penulisan Al-Qur’an secara utuh sebagai kitab suci umat Islam, mmesti mengikuti dan
berpedoman kepada rasm usmani, hal ini mengingat pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut:
1. Agar umat Islam diseluruh dunia memiliki kitab suci yang seragam dalam pola
penulisannya, sesuai dengan pedoman aslinya.
2. Pola penulisan Al-Qur’an dengan rasm Usmani, kalaupun tidak bersifat taifiqi
minimal telah merupakan ijma’ atau kesepakatan para sahabat Nabi. Ijla’ sahabat
memiliki kekuatan hokum tersebut yang wajib diikuti, termasuk dalam penulisan Al-
Qur’an dengan rasm Usmani (bila dimaksutkan sebagai kitab suci secara utuh).
3. Pola penulisan Al-Qur’an berdasarkan rasm Usmani boleh dikatakansebagian besar
sesuaidengan kaidah-kaidah rasm Imla’I dan hanya sebagian kecil saja yang
menyalahi atau beerbedadengan rasm Imla’i.9

2.4 Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman bin Affan
Pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar as-Siddiq berbeda motif dengan pengumpulan
mushaf oleh Usman bin Affan. Motif Abu Bakar as-Siddiq adalah kekhawatiran beliau akan
hilangnya al-Qur’an karena banyak para penghafal al-Qurr’an yang gugur. Sementara motif
dari Usman bin Affan adalah karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca al-
Qur’an sehingga mengakibatkan perselisihan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, cara yang
dilakukan antara keduanya juga berbeda.

9
Syaikh Manna Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, 2006, hlm. 169.

9
Pengumpulan al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar as-Siddiq yaitu dengan
memindahkan satu tulisan atau catatan al-Qur’an yang bermula ditulis pada kulit-kulit
binatang, tulang, dan pelepah kurma. Kemudian tulisan tersebut dikumpulkan pada satu
mushaf tetapi masih terbatas. Sementara itu, pengumpulan yang dilakukan Usman bin Affan
adalah menyalin satu huruf dari ketujuh huruf. Hal tersebut bertujuan untuk mempersatukan
kaum muslimah.
Dengan usaha usman tersebut berhasil menghindar timbulnya fitnah dan mengikis
sumber perselisihan serta menjaga isi al-Qur’an. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah
mishaf yang dikirim oleh Usman bin Affan ke berbagai daerah. Berikut pendapat dari para
ulama.
a. Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah yang dikirim ke Mekkah,
Syam, Basyarah, Kuffah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibnu Abdu Daud
mengatakan: “Aku mendengar Abu Hatim as-Sijitsani berkata: “ telah ditulis tujuh
buah mushaf lalulu dikirim ke Mekkah, Syam, Basyarah, Kuffah, Yaman,
Bahrain, dan Madinah.”
b. Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah masing-masing dikirim ke Iraq,
Mesir, Syam, dan Mushaf Imam dikirim ke Kuffah, Basyrah, dan Syam.
c. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. Asyuti berkata bahwa
pendapat ini adalah masyhur.10
Adapun lembaran yang dikembalikan ke Hafsah tetap berada ditangannya hingga
wafat. Selanjutnya lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan. Lembaran-lembaran tersebut
diambil oleh Marwah bin Hakan lalu dibakar. Mushaf-mushaf yang di tulis oleh Usman bin
Affan tidak ada lagi yang ditemukan. Keterangan tersebut dinyatakan oleh Ibnu Katsir dalam
kitabnya Fadhilatul Qur’an.
Dari beberapa riwayat dan hasil penelitian di atas dapat dimengerti, bahwa latar
belakang pengumpulan Al-Qur‟an pada Ustman sangat jauh berbeda dengan faktor yang ada
pada masa Abu Bakar. Dominasi perbedaan bacan qira‟ah Al-Qur‟an pada masa Utsman
lebih menjadi sebab utama yang akhirnya melahirkan apa yang dikenal sampai saat ini,
dengan meminjam istilah Manna‟ Khalil al-Qattan, dalam Mabahist-nya yaitu; “Rasm
Utsmani lil Mushaf” (al-Qattan, 1973: 129).

10
Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, Ulil Abshar-Abdalla, Metodologi Studi Al-Qur’an, Gramedia,
Jakarta, 2009, hlm. 85.

10
Adapun tentang teknis yang diambil oleh Khalifah Utsman dalam menyelesaikan
perbedaan yang ada sampai tuntas, masih menurut M.M al-A‟zami terdapat dua riwayat satu
diantaranya lebih masyhur:
a. Khalifah Utsman membuat naskah mushaf semata-mata berasarkan kepada suhuf
(Abu Bakar) yang disimpan di bawah penjagaan Hafshah, istri Rasulullah Saw. untuk itu
dibentuklah tim empat yang beranggotakan; Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa‟id bin
al-Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, dimana Zaid bin Tsabit merangkap sebagai
ketua tim.
b. Riwayat kedua yang tidak begitu terkenal, Khalifah Utsman lebih dahulu memberi
wewenang pengumpulan mushaf dengan menggunakan sumber utama, sebelum
membandingkannya dengan suhuf yang ada, untuk merealisasikannya Khalifah Utsman
mengangkat sebuah Lajnah Kodifikasi Mushaf yang terdiri dari dua belas orang, mereka
adalah; Sa‟id bin al-Ash, Nafi‟ bin Zubair bin „Amr bin Naufal, Zaid bin Tsabit, Ubay bin
Ka‟ab, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Hisyam, Kathir bin Aflah, Anas bin Malik,
Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Amr bin al-Ash (al-A‟zami, 2005: 99-100). Namun
begitu dalam ke dua versi riwayat sepaham bahwa suhuf yang ada pada Hafshah memainkan
peranan penting dalam pembuatan Mushaf Utsmani (al-A‟zami, 2005: 98).11

11
Madzkur, Zaenal Arifin (2011) “Potret Sejarah dan Hukum Penulisan Al-Qur’an dengan Rasm ‘Utsmani”
Urgensi Ustamani (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI) 1:20

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Pada masa Nabi Muhammad SAW para penulis al-Qur’an telah ditunjuk, seperti
Ali, Muawiyah, Ubai bin K’ab, dan Zaid bin Sabit. Ketika ayat turun Nabi
Muhammad SAW memerintakan untuk menulis dan menunjukan tempat turun ayat
di dalam surah dengan bentuk lembaran, sehingga penulisan pada lembaran
tersebut dapat membantu proses penghafalan di dalam hati. Selain itu, para sahabat
juga menulis al-Qur’an pada pelepah kurma, batu, daun lontar, kulit, kayu, dan
potongan tulang binatang. Pada masa Nabi Muhammad SAW cara tersebut yang
hanya bisa dilakukan karena pada masa tersebut kertas belum ada.
2. Setelah Rasullullah wafat yang menjalankan urusan pemerintahan dan agama islam
adalah Abu Bakar as-Siddiq. Beliau diuji dengan beberapa penyelewengan yang
dilakukan bangsa Arab seperti murtad. Oleh karena itu, Abu Bakar as-Siddiq
mengirim pasukan untuk menyerang orang-orang murtad. Pada tahun 12 H terjadi
perang Yamamah yang melibatkan para pengahafal al-Qur’an gugur. Perang
tersebut mengakibatkan tujuh puluh qari meninggal dunia. Umar bin Khattab
merasa khawatir dengan peristiwa tersebut. Hal ini yang menjadikan alasan Umar
bin Khattab mengusulkan Abu Bakar as-Siddiq mengumpulkan serta membukukan
al-Qur’an agar tidak musnah
3. Setelah wafatnya Khalifah Umar bin Khattab, kekhalifaan digantikan oleh Usman
bin Affan. (Menurut Mustafa 1994:91) Pada zaman Usman bin Affan mulai
tampak pertikaian antara kaum muslimin mengenai al-Qur’an karena beberapa
alasan:
a) Tidak adanya uniformitas atau keseragaman tentang susunan surah-surah dan
naskah-naskah yang mereka miliki.
b) Tidak adanya uniformitas tentang qirat atau cara membaca ayat al-Qur’an
c) Tidak adanya uniformitas tentang ejaan yang dipakai dalam menuliskan al-
Qur’an.
4. Pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar as-Siddiq berbeda motif dengan
pengumpulan mushaf oleh Usman bin Affan. Motif Abu Bakar as-Siddiq adalah
kekhawatiran beliau akan hilangnya al-Qur’an karena banyak para penghafal al-
Qurr’an yang gugur. Sementara motif dari Usman bin Affan adalah karena
12
banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca al-Qur’an sehingga
mengakibatkan perselisihan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, cara yang
dilakukan antara keduanya juga berbeda.

3.2 Saran
Saran yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Makalah selanjutnya dapat membahas tentang ilm Qiraat dan Perbedaan Qiraat
2. Makalah selanjutnya dapat membahas tentang munasabat al-Qur’an
3. Makalah selanjutnya dapat membahas tentang Qasas al-Qur’an

13
DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, Luthfi Assyaukanie, Ulil Abshar-Abdalla (2009). Metodologi Studi Al-Qur’an.


Jakarta: Gramedia.

Al Qaththan, Syaikh Manna (2006). Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Kairo: Maktabah
Wahbah.

Shihab, M.Quraish, dkk, (2001). Sejarah dan ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Kholis, Nur (2012). Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Teras.

Hamid, Abdul (2016). Pengantar Studi Al-Quran. Jakarrta: PRENMEDIA GROUP.

Anda mungkin juga menyukai