Dosen Pembimbing:
Moh.Kholik,S.pd.,M.pd
Disusun Oleh:
Rachmat Santoso
Lovi Saputra
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Aamiin.
Jombang.15.maret2023
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kondifikasi
B. Kodifikasi pada Zaman Sahabat
C. Kodifikasi Ilmu-ilmu Islam setelah Masa Sahabat
D.
A. Kesimpulan
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman rasulullah dan para sahabat, kondisi umat Islam dalam
pergaulan, berinteraksi dan menjalani hidup sehari-hari dipenuhi dengan masa-
masa yang terang. Semua persoalan keumatan memilki solusinya. Karena bersama
mereka hadir rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai pemegang otoritas
atas penafsiran al-Qur’an. Masyarakat Islam pada masa itu benar-benar dalam
naungan wahyu. Ketika ada persoalan yang menimpa umat, maka mereka
langsung mengadukannya kepada rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Jawaban atas berbagai problematika umat itu tidak saja beliau pecahkan secara
pribadi, namun juga melalui pewahyuan dari Allah subhaanahu wata’ala. Allah
memelihara dan menjaga autentisitas Islam. Agama yang menawarkan ajaran jelas
dan sempurna, menjadi rambu-rambu bagi orang-orang yang mencari petunjuk
pada setiap zaman dan wilayah sampai Allah mengambil alih bumi dan semua
manusia yang ada di atasnya.
B. Perumusan pembahasan
1. apa kebijakan yang diambil oleh sahabat setelah sepeningalan rasulluloh saw.?
C. Tujuan pembahasan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kodifikasi
Zaid bin Stabit pun memulai tugas tersebut, dalam tugas tersebut ia
dibantu oleh sahabat-sahabat lainnya seperti ‘Ubay bin Ka’ab, ‘Ustman bin ‘Afan
dan Ali bin abi Tholib. Dalam pengumpulan nas-nas al-Qur’an tersebut ia
bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada
penulis. Ia sangat hati-hati sekali dalam pengumpulan nas-nas al-Qur’an, bahkan
ia tidak mudah begitu saja menerima nas al-Qur’an yang cuma berdasarkan pada
hafalan saja, tanpa didukung dengan tulisan yang mutawatir dari Rasulullah Saw,
dan sebaliknya, atau disebut dengan menghadirkan dua saksi.[6]
Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai Al-Mushaf, dan oleh panitia
telah dibuat lima buah Mushaf. Kemudian dikirim oleh khalifah masing-masing
ke Makkah, Syiria, Basrah dan Kuffah, sedangkan yang satu tetap dipegang
khalifah sendiri di Madinah. Khalifah ‘Utsman memerintahkan agar catatan-
catatan yang ada sebelumnya dibakar, dan supaya ummat Islam berpegang kepada
Mushaf yang lima itu, baik dalam pembacaan dan penyalinan berikutnya.[8]
Awal mula dibentuknya ilmu nahwu ini ialah pada masa pemerintahan
khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu wilayah kekuasaan Islam melampaui
sungai Eufrat, Tigris dan Dariyah. Semakin luasnya wilayah yang dikuasai oleh
Islam pada saat itu, semakin banyak pulalah pemeluk agama Islam. Pemeluk
agama Islam bukan hanya dari kalangan arab saja tapi dari dalam kalangan non
arab sendiri juga banyak. Maka disitulah ditemukan kesalahan-kesalahan dalam
membaca teks Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber ajaran Islam. Khalifah Ali
Bin Abi Thalib menganggap kesalahan-keslahan ini sangat fatal terutama bagi
orang-orang yang akan mempelajarai ajaran Islam dari sumber aslinya yang
berbahasa arab, oleh karena itu khalifah Ali Bin Abi Thalib mempunyai
inisiatifnya untuk menyusun Qowaid Nahwiyah dengan memerintahkan seorang
muridnya yakni Abu Al-Aswad Al- Duali.
Kepada Ad-Duali, Ali bin Abi Thalib berkata “Ketahuilah Aswad, ini
terjadi karena percampuran bahasa arab dan bahasa asing. Kemudian Ali bin
Thalib menyuruh kepada Aswad untuk membeli kertas. Setelah selang beberapa
hari Ali bin Abi Thalib mengajarkan tentang lughot-lughot bahasa arab. Beliau
menyuruh kepada Aswad untuk mencatatnya. Yang pertama kali beliau ajarkan
adalah masalah pembagian kalam yang jumlahnya ada tiga bagian yaitu : Isim,
Fiil, dan Huruf. Kemudian beliau menjelaskan tentang jumlah yang menjadi
sighot ta’ajub. Setelah itu Ali bin Abi Thalib memerintahkan kepada Abul Aswad
agar mencari contoh-contoh lain yang sama dengan apa yang diajarkan oleh
beliau. Dari sinilah ilmu ini kemudian dinamakan ilmu nahwu yang artinya contoh
atau misal. Dalam perkembangan berikutnya Abul Aswad mengumpulkan
masalah-masalah yang termasuk dalam pembahasan Ilmu Nahwu yang
diantaranya adalah huruf-huruf yang bisa beramal menashobkan isim.[9]
1. Ilmu Hadits
Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan
menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin
Syihab az-Zuhry (Ibnu Syihab Az-Zuhry) seorang ulama besar dan mufti Hijaz
dan Syam untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw. Pembukuan hadits
pada periode ini belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada
urutan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan hadits setelah Az-Zuhri
dilakukan secara berbeda-beda yang masih mencampurkan perkataan sahabat dan
fatwa tabi’in. Ada seorang ulama yang berhasil menyusun kitab hadits, yang
sampai kepada kita sekarang, yaitu Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah,
dengan kitabnya Al-Muwaththa’. Kitab tersebut disusun tahun 143 H atas
permintaan Khalifah Al-Mansur. Yang kemudian diikuti oleh ulama’-ulama’
seperti Muhammad bin Ishaq (w 151 H), Ibnu Abi Zi’bin (80-158 H) di Madinah.
Ibnu Juraij (80-150 H) di Makkah; Al-Rabi’ Ibn Sabih (w 160 H), Hammad Ibnu
Salamah (w 176 H) di Basrah. Syufyan At-Tsaury (79-161 H) di Kuffah ; Al-
Auza’I (88-157 H) di Syam; Ma’mar bin Rasyid (93-153 H) di Yamman ; Ibn al-
Mubarrak 118-181 H) di Khurasan dan Jarir bin Abd Al-Hamid (110-188 H).[11]
Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad
ini.
2. Ilmu Fikih
Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting
kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul
pada masa awal berkembang agama islam. Secara estensial, fiqih sudah ada pada
masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri.
Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung
ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa
tertanggulangi, dengan bersumber pada Al Qur’an sebagai al wahyu dan sunnah.
Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan
timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah
hukum melalui jalan istimbat. Tidak hanya berhenti pada masa rasulullah SAW,
namun masih diteruskan oleh para sahabat dan tabi’in. Namun pada uraian ini
tidak melihat pada fase-fase perkembangannyan namun pada titik pembukuan
ilmu fikih.
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad
bin Idris Asy-syafi’i (150-204 H), pendiri mazhab Syafi’i tampil dalam meramu,
mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh. Pada masa ini ditandai dengan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahunan keislaman dengan ditandai
didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu perpustakaan terbesar di kota Baghdad pada
masa itu. Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Imam Syafi’I yang
datang kemudian, banyak mengetahui tentang metode istinbat para mujtahid
sebelumnya, sehingga beliau mengetahui di mana keunggulan dan di mana
kelemahannya. Beliau merumuskan ushul fiqh untuk mewujudkan metode istinbat
yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum islam, untuk
mengembangkan mazhab fiqhnya, serta untuk mengukur kebenaran hasil ijtihad di
masa sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA