Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KONDIFIKASI ILMU-ILMU ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Sejarah


Pendidikan Islam

Dosen Pembimbing:
Moh.Kholik,S.pd.,M.pd

Disusun Oleh:
Rachmat Santoso
Lovi Saputra

PROGAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN


ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
AL URWATUL WUTSQO JOMBANG
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT Karena dengan
karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk menambah pengetahuan kepada pembaca tentang kondifikasi ilmu-
ilmu islam dalam pelajaran sejarah pendidikan islam.

Terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan


penugasan dan kesempatan kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Aamiin.

Jombang.15.maret2023

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kondifikasi
B. Kodifikasi pada Zaman Sahabat
C. Kodifikasi Ilmu-ilmu Islam setelah Masa Sahabat
D.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada zaman rasulullah dan para sahabat, kondisi umat Islam dalam
pergaulan, berinteraksi dan menjalani hidup sehari-hari dipenuhi dengan masa-
masa yang terang. Semua persoalan keumatan memilki solusinya. Karena bersama
mereka hadir rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai pemegang otoritas
atas penafsiran al-Qur’an. Masyarakat Islam pada masa itu benar-benar dalam
naungan wahyu. Ketika ada persoalan yang menimpa umat, maka mereka
langsung mengadukannya kepada rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Jawaban atas berbagai problematika umat itu tidak saja beliau pecahkan secara
pribadi, namun juga melalui pewahyuan dari Allah subhaanahu wata’ala. Allah
memelihara dan menjaga autentisitas Islam. Agama yang menawarkan ajaran jelas
dan sempurna, menjadi rambu-rambu bagi orang-orang yang mencari petunjuk
pada setiap zaman dan wilayah sampai Allah mengambil alih bumi dan semua
manusia yang ada di atasnya.

Setelah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat dan Islam


berkembang secara luas dan diterima pula oleh bangsa-bangsa di luar Arab, maka
situasipun berubah. Daerah yang begitu luas yang dihuni oleh berbagai suku
bangsa yang mempunyai corak kebudayaan dan adat-istiadat yang berbeda-beda.
Tentu hal yang demikian menyebabkan timbulnya peristiwa-peristiwa baru, baik
dalam pergaulan, hubungan antar individu dan masyarakat bahkan hubungan antar
negara Islam dan bukan Islam. Peristiwa-peristiwa yang demikian itu belum
pernah terjadi di masa lampau dan ketentuan hukumnya pun tidak didapat baik di
dalam al-Qur’an maupun sunnah.

Berkembangnya wilayah Islam dan jauhnya generasi dari masa rasulullah


dan para sahabat, serta didukung dengan hajat ummat atas persoalan yang
mengemuka, maka sejumlah kebijakan-kebijakan untuk merumuskan dan
menetapkan berbagai persoalan asasi dalam hukum dan ibadah menjadi sebuah
keniscayaan. Pada prisnsipnya apa yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in bukanlah perkara baru yang menyelisihi rasulullah shallahu ‘alaihi
wasallam. akan tetapi prosedur yang diambil oleh para sahabat dan generasi
shalafush sholeh dalam menetapkan suatu kebijakan telah digariskan oleh
rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sebelumnya. Hal ini tampak dari
perekomendasian Beliau untuk ummat terhadap para sahabat dalam memahami
Islam, dan sikap Beliau ketika mengutus Mu’adz bin jabal ke Yaman. Disamping
itu, kebijakan atas apa yang mereka bukukan, baik di bidang cabang ilmu, hukum,
ibadah, dll, sebenarnya telah ada dan diamalkan pada zaman rasulullah. Hanya
saja, masih pada tatanan praktis yang terjadi pada saat itu

B. Perumusan pembahasan

1. apa kebijakan yang diambil oleh sahabat setelah sepeningalan rasulluloh saw.?

2.bagaimana cara penyebaran islam di berbagai Negara.?

C. Tujuan pembahasan

1.untuk mengetahui kebijakan yang diambil oleh sahabat setelah sepeningalan


rasululloh saw

2.untuk mengetahui cara penyebaran islam

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kodifikasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kodifikasi, dalam jabatan


kata sebagai kata benda (noun), diartikan sebagai himpunan berbagai peraturan
menjadi Undang-undang; hal penyusunan kitab perundang-undangan. Sedang
dalam jabatan kata sebagai kata kerja (verb) mengandung arti menyusun
(membukukan) peraturan sehingga menjadi kitab perundang-undangan dan
mencatat dan membukukan hasil standarisasi yang dapat berupa buku tata bahasa
atau kamus. Istilah kodifikasi di atas secara umum mengandung arti pencatatan,
pembukuan dan penyusunan.

Dalam Kamus bahasa arab Al-Munawwir, kodifikasi diartikan sebagai “at-


tadwin”, yang berasal dari kata dawwana-yudawwinu, bermakna merekam,
mencatat, menulis dan membukukan. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadits,
al-tadwin artinya pengumpulan dan penyusunan hadits yang secara resmi
didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli
dalam masalah ini, bukan yang dilakuan secara perseorangan seperti yang terjadi
di masa-masa sebelumnya.

Mengutip kitab Al Muhith, Al-Fairuz mengatakan bahwa: “Tadwin”


secara bahasa diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’ al-shuhuf).
Sedangkan menurut Dr. Muhammad Ibn Mathar Al-Zahrani tadwin adalah :
”Mengikat yang berserakan lalu mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab
yang terdiri dari lembaran-lembaran. Sedangkan secara luas tadwin sendiri
diartikan dengan al Jam’u (mengumpulkan).”

B. Kodifikasi pada Zaman Sahabat.

1. Pembukuan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash-shiddiq

Kodifikasi atau pembukuan pertama pada ummat ini adalah pembukuan


al-Qur’an. Dimana ketika pada pertempuran Yamamah, perang yang
diperintahkan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk membasmi orang-orang
murtad, nabi palsu, orang yang enggan membayar zakat, mengakibatkan
syahidnya 70 sahabat penghafal al-Qur’an, yang menyebabkan berkurangnya
penghafal al-Qur’an. Problema ini mula-mula disadari oleh ‘Umar bin Khattab
sebelum ia menjadi khalifah.

Melihat begitu banyaknya sahabat penghafal al-Qur’an yang gugur di


medan pertempuran tersebut, maka timbullah Inisiatif ‘Umar bin Khattab untuk
mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an dalam satu tempat, karena
dikhawatirkan al-Qur’an pada masa itu yang masih terpisah-pisah dan berada pada
penghafal nanti akan musnah, disamping itu juga untuk menjaga al-Qur’an tetap
utuh. Maka datanglah ‘Umar kepada Abu Bakar mengutarakan idenya untuk
mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an pada satu tempat. Awalnya Abu
Bakar menolak usulan dari ‘Umar untuk membukukan al-Qur’an dan keberatan
melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Bermusyawarahlah para sahabat dalam malasah tersebut. Dan ‘Umar
pun tidak putus asa untuk mendesak dan memberi penjelasan yang bisa dibuat
pertimbangan oleh Abu Bakar, bahwa perbuatan ini sungguh mulia, karena
mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an dalam satu tempat adalah salah satu
perbuatan menjaga dan memeliharanya, disamping itu juga Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah menghimbau untuk melakukan sesuatu
dalam menjaga atau menghafal al-Qur’an, dan hal itu juga bukan suatu perkara
yang baru, karena pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau
memerintah sahabat untuk menulis al-Qur’an di potongan kulit, pelepah kurmah,
batu dan lain, tidak lain itu perintah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi
wasallam agar menjaganya, akan tetapi sifat penulisnya masih terpisah-pisah.
Akhirnya Allah Swt membuka hati Abu Bakar, dan menyetujui dengan usulan
‘Umar. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Stabit untuk memikul
tugas yang diberikan oleh Abu Bakar, agar mengumpulkan dan membukukan al-
Qur’an.[5] Mulanya Zaid tidak setuju usulan seperti itu, seperti yang dialami Abu
Bakar, tapi selanjutnya ia bisa menerimanya.

Zaid bin Stabit pun memulai tugas tersebut, dalam tugas tersebut ia
dibantu oleh sahabat-sahabat lainnya seperti ‘Ubay bin Ka’ab, ‘Ustman bin ‘Afan
dan Ali bin abi Tholib. Dalam pengumpulan nas-nas al-Qur’an tersebut ia
bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada
penulis. Ia sangat hati-hati sekali dalam pengumpulan nas-nas al-Qur’an, bahkan
ia tidak mudah begitu saja menerima nas al-Qur’an yang cuma berdasarkan pada
hafalan saja, tanpa didukung dengan tulisan yang mutawatir dari Rasulullah Saw,
dan sebaliknya, atau disebut dengan menghadirkan dua saksi.[6]

Selain membukukan dan mengumpulkan al-Qur’an kesatu mushaf, Zaid


bin Stabit juga memilah-milah mana bacaan yang tidak dimansukh, ia juga tidak
menerima atau tidak membukukan nash yang tidak mutawatir riwayatnya,
mushafnya juga mencakup tujuh huruf, ayat-ayatnya tersusun rapi, sedangkan
surahnya masih belum. Maka dari itu dinamakan suhuf bukan mushaf. Suhuf-
suhuf yang dibukukan oleh Zaid bin Stabit atas perintah Abu Bakar, berbeda
dengan suhuf-suhuf yang dimiliki oleh sahabat-sahabat lainnya, karena suhuf-
suhuf yang dimiliki oleh para sahabat masih belum tersusun rapi dari segi
naskhnya, susunan ayat-suratnya dan lainnya.

2. Pembukuan Al-Qur’an pada masa ‘Utsman bin Affan

Ketika pengiriminan ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan,


perselisihan tentang bacaan al-Qur’an muncul dikalangan tentara-tentara muslim,
sebagiannya direkrut dari Syiria dan sebagian lagi di Iraq. Masing-masing
mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, seperti meraka yang dari Syiria
memakai qiraat Ubay bin Ka’ab, penduduk Iraq memakai qiraat Ibnu Mas’ud.
Mereka menggungakan beberapa qiraat dengan memakai tujuh huruf, dan mereka
juga menentang orang yang menyalahkan bacaannya, dan hingga saling
mengkafirkan. Perselisihan ini cukup serius hingga menyebabkan pemimpinan
peperangan yaitu Hudzaifah, melaporkan masalah tersebut kepada ‘Ustman bin
Affan.[7]

Titik permasalahanya adalah bahwasanya banyak dari penduduk Syam dan


Iraq, bermacam-macam dalam membaca al-Qur’an hingga mereka mencampur-
adukan dengan dialek mereka. Maka dari itulah khalifah Utsman meminjam
naskah atau lembaran-lembaran al-Qur’an yang telah ditulis pada zaman Abu
Bakar yang pada waktu itu disimpan oleh Hafsah binti ‘Umar, untuk ditulis
kembali oleh panitia yang sengaja ditunjuk olehnya: Zaid bin Stabit dengan
tambahan anggota yakni Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Haritas.
‘Utsman bin Affan menasehati mereka untuk: (1) mengambil pedoman kepada
bacaan mereka yang hafal al-Qur’an, (2) kalau ada pertikaian antara mereka
tentang bacaan tersebut, maka haruslah ditulis menurut dialek suku Qurays, sebab
al-Qur’an diturunkan menurut dialek mereka.

Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai Al-Mushaf, dan oleh panitia
telah dibuat lima buah Mushaf. Kemudian dikirim oleh khalifah masing-masing
ke Makkah, Syiria, Basrah dan Kuffah, sedangkan yang satu tetap dipegang
khalifah sendiri di Madinah. Khalifah ‘Utsman memerintahkan agar catatan-
catatan yang ada sebelumnya dibakar, dan supaya ummat Islam berpegang kepada
Mushaf yang lima itu, baik dalam pembacaan dan penyalinan berikutnya.[8]

3. Kodifikasi Ilmu Nahwu

Awal mula dibentuknya ilmu nahwu ini ialah pada masa pemerintahan
khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu wilayah kekuasaan Islam melampaui
sungai Eufrat, Tigris dan Dariyah. Semakin luasnya wilayah yang dikuasai oleh
Islam pada saat itu, semakin banyak pulalah pemeluk agama Islam. Pemeluk
agama Islam bukan hanya dari kalangan arab saja tapi dari dalam kalangan non
arab sendiri juga banyak. Maka disitulah ditemukan kesalahan-kesalahan dalam
membaca teks Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber ajaran Islam. Khalifah Ali
Bin Abi Thalib menganggap kesalahan-keslahan ini sangat fatal terutama bagi
orang-orang yang akan mempelajarai ajaran Islam dari sumber aslinya yang
berbahasa arab, oleh karena itu khalifah Ali Bin Abi Thalib mempunyai
inisiatifnya untuk menyusun Qowaid Nahwiyah dengan memerintahkan seorang
muridnya yakni Abu Al-Aswad Al- Duali.

Kepada Ad-Duali, Ali bin Abi Thalib berkata “Ketahuilah Aswad, ini
terjadi karena percampuran bahasa arab dan bahasa asing. Kemudian Ali bin
Thalib menyuruh kepada Aswad untuk membeli kertas. Setelah selang beberapa
hari Ali bin Abi Thalib mengajarkan tentang lughot-lughot bahasa arab. Beliau
menyuruh kepada Aswad untuk mencatatnya. Yang pertama kali beliau ajarkan
adalah masalah pembagian kalam yang jumlahnya ada tiga bagian yaitu : Isim,
Fiil, dan Huruf. Kemudian beliau menjelaskan tentang jumlah yang menjadi
sighot ta’ajub. Setelah itu Ali bin Abi Thalib memerintahkan kepada Abul Aswad
agar mencari contoh-contoh lain yang sama dengan apa yang diajarkan oleh
beliau. Dari sinilah ilmu ini kemudian dinamakan ilmu nahwu yang artinya contoh
atau misal. Dalam perkembangan berikutnya Abul Aswad mengumpulkan
masalah-masalah yang termasuk dalam pembahasan Ilmu Nahwu yang
diantaranya adalah huruf-huruf yang bisa beramal menashobkan isim.[9]

C. Kodifikasi Ilmu-ilmu Islam setelah Masa Sahabat

1. Ilmu Hadits

Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti Abbasiyyah,


Umar ibn Abdul Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di
wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadits -hadits Nabi. Khalifah ini
terkenal dengan sebutan kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan
bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan ‘Umar Ibn al-Khaththab yang bijak.
Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin
Muhammad Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang
ada padanya dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin
Zurarah Bin ‘Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin. kepada Abu Bakar
Muhammad ibn Amr ibn Hazm, beliau menyatakan: “Lihat dan periksalah apa
yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan
lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain
hadits Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan
majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya,
lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”[10]

Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan
menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin
Syihab az-Zuhry (Ibnu Syihab Az-Zuhry) seorang ulama besar dan mufti Hijaz
dan Syam untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw. Pembukuan hadits
pada periode ini belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada
urutan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan hadits setelah Az-Zuhri
dilakukan secara berbeda-beda yang masih mencampurkan perkataan sahabat dan
fatwa tabi’in. Ada seorang ulama yang berhasil menyusun kitab hadits, yang
sampai kepada kita sekarang, yaitu Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah,
dengan kitabnya Al-Muwaththa’. Kitab tersebut disusun tahun 143 H atas
permintaan Khalifah Al-Mansur. Yang kemudian diikuti oleh ulama’-ulama’
seperti Muhammad bin Ishaq (w 151 H), Ibnu Abi Zi’bin (80-158 H) di Madinah.
Ibnu Juraij (80-150 H) di Makkah; Al-Rabi’ Ibn Sabih (w 160 H), Hammad Ibnu
Salamah (w 176 H) di Basrah. Syufyan At-Tsaury (79-161 H) di Kuffah ; Al-
Auza’I (88-157 H) di Syam; Ma’mar bin Rasyid (93-153 H) di Yamman ; Ibn al-
Mubarrak 118-181 H) di Khurasan dan Jarir bin Abd Al-Hamid (110-188 H).[11]

Akan tetapi penulisan penulisan hadits pada zaman tabi’in ini


masih bercampur antara sabda Rasul saw, fatwa sahabat serta tabi’in. Seperti di
dalam kumpulan hadits al-Muwatta’ karya Malik bin Anas, kitab ini tidak hanya
memuat hadits Rasul saw saja tetapi juga memuat ucapan sahabat atau tabi’in
bahkan tidak sedikit yang berupa pendapat Malik sendiri atau praktek ulama’ dan
masyarakat Madinah. Akan tetapi Asy Syafi’i memberi pujian kepada Malik bin
Anas “kitab shahih setelah Al-Qur’an ialah Al Muwwata’.

Selanjutnya, periode pembukuan hadits terus berlangsung dengan hadirnya


enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui oleh
jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya, sebagian
masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan
dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke – 6 kuttubus shittah itu adalah :

1. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari (194-256 H).


2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj (204-261 H).
3. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’at (202-275 H).
4. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya’ab an-Nasai (215-303 H).
5. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi (209-279 H).
6. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209-
273 H).
7. As – Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad
Damiri (181-255 H).
8. Al -Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
9. A l-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud (wafat 307 H).
10. Al – Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H).
11. Al – Kitab oleh Muhammad Sa’id bin Manshur (wafat 227 H).
12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa’id bin Manshur (wafat 227 H).
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310
H).
14. Al – Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat
276 H).
15. Al – Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H).
16. Al – Musnad oleh Imam ‘Ubaidillah bin Musa (wafat 213 H).
17. Al – Musnad oleh Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H).
18. Al – Musnad oleh Imam Abu Ya’la (wafat 307 H).
19. Al – Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-
Tamimi (282 H).

Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad
ini.
2. Ilmu Fikih

Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting
kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul
pada masa awal berkembang agama islam. Secara estensial, fiqih sudah ada pada
masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri.
Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung
ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa
tertanggulangi, dengan bersumber pada Al Qur’an sebagai al wahyu dan sunnah.
Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan
timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah
hukum melalui jalan istimbat. Tidak hanya berhenti pada masa rasulullah SAW,
namun masih diteruskan oleh para sahabat dan tabi’in. Namun pada uraian ini
tidak melihat pada fase-fase perkembangannyan namun pada titik pembukuan
ilmu fikih.

Fase perkembangan fiqh periode pembukuan (kesempurnaan), yaitu


periode Imam-imam Mujtahidin, yaitu masa keemasan Daulah ‘Abbasiyah.
Periode ini berlangsung +- 250 tahun, sejak tahun 101 H (=720 M) s/d 350 H (=
961 M). Atau sampai permulaan abad 2 pada masa tabi’in, tabi’-tabi’in dan para
imam mujtahid. Di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah
menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang
yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan
kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di
daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang
memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan
penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-
persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah
itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.Periode ini disebut juga periode
pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih Islam mengalami
kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum Islam
dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits nabi, fatwa-fatwa
para sahabat dan tabi’in, tafsir al-Qur’an, kumpulan pendapat imam-imam fiqih,
dan penyususnan ushul fiqih.

Berkembangnya beberapa pusat studi Islam, menurut Manna’ al-Qatthan


telah melahirkan dua tradisi besar dalam sejarah pemikiran Islam. Keduanya
adalah tradisi pemikiran Ahl al-Ra’y dan tradisi pemikiran Ahl al-Hadits.
Menurutnya, mereka yang tergolong Ahl al-Ra’y dalam menggali ajaran Islam
banyak menggunakan rasio (akal). Sedangkan mereka yang tergolong Ahlu al-
Hadits cenderung memarjinalkan peranan akal dan lebih mengedapankan teks-
teks suci dalam pengambilan keputusan agama. Pada masa ini fiqih sudah sampai
pada titik sempurna. Pada masa ini muncul ulama-ulama besar, fuqoha dan ahli
ilmu yang lain. Madzhab fiqih pada masa ini sudah berkembang dan yang paling
masyhur adalah 4 madzhab. Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam.
Diantaranya, dalam madzhab Abu Hanifah : kutub dzohir al-Riwayah yang
diriwayatkan dari oleh Muhammad bin al Hasan dari Abu Yusuf dari imam Abu
Hanifah, kemudian dikumpulkan menjadi kitab al Kafi oleh al-Hakim as-Syahid.
Dalam madzhab imam Malik : al Mudawwanah yang diriwayatkan oleh Sahnun
dari Ibnu Qosim dari imam Malik. Dalam madzhab imam Syafi’i kitab al-Umm
yang diimlakkan oleh imam kepada muridnya di Mesir. Dalam madzhab imam
Ahmad kitab al-Jami’ al Kabir yang dikarang oleh Abu Bakar al Khollal setelah
mengumpulkannya dari para murid imam Ahmad

3.Ilmu Ushul Fikih

Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad
bin Idris Asy-syafi’i (150-204 H), pendiri mazhab Syafi’i tampil dalam meramu,
mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh. Pada masa ini ditandai dengan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahunan keislaman dengan ditandai
didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu perpustakaan terbesar di kota Baghdad pada
masa itu. Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Imam Syafi’I yang
datang kemudian, banyak mengetahui tentang metode istinbat para mujtahid
sebelumnya, sehingga beliau mengetahui di mana keunggulan dan di mana
kelemahannya. Beliau merumuskan ushul fiqh untuk mewujudkan metode istinbat
yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum islam, untuk
mengembangkan mazhab fiqhnya, serta untuk mengukur kebenaran hasil ijtihad di
masa sebelumnya.

Beliau merupakan orang pertama yang membukukan ilmu


ushul fiqh. Kitabnya yang berjudul Al-risalah (sepucuk surat) menjadi bukti
bahwa beliau telah membukukan ilmu Ushul fiqh. Dalam kitabnya Imam Syafi’I
berusaha memperlihatkan pendapat yang shahi dan pendapat yang tidak shahih,
setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah.
Kitabnya tersebut juga membahas mengenai landasan-landasan pembentukan
fiqh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Kebijakan baru yang diambil oleh para sahabat, dan generasi


setelah mereka sepeninggal Rasulullaah saw, bukanlah merupakan suatu yang
tercela atau menyelisihi Rasulullah saw. Justru prosedur dalam penetapan suatu
ijtihad oleh sahabat dan para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, baik menyangkut ilmu,
hukum dll, sebenarnya telah sebelumnya dipraktekkan dan ditetapkan langkah-
langkahnya oleh Beliau Muhammad Saw. Hanya saja, apa yang sebelumnya
di’amalkan dan diperintahkan Rasulullah Saw menjadi belum serasa penting dan
nyata untuk dibutuhkan. Semua itu baru bisa ditemukan dan menjadi nilai yang
berharga kemudian sepeninggal rasulullaah Saw.

Ketika menyebarnya Islam di berbagai negara, di luar negeri arab,


menuntut keluarnya sebagaian besar sahabat dari kota Madinah ke kota-kota yang
telah berhasil dibebaskan pasukan Islam untuk menjadi qadhi, hakim, gubernur
dan guru di tengah-tengah mereka. Hadirnya Islam yang dibawa oleh para
sahabat dan tabi’in di tengah-tengah kaum baru dari kaum muslimin,
memunculkan berbagai persoalan baru yang sebelumnya tidak ditemukan pada
zaman mereka dan zaman sebelumnya. Problematika keumatan ini masing-
masing bervarian sesuai perbedaan letak geografis daerah, kebudayaan dan
bahasa. Sedang zaman terus membawa kaum muslimin semakin jauh dengan
murid rasulullaah, para sahabat radhiyallaahu ‘anhum. Fenomena yang
merupakan hajat umat ini adalah faktor utama, diantara faktor lain, atas
dibukukannya berbagai ilmu.

DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, M. Hasbi. 1954. Sejarah dan Pengantar ilmu Hadits,


Surabaya: PT Bulan Bintang

Fathul Mu’in, Muhammad. 2014. Analisis Sejarah Ilmu Nahwu, Diambil


dari: http://dafalibrary.blogspot.co.id/2014/10/analisissejarah-ilmu-i.html

Kurniawan, Indra. 2012. Sejarah Kodifikasi hadits, Diambil dari:


http://abdain.wordpress.com/2010/01/20/sejarah-dan-kodofikasi-hadis/

Mardia Ningsih, Ena Kusumawati. 2013. Fase-fase Perkembangan Fikih,


Diambil dari: https://enamardianingsih.wordpress.com/2013/11/09/sejarah-
perkembangan-fiqih-makalah-fase-fase-perkembangan-fiqih/

Sjamsudin, Anas Tohir (Penterjemah).1983. Bebas Madzhab


Membahayakan Syari’at Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu
Suwaidan, Tariq. 2013. Biografi Imam Abu Hanifah, Jakarta: Zaman

Syukur, H.M. Asywadie. 1982. Perbandingan Mazhab, Surabaya: PT Bina


Ilmu

Zuhairini, dkk. 2015. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara

Zuhdi, Masjfuk. 1982. Pengantar Ulumul Qur’an¸Surabaya: PT Bina Ilmu

Anda mungkin juga menyukai