Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SEJARAH PENGHIMPUNAN DAN

PEMELIHARAAN HADITS

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Studi Al-Hadits

Dosen pengampuh :

Dr. Imam Maksum, S.Ag., M.Ag.

Disusun oleh :

1. Luthfi Hidayatu Yasma (04020123033)


2. Juwairiyah (04020123032)
3. Isbil Wardatu Najiah (04020123031)

KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2024

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan pada kehadirat Allah Swt. Yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
tepat pada waktunya. Sholawat sertas salam selalu kami haturkan pada junjungan kami,
baginda nabi Muhammad saw. Serta para dzurriyahnya yang telah menyebarkan islam dimuka
bumi ini.

Adapun makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah studi Al-Hadits.
Dalam proses penyusunan makalah ini kami sempat mengalami berbagai kesulitan, oleh
karena itu kami sangat berterima kasih pada bapak Dr. Imam Maksum, s.Ag, M.Ag. selaku
dosen mata kuliah studi Al-Hadits yang telah membimbing kami.

` Kami sangat menyadari bahwa didalam makalah ini tentunya masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat mengharapkan saran
dan koreksi yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Kami juga
berharap bahwa makalah ini dapat menjadi sarana untuk saling bertukar informasi dan
sebagai bentuk pengabdian diri penulis kepada Allah Swt.

Surabaya,12 februari 2024

2
Kelompok 1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………...

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………....

BAB I………………………………………………………………….…………………..

PENDAHULUAN…………………………………………………….………………..…

A. Latar Belakang………………………………………………….………………....
B. Rumusan Masalah…….……………………………………….…….………….…

C. Tujuan …………………………………………………………………...………..

BAB II…………………………………………………………………………………..…
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………..
1. pemeliharaan hadits pada masa Rasulullah……………………………….
2. pemeliharaan hadits pada masa khulafau rosyidin ……….…………………………...

3. pemeliharaan hadits pada masa tabi’in

4. pemeliharaan hadits pada masa Tabi’i al-Tabi’in ………………………………....

BAB III…………………………………………………………………………………...
PENUTUP………………………………………………………………………………..
A. Kesimpulan……………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………,

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Istilah hadis biasanya
mengacu pada segala sesuatu yang terjadi sebelum maupun setelah kenabiannya. Terma
hadis terkadang dipertukarkan dengan istilah sunnah. Sebagian ulama hadis menganggap
kedua istilah tersebut adalah sinonim (mutaradif), sementara sebagian yang lainnya ada
yang membedakan antara keduanya.

Sejarah dan perkembangan hadis dapat dilihat dari dua aspek penting, yaitu
periwayatan dan pen-dewan-annya. Dari keduanya dapat diketahui proses dan
transformasi yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, hal ihwal, sifat dan taqrir dari
Nabi SAW. kepada para sahabat dan seterusnya hingga munculnya kitab-kitab himpunan
hadis untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan ini. Terkait dengan masa pertumbuhan
dan perkembangan hadis, para ulama berbeda dalam menyusunnya. M.M. Azamiy dan
Ajjaj al-khatib membagi-nya dalam dua periode, dan Muhammad Abd al-Ra’uf
membaginya ke dalam lima periode, sedangkan Hasbi Ash-Shiddieqy membaginya dalam
tujuh periode.

Kelahiran hadis sebagaimana dimaksud terkait langsung dengan pribadi Nabi


Muhammad SAW, sebagai sumber hadis, dimana beliau telah membina umatnya selama
kurang lebih 23 tahun, dan masa tersebut merupakan kurun waktu turunnya wahyu (al-
Qur’an), berbarengan dengan itu keluar pula hadis. Lahirnya hadis pada masa Nabi
adalah adanya interaksi Rasullah sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap ayat-
ayat al-Qur’an kepada sahabat atau umat lainnya, dalam rangka penyampaian risalah, dan
juga karena adanya berbagai persoalan hidup yang dihadapi oleh umat dan dibutuhkan
solusi atau jalan pemecahannya dari Nabi SAW, lalu para sahabat memahami dan
menghafal apa yang telah diterimanya dari Nabi SAW.

Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, kalangan sahabat sangat berhatihati dalam


menerima dan meriwayatkan hadis. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menjaga
kemurnian al-Qur’an agar tidak tercampur dengan hadis, selain itu juga untuk menjaga

4
keorisinalitas hadis tersebut. Keadaan di era tabi’in sedikit berbeda dengan apa yang
terjadi di era sahabat. Karena al-Qur’an ketika itu telah disebarluaskan ke seluruh negara.

Islam, sehingga tabi’in bisa mulai menfokuskan diri dalam mempelajari hadis dari
para sahabat yang mulai bersebaran ke suluruh penjuru dunia Islam. Dengan demikian,
pada masa Tabi’in sudah mulai berkembang penghimpunan hadis (aljam’u wa al-tadwin),
meskipun masih ada percampuran antara hadis Nabi dengan fatwa sahabat. Barulah di era
tabi’ al-tabi’in hadis telah dibukukan, bahkan era ini menjadi masa kejayaan kodifikasi
hadis. Kodifikasi dilakukan berdasar perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah
kedelapan Bani Umayyah yang kebijakannya ditindaklanjuti oleh ulama diberbagai
daerah hingga pada masa berikutnya hadis terbukukan dalam kitab hadis.

Setelah era tabi’ al-tabi’in, yaitu masa abad II, III, IV-VII dan seterusnya yang terjadi
pada hadis adalah penghimpunan dan penerbitan secara sistematik (al-jam’u wa at-tartib
wa at-tanzhim). Dengan demikian, bagaimana perkembangan tradisi periwayatan hadis
dari masa ke masa itulah yang akan menjadi sorotan dalam makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pemeliharaan hadits pada masa Rasulullah

2. Bagaimana pemeliharaan hadits pada masa khulafau rosyidin

3. Bagaimana pemeliharaan hadits pada masa tabi’in

4. Bagaimana pemeliharaan hadits pada masa Tabi’i al-Tabi’in

C. TUJUAN

1. Mengetahui pemeliharaan hadits pada masa Rasulullah

2. Mengetahui pemeliharaan hadits pada masa khulafau rosyidin

3. Mengetahui pemeliharaan hadits pada masa tabi’in

4. Mengetahui pemeliharaan hadits pada masa Tabi’i al-Tabi’in

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemeliharaan hadits pada masa Rasulullah

Pada masa ini hadits belum mendapatkan perhatian yang khusus dan serius dari pada
sahabat. Para sahabat lebih banyak mencurahkan diri untuk menulis dan menghafal ayat-ayat
al-quran, meskipun dengan sarana dan prasaan yang sangat sederhana sehingga pada saat itu
lebih banyak menghafal dan di amalkan. Hal inilah menjadi alasan mengapa ada sebagian
sahabat nabi yang mempunyai hafalan dan periwayatan hadits yang sangat banyak. Meskipun
hadits belum mendapatkan perhatian khusus dari para sahabat, Rasulullah menaruh perhatian
cukup besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Muhammad ‘ajjaj al-khatib dalam
bukunya al-sunnah qabl al-tadwin menyebutkan tentang sikap Rasulullah terhadap ilmu
pengetahuan. Silap ini sejalan dengan wahyu pertama yang di turunkan oleh allah kepada
nabi, yaitu surah al-Alaq ayat1-5 yang intinya adalah perintah untuk membaca. 1 Penulisan
hadits sebenarnya sudah terjadi pada masa Rasulullah walaupun sifatnya masih individual.

Hadis pada masa ini dikenal dengan Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yakni masa turun
wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Keadaan seperti ini menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama jaran Islam. Wahyu yang diturunkan
Allah dijelaskan Nabi melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa yang
didengar dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah
mereka. Rasulullah SAW juga memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal,
menyampaikan dan menyebarluaskan hadis-hadis. Nabi sendiri tidak hanya memerintahkan,
namun beliau juga banyak memberi spirit melalui doa-doanya, dan tak jarang Nabi juga
menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya
kepada orang lain. Hal itulah yang kemudian memotivasi para sahabat untuk menghafalkan

1
Muhammad ‘ajjaj al-khotib, al-sunnah qabl al-tadwin (kairo maktabah wahbah, 1963), 36

6
hadis, disamping para sahabat adalah orang Arab tulen yang mayoritas tidak bisa baca-tulis,
namun demikian mereka mempunyai kemampuan hafalan yang luar biasa, karena menghafal
merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya.

Para sahabat pun dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW sebagai
sumber hadis. Tempat yang dijadikan Nabi dalam menyampaikan hadis sangat fleksibel,
terkadang hadis disampaikan ketika Nabi bertemu dengan sahabatnya di Mesjid, pasar, ketika
dalam perjalanan, dan terkadang juga di rumah Nabi sendiri. Selain itu, ada beberapa cara
Rasulullah SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu: Pertama, melalui majlis
ilmu, yakni temat pengajian yang diadakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk membina para
jamaah. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan hadisnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. 2 Jika hadis
yang disampaikan berkaitan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, maka hadis
tersebut disampaikan melalui istri-istri Nabi sendiri. Ketiga, melalui ceramah atau pidato di
tempat terbuka, misalnya ketika haji wada’ dan fath al-Makkah. Ketika menunaikan ibadah
haji pada tahun 10 H, Nabi menyampaikan khutbah yang sangat bersejarah di depan ratusan
ribu kaum muslimin yang sedang melakukan ibadah haji, isinya terkait dengan bidang
muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan HAM yang meliputi kemanusiaan, persamaan,
keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas. Selain itu juga adanya larangan
dari Nabi untuk menumpahkan darah, larangan riba, menganiaya, dan juga perintah untuk
menegakkan persaudaraan sesama manusia, serta untuk selalu berpegang teguh pada al-
Qur’an dan Hadis.

Respon sahabat dalam menerima dan menguasai hadis tidak selalu sama. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: adanya perbedaan di antara mereka dalam soal
kesempatan bersama Rasulullah SAW, dan juga soal kesanggupan bertanya pada sahabat lain,
serta berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari
Rasulullah, misalnya para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun al- Awwalun (Abu
Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud), Ummahat
al-Mukminin (Siti Aisyah dan Ummu Salamah), sahabat yang meskipun tidak lama Bersama

2
Abdul Wahab Syakhrani and M. Ibnu Rabi, “SEJARAH PEMBINAAN DAN PENGHIMPUNAN HADITS,”
MUSHAF JOURNAL: Jurnal Ilmu Al Quran dan Hadis 3, no. 1 (December 7, 2022): 32–50,
https://mushafjournal.com/index.php/mj/article/view/86.

7
Nabi, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh
seperti Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, dan Abdullah ibn Abbas yang
merupakan sahabat yang secara sungguhsungguh mengikuti

majlis Nabi, banyak bertanya kepada sahabat lain meskipun dari sudut usia tergolong jauh
dari masa hidup Nabi. Hadis yang disampaikan Nabi kepada para sahabat melalui
beberapacara, menurut Muhammad Mustafa Azami ada tiga cara, yaitu: Pertama,
menyampaikan hadis dengan kata-kata. Rasul banyak mengadakan pengajaranpengajaran
kepada sahabat, dan bahkan dalam rangka untuk memudahkan pemahaman dan daya ingat
para sahabat, Nabi mengulang- ulang perkataannya sampai tiga kali. Kedua, menyampaikan
hadis melalui media tertulis atau Nabi mendiktekan kepada sahabat yang pandai menulis. Hal
ini menyangkut seluruh surat Nabi yang ditujukan kepada para raja, penguasa, gubernur-
gubernur muslim. Beberapa surat tersebut berisi tentang ketetapan hukum Islam, seperti
ketentuan tentang zakat dan tata cara peribadatan. Ketiga, menyampaikan hadis dengan mem-
praktek secara langsung di depan para sahabat, misalnya ketika beliau mengajarkan cara
berwudhu, shalat, puasa, menunaikan ibadah haji dan sebagainya

Pelarangan Nabi dalam penulisan hadis tersebut secara implisit menunjukkan adanya
kekhawatiran dari Nabi apabila hadis yang ditulis akan bercampur baur dengan catatan ayat-
ayat al-Qur’an. Meskipun demikian, ada juga riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa pada
masa Rasul ada sebagian sahabat yang memiliki lembaran-lembaran (sahifah) yang berisi
tentang catatan hadis, misalnya Abdullah ibn Amr ibn al-Ash dengan lembarannya yang
diberi nama al-Sahifah alShadiqah, dinamakan demikian karena ia menulis secara langsung
dari Rasulullah sendiri, sehingga periwayatannya di percaya kebenarannya. Begitu juga
dengan Ali ibn Abi Thalib dan Anas ibn Malik, keduanya sama-sama memiliki catatan hadis.
Hal ini bukan berarti mereka melanggar akan larangan Rasul tentang penulisan hadis, namun
karena memang ada riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasul mengizinkan para sahabat
untuk menulis hadis, sebagaimana diriwayatkan bahwa para sahabat melarang Abdullah ibn
Amr ibn al-Ash yang selalu menulis apa saja yang didengarkannya dari Rasulullah, karena
menurut mereka Rasul terkadang dalam keadaan marah, sehingga ucapannya tidak termasuk
ajaran syar’i, tetapi setelah diadukan pada Rasulullah, beliau bersabda: “Tulislah apa yang
kamu dengar dairiku, demi zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak keluar dari mulutku
kecuali kebenaran.”

8
Dari sini dapat dilihat bahwa ada dua riwayat yang berbeda, satu riwayat menyatakan
bahwa Nabi melarang penulisan hadisdan diriwayat lain menyatakan bahwa Rasul
mengizinkannya. Dalam memandang hal ini, para ulama berbeda pendapat, dan secara garis
besar terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa riwayat yang melarang
penulisan hadis dinasakh oleh riwayat yang mengizinkannya. Menurut mereka, pelarangan
penulisan hadis oleh Nabi terjadi pada awal-awal Islam, karena dikhawatirkan adanya
percampuran antara hadis dan ayat al-Qur’an, jadi hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga
kemurnian ayat al-Qur’an. Namun ketika kekhawatiran tersebut mulai hilang karena para
sahabat telah mengetahui dan terbiasa dengan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an, sehingga
mereka bisa membedakan mana ayat al-Qur’an dan mana yang bukan, maka Rasul
mengizinkan mereka untuk menuliskan hadis. Pendapat kedua menyatakan bahwa pada
dasarnya kedua riwayat tersebut tidak bertentangan. Mereka menyatakan bahwa larangan itu
dikhususkan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampur adukkan hadis dan al-
Qur’an, dan diizinkan bagi mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkan keduanya,
yaitu izin seperti yang dilakukan Nabi kepada Abdullah ibn Amr ibn al-Ash. Atau dalam kata
lain Rasul melarang penulisan hadis secara resmi, tetapi tetap mengizinkan para sahabat
menulis hadis untuk diri sendiri. Jadi larangan itu bersifat umum sedangkan izin hanya
berlaku untuk sahabat tertentu. Demikianlah, hadis pada masa Rasul tidak tertulis kecuali
hanya sedikit saja.

Hadits yang Panjang slalu di tulis oleh para sahabat, seperti hadits tentang ketentuan zakat
yang hendak di kirim kepada Abu Musa al-ash’ari yang pada waktu itu di delegasikan oleh
nabi ke negara yaman, memohon agar ketentuan zakat itu di tuliskan. Maka sebelum tulisan
hadits zakat itu di kirim ke yaman oleh umar dinukil Kembali untuk di arsip terlebih dahulu,
sehingga umar ibnu khatab di kenal dengan bapak pengarsipan dokumen. Di samping itu,
pola dakwah Rasulullah di akhir hayatnya berubah, tidak lagi secara lisan sebagai medianya,
melainkan berganti pola tulisan. Hal ini terbukti ajakan Rasulullah untuk masuk islam kepada
para penguasa Romawi, Illayah, Bizantium, Persia, Najazi dan lainnya. Atas usul abu Sufyan,
maka surat-surat itu di beri stemple. Maka nabi pun minta di buatkan stemple (khatam).

Setelah para sahabat sudah mulai pandai tulis menulis, dan membedakan mana firman
allah dan sabdah nabi sehingga pada akhirnya Rasulullah berwasiat :

‫ ِكَتاَب ِهللا َو ُس َّنَة َر ُسْو ِلِه‬: ‫َتَر ْكُت ِفْيُك ْم َأْمَر ْيِن َلْن َتِض ُّلْو ا َم ا َتَم َّسْكُتْم ِبِهَم ا‬

9
“Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik; Al-Hakim, Al-
Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam
At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Al-Intishar As-Sunnah, hlm. 12-13).
B. Pemeliharaan pada masa khulafau rosyidin

Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar,
Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun
11 H sampai dengan 40 H. Masa ini disebut dengan masa sahabat besar. 3 Pengertian sahabat
menurut istilah ilmu hadis yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis, adalah orang Islam
yang pernah bergaul atau melihat Nabi dan meninggal dalam keadaan beragama Islam.
Keterlibatan sahabat Nabi dalam proses diterimanya hadis adalah sebuah keniscayaan. Baik
hadis yang diriwayatkan secara lisan maupun tulisan, kesemuanya itu melalui informasi yang
disampaikan para sahabat dari Nabi SAW. Melalui informasi yang disampaikan para sahabat
itu, materi (matan) hadis yang diterima secara berantai dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Tanpa kehadiran sahabat, maka mustahil pesan-pesan Nabi akan sampai kepada
generasi selanjutnya.4

Pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-
Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang dan masih ada pembatasan dalam
periwayatan. Oleh karena itu para ulama menganggap masa ini sebagai masa pembatasan
periwayatan.5 Sebagai upaya untuk menjaga keaslian hadis, para sahabat nabi banyak
menjaga dan menghafal hadis tersebut dari pada menuliskannya, hal ini dikarenakan Nabi
saw tidak memberikan perintah dalam menulis hadis bahkan Rasulullah melarang untuk
menulis hadis pada masa awal Islam. 6 Menulis hadis sebagai mana diriwayatkan oleh Said
Al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫)التكتبوا عين شيئا غريالقرأن فليمحه )رواه أمحد‬


“janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an, dan barang siapa
telah menulis dari padaku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapuskannya.”
3

4
Wahab Syakhrani and Rabi, “SEJARAH PEMBINAAN DAN PENGHIMPUNAN HADITS.”

5
Munzier Suparta, Ilmu Hadits,59
6

Siddik Firmansyah, ‘Kritik atas Literatur Masa Awal Pembukuan (Metodologi Sejarah Kodifikasi Hadis
Ulama Klasik)’, Holistic Al-Hadis, 7.2 (2021), 137 <https://doi.org/10.32678/holistic.v7i2.5320>.

10
Para sahabat membuat majelis untuk memperdalam ilmu keislamannya, hal ini karena
besarnya keinginan mereka dalam pembahasan yang datang dari nabi baik hadis atau pun Al-
Qur’an yang kadang dilakukan di atas mimbar atau duduk bersama dengan para sahabat
berdampingan, hadis yang datang dari nabi tidak serta merta dihafalkan, namun para sahabat
sering mendiskusikan hadis tersebut setelah proses pembelajaran yang disampaikan nabi
selesai, hal ini bertujuan memberikan pemahaman yang mendalam, sehingga ingatan dan
hafalan para sahabat semakin kuat.7 Rasul hidup di tengah-tengah para sahabatnya secara
langsung, beliau berbaur dengan mereka di masjid, pasar, rumah dan bahkan ketika
bepergian. Beliau adalah orang yang menjadi panutan, pedoman dan tolok ukur kehidupan
para sahabat, sehingga mereka sangat menaruh perhatian terhadap segala perkataan dan
perbuatan beliau. Ini terbukti sebagian sahabat –walaupun sibuk dengan hidup
kesehariannya- sampai membuat perjanjian dengan sahabat lain untuk bergantian mendatangi
majlis Rasul sebagaimana dilakukan oleh Umar dan tetangganya –yang telah disebutkan di
atas-, dan kabilah-kabilah yang jauh dari Madinah mengirimkan beberapa orang utusannya
untuk mempelajari ajaran-ajaran Islam kepada Rasul, sehingga setelah pulang kembali ke
kabilahnya mereka bisa mengajarkan kepada yang lain. Dan bahkan ada sahabat yang datang
ke Madinah dari satu tempat yang jauh hanya sekedar menanyakan satu permasalahan
hukum syara’ kepada Rasul, sebagaimana dilakukan oleh ‘Uqbah Ibn al-Haris. 8 Namun tidak
semua sahabat selalu bersama-sama Rasul, ada yang sering bersama-sama beliau dan ada
pula yang hanya sekali-kali, oleh karena itu derajat para sahabat berbeda-beda dalam
mengetahui hadis Rasul. Di samping itu Rasul- pun tidak selalu memberikan pengajaran
umum, hal itu hanya diadakan oleh beliau pada saat hari Jum‟at, hari-hari Raya dan waktu-
waktu tertentu apabila keadaan menghendaki.9

Cara para sahabat dalam menerima hadis dari Rasul-pun berbeda-beda, kadangkala
dengan cara 1). berhadapan secara langsung dengan Rasul (Musyafahah), kadangkala dengan
cara 2). Menyaksikan (Musyahadah) perbuatan atau taqrir Rasul, dan kadangkala hanya
dengan 3). Mendengar dari sahabat lain yang mengetahui secara langsung dari Rasul karena
sebagaimana telah dikemukakan- tidak semua sahabat dapat menghadiri Majlis Rasul karena
7
Ahmad Umar Hashim, ‘As-Sunnah An-Nabwiyah’ (Fajalah: Maktabah Gharib, 1980).

8
Lihat selanjutnya Musthafa al-Siba‟i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, cet. 4, Beirut: al-
Maktab al-Islami, 1985, h. 56-57

9
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, op. cit, h. 52. Untuk melihat para sahabat yang banyak
menerima hadis dari Rasul, lihat Ibid., h. 53

11
kesibukannya masing-masing.10 Adapun pegangan para sahabat dalam menerima hadis dari
Rasul adalah dengan kekuatan hafalan mereka, hal ini karena para sahabat yang pandai
menulis sangat sedikit jumlahnya. Tetapi korisinalan hadis sangat dimungkinkan tetap terjaga
karena bangsa Arab pada saat itu mempuntai kekuatan hafalan yang luar biasa, sehingga
merupakan sesuatu hal yang mudah bagi mereka untuk menghafal hadis-hadis yang datang
dari Rasul.11 Dan menurut Muhammad Mustafa Azami, para sahabat dalam mempelajari
hadis tetap menggunakan tiga metode, walaupun metode hafalan itulah yang banyak
dipergunakan. Tiga metode tersebut adalah pertama, dengan hafalan, para sahabat biasa
mendengarkan setiap pengajaran Rasul –yang kebanyakan diadakan di amsjid-, dan setelah
selesai mereka biasanya menghafalkan apa yang telah disampaikan oleh Rasul, sebagaimana
perkataan Malik Ibn Anas yang terdapat dalam al-Jami’ fi Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’
karya al-Khatib al-Baghdadi: “kami, para sahabat yang berjumlah sekitar 60 orang duduk
bersama Nabi Saw, beliau mengajar kami Hadis, dan setelah beliau pergi untuk suatu
keperluan, kami semua berusaha menghafal kembali apa yang telah disampaikan Nabi,
sehingga ketika kami bubar hadis-hadis yang telah disampaikan beliau sudah tertanam dalam
hati kami”12. Kedua, dengan tulisan, artinya ketika para sahabat menerima gadis Rasul
mereka langsung menuliskannya, namun hal ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil sahabat
yang pandai menulis. Dan ketiga, dengan praktek secara langsung, para sahabat langsung
mempraktekkan apa yang telah disampaikan oleh Rasul. Begitu pula terhadap apa yang telah
mereka hafal dan mereka tulis, langsung dipraktekkan, karena mereka mengetahui benar
bahwa dalam Islam ilmu itu untuk diamalkan.13 Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan
adanya ilmu hadis,14 tetapi para peneliti hadis memperhatikan adanya dasar-dasar dalam
Alquran dan hadis Rasulullah S.A.W. Misalnya firman Allah S.W.T dalam Q.S.
Al-Hujurat/49: 6.

10
Muhammad Abu Zahwi, op. cit., h. 53. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah Perkembangan, op. cit., h. 7

11
Ibid. Muhammad Mustafa Azami, op.cit.,h. 13

12
Dikutip oleh Muhammad Mustafa Azami, op.cit., h. 13

13
Lukman Zain, “Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya,” Diyah Afkar Vol 2, no. No 01
(2014): 1–27.

14
Muhammad Zubaidillah, “Pengantar Dan Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis,” Study Hadis vol.1, no. no.1
(2018): hlm.3-5.

12
‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َج ٓاَء ُك ۡم َفاِس ُۢق ِبَنَبٖإ َفَتَبَّيُنٓو ْا َأن ُتِص يُبوْا َقۡو َۢم ا ِبَج َٰه َلٖة َفُتۡص ِبُحوْا َع َلٰى َم ا َفَع ۡل ُتۡم َن ٰاِدِم يَن‬

”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu”.

C. Pemeliharaan pada masa tabi’in

Selain para sahabat yang sudah banyak mengoleksi hadis Nabi, ada juga para Tabi’in
yang nota benenya adalah para murid sahabat juga banyak mengoleksi hadis-hadis Nabi,
bahkan pengoleksiannya sudah mulai disusun dalam sebuah kitab yang beraturan.
Sebagaimana sahabat, para Tabi’in pun cukup berhati-hati dalam hal periwayatan hadis.
Hanya saja ada perbedaan beban yang dihadapi oleh sahabat dan Tabi’in, dan beban sahabat
tentu lebih berat jika dibandingkan oleh Tabi’in. Karena di masa Tabi’in, alQur’an telah
dukumpulkan dalam satu mushaf, selain itu juga pada masa akhir periode al-Khulafa al-
Rasyidin (terkhusus pada masa Usman ibn Affan), para sahabat ahli hadis telah menyebar ke
berbagai wilayah negara Islam. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam,
penyebaran sahabat-sahabat ke berbagai daerah pun terus meningkat, hal ini kemudian
berimplikasi juga pada meningkatnya penyebaran hadis. Oleh karena itulah, masa ini dikenal
sebagai masa menyebarnya periwayatan hadis. Ini merupakan sebuah kemudahan bagi para
Tabi’in untuk mempelajari hadis. Metode yang dilakukan para Tabi’in dalam mengoleksi
dan mencatat hadis yaitu melalui pertemuan-pertemuan dengan para sahabat, selanjutnya
mereka mencatat apa yang telah di dapat dari pertemuan tersebut. 15 Jika para sahabat Nabi
sudah banyak yang mengoleksi hadis-hadis Nabi, maka para Tabi’in yang nota benenya para
murid sahabat juga banyak mengoleksi hadis-hadis Nabi bahkan pengkoleksian ini mulai
disusun menjadi suatu kitab yang beraturan. Metode yang dilakukan para Tabi’in dalam
mengoleksi dan mencacat hadis adalah melalui pertemuan-pertemuan (al-talaqqi) dengan
para sahabat selanjutnya mereka mencatat apa yang didapat dari pertemuan tersebut. Seperti
yang dilakukan Said bin al-Jabir yang mencatat hadis-hadis dari talaqqinya bersama Ibn
Abbas, Abdurrahman bin Harmalah hasil dari talaqqinya Said bin al-Musayyab, Hammam
bin al-Munabbih hasil talaqqi dengan Abu Hurairah dan lain-lain.

15
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: Malang Press, 2008), 25

13
Sebagaimana para sahabat dikalangan tabi‟in juga melakukan dua hal, yaitu menghafal dan
menulis hadis. Banyak riwayat yang menunjukkan, betapa mereka memperhatikan kedua hal
ini. Tentang menghafal hadis, para ulama tabi‟in seperti, Ibn Abi Laila, Abu al-Aliyah, Ibn
Syihab az-Zuhri, Urwah ibn az-Zubair, dan al- Qalamah, adalah diantara tokoh-tokoh
terkemuka yang sangat menekankan pentingnya menghafal hadis-hadis secara terus menerus.
Kata az-Zuhri sebagaimana dikatakan al-Auza‟i : “hilanglah ilmu itu karena lupa dan tidak
mau mengingat-ingat atau menghafalnya”. Kata Alqalamah, sebagaimana dikatakan Ibrahim,
bahwa dengan menghafal hadis, hadis-hadis akan terpelihara.16

D. Pemeliharaan pada masa Tabi’i al-Tabi’in

Masa tabi’i al-tabi’in dimulai dengan berakhirnya masa tabi’in, tabi’in terakhir adalah
tabi’in yang bertemu dengan sahabat yang meninggal paling akhir. Cara periwayatan hadis
pada masa tabi’i al-tabi’in adalah bi lafdzi, yaitu dengan lafadz. Karena kodifikasi hadis
mulai dilakukan di akhir masa tabi’in. Kodifikasi pada masa ini telah menggunakan metode
yang sistematis, yaitu dengan mengelompokkan hadis-hadis yang ada sesuai dengan bidang
bahasan, walaupun dalam penyusunannya masih bercampur antara hadis Nabi dengan qaul
sahabat dan tabi’in. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Muwattha’ Imam Malik.
Barulah pada awal abad kedua hijriah, dalam kodifikasinya, hadis telah dipisahkan dari qaul
sahabat dan tabi’in. Selain riwayat bi al-lafdzi, ada juga sistem penerimaan dan periwayatan
hadis dengan sistem isnad. Maraknya pemalsuan hadis yang terjadi di akhir masa tabi’in yang
terus berlanjut sampai masa sesudahnya menjadikan para ulama untuk meneliti keontetikan
hadis, cara yang ditempuh para ulama yaitu dengan meneliti perawiperawinya. Dari
penelitian tersebut memunculkan istilah isnad sebagaimana yang dikenal hingga saat ini.
Menurut Abu Zahrah, sanad yang disampaikan pada masa tabi’in sering menyampaikan
sebuah hadis dengan tanpa menyebut sahabat yang meriwayatkannya.

16
Zain, “Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya.”

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sejarah Pemeliharaan dan Penghimpunan Hadits" membahas evolusi dan proses


pengumpulan serta pemeliharaan hadits dalam sejarah Islam. Dari penelusuran sejarah, dapat
disimpulkan bahwa pemeliharaan dan penghimpunan hadits merupakan upaya yang sangat
penting dalam menjaga keautentikan dan keabsahan ajaran Islam. Proses ini dimulai dari
masa Rasulullah SAW, di mana para sahabatnya secara langsung mendengar, menghafal, dan
mencatat hadits-hadits beliau. Selanjutnya, generasi berikutnya melakukan upaya-upaya
formal dalam menuliskan dan meriwayatkan hadits secara tertulis guna mencegah kerancuan
dan manipulasi. Dari masa ke masa, metode pengumpulan dan klasifikasi hadits berkembang,
terutama pada masa para imam hadits dan perumusan kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan
utama umat Islam. Meskipun demikian, proses kritis terhadap keautentikan hadits terus
dilakukan, dengan berbagai metode kritik hadits yang dikembangkan oleh ulama hadits.
Kesimpulannya, pemeliharaan dan penghimpunan hadits merupakan bagian integral dari
warisan intelektual Islam yang terus berkembang, menegaskan pentingnya penjagaan keaslian
dan keabsahan sumber ajaran agama.

15
DAFTAR PUSTAKA

Idri, H, Malik, Arif Jamaluddin, Nawawi, M, H, Syamsuddin, H, Sucipto, Muhamaad Hadi,


Mahzumi, Fikri. (2014). Studi Hadis Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.

Luqman, Fizal, & Ningsih, Eusi Indah Kesuma, Nasution Sonya liani. (2023). Sejarah
Penulisan dan Pembukuan Hadis Jurnal Studi AL-quran dan Hadis dan Pemikiran
islam, 5(1), 124-127.

Andariati, Leni. (2020). Hadis dan Sejarah Perkembangannya Jurnal Ilmu Hadis, 4,2 155-
160.

Muhammad Zubaidillh. “Pengantar Dan Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis.” Study Hadis
vol.1, no. no.1 (2018): hlm.3-5.

Wahab Syakhrani, Abdul, and M. Ibnu Rabi. “SEJARAH PEMBINAAN DAN


PENGHIMPUNAN HADITS.” MUSHAF JOURNAL: Jurnal Ilmu Al Quran dan Hadis
3, no. 1 (December 7, 2022): 32–50.
https://mushafjournal.com/index.php/mj/article/view/86.

Zain, Lukman. “Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya.” Diyah Afkar
Vol 2, no. No 01 (2014): 1–27.

16

Anda mungkin juga menyukai