Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN HADIST

MATA KULIAH ULUMUL HADIS

Yang diampu oleh Bapak Zainal Rosyadi M,Pd.I

Bagus Nugroho (2273201019)

M. Andalus Fatih Falah (2273201023)

UNIVERSITAS NAHDHLATUL ULAMA BLITAR

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGAM STUDI S1 PSIKOLOGI ISLAM

November 2023
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulliah atas kehadirat Allah SWT. Yang mana telah memberikan rahmat
dan karunia nya pada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pengalaman Agama”, Untuk memenuhi tugas matakuliah psikologi islam.

Tidak lupa penulis menyampainkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. H.Moh. Mukri, M.Ag. selaku Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Blitar.
2. Dr. Arif Muzayin Shofwar, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Agama Islam.
3. Hengki Hendra Pradana, S.Psi, M.Psi. selaku kepala program studi Psikologi Islam.
4. Zainal Rosyadi, M,Pd.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Islam Nusantara.
5. Teman –teman Psikologi Islam angkatan 2022 atas kerjasamanya. Semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu –persatu yang telah membantu demi terselesaikannya
makalah ini dengan lancar. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan kalian,
Aamiin.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan yang
terdapat di dalam nya, Untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya kritikan dan
masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata penulis
berharap semoga makalah ini berguna dan manfaat bagi para pembaca.

Blitar, 28 Februari 2023

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMA COVER………………………………………………...........................................i
KATA PENGANTAR……………………………….…..........................................................ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................................1

1.2 RUMUSAN MASALAH.................................................................................................1

1.3 TUJUAN MASALAH......................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2

2.1 Perkembangan Periode I S/D Vii (656 M – Sekarang)....................................................2

2.2 Madrasah-Madrasah Hadist Dan Fokus Pengkajiannya Terhadap Hadist.....................18

2.3 Ahli Hadist Produk Madrasah Hadist Dan Contohnya...................................................20

BAB III PENUTUP..................................................................................................................22

3.1 KESIMPULAN..............................................................................................................22

3.2 SARAN...........................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
.1 LATAR BELAKANG
Hadis merupakan sumber utama kedua dalam Islam setelah Al-Quran. Hadis adalah

segala sesuatu yang dikatakan, dikerjakan, atau disetujui oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh

karena itu, hadis memegang peran penting dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran

Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah perkembangan dan pertumbuhan hadis sangatlah

panjang dan bervariasi, mulai dari periode awal Islam hingga masa kini. Perkembangan hadis

selalu terus berkembang seiring dengan zaman dan kebutuhan umat Islam, sehingga hadis

dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari secara relevan.

Periode awal Islam

Periode awal Islam adalah masa di mana Nabi Muhammad SAW hidup. Pada masa ini, hadis

berkembang secara lisan, di mana Nabi Muhammad SAW mengajarkan langsung hadis

kepada para sahabatnya. Saat itu, para sahabat yang belajar hadis langsung dari Nabi disebut

dengan "sahabat yang mendengar" atau "sahabat yang meriwayatkan". Para sahabat ini

kemudian menyampaikan hadis kepada orang lain dengan cara lisan, dan kemudian hadis

tersebut menjadi sumber ajaran Islam yang sangat penting.

Periode awal Islam juga dikenal dengan periode "tabi'in", yaitu generasi setelah sahabat Nabi

Muhammad SAW. Pada masa ini, hadis masih disampaikan secara lisan dan para tabi'in

menyampaikan hadis yang mereka terima dari para sahabat Nabi Muhammad SAW.

Periode perekaman hadis

Periode perekaman hadis dimulai pada abad ke-2 Hijriah, di mana hadis mulai dicatat dan

ditulis dalam buku-buku. Pada masa ini, muncul banyak ulama yang ahli dalam bidang hadis

dan menyusun kitab-kitab hadis, seperti Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lainnya.

1
Kitab-kitab hadis ini menjadi acuan penting bagi umat Islam dalam memahami dan

mengaplikasikan ajaran Islam.

Periode klasik

Periode klasik adalah masa di mana hadis berkembang pesat dan di mana banyak kitab hadis

yang ditulis dan disusun. Pada masa ini, terjadi perdebatan dan perselisihan di antara para

ulama hadis mengenai kualitas dan keabsahan hadis, yang kemudian dikenal dengan ilmu

hadis. Periode klasik ini berlangsung sekitar abad ke-3 hingga abad ke-7 Hijriah.

Periode modern

Periode modern hadis dimulai pada abad ke-19 Masehi, di mana terjadi banyak inovasi dalam

metode dan pendekatan dalam mempelajari hadis. Pada masa ini, banyak ahli hadis yang

menggunakan metode ilmiah dan kritikal dalam mempelajari hadis, sehingga memberikan

pandangan yang lebih luas dan jelas mengenai hadis.

.2 RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan Perkembangan Periode I S/D VII (656 M – Sekarang)

2. Jelaskan Madrasah-Madrasah Hadist Dan Fokus Pengkajiannya Terhadap Hadist

3. Jelaskan Ahli Hadist Produk Madrasah Hadist Dan Berikan Contohnya

.3 TUJUAN MASALAH
1. Mendeskripsikan Perkembangan Periode I S/D VII (656 M – Sekarang)

2. Mendeskripsikan Madrasah-Madrasah Hadist Dan Fokus Pengkajiannya Terhadap

Hadist

3. Mendeskripsikan Ahli Hadist Produk Madrasah Hadist Dan Contohnya

2
DAFTAR PUSTAKA
PEMBAHASAN

.1 PERKEMBANGAN PERIODE I S/D VII (656 M – SEKARANG)


Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis Nabi dapat diklasifikasikan dalam

beberapa periode. T. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy membaginya menjadi tujuh priode,

yaitu:

1. Hadis pada masa Nabi;

2. Hadis pada masa sahabat besar (al-Khulafâ al-Râsyidûn);

3. Hadis pada masa sahabat kecil dan tâbi’în;

4. Hadis pada masa kodifikasi;

5. Hadis pada masa awal sampai akhir abad III H;

6. Hadis pada abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H);

dan

7. Hadis pada masa pertengahan abad VII sampai sekarang.

A. Hadis pada Masa Nabi Masa Nabi saw.

Atau dikenal dengan ‘Ashr al-wahy wa al-takwîn, yaitu masa wahyu dan pembentukan

karena pada masa ini wahyu masih turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang

darinya. Ayat-ayat alQur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan

para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliah. Para sahabat

menyadari betapa penting kedudukan hadis Nabi dalam agama Islam, bahwa sunnah Nabi

merupakan pilar kedua setelah alQur’an, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan

celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagian.

Tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan atau dilakukan Nabi baik yang terkait

dengan masyarakat umum maupun yang khusus berkenaan dengan hal-hal pribadi telah

3
terjadi semenjak awal Islam. Sebagaifigur, Nabi menjadi pusat perhatian, dalam kapasitas

sebagai pemimpin, teladan, dan penyampai syariat Allah yang hampir semua perkataan dan

perilakunya bermuatan hukum, kecuali sebagian yang terkait dengan urusan duniawi.

Kebiasaan menghargai segala yang berasal dari Nabi terlihat pada banyaknya para sahabat, di

tengah-tengah kesibukan mereka memenuhi kebutuhan hidup, menghadiri majelis Nabi,

sebagian tinggal beberapa saat atau dalam waktu yang lama bersamanya, mendiskusikan dan

menelaah secara kritis hadis-hadis yang mereka terima. Jika terjadi persoalan yang

menyangkut kebenaran hadis yang mereka terima, mereka dapat langsung mengecek

kebenarannya kepada Nabi karena beliau berada bersama, bergaul dan, bermuamalah dengan

mereka, sehingga bila terjadi kesalahan penukilan, kekeliruan pengucapan, atau

kekurangpahaman terhadap makna teks hadis, dapat dirujuk pada Nabi.

1. Cara Penyampaian Hadis pada Masa Nabi

Ada beberapa teknik atau cara yang ditempuh Nabi saw. dalam menyampaikan hadis

kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Cara tersebut

adalah sebagai berikut:

Pertama, melalui majlis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh

Nabi untuk membina para jamaah. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh

banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu

mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya. Periwayatan hadis melalui

majelis ini dilakukan secara reguler di mana para sahabat begitu antusias mengikuti

kegiatan di majelis ini. Menurut catatan Musthafa al-Siba’i, roh ilmiah para sahabat

sangat tinggi, mereka sangat haus akan fatwa-fatwa dari Nabi. Mereka selalu

meluangkan waktu untuk mendatangi majelis ilmu Rasulullah. Bahkan, mereka

4
melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk meminta solusi kepada Nabi atas

masalah yang mereka hadapi.

Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan hadisnya melalui

para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya

kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika Nabi menyampaikan suatu hadis,

para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh

Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa

orang saja, bahkan hanya satu orang saja.

Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan

kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi

menyampaikan melalui istri-istrinya.

Seperti kasus hadis di bawah ketika Nabi menjelaskan tentang seorang wanita yang

bertanya kepada Nabi saw., tentang mandi bagi wanita yang telah suci dari haidnya.

Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaimana mestinya, tetapi ia belum

mengetahui bagaimana cara mandi sehingga:

o Nabi bersabda: “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-

wangian) dari kesturi, maka bersihkanlah dengannya”.

o Wanita itu bertanya lagi, “Bagaimana saya membersihkannya?”

o Nabi bersabda: “Bersihkanlah dengannya”.

o Wanita itu masih bertanya lagi, “Bagaimana (caranya)?”

o Nabi bersabda: “Subhanallah, hendaklah kamu bersihkan”.

o Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata: “Wanita itu saya tarik ke arah saya”

o Dan saya katakan kepadanya, “Usapkan seperca kain itu ke tempat bekas

darah”.

5
Pada hadis ini, Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif

berkenaan dengan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang

berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul saw., sering kali

mereka bertanya kepada istri-istrinya.

Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futûh Mekkah

dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi

menyampaikan khatbah yang sangat sejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin

yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah,

siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi kemanusiaan, persahabatan,

keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas. Isi khatbah itu antara

lain; larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan larangan mengambil harta

orang lain yang batil, larangan riba, menganiaya; perintah memperlakukan para istri

dengan baik, persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan; dan

umat Islam harus selalu berpegang kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi.

Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu

dengan jalan musyâhadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan

muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan

hukumnya dan berita itu tersebar di kalangan umat Islam. Misalnya, suatu ketika Nabi

berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang membeli

makanan (gandum). Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya ke dalam gandum

itu, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda:

“Tidak termasuk golongan kami, orang yang menipu”.

6
2. Menghafal dan Menulis

Hadis Pada masa Nabi, sedikit sekali sahabat yang dapat menulis, sehingga yang

menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah dengan ingatan mereka.

Menurut ‘Abd al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat

kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwayatkan al-

Qur’an, hadis, syair, dan lain-lain dengan baik. Seakan mereka membaca dari sebuah

buku. Untuk memelihara kemurnian kedua sumber ajaran agama Islam, yakni al-

Quran dan Hadis, Rasulullah memiliki kebijakan yang berbeda. Beliau tidak pernah

memerintah sahabat tertentu untuk menulis hadis dan membukukannya sebagaimana

al-Qur’an yang ditulis resmi oleh Zayd ibn Tsabit, sekretaris pribadi beliau. Bahkan,

dalam suatu kesempatan, Nabi pernah melarang menulis hadis sebagaimana

diriwayatkan olah Abu Sa’id al-Khudzri bahwa Nabi bersabda:

“Janganlah kalian

tulis dariku (selain al-Qur’an) dan barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an,

maka hapuslah. Riwayatkan hadis dariku, tidak apa-apa. Barang siapa berdusta atas

namaku—Hamam berkata, aku menyangka ada tambahan kata “dengan sengaja”—maka

hendaklah ia menempati tempatnya di neraka”.

Larangan ini dilakukan karena khawatir hadis bercampur dengan al-Qur’an yang saat

itu masih dalam proses penurunan. Dalam kesempatan lain, sebagaimana diriwayatkan oleh

‘Abd Allah ibn ‘Umar katanya: “Aku pernah menulis segala sesuatu yang kudengar dari

Rasulullah, aku ingin menjaga dan menghafalkannya. Tetapi orang-orang Quraisy

7
melarangku melakukannya. Mereka berkata: “Kamu hendak menulis (hadis) padahal

Rasulullah bersabda dalam keadaan marah dan senang”. Kemudian aku menahan diri (untuk

tidak menulis

hadis) hingga aku

ceritakan hal itu

kepada Rasulullah.

Beliau bersabda:

“Tulislah, maka demi Dzat yang aku berada dalam kekuasaan-Nya tidaklah keluar dariku

selain kebenaran”.

Berdasar hadis di atas diketahui bahwa ada sahabat tertentu yang diberi izin untuk menulis

hadis, tetapi secara umum nabi melarang umat Islam menulisnya. Nabi melarang menulis

hadis karena khawatir tercampur dengan al-Qur’an dan pada kesempatan lain ia

membolehkannya. Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan

seandainya Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin hadis dapat ditulis.

Karena, menurut M. Syuhudi Ismail:

(a) hadis disampaikan tidak selalu di hadapan sahabat yang pandai menulis;

(b) perhatian Nabi dan para sahabat lebih tercurah pada al-Qur’an;

(c) meskipun Nabi mempunyai beberapa sekretaris, tetapi mereka hanya diberi tugas menulis

wahyu yang turun dan surat-surat Nabi;

8
(d) sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal orang yang masih hidup

dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan peralatan yang sangat sederhana.

Menghadapi dua hadis yang tampak bertentangan di atas, ada beberapa pendapat berkenaan

dengan ini, yaitu:

1. Larangan menulis hadis terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin penulisannya

diberikan pada periode akhir kerasulan;

2. Larangan penulisan hadis itu ditujukan bagi orang yang kuat hafalannya dan tidak

dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Alquran.

Izin menulis hadis diberikan kepada orang yang pandai menulis dan tidak

dikhawatirkan salah serta bercampur dengan al-Qur’an;

3. Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai menulis dikhawatirkan

tulisannya keliru, sementara orang yang pandai menulis tidak dilarang menulis hadis;

4. Larangan menulis hadis dicabut (di-mansukh) oleh izin menulis hadis, karena tidak

dikhawatirkan tercampurnya catatan hadis dengan alQur’an;

5. Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis hadis bersifat khusus keapada

para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan catatan hadis dan catatan al-

Qur’an;

6. Larangan ditujukan untuk kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan untuk sekadar

dalam bentuk catatan yang dipakai sendiri;

7. Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat. Adapun

ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan dicatat, maka penulisan hadis diizinkan.

9
Ada sebagian sahabat yang memiliki catatan yang disebut dengan shâhifah untuk

mencatat sebagian hadis yang terima dari Nabi. Di antara sahabat yang memiliki catatan

hadis dari Nabi adalah ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash, dengan catatannya yang dberi nama

al-Shâdiqah. Beberapa sahabat yang juga mempunyai catatan hadis adalah ‘Ali ibn Abi

Thalib (w. 40 H/611 M), Sumrah ibn Jundab (w. 60 H/680 M), ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn

al-‘Ash (w. 65 H/685 M), ‘Abd Allah ibn ‘Abbas (w. 69 H/689 M), Jabir ibn ‘Abd Allah al-

Anshari (w. 78 H/697 M), dan ‘Abd Allah ibn abi Awfa’ (w. 86 H).

Catatan-catatan hadis ini di samping merupakan dokumen bahwa pada masa Nabi telah

terjadi aktivitas penulisan hadis juga dapat digunakan sebagai sarana untuk periwayatan hadis

secara tertulis. Meskipun jarang, periwayatan hadis secara tertulis pada masa ini juga pernah

dilakukan. Kebanyakan penyebaran hadis oleh para sahabat dilakukan secara lisan.

B. HADIS PADA MASA SAHABAT BESAR (AL-KHULAFÂ’ AL-RASYIDIN)

Para sahabat yang merupakan periwayat pertama hadis, memegang hadis dengan hati-

hati dan membatasi periwayatannya. Mereka menyadari bahwa hadis merupakan sumber

ajaran Islam setelah al-Qur'an dan harus tetap terpelihara dari kekeliruan sebagaimana halnya

al-Qur'an. Para sahabat berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis agar tidak

terjadi kesalahan dengan cara tidak meriwayatkannya kecuali saat-saat dibutuhkan melalui

penelitian yang mendalam. Khalifah pertama, Abu Bakar al-Shiddiq, mengambil kebijakan

memperketat periwayatan hadis dengan maksud agar hadis tidak disalahgunakan oleh kaum

munafik dan untuk menghindari kesalahan dan kelalaian sebagai akibat memperbanyak

periwayatan hadis yang berujung pada kebohongan mengenai hadis yang mereka riwayatkan

dari Nabi.

Dalam sejarah disebutkan, sebagaimana disepakati ulama hadis, bahwa telah terjadi

pemalsuan hadis (wadh’ al-hadîts) pada masa Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H/661 M), khalifah

10
yang keempat. Kemunculan hadis palsu - (mawdhû’) yang pertama kalinya disebabkan oleh

faktor politik, suatu upaya untuk menjustifikasi kekuatan sekte tertentu agar mendapat

legitimasi di kalangan umat Islam saat itu – menambah persoalan yang menyangkut

autentisitas hadis Nabi. Menurut Musthafa al-Siba’i, pihak yang pertama kali membuat hadis

palsu adalah orang-orang Syi’ah, ketika mereka merasa yakin bahwa ‘Ali dan keturunannya

yang paling berhak memegang jabatan khilâfah. Sejak itu, mereka mulai membuat hadis

palsu berkenaan dengan keutamaan ‘Ali dan keluarganya yang kemudian didengar oleh

sebagian ahl al-Sunnah wa al-jamâ’ah dan merekapun membuat hadis palsu sebagai

tandingan yang berisi keutamaan Abu Bakar, ‘Umar ibn alkhathab, serta Muawiyah. Karena

Irak merupakan pusat Syi’ah, maka ulama hadis menilai bahwa negeri itulah yang menjadi

pusat munculnya hadis-hadis palsu untuk pertama kalinya.

Bukti hadis yang mereka buat antara lain hadis yang mendeskreditkan Muawiyah dan

menyanjung ‘Ali beserta pengikutnya. Mereka juga membuat hadis-hadis palsu yang mencela

para sahabat khususnya Abu Bakar, ‘Umar ibn al-khathab, dan sahabat-sahabat lain. Kaum

Syi’ah yang banyak membuat hadis palsu adalah kelompok al –Râfidhah yang meneurut Ibn

Taymiyah seperti dikutip ‘Ajjaj al-Khathib, pada masa ‘Ali berkuasa di Kufah sudah ada.

Mereka beranggapan bahwa berdusta untuk kebaikan diperbolehkan. John Burton, Seorang

orientalis, menyatakan: “One of the leaders of the Shi’a was suspected of fabrication” Salah

seorang pemimpin Syi’ah dicurigai membuat hadis palsu).

C. HADIS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TÂBI’IN

Sebagaimana para sahabat besar, para sahabat kecil dan tâbi’in juga cukup berhati-

hati dalam periwayatan hadis. Cara-cara yang dtempuh di samping yang dilakukan oleh para

sahabat besar juga berbagai cara yang sesuai dengan hati nurani mereka dalam rangka

menyampaikan hadis pada generasi berikutnya secara benar dan tidak keliru. Hanya saja,

11
beban mereka tidak terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para sahabat. Pada

masa ini, al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi

mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafâ’ al-Râsyidûn (masa

khalifah ‘Utsman bin ‘Affan) para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah

kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tâbi’in untuk mempelajari hadis-hadis

dari mereka. Kondisi ini juga berimplikasi pada tersebarnya hadis ke berbagai wilayah Islam.

Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (‘ashr intisyâr

alriwâyah), yaitu masa di mana hadis tidak lagi hanya terpusat di Madinah tetapi sudah

diriwayatkan di berbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.

Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas. Banyak sahabat ataupun tâbi’in

yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, di samping banyak pula

yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai

dengan membawa perbendaharaan hadis yang ada pada mereka, sehingga hadis-hadis

tersebar ke berbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra hadis, sebagaimana

dikemukakan Muhammad Abu Zahw, yaitu:

1. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Aisyah, Abu Hurayrah, Ibn “Umar,

Abu Sa’id al-Khudzri, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tâbi’in: Sa’id ibn Musayyib,

‘Urwah ibn Zubayr, Nafi’ Maula ibn ‘Umar, dan lain-lain

2. Mekkah, dengan tokoh hadis dari kalangan sahabat: Ibn ‘Abbas, ‘Abd Allah ibn

Sa’id, dan lain-lain. Dari kalangan tâbi’in, tokoh hadis antara lain: Mujahid ibn Jabr,

‘Ikrimah Mawla ibn ‘Abbas, ‘ Atha ibn Abi Rabah, dan lain-lain

3. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi

Waqqas dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tâbi’in: Masruq ibn al-Ajda’,

Syuraikh ibn al-Haris, dan lain-lain.

12
4. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Utbah ibn Gahzwan, ‘Imran ibn

Husayn, dan lain-lain. Dari kalangan tâbi’in dikenal tokoh: al-Hasan al-Basri, Abu

al-‘Aliyah, dan lain-lain.

5. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’,

‘Ubbadah ibn Shamit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tâbi’in: Abu Idris, Qabishah

ibn Zuaib, dan Makhul ibn Abi Muslim.

6. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Amr ibn al-‘Ash, ‘Uqbah

ibn Amir, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tâbi’in: Yazid ibn Abi Hubayb, Abu

Bashrah al-Ghifari, dan lain-lain.

Hadis-hadis yang diterima oleh para tâbi’in ini ada yang dalam bentuk catatan-catatan

atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus di hafal, di samping dalam bentuk-bentuk yang

sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka

ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer

atau terlupakan. Sungguhpun demikian, pada masa pasca-sahabat besar ini muncul kekeliruan

periwayatan hadis ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah. Periwayatan tidak semata

menyangkut hadis-hadis yang berasal dari Nabi (marfû’), tetapi hadis yang bersumber dari

sahabat (mawqûf) dan tâbi’in (maqthû’) bahkan pernyataan beberapa ahli kitab yang telah

masuk Islam yang mereka sadur dari pernyataan Bani Israil atau shuhûf mereka sebagai

bahan komparasi setelah mereka masuk Islam. Dari sekian pernyataan yang memiliki

beragam sumber ini, tidak mustahil menimbulkan salah kutip; perkataan sahabat dinyatakan

sebagai hadis Nabi, atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabda Nabi. Faktor-faktor

penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain: pertama, periwayat

hadis sebagaimana manusia lain tidak terlepas dari unsur kekeliruan. Kedua, terbatasnya

penulisan dan kodifikasi hadis. Sejak masa Rasulullah memang ada beberapa sahabat yang

menulis hadis baik atas dasar izin Nabi atau ditulis para amir atau para pegawai, tetapi usaha

13
penulisan belum merupakan hal biasa, bahkan umumnya para periwayat mengandalkan

hafalan. Ketiga, terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sebagian besar

sahabat dan tâbi’in tebukti dengan adanya hadis atau kisah yang sama tetapi memiliki redaksi

yang beragam.

Di samping kekeliruan di atas, pada masa ini sudah mulai banyak bermunculan hadis

palsu. Pemalsuan hadis yang dimulai sejak masa ‘Ali ibn Abi Thalib terus berlanjut dan

semakin banyak, tidak menyangkut urusan politik tetapi masalah lain. Menghadapi terjadinya

kekeliruan dan pemalsuan hadis di atas, para ulama melakukan beberapa langkah yaitu:

Pertama, melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai hadis atau para periwayatnya.

Kedua, hanya menerima riwayat hadis dari periwayat yang tsiqah saja. Ketiga, mensyaratkan

tidak adanya syâdz yang berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang

lebih tsiqah. Keempat, untuk mengidentifikasi hadis palsu, mereka meneliti sanad dan rijâl al-

Hadîts dan bertanya kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.

D. HADIS PADA MASA KODIFIKASI

Pada masa ini terjadi kegiatan kodifikasi hadis. Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan

Islam dipimpin oleh khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (99- 101 H), (khalifah ke delapan Bani

Umayah), melalui instruksinya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm

(gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis

dari para penghafalnya. Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn

Hazm (w. 117 H) agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada ‘Amrah binti ‘Abd al-

Rahman al-Anshari, murid kepercayaan ‘Aisyah, dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr

(w.107 H). Instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab al-Zuhri (w.

14
124 H), yang dinilai sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis daripada yang

lainnya. Dari para ulama inilah, kodifikasi hadis secara resmi awalnya dilakukan.

Ada beberapa faktor yang melatar belakangi kodifikasi hadis pada masa ‘Umar ibn

‘Abd al-‘Aziz tersebut. Menurut Muhammad al-Zafzaf, kodifikasi hadis tersebut dilakukan

karena: Pertama, Para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis

akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak

menaruh perhatian terhadap hadis. Kedua, banyak berita yang diada-adakan oleh pelaku

bid’ah (al-mubtadi’) seperti khawarij, Rafidhah, Syi’ah, dan lain-lain yang berupa hadis-hadis

palsu. Periwayatan hadis pada masa ini, sebagaimana masa sebelumnya, banyak diwarnai

dengan hadis palsu dan bid’ah, yang berasal dari kalangan-kalangan Khawarij, Syi’ah, orang-

orang munafik, serta orang-orang Yahudi. Oleh karena itu, para periwayat hadis sangat hati-

hati dalam menerima dan menyampaikan hadis.

Perintah ‘Umar tersebut di atas direspon positif oleh umat Islam, sehingga terkumpul

beberapa catatan-catatan hadis. Hasil catatan dan penghimpunan hadis berbeda-beda antara

ulama yang satu dengan yang lain. Abu Bakar ibn Hazm berhasil menghimpun hadis dalam

jumlah, yang menurut para ulama, kurang lengkap. Sedang ibn Syihab al-Zuhri berhasil

menghimpunnya lebih lengkap. Sungguhpun demikian, kitab himpunan hadis-hadis mereka

tidak ada yang sampai kepada kita. Ulama setelah al-Zuhri yang berhasil menyusun kitab

tadwîn yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, adalah Malik ibn Anas (93-179 H) di

Madinah, dengan hasil karyanya bernama al-Muwaththâ’, sebuah kitab yang selesai disusun

pada tahun 143 H dan merupakan kitab hasil kodifikasi yang pertama. Kitab ini di samping

berisi hadis marfû’, yaitu hadis yang disandarkan pada Nabi juga berisi pendapat para sahabat

(hadis mawqûf) dan pendapat para tâbi’in (hadis maqthû). Selain para ulama di atas, terdapat

banyak ulama lain yang juga melakukan kodifikasi hadis.

15
Di antara mereka adalah Muhammad ibn Ishaq (w. 151 H) di Madinah, al-Rabi’ ibn

Shabih (w. 160 H) di Basrah, Hammad ibn Salamah (w. 176 H) di Bashrah, Sufyan al-Tsauri

(97-161 H) di Kufah, al-Auza’i (88-157 H) di Syam, Ma’mar ibn Rasyid (93-153 H) di

Yaman, Ibn al-Mubarak (118-181 H) di Khurasan, Abd Allah ibn Wahab (125-197 H) di

Mesir, dan Jaringan ibn ‘Abd al-Hamid (110-188 H) di Rei. Kitab-kitab yang mereka tulis

kebanyakan tidak sampai pada generasi sekarang. Datanya ditemukan dalam berbagai kitab

karya ulama sesudah mereka.

E. HADIS PADA MASA AWAL SAMPAI AKHIR ABAD III H

Masa kodifikasi dilanjutkan dengan masa seleksi hadis. Yang dimaksud dengan masa seleksi

atau penyaringan di sini, ialah masa upaya para mudawwin hadis yang melakukan seleksi

secara ketat, sebagai kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil

melahirkan suatu kitab tadwîn. Masa ini dimulai sekitar akhir abad II atau awal abad III, atau

ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani ‘Abbasiyah, khususnya sejak masa al-

Makmun sampai dengan akhir abad III atau awal abad IV, masa al-Muktadir. Munculnya

periode seleksi ini, sebagaimana lebih dijelaskan, karena pada periode tadwîn belum berhasil

dipisahkan beberapa hadis yang berasal dari sahabat (mawqûf) dan dari tâbi’in (maqthû) dari

hadis yang berasal dari Nabi (marfû’). Begitu pula belum bisa dipisahkan beberapa hadis

yang dha’if dari yang sahih. Bahkan masih adanya hadis yang mawdhû’ (palsu) tercampur

pada hadis-hadis sahih. Masa ini disebut dengan ‘ashr al tajrîd wa al-tashhîh wa al-tanqîh

(masa penerimaan, mentashihan, dan penyempurnaan).

Dilihat dari sisi poltik, Daulah Bani ‘Abbasiyah yang terpusat di Baghdad pada masa ini

mengalami kemunduran. Banyak wilayah yang membebaskan diri hingga terbentuk dinasti-

dinasti kecil, sehingga kekuatan umat Islam menjadi lemah. Akan tetapi, walaupun dari segi

politik lemah, gerakan keilmuan tetap berjalan sebagaimana masa-masa sebelumnya. Para

16
ulama melakukan perjalanan (al-rihlah) dari satu daerah ke daerah lain dalam rangka mencari

dan menyebarkan ilmu yang mereka miliki. Mereka saling bertemu dan saling menerima

periwayatan hadis. Kemudian, hadis yang mereka terima di-tashhih-kan kepada para ulama

yang kompeten. Kitab-kitab hadis yang disusun pada masa ini sangat banyak. Di antaranya

adalah Shahîh al-Bukhârî karya Imam al-Bukhari, Shahîh Muslim karya Imam Muslim,

beberapa kitab al-sunan antara lain, Sunan Abî Dâwud karya Abu Dawud al-Sijistani (w. 275

H), Sunan al-Tirmidzî oleh al-Tirmidzi (w. 279 H), Sunan al-Nasâ’î karya al-Nasa’i (w. 303

H), Sunan Ibn Mâjah oleh Ibn Majah (w. 273 H), Sunan al-Dârimî karya al-Darimi (w. 255

H), dan Sunan Sa’îd ibn al-Manshûr oleh Sa’id ibn al-Manshur (w. 227 H).

Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang

diterimanya. Mereka berhasil memisahkan hadis-hadis yang dha’if dari yang sahih dan hadis-

hadis yang mawqûf dan yang maqthû dari yang marfû’, meskipun berdasarkan penelitiaan

para ulama berikutnya masih ditemukan tersisipkannya hadis-hadis yang dha’if pada kitab-

kitab sahih. Pada masa ini tidak seorangpun ulama yang membukukan hadis dengan menukil

dari kitab lain. Mereka membukukan hadis berdasarkan hadis-hadis yang diterima dari para

periwayat. Selain menyusun kitab-kitab hadis, mereka juga menyusun kitab-kitab yang berisi

teori-teori untuk mentashih hadis. Para ulama antusias menulis ilmu-ilmu yang berkaitan

dengan hadis, ada yang mengarang kitab tentang sejarah para periwayat, illat hadis, dan lain-

lain. Secara umum, abad ketiga Hijriah ini merupakan masa keemasan dalam peradaban

Islam.

F. HADIS PADA ABAD IV SAMPAI PERTENGAHAN ABAD VII (JATUHNYA

BAGHDAD TAHUN 656 H)

Masa seleksi dilanjutkan dengan masa pengembangan dan penyempurnaan sistem

penyusunan kitab-kitab hadis. Masa ini disebut dengan ‘ashr al-tahdzîb wa al-taqrîb wa al-

17
istidrâk wa al-jâm’i (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan).

Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan

beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat

dari munculnya al-Kutub al-Sittah, al-Muwaththâ’ karya Malik ibn Anas dan al-Musnad

karya Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian mereka untuk menyusun kitab-

kitab yang berisi pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis.

Di antara kitab yang disusun pada periode ini adalah kitab almustakhraj, yaitu kitab

hadis yang disusun berdasarkan penulisan kembali hadis-hadis yang terdapat dalam kitab lain

kemudian penulisan kitab itu mencantumkan sanad dari dirinya sendiri. Misalnya, kitab

Mustakhraj Shahîh Muslim antara lain al-Mustakhraj karya Abu ‘Awanah al-Asfarayani (w.

316 H), al-Mustakhraj karya al-Humayri (w. 311 H), dan al-Mustakhraj oleh Abu Hamid al-

Harawi (w. 355 H). Demikian pula kitab-kitab almustadrâk, yaitu kitab yang sebagian

hadisnya disusun dengan menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab

hadis yang lain.

Namun, dalam menulis hadis-hadis susulan itu, penulis kitab mengikuti persyaratan

periwayatan hadis yang dipakai oleh kitab yang lain tersebut. Misalnya al-Hakim al-

Nassaburi (w. 405 H), penulis kitab al-Mustadrâk ‘alâ al-Sha-hîhayn yang berisi hadis-hadis

yang dinilainya sahih yang tidak termuat dalam kitab Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim.

Kitab-kitab al-zawâid juga termasuk salah satu kitab kategori ini, yaitu kitab yang disusun

dengan menghimpun hadis-hadis tambahan dalam suatu kitab yang tidak terdapat dalam

kitab-kitab lainnya. Misalnya kitab Misbâh al-Zujâjah fî Zawâid Ibn Mâjah karya al-Busayri

(w. 840H) yang mengandung hadis-hadis yang hanya ditulis oleh Ibn Majah (w. 273 H)

dalam kitab Sunan-nya, tetapi tidak terdapat dalam lima kitab hadis yang lain, yaitu Shahîh

al-Bukhârî, Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Tirmidzî, dan Sunan al-Nasâ’î.

18
Secara politis, masa ini hampir sama dengan masa sebelumnya. Namun, kekuatan-

kekuatan dari luar Islam sudah mulai menggeliat. Hal ini dibuktikan dengan dikuasainya Bayt

al-Maqdis di Yerussalem oleh tentara Salib dan puncaknya Baghdad runtuh oleh serangan

Jengis Khan.

G. HADIS PADA MASA PERTENGAHAN ABAD VII SAMPAI SEKARANG

Masa ini disebut dengan : ‘ashr al-syarh wa al-jâm’i wa al-takhrîj wa albahts (masa

pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan). Kegiatan ulama hadis pada

masa ini berkenaan dengan upaya mensyarah kitab-kitab hadis yang sudah ada, menghimpun

dan mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab-kitab yang sudah ada, mentakhrij hadis-hadis

dalam kitab tertentu, dan membahas kandungan kitab-kitab hadis. Di antara usaha itu,

misalnya, pengumpulan isi kitab yang enam, seperti yang dilakukan oleh ‘Abd al-Haq ibn

Abd al-Rahman al-Asybili (terkenal dengan ibn al-Kharrat (w. 583 H), al-Fayir al Zabadi,

dan Ibn al-Atsir alJaziri. Juga penyusunan kitab-kitab hadis mengenai hukum, di antaranya

oleh al-Daruquthni, al-Bayhaqi, Ibn Daqiq al-‘Id, Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan Qudamah al-

Maqdisi.

Masa ini terbentang cukup panjang, dari mulai abad keempat Hijriah terus berlangsung

beberapa abad berikutnya. Dengan demikian, masa perkembangan ini melewati dua fase

sejarah perkembangan Islam, yakni fase pertengahan dan fase modern. Pada masa yang

disebut terakhir, muncul penulis hadis seperti al-Laknawi, al-Qasimi, dan al-Albani serta

ulama lain yang menghimpun hadis-hadis berdasar kualitas atau topik tertentu.

Dr. Zarkasih, M. Ag. (2012). Pengantar Studi Hadis. Yogyakarta: Aswaja Pressindo

.2 MADRASAH-MADRASAH HADIST DAN FOKUS PENGKAJIANNYA


TERHADAP HADIST

19
Etimologi. Istilah “Madrasah Hadis (al-madrasah al-ḥadīṡiyyah)” adalah istilah yang

muncul belakangan dalam disiplin hadis; dipopulerkan oleh ulama-ulama kontemporer. Para

ulama menggunakan istilah madrasah untuk merujuk gerakan keilmuan (al-ḥarakah al-

„illmiyyah) yang dinisbahkan kepada (penduduk) daerah tertentu, seperti Madinah, Makkah,

Kufah, dan yang lainnya. Demikian makna kata madrasah hadis yang akan kita dapati dalam

kitab-kitab hadis, kitab-kitab al-„ilal, serta dalam ungkapan dan karya-karya para ulama

klasik.

Secara bahasa, kata madrasah (‫املدرسة‬ adalah derivasi dari kata darasa-

yadrusudarsan (‫درس‬-‫يدرس‬-‫درس‬ Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kita tidak

akan menemukan keterangan tentang kata darasa beserta seluruh derivasinya yang secara

jelas dan tegas merujuk makna gerakan keilmuan (al-ḥarakah al-„illmiyyah) sebagaimana

yang disinggung di muka. Justru kita akan mendapati bahwa kata ini makna asalnya adalah

“tersembunyi (al-khafā‟),” “rendah (al-khafḍ),” dan “rusak/usang (al-„afā‟).

Ibn Fāris (395 H) dalam Mu‟jam Maqāyīs al-Luġah menjelaskan, bahwa gabungan huruf al-

dāl, al-rā‟, dan al-sīn makna asalnya adalah “tersembunyi (alkhafā‟),” “rendah (al-khafḍ),”

dan “rusak/usang (al-„afā‟).

Kata al-dars maknanya adalah “jalan rahasia.” Ungkapan darasa al-manzil maknanya

adalah “tempat tinggal runtuh.” Kata al-darīs maknanya adalah “pakaian usang.” Ungkapan

darasat al-mar‟ah maknanya adalah “wanita itu haid.” Jika digunakan untuk gandum, darastu

al-ḥanṭah, atau yang lainnya, maknanya adalah “menebah (menggugurkan biji-biji dari

tangkainya).”

Sementara itu, al-Zubaidī (1205 H) menjelaskan, ungkapan: darasa al-kitab maknanya

adalah “menguasai kitab tersebut dengan banyak membaca sampai ringan menghafalnya

(żallalahu bi kaṡrah al-qirā‟ah ḥattā khaffa ḥifẓuhu „alaih).” Al-Zubaidi menguatkan

20
pendapatnya ini dengan mengutip penjelasan al-Zamakhsyarī, bahwa ungkapan

darasa/darrasa al-kitāb maknanya adalah “mengulang-ulangi membacanya untuk menghafal

(karrarahu „an hifẓ).

Dalam al-Mu‟jam al-Wasīṭ, ditemukan makna yang lebih dekat pada makna istilah

yang tengah kita bahas. Bahwa kata madrasah maknanya adalah “tempat belajar mengajar

(maka al-dars wa al-ta‟līm),” dimaknai pula “sekelompok filsuf, pemikir, atau peneliti yang

menganut mazhab tertentu atau memegang pendapat yang sama (jama‟āh min al-mufakkirīn

au al-mufakkirīn au al-bāḥiṡīn ta‟taniqu mażhaban mu‟ayyanan au taqūlu bi ra‟y

musytarik).” Makna ini ditetapkan juga oleh Majma‟ alLuġah al-„Arabiyyah di Mesir.

Ada juga definisi yang dikemukakan oleh Muḥammad al-Zuhair, bahwa Madrasah

Hadis adalah “Komunitas rawi dan ahli hadis dengan karakteristik yang sama antar satu

anggota dengan yang lainnya, terkait media-media penyampaian dan pemeliharaan hadis,

baik riwāyah maupun dirāyah, tanpa memandang pada waktu dan tempat.

Dapat disimpulkan bawasanya madrasah-madrasah Hadis adalah institusi pendidikan

yang khusus mempelajari ilmu Hadis atau ilmu tentang hadis Nabi Muhammad. Fokus

pengkajian di madrasah-madrasah Hadis terutama berkaitan dengan ilmu Hadis, yaitu disiplin

ilmu yang mempelajari tentang asal-usul, jalur pengajaran, kritik, dan keabsahan hadis-hadis

yang diatribusikan kepada Nabi Muhammad.

Beberapa fokus pengkajian hadis di madrasah-madrasah Hadis antara lain:

1. Rijal al-Hadis: Mempelajari biografi para perawi hadis, termasuk meneliti kejujuran,

integritas, dan kredibilitas mereka.

2. Ilmu Dirayah: Mempelajari kaidah-kaidah untuk mengkaji keabsahan hadis, seperti

meneliti isnad (rantai perawi) hadis dan memeriksa matan (teks) hadis.

21
3. Ilmu Mustalah al-Hadis: Mempelajari kaidah-kaidah dan metodologi dalam

mengkritisi dan mengevaluasi hadis.

4. Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil: Mempelajari kaidah-kaidah dalam mengevaluasi perawi

hadis, terutama dalam hal kejujuran dan kredibilitas mereka.

5. Ilmu al-Hadis al-Nabawi: Mempelajari hadis-hadis yang diatribusikan kepada Nabi

Muhammad dan mempelajari jalur pengajaran hadis dari generasi ke generasi.

Dr. Zarkasih, M. Ag. (2012). Pengantar Studi Hadis. Yogyakarta: Aswaja Pressindo

.3 AHLI HADIST PRODUK MADRASAH HADIST DAN CONTOHNYA


Ahli Hadis adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu

Hadis, yaitu kajian tentang sanad (rantai perawi) dan matan (isi teks) Hadis, yang meliputi

metodologi, terminologi, kritik, dan aplikasi Hadis. Ahli Hadis bertanggung jawab untuk

memahami, menafsirkan, dan mengevaluasi keabsahan Hadis yang terdapat dalam literatur

Islam.

Para ahli Hadis yang dihasilkan oleh madrasah Hadis memiliki kemampuan untuk memeriksa

keaslian sanad Hadis, menentukan kualitas perawi, dan memeriksa kecocokan matan dengan

prinsip-prinsip Islam. Mereka juga mampu untuk memberikan fatwa (pendapat hukum)

berdasarkan Hadis, serta dapat memberikan nasihat dan pandangan terkait pemahaman Hadis

yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, peran para ahli Hadis yang

dihasilkan oleh madrasah Hadis sangat penting dalam mengembangkan ilmu Hadis dan

mempertahankan keaslian ajaran Islam.

Beberapa contoh Ahli Hadis yang dihasilkan oleh madrasah Hadis antara lain:

22
1. Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab - Ia adalah lulusan Madrasah al-Maarif al-Islamiyyah

di Jakarta dan juga pernah mengajar di sana. Ia dikenal sebagai seorang ulama dan

ahli Hadis Indonesia yang terkemuka, serta memiliki banyak karya dan kontribusi

dalam bidang pengkajian Hadis.

2. Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin - Ia juga merupakan lulusan Madrasah al-Maarif al-

Islamiyyah dan pernah menjadi pengajar di sana. Selain sebagai seorang ulama dan

ahli Hadis, ia juga merupakan tokoh nasional Indonesia yang dikenal luas.

3. Dr. H. Yusuf Qardhawi - Ia adalah lulusan Madrasah al-Maarif al-Islamiyyah di

Mesir. Ia dikenal sebagai seorang ulama dan cendekiawan Islam yang terkemuka,

serta memiliki banyak karya dan kontribusi dalam bidang ilmu Hadis.

4. Dr. KH. Abdullah Gymnastiar - Ia juga merupakan lulusan Madrasah al-Maarif al-

Islamiyyah. Selain sebagai pendakwah, ia juga dikenal sebagai seorang ahli Hadis

yang memiliki banyak pengaruh di Indonesia.

5. Dr. H. Ahmad Sarwat, M.A. - Ia merupakan lulusan Madrasah al-Maarif al-

Islamiyyah dan saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia

(MUI). Ia juga dikenal sebagai seorang ahli Hadis yang terkemuka di Indonesia.

Al-Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Hadist / Volume 5, No.2. Juni 2022 / p-ISSN:

2615-2568 e-ISSN: 2621-3699

23
DAFTAR PUSTAKA
PENUTUP
.1 KESIMPULAN
Dalam Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis Nabi dapat diklasifikasikan dalam
beberapa periode. T. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy membaginya menjadi tujuh priode,
yaitu:

1. Hadis pada masa Nabi;


2. Hadis pada masa sahabat besar (al-Khulafâ al-Râsyidûn);
3. Hadis pada masa sahabat kecil dan tâbi’în;
4. Hadis pada masa kodifikasi;
5. Hadis pada masa awal sampai akhir abad III H;
6. Hadis pada abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H);
dan
7. Hadis pada masa pertengahan abad VII sampai sekarang.

Madrasah Hadis adalah “Komunitas rawi dan ahli hadis dengan karakteristik yang sama antar
satu anggota dengan yang lainnya, terkait media-media penyampaian dan pemeliharaan hadis,
baik riwāyah maupun dirāyah, tanpa memandang pada waktu dan tempat.

Ahli Hadis adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu Hadis, yaitu
kajian tentang sanad (rantai perawi) dan matan (isi teks) Hadis, yang meliputi metodologi,
terminologi, kritik, dan aplikasi Hadis. Ahli Hadis bertanggung jawab untuk memahami,
menafsirkan, dan mengevaluasi keabsahan Hadis yang terdapat dalam literatur Islam

24
.2 SARAN
Dengan selesainya makalah ini kami sadar bawasanya makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi materi

pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik

yang membangun dari pembaca agar dikemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih

baik lagi. Harapan kami semoga dengan ada nya kami dan makalah ini dapat menambah

wawasan bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Zarkasih, M. Ag. (2012). Pengantar Studi Hadis. Yogyakarta: Aswaja Pressindo

Al-Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Hadist / Volume 5, No.2. Juni 2022 / p-ISSN: 2615-

2568 e-ISSN: 2621-3699

25

Anda mungkin juga menyukai