Anda di halaman 1dari 24

MUSHAF-MUSHAF SAHABAT SEBELUM MUSHAF UTSMANI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tarikh Al-Qur’an

Dosen Pengampu: Abdul Jalil, S.Th.I., M.Si.

Disusun oleh :

Anggito Bagus Oktaviantoro 20105030060

Raudhatul Karimah 20105030067

Ahmad Zahir Khan Al-Rifqi 20105030109

Bayu Rahman 20105030118

Muhammad Abdu Syakur Alaa LL 20105030138

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2022

I
KATA PENGANTAR

Bismillahir rahmanirrahim…

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt, karena atas berkat rahmat dan hidayah-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas revisi makalah yang berjudul untuk memenuhi tugas mata
kuliah Tarikh Al-Qur’an. Tentunya dalam penyusunan makalah ini kami memperoleh bantuan dari
berbagai pihak dan sumber-sumber pendamping kajian makalah. Oleh karena itu, kami haturkan
banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam penyusunan makalah
ini.

Kami menyadari pula bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, disebabkan karena terbatasnya ilmu dan pengetahuan kami. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran membangun dari pembaca untuk perbaikan dalam pembuatan
makalah-makalah selanjutnya.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan pembaca pada
umumnya, dan atas amal baik dari semua pihak yang membantu dalam penyusunan makalah ini
semoga mendapatkan imbalan pahala dari Allah Swt. Aamiin.

Yogyakarta, 15 Maret 2022

Penyusun

II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... II
BAB I .............................................................................................................................................. 2
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 2
BAB II ............................................................................................................................................. 4
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 4
A. Sejarah Al-Quran di Masa Umar ......................................................................................... 4
B. Mushaf-Mushaf Sahabat ...................................................................................................... 4
BAB III ......................................................................................................................................... 21
PENUTUP..................................................................................................................................... 21
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 22

1
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Penulisan ayat-ayat al-Quran sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Rasulullah,


bahkan sejak masa awal diturunkannya al-Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur
selama sekitar 23 tahun. Setiap kali wahyu tersebut turun, Rasul selalu membacakan dan
mengajarkannya kepada para sahabat serta memerintahkan kepada mereka untuk
menghafalkannya. Rasul juga memerintahkan kepada sahabat yang pandai menulis agar
menuliskannya di pelepah pohon kurma, kepingan tulang dan lempengan batu.
Mereka menulis ayat-ayat al-Quran dengan sangat hati-hati, karena mereka menulis
firman Allah yang menjadi pedoman hidup umat manusia. Rasulullah memberi nama surat,
juga urutan-urutannya sesuai dengan petunjuk Allah. Tulisan ayat-ayat Qur’an itu
disimpan di rumah Rasulullah. Masing-masing sahabat juga menulis untuk disimpan
sendiri.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tulisan ayat-ayat al-Quran belum dikumpulkan
dalam satu mushaf, tetapi masih berserakan. Setelah Rasulullah wafat dan Abu Bakar
menjadi khalifah, terjadi Perang Yamamah yang merengut korban 70 penghafal al-Quran.
Banyaknya penghafal yang gugur menimbulkan kekhawatiran di kalangan sahabat
khuususnya Umar ibn al-Khatab. Umar khawatir jika hal ini terus terjadi maka al-Quran
akan hilang dan tidak ada yang mengingatnya.
Oleh karena itu, Umar menyarankan kepada Abu Bakar untuk menghimpun surah-
surah dan ayat-ayat yang masih tersebar ke dalam satu mushaf. Pada awalnya Abu Bakar
keberatan dengan permintaan Umar, karena hal seperti itu tidak dilakukan oleh Rasul.
Maka Umar meyakinkannya bahwa hal tersebut semata-mata untuk melestarikan al-
Aquran.
Setelah diyakinkan Umar, Abu Bakar akhirnya menyetujui permintaan untuk
mengumpulkan ayat-ayat al-Quran ke dalam satu mushaf. Abu Bakar menunjuk Zaid ibn
Tsabit sebagai pemimpin pengumpulan itu, dengan berpegang pada tulisan yang tersimpan

2
di rumah Rasul, hafalan-hafalan para sahabat dan naskah-naskah yang ditulis oleh para
sahabat untuk diri mereka sendiri.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Al-Quran di Masa Umar

Setelah wafatnya Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar pun ditunjuk untuk meneruskan
gelar Khalifah. Abu Bakar juga mempercayakan nasib mushaf-mushaf yang ada kepada Umar.
Umar pun menjalankan amanah tersebut sehingga era kepemimpinan diwarnai pengembangan Al-
Quran secara pesat melintasi batas semenanjung Arab. Beliau sampai mengutus para sahabat ke
berbagai kota untuk mengajarkan Al-Quran di sana.
Metode yang digunakan oleh para utusan Umar adalah dengan membagi murid-murid
mereka dalam beberapa kelompok dan menugaskan satu orang secara terpisah untuk menjadi
instruktur guna memantau perkembangan kelompok tersebut. Bagi mereka yang telah lulus tingkat
dasar, dapat mengikuti bimbingan langsung dengan utusan Umar agar murid yang lebih tinggi
tingkatnya merasa lebih terhormat belajar dengan para utusan Umar dan berfungsi sebagai guru
tingkat menengah. Yang memelopori metode ini adalah Abu ad-Darda’ dan Abu Musa Al-Ash’ari.
Sementara itu di ibu kota, Umar melantik Yazid bin ‘Abdullah bin Qusait untuk
mengajarkan Al-Quran kepada masyarakat suku Badui dan melantik Abu Sufyan sebagai
instruktur untuk suku mereka agar mengetahui perkembangan mereka. Umar juga menunjuk tiga
orang sahabat di Madinah untuk mengajarkan Al-Quran kepada anak-anak dan orang dewasa.
Setelah ditikam oleh Abu Lu’lua (hamba sahaya Kristen dari Persia) di akhir tahun 23 H,
Umar menolak untuk menunjuk seorang khalifah penerusnya. Beliau menyerahkan keputusan
tersebut kepada masyarakat dan beliau meminta suhuf diamanahkan kepada Hafsa, mantan istri
Nabi Muhammad SAW.

B. Mushaf-Mushaf Sahabat

Seperti yang kita ketahui bahwa Al Qur’an turun kepada Nabi Muhammad SAW tidak
secara fisik yang utuh berupa lembaran. Ketika Al Qur’an turun Nabi memerintahkan para
sahabatnya yang sudah teruji secara kompeten untuk menuliskannya pada suhuf (lembaran-

4
lembaran). Sahabat yang dimaksud diantaranya : khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib), Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas, Abu
Musa Al-‘Asy’ary, Hafshah, Zaid bin Tsabit, dan Aisyah.

Diperkirakan sedikitnya ada 23 naskah Al Qur’an yang ditulis di masa Nabi Muhammad
SAW masih hidup. Hal ini bukan sebuah keajaiban, mengingat pada periode Madinah kita
memiliki informasi bahwa ada kurang lebih 60 sahabat yang ditugaskan Nabi untuk menulis
wahyu. Dari pekerjaan ini terbitlah mushaf-mushaf simpanan yang mereka tulis sesuai perintah
Nabi Muhammad. Di kemudian hari mushaf-mushaf simpanan ini terkenal dengan mushaf sahabat.
Dan di masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan, mushaf-mushaf ini dilenyapkan setelah
terbit mushaf imam untuk mempersatukan umat dari perpecahan dan perbedaan dalam membaca
Al Qur’an, wallahu a’lam.1

Ada beberapa istilah yang tidak jarang ditemukan mengenai variasi mushaf-mushaf pra
Utsmani di dalam beberapa karya para mufassir dan filolog masa awal. Tidak sedikit yang
mengungkapkan varian tersebut menggunakan istilah “mushaf sahabat” atau “sejumlah mushaf
lama” atau “dalam beberapa mushaf lama” atau “dalam bacaan awal”. Selain itu, menggunakan
mushaf yang ada di beberapa kota sebagai referensi, seperti "Mushaf Basra" atau "mushaf Hims"
atau "mushaf ahl al-Aliyah". Tak hanya itu, nama-nama orang juga digunakan sebagai referensi
seperti "mushaf al-Hajjaj" atau "mushaf milik kakek Malik ibn Anas", atau "naskah yang
digunakan oleh Abu Hanifah ". Namun, dibandingkan itu semua, yang dominan digunakan juga
yang paling populer adalah referensi dari sahabat seperti mushaf Ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab dan
lainnya.2

Pada abad ke-4 H/10 cendekiawan Muslim telah melakukan


kajian khusus tentang fenomena Mashãhif ini. Studi tahun ini yang populer dilakukan oleh Ibn al-
Anbari (w. 935), yang mendahului Ibn Mujahid (w.935), mengenai qira’ah sab’ah. Sayangnya,
Kitãb al-Mashãhif al-Anbari telah hilang oleh waktu, dan hanya ditemukan dalam kutipan ulama
Islam belakangan ini, seperti di al-Suyuthi.3 Hanya satu karya yang bisa sampai ke masa saat ini

1
Abunawas, H. M. Z., Saifurrahman, S., Umar, R., Jumriani, J., Rahman, A., & Jaya, I. (2021). MUSHAF
USMANI, SOLUSI DI TENGAH KERAGAMAN MUSHAF. AL ASAS, 6(1), 1-18.
2
Jeffery, Materials, p. 9
3
Dalam karya Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma’tsûr, (Bei-rut-Libanon: Dar al-Fikr, 1983), passim, bisa
ditemukan sejumlah besar kutipan yang bersumber dari karya al-Anbari

5
adalah Kitab al-Mashãhif oleh Ibn Abi Dawud (w. 316 H). Sayangnya, kitab ini memiliki cakupan
yang paling sempit dari kitab lainnya pada periode yang sama. Terutama berdasarkan kitab ini,
dan kitab lainnya, Arthur Jeffery - penerbit kitab berdasarkan beberapa manuskrip -
mengklasifikasikan manuskrip kuno menjadi dua kategori utama: mushaf primer dan mushaf
sekunder.

Walaupun Jeffrey tidak menyatakannya, namun yang dimaksudkannya dengan mushaf


primer adalah mushaf-mushaf mandiri yang dikumpulkan secara individual oleh beberapa sahabat
Nabi. Sedangkan mushaf sekunder adalah mushaf pada masa selanjutnya yang menjadikan mushaf
primer sebagai referensi serta menunjukkan tradisi bacaan kota-kota besar Islam. Adapun mushaf-
mushaf primer yakni : Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar ibn Khaththab, Mushaf Ubay ibn
Ka‘b, Mushaf Ibn Mas‘ud, Mushaf Ali ibn Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy‘ari, Mushaf
Hafshah bint Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah bint Abu Bakr, Mushaf Ummu
Salamah (w.59 H), Mushaf Abd Allah ibn Amr (w. 65 H), Mushaf Ibn Abbas, Mushaf Ibn al-
Zubayr, Mushaf Ubayd ibn ‘Umair (w. 74 H), dan Mushaf Anas ibn Malik (w. 91 H). Sedangkan
mushaf sekunder yakni : Mushaf Alqama ibn Qais (w. 62 H.), Mushaf al-Rabi‘ ibn Khutsaim (w.
64 H), Mushaf al-Harits ibn Suwaid (w. 70 H), Mushaf al-Aswad ibn Yazid (w. 74 H), Mushaf
Hiththan (w. 73 H), Mushaf Thalhah ibn Musharrif (w. 112 H), Mushaf al-A‘masy (w. 148 H),
Mushaf Sa‘id ibn Jubayr (w. 94 H), Mushaf Mujahid (w. 101 H), Mushaf Ikrimah (w. 105 H),
Mushaf Atha’ ibn Abi Rabah (w. 115 H), Mushaf Shalih ibn Kaisan (w. 144 H), dan Mushaf Ja‘far
al-Shadiq.

Berikut ini merupakan beberapa penjelasan mengenai mushaf-mushaf primer. Namun,


mushaf-mushaf yang dijelaskan adalah mushaf-mushaf yang sangat terkenal saja.

1. Mushaf Ubay ibn Ka’ab


Ubay ibn Ka’ab merupakan orang dari bani Najjar juga seorang Anshar. Ia masuk
Islam termasuk di masa-masa awal dan ikut dalam beberapa pertemupuran besar di masa
Nabi seperti perang Badr dan perang Uhud. Ubay merupakan orang yang menguasai
pengetahuan tulis-menulis, sehingga membuat Nabi menunjuknya sebagai sekretaris,
termasuk mencatat wahyu-wahyu. Ubay ibn Ka’ab merupakan salah seorang yang
mengkhususkan diri dalam pengumpulan wahyu dan termasuk salah seorang yang
dianjurkan Nabi saw untuk belajar al-Qur’an darinya. Ia juga dikenal sebagai Sayyid al-

6
Qurra’ yang memiliki arti pemimpin para pelafal/penghafal al-Qur’an) juga dalam
beberapa aspek, Ubay memiliki wewenang lebih besar dibandingkan Ibn Mas’ud dalam
problematika al-Qur’an. Tahun kematiannya tidak dapat ditentukan dengan pasti. Sumber
yang ada menyebutkan bahwa 19, 20, 22, atau 30 bahkan 32H. Namun, seperti yang
dikatakan oleh Schwally, menyatakan tahun 30 atau 32 H sebagai tahun kematian Ubay
harus dipertanyakan, karena melihat ke belakang ini dapat membuat atau
merasionalisasikan keterlibatannya dalam koleksi Quran 'an pada masa pemerintahan
Khalifah Utsman.
Tidak jelas kapan tepatnya ia mengumpulkan materi-materi pewahyuan ke dalam
Mushafnya. Mungkin ketika Nabi menunjuknya untuk menyalin wahyu, kegiatan
pengumpulan al-Quran dimulai. Namun, kapan ia akan selesai menyusun wahyu yang
membentuk kodeksnya, tidak pasti. Yang pasti, sebelum datangnya mushaf standar
Utsmaniyah, mushaf Ubay sudah tersebar di Suriah. Sebuah kisah yang diceritakan oleh
Ibn Abi Dawud mengungkapkan bahwa beberapa orang Suriah menulis sebuah manuskrip
Al-Qur'an dan pergi ke Madinah untuk memverifikasinya dengan Ubay dan Zaid.
Meskipun beberapa hasil yang tidak biasa diperoleh dari Ubay, baik Zayd maupun Khalifah
Umar ketika itu tidak menyangkal kebenarannya.
Beberapa perawi menyebutkan partisipasinya dalam komite pengumpulan al-Quran
yang dibentuk oleh Khalifah Utsman. Namun, seperti disebutkan di atas, kemungkinan
besar Ubay sudah meninggal saat itu dan tidak dapat berpartisipasi dalam penyusunan
mushaf standar Utsmaniyah. Demikian juga, beberapa catatan mengatakan tentang
keterlibatannya dalam penyusunan Al-Qur'an di bawah kepemimpinan Khalifah Abu
Bakar. Tapi, seperti yang dijelaskan bab sebelumnya, sejarah pertemuan resmi pada saat
itu masih dipertanyakan. Oleh karena itu, keterlibatan Ubay dalam hal ini juga sangat
dipertanyakan. Mungkin, pernyataan Nabi bahwa dia adalah salah satu dari Empat Sahabat
Al-Qur'an - yang merupakan fakta sejarah - telah membuat namanya masih dikaitkan
dengan upaya resmi dalam pengumpulan Al-Qur'an.
Dilaporkan bahwa naskah Ubay juga dihancurkan selama standarisasi teks Al-
Qur'an pada masa Utsman. Ibn Abi Dawud menceritakan bahwa beberapa orang datang
dari Irak untuk menemui putra Ubay, Muhammad, untuk mencari informasi dari manuskrip
ayahnya. Namun, Muhammad mengungkapkan bahwa mushaf itu disita oleh Utsman.

7
Namun dari berbagai riwayat yang sampai hingga saat ini, dapat dilacak susunan huruf-
huruf dalam manuskrip tersebut, perbedaan bacaannya dengan varian bacaan dalam tradisi,
sistem penulisan Utsmaniyah, dll.
Susunan surah dalam Mushaf Ubay – walaupun terdapat beberapa perbedaan yang
relatif besar dari Mushaf Utsmaniyah – secara umum menunjukkan prinsip-prinsip yang
umum diterapkan dalam penataan surah pada mushaf, yakni dimulai dengan surah yang
panjang hingga surah yang pendek. Hal ini dapat dilihat pada bagian atas dan bawah daftar
surat, baik yang disebutkan dalam Fihrist maupun Itqán. Namun, menurut Jeffery, kedua
daftar tersebut tidak dapat dipercayai dan harus dianggap karya ‘buatan’ yang berdasarkan
naskah aslinya.
Mushaf Ubay tampaknya tidak pernah menjadi sumber manuskrip sekunder,
meskipun disalin dan diwarisi dari generasi ke generasi oleh keluarga Muhammad ibn Abd
al-Malik al-Ansari. Di kediaman pria inilah, penulis Fihrist menyaksikan penyalinan
Mushaf. Salinan manuskrip Ubay juga diyakini bertahan pada masa pemerintahan Ibn
Syadzan (w. 874), tepatnya pada pertengahan abad ke 3 H. Bahkan ada riwayat lain yang
menyebutkan bahwa Ibnu Abbas memberikan seseorang sebuah naskah yang ditulis
menurut qirã'ah Ubay. Dengan demikian, meskipun bukan merupakan sumber naskah
sekunder, naskah-naskah Ubay tampaknya telah disalin dari generasi ke generasi, hingga
akhirnya musnah ketika mushaf-mushaf standar Kesultanan Utsmaniyah menggangikan
kedudukan mushaf-mushaf yang lain untuk digunakan oleh masyarakat Muslim.
Dalam salinan mushaf Ubay ada sejumlah perbedaan ortografis dengan teks al-
Quran edisi Mesir. Beberapa riwayat memaparkan bahwa dalam teks Ubay imãla (vokal ã
panjang) di dalam suatu kata – yang dalam teks utsmani ditampilkan dengan huruf alif (‫)ا‬
– ditulis dengan yã (‫)ي‬. Contohnya, kata li-l-rijãli (‫ ) للرجال‬disalin dengan ‫ ) للرجيل‬, jã’a (‫)جاء‬
disalin dengan ‫ جيا‬dan jã’at-hum (‫ )جاءتهم‬disalin dengan ‫جياتهم‬. Perbedaan ortografis
menyangkut imãla ini pada hakikatnya mencerminkan tahapan yang lebih awal dari
perkembangan penyempurnaan aksara Arab, dan pengungkapan dalam bentuk tertulis
berbagai ragam dialek yang ada di dalam bahasa Arab. 4
Selain perbedaan dalam susunan surat dan sejumlah kecil masalah ortografis,
terdapat banyak bacaan yang berbeda dalam mushaf Ubay dari bacaan resmi mushaf

4
Cf. Noeldeke, et.al., Geschichte, iii, pp. 37 ff

8
utsmani, baik dari segi vokalisasi, kerangka konsonantal, penambahan atau pengurangan
kata atau ayat, susunan ayat itu sendiri, dan lainnya. Jeffery, yang berupaya mengumpulkan
dan mengedit variae lectiones (ragam bacaan) yang berkembang di dalam tradisi bacaan
al-Quran, membutuhkan sekitar 64 halaman untuk menyajikan bacaan-bacaan dalam
mushaf Ubay yang berbeda dari lectio vulgata (bacaan resmi) yang digunakan untuk textus
receptus utsmani.5 Beberapa ilustrasi yang dikemukakan berikut ini6 – secara khusus
membandingkan bacaan Ubay dengan salah satu bacaan kanonik yang digunakan secara
luas untuk menyalin mushaf utsmani dewasa ini, yakni bacaan Ashim riwayat Hafsh – akan
memperlihat perbedaan-perbedaan tersebut.
Perbedaan teks Ubay dengan bacaan resmi utsmani dalam vokalisasi bentuk
konsonan yang sama terlihat cukup masif. Tetapi, perbedaan vokalisasi ini lebih banyak
mengacu kepada variasi-variasi gramatikal, seperti bacaan Ubay untuk 2:18,171: shumman
bukman ‘umyan, untuk 12:18: fa-shabran jamîlan, untuk 21:92: ummatun wãhidatun, dan
lain-lain. Sejumlah partikel (harf) gramatikal berkerangka konsonantal sama bisa juga
menimbulkan perbedaan dalam vokalisasinya dan pada gilirannya mempengaruhi
vokalisasi teks. Contohnya, kerangka partikel ‫ إن‬bisa divokaliasi sebagai inna, anna atau
an. Jadi 4:171, an yakûna, dalam lectio vulgata misalnya, telah dibaca oleh Ubay in
yakûnu. Perbedaan vokalisasi terkadang juga bisa mengakibatkan perbedaan arti. 7 Bagian
al-Quran 13: 43, wa man ‘indahu ‘ilmu-l-kitãbi, yang bermakna: “dan orang yang ada
padanya (atau memiliki) ilmu al-kitab,” terbaca dalam mushaf Ubay: wa min ‘indihi ‘ilmu-
l-kitãbi, “dan yang darinya (datang) ilmu al-kitab.”8
Perbedaan dalam pemberian i‘jãm – yakni titik-titik diakritis pembeda lambang-
lambang konsonan – terhadap kerangka konsonantal yang sama terlihat cukup masif dalam
kedua mushaf di atas. Kerangka konsonantal dalam 2:259 dibaca dalam mushaf resmi
nunsyizuhã (‫)ننشزها‬, sedangkan Ubay membacanya nunsyiruhã (‫)ننشرها‬. Demikian pula,
kerangka konsonantal 11:116, ‫ تقية‬, dibaca baqiyyatin (‫ )بقية‬dalam teks utsmani, sedangkan
dalam mushaf Ubay dibaca taqiyyatin (‫)تقية‬. Dalam kebanyakan kasus, muncul perbedaan

5
Jeffery, Materials, pp. 117-181.
6
Taufik Adnan Amal, Rekrontruksi Sejarah Al-Qur’an edisi digital, Jakarta : Divisi Muslim Demokratis, hlm. 190
7
Cf. Goldziher, Richtungen, p. 7.
8
Taufik Adnan Amal, Rekrontruksi Sejarah Al-Qur’an edisi digital, Jakarta : Divisi Muslim Demokratis, hlm. 191

9
bacaan yang diakibatkan oleh perbedaan pemberian tanda diakritis. Kerangka konsonantal
‫ يداعون‬dalam 13:14, diberi dua titik di bawah huruf pertamanya dalam bacaan resmi,
sehingga terbaca yad‘ûna (‫)يدعون‬, sementara kerangka huruf yang sama diberi dua titik di
atasnya dalam bacaan Ubay, sehingga terbaca tad‘ûna (‫ – )تدعون‬perbedaan prefiks
(sãbiqah) orang ketiga plural dan prefiks orang kedua plural. Dalam 16:84 terdapat
kerangka konsonantal ‫ نﺒﻌﺚ‬, yang dibaca dalam bacaan resmi nab‘atsu (‫)نﺒﻌﺚ‬, sementara
dalam mushaf Ubay yab‘atsu (‫ – )يﺒﻌﺚ‬perbedaan prefiks orang pertama jamak dan prefiks
orang ketiga tunggal. Namun, perbedaan dalam titik diakritis untuk kata ganti orang ini
tidak menimbulkan penyimpangan makna yang substansial. Senada dengan ini adalah
penggantian kata ganti orang (dlamir, personal pronoun) dengan nama diri (ism ‘alam),
misalnya 7:55: innahu dalam mushaf utsmani menjadi inna-llãha dalam teks Ubay; atau
22:78: huwa dalam teks utsmani menjadi allãhu dalam teks Ubay; atau sebaliknya,
misalnya 40: 16: ‘alãllãhi dalam teks utsmani menjadi ‘alayhi dalam mushaf Ubay; dan
lain-lain. Kasus-kasus semacam ini sama sekali tidak mempengaruhi makna teks secara
keseluruhan9.
Selain perbedaan yang telah tergambar, terdapat perbedaan lain berupa
penambahan atau pengurangan kata, kelompok kata, dan ayat, jika teks Usmani dijadikan
sebagai dasar perbandingan dengan teks Ubay. Untuk penambahan atau sisipan kata dalam
mushaf Ubay bisa dikemukakan beberapa ilustrasi. Surat 1:5, dalam teks Ubay diawali
dengan sisipan allãhumma; dalam 2:184,196, setelah ungkapan ayyãmin ukhara (ayat
184), dan ayyãmin (ayat 196), terdapat tambahan kata mutatãbi‘ãtin. Setelah ungkapan wa-
inna katsîran dalam 6:119, muncul sisipan min al-nãsi dalam teks Ubay. Demikian pula,
di tengah-tengah ungkapan wa-lahu-l-hamdu fî al- ’ãkhirati dalam 34:1, terdapat sisipan
kata al-dunyã dalam mushaf Ubay, sehingga bacaan Ubay di sini adalah wa-lahu-l-hamdu
fî al-dunyã wa al-’ãkhirati.
Perbedaan paling mendasar antara mushaf Ubay dan mushaf Utsmaniyah adalah
adanya dua huruf tambahan pada naskah pertama yang tidak ada pada naskah kedua.
Artinya dalam penghitungan jumlah dan susunan huruf telah ditunjukkan sebelumnya. Dua
surah tambahan dalam Mushaf Ubay - yaitu sûrat al-khal‘ (3 ayat) dan sûrat al-hafd (6

9
Taufik Adnan Amal, Rekrontruksi Sejarah Al-Qur’an edisi digital, Jakarta : Divisi Muslim Demokratis, hlm. 192

10
ayat), secara linguistik tidak dapat dihitung sebagai bagian dari Al-Qur'an. Penggunaan
kosakata yang tidak termasuk dalam Al-Qur'an, terlepas dari adanya beberapa riwayat yang
menyebutkan mereka sebagai doa qunut adalah bukti utama bahwa kedua surah ini adalah
bagian dari Al-Qur'an.

2. Mushaf Ibn Mas’ud


Abd Allah Ibn Mas'ud adalah salah satu sahabat Nabi, yang masuk Islam di masa
awal. Seperti kebanyakan pengikut awal Nabi, ia berasal dari strata bawah masyarakat
Mekah. Setelah memasuki Islam, ia mengikuti Nabi-Nya dan menjadi asisten pribadinya.
Ketika Nabi memerintahkan para pengikutnya untuk bermigrasi ke Abisinia, ia pergi
dengan pengikut awal Muslim lainnya. Setelah Hijrah di Madinah, ia tinggal di belakang
Masjid Nabawi dan berpartisipasi dalam beberapa perang, seperti dalam pertempuran Badr
- di mana ia memotong kepalanya Abu Jahl, Perang Yarmuk dan Perang Yarmuk Uhud.
Pada masa pemerintahan Umar, Ibnu Mas'ud dikirim ke Kufah sebagai qãdlî dan kepala
perbendaharaan umum (bayt almãl). Tampaknya pekerjaannya sebagai abdi negara tidak
terlalu membuahkan hasil. Pada masa pemerintahan Utsman, ia diberhentikan dari Kufah
dan kembali ke Madinah dan meninggal di sana pada 32 atau 33 H pada saat usia di atas
60 tahun. Menurut versi lain, ia meninggal di Kufah dan tidak diturunkan dari jabatannya
oleh Utsman.
Ibn Mas'ud adalah salah satu penguasa terbesar dalam Quran. Hubungan dekatnya
dengan Nabi memungkinkan dia untuk belajar sekitar 70 surat langsung dari mulut Nabi.
Sejarah mengungkapkan bahwa ia adalah salah satu yang pertama mengajar membaca
Alquran. Dia dikatakan sebagai orang pertama yang membacakan Al-Qur'an di Mekah
dengan suara keras dan terbuka di depan umum, meskipun ada penolakan keras dari orang
Quraisy, yang melemparinya dengan batu. Lebih lanjut, sebagaimana disebutkan, hadits
tersebut juga mengungkapkan bahwa dia adalah salah satu dari empat sahabat yang
diperkenalkan oleh Nabi sebagai tempat untuk mempertanyakan Al-Qur'an. Kekuasaan dan
popularitasnya dalam Al-Qur'an mencapai puncaknya saat bertugas di Kufah, di mana
manuskripnya sangat berpengaruh. Tidak jelas kapan Ibn Mas'ud mulai mengumpulkan
manuskripnya. Rupanya, dia mulai mengumpulkan wahyu pada masa Nabi dan berlanjut
setelah kematian Nabi. Setelah ditempatkan di Kufah, ia berhasil membangun pengaruh

11
mushafnya terhadap penduduk kota. Ketika Utsman mengirim salinan resmi teks al-Quran
standar ke Kufah dengan perintah untuk menghancurkan teks-teks lain, dilaporkan bahwa
Ibn Mas'ud menolak untuk mengirimkan naskahnya, marah karena teks telah ditulis oleh
Pendatang baru seperti Zayd ibn Tsabit lebih disukai. Bahkan, ia masuk Islam saat Zayd
masih tenggelam dalam ranah skeptis. Kufah sendiri, sebagian umat Islam menerima
keberadaan manuskrip baru karena diterbitkan Utsman. Namun, sebagian besar penduduk
kota ini masih menyimpan mushaf Ibnu Mas'ud yang pada waktu itu dianggap sebagai
mushaf orang Kufah. Kuatnya pengaruh mushaf Ibnu Mas'ud dapat dilihat dari sejumlah
mushaf sekunder - misalnya mushaf Alqamah ibn Qais, mushaf al-Rabi 'ibn Khutsaim,
mushaf al-Aswad, al-A'masy dan lain-lain. - yang mendasarkan teksnya pada mushaf Ibn
Mas'ud. Karena keberhasilannya di Kufah, mushaf Ibnu Mas'ud kemudian mendapat
tempat di kalangan Syiah.
Salah satu ciri naskah Ibnu Mas'ud adalah tidak adanya 3 surah pendek - yaitu surah
1, 113 dan 11 - dalam teksnya. Catatan lain mengungkapkan bahwa hanya 2 surah - yaitu
bab 1, 113 dan 11 - yang ada dalam teks. Catatan lain mengungkapkan bahwa hanya 2
surah - yaitu surah 113 dan 11 - tidak ada dalam mushaf. Penerjemah Fihrist
mengungkapkan bahwa ia telah melihat manuskrip Ibn Mas'ud yang berusia sekitar 200
tahun dan berisi prolog buku (surah 1). Namun, dia menambahkan bahwa dari manuskrip
Ibn Mas'ud yang dia lihat, tidak ada kecocokan di antara keduanya, bab 113 dan 11 - yang
tidak termasuk dalam manuskripnya. Penerjemahnya Fihrist mengungkapkan bahwa dia
telah melihat sebuah manuskrip dari manuskrip Ibnu Mas.ud yang berusia sekitar 200 tahun
dan termasuk pendahuluan kitab (surah 1). Namun, dia menambahkan bahwa dari
manuskrip Ibn Mas'ud yang dia lihat, tidak ada satupun yang cocok.
Dari segi ortografi, bisa ditemukan sejumlah kecil perbedaan antara mushaf Ibn
Mas‘ud dan teks standar al-Quran edisi Mesir. Kata kullamã (‫ )ﻛلﻤا‬dalam keseluruhan al-
Quran – misalnya 2:20,87; 3:37; 4:56; 11:38; dan lain-lain – dipisahkan penulisannya ( ‫ﻛل‬
‫ )ﻣا‬dalam teks Ibn Mas’ud. Demikian pula, penyalinan kata syay’ (‫ )ﺷﺊ‬dalam kasus marfû‘
dan majrûr dilakukan secara terpisah (‫)ﺷائ‬. Ungkapan hîna’idzin (‫ )حينئذ‬dalam 56:84, juga
disalin terpisah (‫)حين إذ‬. Hal senada terjadi pada huruf-huruf potong di permulaan sejumlah
surat, misalnya 25:1 (‫ )طسم‬disalin terpisah (‫)ط س م‬. 10

10
Taufik Adnan Amal, Rekrontruksi Sejarah Al-Qur’an edisi digital, Jakarta : Divisi Muslim Demokratis, hlm. 196

12
Sebaliknya, sejumlah kata yang dipisahkan penulisannya dalam teks utsmani,
disatukan penulisannya dalam teks Ibn Mas‘ud. Contohnya adalah ungkapan, min ba‘di
him min (‫ )ﻣن بﻌدهم ﻣن‬dalam 2:253, yang menyatukan penulisan dua kata terakhir (‫;)ﻣن بﻌدهﻤن‬
dan ungkapan man dzã (‫ )ﻣن ذا‬dalam 57:11, disatukan menjadi mandzã (‫)ﻣنذا‬. Kasus-kasus
semacam ini hanya merupakan varian ortografis dan tidak memiliki pengaruh apapun
terhadap substansi makna secara keseluruhan.
Perbedaan yang lebih mendasar antara mushaf Ibn Mas‘ud dan mushaf standar
utsmani bisa dilihat pada perbedaan vokalisasi konsonan yang sama, pemberian titik
diakritis terhadap kerangka konsonantal yang sama, kerangka konsonantal yang berbeda,
penyisipan atau pengurangan kata/sekelompok kata, penempatan kata pada posisi yang
terbalik. Eksistensi ayat-ayat tambahan ataupun ayat-ayat alternatif, dan sejumlah bacaan
Syi‘ah juga dapat memperpanjang daftar perbedaan ini. Beberapa ilustrasi berikut akan
menampakkan perbedaan-perbedaan tersebut.
Perbedaan vokalisasi antara bacaan Ibn Mas‘ud dan teks utsmani terlihat cukup
banyak. Seperti halnya Ubay, bacaan Ibn Mas‘ud untuk 2:18 adalah shumman bukman
‘umyan. Kata tasã’alûna dalam 4:1, di dalam teks Ibn Mas’ud berbunyi tas’alûna. Masih
dalam surat yang sama (4:6), kata rusydan dibaca rasydan. Sementara kata su’ila dalam
2:108, dibaca sa’ala, sehingga menjadikan Musa sebagai penanya.
Pemberian titik diakritis (i‘jam) berbeda terhadap kerangka konsonantal yang sama
dapat ditelusuri dalam mushaf Ibn Mas‘ud. Kerangka konsonantal ‫ بشر‬dalam 7:57, diberi
satu titik di bawah huruf pertama dan dibaca busyran (‫ )بُشرا‬dalam teks utsmani, namun
dalam teks Ibn Mas‘ud titik diakritis ditempatkan di atasnya sehingga terbaca nusyran
(‫)نُشرا‬. Jadi, perbedaannya hanya terletak pada pemberian satu titik di atas atau di bawah
kerangka huruf pertama. Tidak berbeda dari Ubay, Ibn Mas‘ud juga membaca kerangka
konsonantal 11:116 ‫ – بقية‬yang dalam teks utsmani dibaca baqiyyatin (‫ – )بقية‬sebagai
taqiyyatin (‫)تقية‬. Di sini, perbedaannya adalah penempatan satu titik di bawah kerangka
huruf pertama atau dua titik di atasnya. Dalam 21:96, kerangka konsonantal ‫ – جدث‬dalam
teks utsmani: hadabin (‫ – )حدب‬dibaca Ibn Mas‘ud sebagai jadatsin (‫)جدث‬. Dengan
demikian, letak perbedaan adalah pemberian satu titik di bawah kerangka huruf terakhir

13
atau pemberian satu titik di bawah kerangka huruf pertama dan tiga titik di atas kerangka
huruf terakhir. 11
Perbedaan penempatan titik diakritis menyangkut prefiks (sãbiqah) kata kerja bisa
diilustrasikan dengan 3:48. Kerangka huruf pertama kata ‫ يﻌلﻤه‬diberi dua titik di bawahnya
dalam mushaf utsmani, sehingga terbaca yu‘allimuhu (‫ – )يُﻌلّﻤه‬prefiks orang ketiga tunggal;
sementara dalam mushaf Ibn Mas‘ud, kerangka huruf tersebut diberi satu titik di atasnya
dan dibaca nu‘allimuhu (‫ – )نُﻌلّﻤه‬prefiks orang pertama jamak. Masih dalam surat yang
sama (3:49), kerangka huruf kedua dari teks konsonantal ‫ فيكون‬diberi dua titik di bawahnya
dalam mushaf utsmani dan dibaca fayakûnu (‫ – )فيكو ُن‬prefiks orang ketiga jamak; sementara
teks Ibn Mas‘ud memberikan dua titik di atas kerangka huruf senada dan menghasilkan
bacaan fatakûnu ( ُ‫ )فتكون‬prefiks orang kedua jamak. Kasus terakhir, tanpa partikel fa, juga
ditemukan dalam 10:78. Perbedaan penempatan titik-titik diakritis untuk prefiks ini tidak
mempengaruhi makna secara substansial. Bahkan, perbedaan pemberian titik-titik diakritis
yang menghasilkan kata-kata berbeda – seperti busyran menjadi nusyran dan seterusnya –
juga tidak mempengaruhi makna pada umumnya.
Penambahan atau penyisipan kata juga terlihat dalam teks Ibn Mas‘ud. Apakah
sisipan ini merupakan koreksi teks atau sekedar penjelasan tambahan, sulit ditetapkan.
Setelah ungkapan limanittaqã dalam 2:203, teks Ibn Mas‘ud menambahkan kata allãha.
Masih dalam surat yang sama (2:213), setelah ungkapan ummatan wãhidatan, terdapat
tambahan kata fa-khtalafû. Senada dengan ini, setelah kata al-jamalu dalam 7:40,
ditambahkan kata al-ashfaru; dan setelah ungkapan min qabli hãdzã dalam 11:49,
disisipkan kata al-qur’ãni. Masih banyak contoh jenis ini yang terserak dalam mushaf Ibn
Mas‘ud.
Demikian pula, pengurangan atau penghilangan kelompok kata – yang juga muncul
dalam teks Ibn Mas‘ud – dalam kebanyakan kasus terlihat tidak begitu mempengaruhi
makna teks secara umum. Jenis pengurangan semacam ini bisa diilutrasikan dengan
penghilangan ungkapan wa lã yaltafit minkum ’ahadun dalam 11:81, yang tidak
mempengaruhi makna keseluruhan konteks ayat, bahkan terlihat lebih ringkas; atau
penghilangan ungkapan wallã mustakbiran kãna lam yasma‘hã dalam 31:7, yang tidak

11
Taufik Adnan Amal, Rekrontruksi Sejarah Al-Qur’an edisi digital, Jakarta : Divisi Muslim Demokratis, hlm. 197

14
mempengaruhi makna keseluruhan ayat; serta penghilangan ungkapan min sû’i al-‘adzãb
dalam 39:47, yang juga tidak mempengaruhi makna umum konteks ayat. Bahkan, ketika
satu ayat dihilangkan seluruhnya, seperti dalam 94:6 – merupakan satu-satunya kasus
dalam teks Ibn Mas‘ud – “inna ma‘a al-‘usri yusran,” maka maknanya juga tidak
terdistorsi, karena ayat ini merupakan pengulangan dari ayat sebelumnya (94:5), dan
posisinya di sini barangkali hanya untuk memberi penekanan atau penegasan. 12

3. Mushaf Abu Musa Al-Asy’ari


Abu Musa al-Asy'ari, berasal dari Yaman, termasuk dalam kelompok orang yang
masuk Islam pada masa-masa awal. Dikatakan bahwa dia juga bermigrasi ke Abyssinia
dan tidak kembali sampai menaklukkan Khaibar. Setelah itu, dia diberi kekuasaan gubernur
sebuah distrik oleh Malaikat. Pukul 17 H, Khalifah Umar mengangkatnya menjadi
gubernur Bachra. Pada masa pemerintahan Utsman, ia diberhentikan dan akhirnya diangkat
kembali ke posisi lamanya di kota Kufah. Ketika Utsman terbunuh, orang-orang Kufah
memprotes Ali bin Abi Thalib, yang memaksa Abu Musa melarikan diri dari kota. Dia juga
terlihat berpartisipasi dalam Perang Shiffin 37 H antara Ali dan Mu'awiyah, sebagai wasit
Khalifah Ali, tetapi tidak dapat memainkan perannya. Inilah akhir dari aktivitas Abu Musa
dalam catur politik. Dikatakan bahwa dia kembali ke Mekah, lalu ke Kufah, dan meninggal
di sana pada 42 atau 52 H.
Abu Musa tertarik untuk membaca Alquran sejak awal. Dikatakan bahwa suara
bacaan Al-Qur'an sangat populer pada masa Nabi. Naskah Al-Qurannya mungkin mulai
dikumpulkan pada masa Nabi dan ditambahkan kemudian. Saat ia menjadi gubernur Basra,
manuskripnya - sering disebut dan disebut sebagai Lubăb al Qulûb - mulai diterima dan
akhirnya menjadi teks otoritatif penduduk kota. Beberapa pernyataan menarik
dikemukakan dalam Kitab al-Mashãhif karya Ibn Abi Dawud, yang memperkuat gagasan
independensi mushaf Abu Musa.
Pernyataan pertama, Yazid bin Mu'awiyah menceritakan bahwa suatu ketika pada
masa al-Walid bin Uqbah, ia berada di sebuah masjid dan menghadiri halaqah, yang juga
dihadiri oleh Hudzayfah bin al-Yaman (wafat. 36 H); kemudian ada himbauan bagi yang
mengikuti bacaan Abu Musa untuk berkumpul di pintu gerbang Kindah, dan bagi yang

12
Taufik Adnan Amal, Rekrontruksi Sejarah Al-Qur’an edisi digital, Jakarta : Divisi Muslim Demokratis, hlm. 195

15
membaca menurut bacaan Ibnu Mas'ud untuk mendekati rumah 'Abdullah. Ketika dia
mendengar bahwa kedua kelompok berbeda dalam membaca Surah 2:196, Khudzayfah
sangat marah dan bersumpah bahwa seseorang harus memaksa Khalifah Utsman untuk
bertindak melawannya.
Yang kedua – variasi dari pernyataan pertama – adalah pernyataan Abu al-Sya'tsa
tentang bagaimana Khudzayfah keberatan dengan dua bacaan di atas dan bermaksud
menghadap Khalifah Utsman untuk memintanya mengumpulkan bacaan lain, tetapi dia
ditegur oleh Abd Allah lalu terdiam. Pernyataan lain dilaporkan oleh Abd al-A'la ibn al-
Hakam al-Kilabi bahwa ketika dia memasuki rumah Abu Musa, seorang utusan tiba di
Basra dengan salinan mushaf standar Utsmani yang harus mereka patuhi. Abu Musa
kemudian mengatakan bahwa setiap bagian dari mushafnya yang melengkapi Mushaf
Utsmani tidak boleh dihilangkan, tetapi jika ada bagian dari Mushaf Utsmani yang tidak
ada di mushafnya, tambahkan. Dalam perjalanan berikutnya, mushaf Abu Musa tampak
mengalir dan pengaruhnya memudar dengan diterimanya naskah-naskah Utsmani sebagai
otoritatif. Hal ini terlihat pada kenyataan bahwa hanya sedikit variasi bacaannya yang
sampai kepada kita. Selain naskah Ubay dan Ibnu Mas'ud, tidak ada riwayat tentang
susunan surah dalam naskah mereka, selain surah dengan tambahan dua surat dalam naskah
Ubay - yaitu surat alkhal' dan surat alhafd - terkandung dalam mushafnya. Demikian pula
dilaporkan bahwa kalimat yang disisipkan dalam Mushaf Ubay - yaitu antara ayat 24 dan
25 surat 10, seperti yang disebutkan di atas - sering dibaca oleh Abu Musa sama panjangnya
dengan surat 9, tetapi yang saya ingat di sini-- ayat, serta surah lain yang mirip dengan
musabbihãt, tapi yang bisa dia ingat hanyalah sebuah ayat yang mirip dengan 61: 2. "Ayat-
ayat" ini dilaporkan dalam hadits-hadits sebagai bagian dihapus dari al-Qur’an; dan desas-
desus tentang pencabutan ini sama sekali tidak dapat dipercaya. Tampaknya dua kalimat
yang disebutkan tidak ditemukan dalam kodeks Abu Musa; karena jika dia tertulis di sana,
dia pasti tidak akan dengan mudah melupakan surat-surat di mana kedua ayat ini
ditemukan.
Pencarian Jeffery untuk variasi bacaan Abu Musa mengungkapkan jumlah yang
relatif kecil dibandingkan dengan nama besarnya. Dia hanya menemukan empat varian
Abu Musa yang berbeda dari lectio vulgata. Yang pertama adalah di 2:124, di mana kata
ibrãhîma - maka bacaan resmi Utsmaniyah - dibacakan sebagai ibrahma oleh Abu Musa,

16
dan bacaan ini disimpan di seluruh Quran. Yang kedua adalah ungkapan la ya'qilûna dalam
5:103, dibaca sebagai la yafqahûna, yang tentu saja merupakan sinonim. Ketiga, kata
shawãffa dalam 22:36, diucapkan shawãfiya, tidak mempengaruhi arti umum. Dan
terakhir, ungkapan man qablahu dalam 69:9, dibaca sebagai man Tilqã'ahu, juga
merupakan sinonim. Dengan demikian, variasi ini tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara naskah kodeks Abu Musa dan Utsmani.

4. Mushaf Ibn Abbas


Dalam peta perkembangan tafsir Al-Qur'an oleh umat Islam, Ibnu Abbas - yang
bernama asli Abu al-Abbas Abd Allah ibn Abbas, cucu Nabi - menempati tempat yang
sangat penting. Hal ini dapat dilihat secara kiasan sebagai tarjuman alqur'ân "penafsir
Alquran terbaik", albahr "laut", (yaitu mengetahui sedalam samudra) dan habr alummah
"intelektual ummat". Diperkirakan tanggal lahirnya adalah ketika Bani Hasyim diblokade
di al-Syi'b, beberapa tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah.
Nama Ibnu Abbas mulai muncul setelah Khalifah Usman menugaskannya untuk
memimpin haji pada tahun 35 H, tahun yang menentukan dalam kemajuan politik Utsman.
Karena itu, dia tidak berada di Madinah ketika Utsman terbunuh. Pada masa pemerintahan
Ali bin Abi Thalib, ia diangkat menjadi gubernur Bashrah. Ketika Ali terpaksa menerima
arbitrase di Shiffin, dia ingin memilih Ibn Abbas sebagai wakilnya, tetapi menghadapi
tentangan dari para pengikutnya, yang cenderung menyerahkannya kepada Abu Musa al-
Asy'ari. Namun, Ibnu Abbas bergabung dengan Abu Musa dalam arbitrase, di mana Ali
dibebaskan oleh Mu'awiyah, pendiri terakhir dinasti Umayyah. Sepeninggal Mu'awiyah,
Ibnu Abbas menyatakan kesetiaannya kepada Yazid (wafat 683) - putra Mu'awiyah yang
terus memimpin politik Bani Umayyah - mengingat mayoritas umat Islam berpihak pada
Khalifah. Dia akan mati di Ta'if di 68H - menurut sumber lain di 69 atau 70 H.
Ibnu Abbas menjadi terkenal bukan karena aktivitasnya dalam politik, tetapi karena
pengetahuan agamanya yang luas, khususnya Al-Qur'an. Sampai sejauh ini, orang mungkin
berharap kodeksnya itu setenar mushaf para sahabat Nabi lainnya, seperti Ibn Mas'ud atau
Ubay. Namun fakta sejarah menunjukkan sesuatu yang berbeda: mushaf Ibnu Abbas tidak
pernah dianggap sebagai model bagi masyarakat perkotaan tertentu, meskipun beberapa
mushaf sekunder - seperti Ikrimah, Atha' dan Sa' id Ibnu Jubair - dianggap sebagai

17
kelanjutan dari tradisi tersebut di antara teks-teks mereka. Popularitas tafsirnya datang pada
tahap selanjutnya dalam karirnya, ketika ia mencoba menggunakan puisi pra-Islam untuk
menjelaskan makna Al-Qur'an dalam tradisi tekstual Utsmani. Fakta ini menunjukkan
bahwa kodeks Al-Qur’annya dikumpulkan pada masa mudanya.
Nama Ibn Abbas sering muncul dalam daftar orang-orang yang mengumpulkan al-
Qur’an pada masa Nabi. Namun, fakta bahwa dia masih sangat muda saat itu jelas
meniadakan kemampuannya untuk aktif. Paling jauh, itu hanya mencerminkan bahwa ia
dikenal sebagai salah satu kolektor Al-Qur'an di era pra-Utsmani. Hadits tersebut juga
menceritakan bahwa ia adalah murid Ali bin Abi Thalib dalam urusan Al-Qur'an. Namun,
laporan ini - seperti laporan beraroma Syiah lainnya - sangat dipertanyakan.
Salah satu karakteristik mushaf Ibn Abbas adalah eksisnya dua surat ekstra – sûrat
al-khal‘ dan sûrat al-hafd – di dalamnya, sebagaimana yang ada dalam mushaf Ubay dan
Abu Musa. Dengan demikian, jumlah keseluruhan surat yang ada di dalam mushaf Ibn
Abbas adalah sebanyak 116 surat. Sekalipun demikian, kedua surat ekstra ini tidak muncul
dalam daftar susunan surat mushafnya yang berbeda dari aransemen surat mushaf utsmani.
Berbagai kasus perbedaan vokalisasi teks antara mushaf Ibn Abbas dengan mushaf
standar utsmani edisi Mesir dapat dikemukakan lewat beberapa ilustrasi berikut. Kerangka
grafis (‫)الطلﻤون‬di akhir 2:124, yang dalam mushaf utsmani terbaca al-zhãlimîn ( ‫)الظلﻤين‬,
dibaca oleh Ibn Abbas sebagai al-zhãlimûn (‫) الظلﻤون‬. Demikian pula, kerangka konsonantal
‫ حد ليا‬dalam 11:32, yang divokalisasi dalam mushaf utsmani sebagai jidãlanã, dibaca
sebagai jadalanã oleh Ibn Abbas. Sementara kerangka grafik ‫ في عﺒدى‬dalam 89:29, yang
dalam mushaf utsmani dibaca fî ‘ibãdî (‫)في عﺒادى‬, dalam mushaf Ibn Abbas dibaca fî ‘abdî
(‫ – )في عﺒدى‬jadi perbedaan hanya dalam bentuk jamak dan tunggal. Ilustrasi terakhir adalah
106:4, pada kerangka konsonantal ‫ حﻤا لة الحطب‬. Dalam mushaf utsmani, bagian ayat ini
dibaca hammãlat al-hathab (‫)حﻤا لة الحطب‬, sedangkan dalam mushaf Ibn Abbas dibaca
sebagai hãmilat al-hathab (‫)حاﻣلة الحطب‬.13
Perbedaan pemberian titik diakritis untuk kerangka konsonantal yang sama juga
terlihat dalam mushaf Ibn Mas‘ud, sekalipun dalam jumlah yang relatif kecil. Suatu
ilustrasi yang bisa dikemukakan di sini adalah kerangka konsonantal 6:57, yang dalam

13
Taufik Adnan Amal, Rekrontruksi Sejarah Al-Qur’an edisi digital, Jakarta : Divisi Muslim Demokratis, hlm. 216

18
mushaf utsmani dibaca yaqushshu al-haqq (‫)يقص الحق‬, dibaca dalam mushaf Ibn Abbas –
dengan sisipan partikel bi di tengahtengahnya dan pemberian satu titik di atas huruf ketiga
kata pertama – sebagai yaqdlî bi-l-haqqi (‫)يقضى بالحق‬. Sementara kerangka grafis ‫حدب‬
(21:96), yang dalam mushaf utsmani dibaca hadabin ( ‫)حدب‬, oleh Ibn Abbas dibaca sebagai
jadatsin (‫ – )جدث‬sama dengan bacaan Ibn Mas‘ud. Demikian pula, kerangka konsonantal
‫ عﺒد‬dalam 43:19, yang dalam mushaf utsmani dibaca ‘ibãd (‫ عﺒد‬/ ‫)عﺒاد‬, dibaca sebagai ‘inda
(‫)عند‬. Jadi, perbedaannya di sini hanya terletak pada pemberian satu titik di atas atau di
bawah huruf kedua. Secara kontekstual, perbedaan semacam ini belum mengakibatkan
perubahan yang substansial terhadap makna keseluruhan ayat. 14
Dalam sejumlah kasus ditemukan perbedaan kerangka grafis. Kata shirãth (‫)صراط‬
dalam mushaf utsmani (misalnya 1:6), dalam keseluruhan mushaf Ibn Abbas disalin
dengan sirãth (‫)سراط‬. Perbedaan kerangka konsonantal di sini barangkali mengekspresikan
perbedaan dialek, seperti juga ditemukan dalam bagian al-Quran lainnya (31:20), wa
asbaga (‫)واسﺒغ‬, yang dibaca Ibn Abbas sebagai wa ashbaga (‫ ;)واصﺒغ‬atau ungkapan
pembuka dalam 70:1, sa’ala sã’ilun (‫)سأل سائل‬, yang dibaca Ibn Abbas sebagai sãla saylun
(‫)سال سيل‬.
Di samping berbagai perbedaan di atas, terdapat pembolak-balikan atau
pemindahan tempat kata-kata di dalam mushaf Ibn Abbas. Jadi, ungkapan laysa ‘alaykum
junãhun dalam bagian awal 2:198, dibaca terbalik oleh Ibn Abbas sebagai laysa junãhun
‘alaykum. Demikian pula, ungkapan nashru-llãhi wa-l-fathu dalam 110:1, dibaca Ibn
Abbas sebagai fathu-llãhi wa al-nashru. Pembolak-balikan semacam ini jelas tidak
mempengaruhi makna umum ayat-ayat tersebut.
Deskripsi yang disajikan sampai saat ini menunjukkan bahwa mushaf Ibn Abbas
hanya sedikit berbeda dengan mushaf standar Utsmani, jika mushaf Ubay dan Ibn Mas'ud
dibandingkan. Dalam mushaf Ibn Abbas - mengenai informasi yang dikumpulkan dan
diungkapkan oleh Jeffery tentang masalah ini - tidak ada perbedaan ejaan yang
menunjukkan kekhususan dan independensinya. Bahkan contoh kata seru, atau substitusi,
serta "ayat-ayat Syiah", tidak ditemukan dalam mushaf Ibn Abbas. Adanya sedikit
perbedaan dalam mushaf Ibnu Abbas mungkin menyebabkan mushafnya jarang dirujuk.

14
Taufik Adnan Amal, Rekrontruksi Sejarah Al-Qur’an edisi digital, Jakarta : Divisi Muslim Demokratis, hlm. 217

19
Lebih jauh lagi, ini adalah argumen untuk otentisitas kodeks; Sebab, jika nanti mushaf Ibn
Abbas dianggap palsu, maka akan ditemukan secara luas melalui berbagai buku tafsir yang
dahulu mengikuti tren populernya.

20
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah kepada
Nabi Muhammad saw. Penurunan Al-Qur’an dilakukan secara bertahap tidak sekaligus,
hal ini sudah pasti termasuk juga dalam pembukuan Al-Qur’an. Al-Qur’an yang dibaca
saat ini merupakan susunan dari mushaf Utsmani. Namun, penyusunan Al-Qur’an sudah
terjadi dari sebelum masa Utsmani. Metode yang digunakan juga beragam baik dibawah
kepemimpinan Abu Bakr juga dibawah kepemimpinan Umar ibn Khaththab.
Semasa Umar, metode yang digunakan adalah membagi murid-murid mereka
dalam beberapa kelompok dan menugaskan satu orang secara terpisah untuk menjadi
instruktur guna memantau perkembangan kelompok tersebut. Bagi mereka yang telah lulus
tingkat dasar, dapat mengikuti bimbingan langsung dengan utusan Umar agar murid yang
lebih tinggi tingkatnya merasa lebih terhormat belajar dengan para utusan Umar dan
berfungsi sebagai guru tingkat menengah.
Namun, sebelum masa Utsmani banyak para mufassir dan filolog yang menemukan
istilah “mushaf sahabat”. Istilah ini dimaksudkan kepada sahabat-sahabat yang menyusun
naskah-naskah Al-Qur’an. Terdapat 23 naskah yang ditulis di masa Nabi Muhammad saw
masih hidup. Naskah ini oleh Jeffery dibagi menjadi 2 yaitu Mushaf Primer dan Mushaf
Sekunder. Adapun mushaf primer adalah mushaf independent yang dikumpulkan atau
disusun oleh sahabat itu sendiri, sedangkan mushaf sekunder adalah mushaf yang ada di
masa selanjutnya yang berpedoman kepada mushaf primer serta mencerminkan tradisi
bacaan kota-kota besar Islam. Satu hal yang pasti adalah terdapat perbedaan yang
signifikan bila dibandingkan antara mushaf sahabat dengan mushaf Utsmani.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abunawas, H. M. Z., Saifurrahman, dkk (2021) Mushaf Utsmani, Solusi di Tengah Keragaman
Mushaf. Al-Asas
Adnan, Taufik Amal. (2011). Rekrontruksi Sejarah Al-Qur’an edisi digital, Jakarta : Divisi
Muslim Demokratis
Goldziher, Ignaz. (1920). Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung, Leiden : E.J. Brill

Jeffery, Arthur. (1937). Materials for the History of the Text Qur’an, Leiden : E.J. Brill

Mustafa, M. al-A’zami. (2005). Sejarah Teks Al-Qur’an. Jakarta : Gema Insani

Suyuthi. (1983) al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma’tsûr. Bei-rut-Libanon: Dar al-Fikr

22

Anda mungkin juga menyukai