November 2023
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulliah atas kehadirat Allah SWT. Yang mana telah memberikan rahmat
dan karunia nya pada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pengalaman Agama”, Untuk memenuhi tugas matakuliah psikologi islam.
1. Prof. Dr. H.Moh. Mukri, M.Ag. selaku Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Blitar.
2. Dr. Arif Muzayin Shofwar, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Agama Islam.
3. Hengki Hendra Pradana, S.Psi, M.Psi. selaku kepala program studi Psikologi Islam.
4. Zainal Rosyadi, M,Pd.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Islam Nusantara.
5. Teman –teman Psikologi Islam angkatan 2022 atas kerjasamanya. Semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu –persatu yang telah membantu demi terselesaikannya
makalah ini dengan lancar. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan kalian,
Aamiin.
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan yang
terdapat di dalam nya, Untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya kritikan dan
masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata penulis
berharap semoga makalah ini berguna dan manfaat bagi para pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMA COVER………………………………………………...........................................i
KATA PENGANTAR……………………………….…..........................................................ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
3.1 KESIMPULAN..............................................................................................................22
3.2 SARAN...........................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
.1 LATAR BELAKANG
Hadis merupakan sumber utama kedua dalam Islam setelah Al-Quran. Hadis adalah
segala sesuatu yang dikatakan, dikerjakan, atau disetujui oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh
karena itu, hadis memegang peran penting dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran
Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah perkembangan dan pertumbuhan hadis sangatlah
panjang dan bervariasi, mulai dari periode awal Islam hingga masa kini. Perkembangan hadis
selalu terus berkembang seiring dengan zaman dan kebutuhan umat Islam, sehingga hadis
Periode awal Islam adalah masa di mana Nabi Muhammad SAW hidup. Pada masa ini, hadis
berkembang secara lisan, di mana Nabi Muhammad SAW mengajarkan langsung hadis
kepada para sahabatnya. Saat itu, para sahabat yang belajar hadis langsung dari Nabi disebut
dengan "sahabat yang mendengar" atau "sahabat yang meriwayatkan". Para sahabat ini
kemudian menyampaikan hadis kepada orang lain dengan cara lisan, dan kemudian hadis
Periode awal Islam juga dikenal dengan periode "tabi'in", yaitu generasi setelah sahabat Nabi
Muhammad SAW. Pada masa ini, hadis masih disampaikan secara lisan dan para tabi'in
menyampaikan hadis yang mereka terima dari para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Periode perekaman hadis dimulai pada abad ke-2 Hijriah, di mana hadis mulai dicatat dan
ditulis dalam buku-buku. Pada masa ini, muncul banyak ulama yang ahli dalam bidang hadis
dan menyusun kitab-kitab hadis, seperti Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lainnya.
1
Kitab-kitab hadis ini menjadi acuan penting bagi umat Islam dalam memahami dan
Periode klasik
Periode klasik adalah masa di mana hadis berkembang pesat dan di mana banyak kitab hadis
yang ditulis dan disusun. Pada masa ini, terjadi perdebatan dan perselisihan di antara para
ulama hadis mengenai kualitas dan keabsahan hadis, yang kemudian dikenal dengan ilmu
hadis. Periode klasik ini berlangsung sekitar abad ke-3 hingga abad ke-7 Hijriah.
Periode modern
Periode modern hadis dimulai pada abad ke-19 Masehi, di mana terjadi banyak inovasi dalam
metode dan pendekatan dalam mempelajari hadis. Pada masa ini, banyak ahli hadis yang
menggunakan metode ilmiah dan kritikal dalam mempelajari hadis, sehingga memberikan
.2 RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan Perkembangan Periode I S/D VII (656 M – Sekarang)
.3 TUJUAN MASALAH
1. Mendeskripsikan Perkembangan Periode I S/D VII (656 M – Sekarang)
Hadist
2
DAFTAR PUSTAKA
PEMBAHASAN
beberapa periode. T. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy membaginya menjadi tujuh priode,
yaitu:
6. Hadis pada abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H);
dan
Atau dikenal dengan ‘Ashr al-wahy wa al-takwîn, yaitu masa wahyu dan pembentukan
karena pada masa ini wahyu masih turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang
darinya. Ayat-ayat alQur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan
para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliah. Para sahabat
menyadari betapa penting kedudukan hadis Nabi dalam agama Islam, bahwa sunnah Nabi
merupakan pilar kedua setelah alQur’an, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan
Tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan atau dilakukan Nabi baik yang terkait
dengan masyarakat umum maupun yang khusus berkenaan dengan hal-hal pribadi telah
3
terjadi semenjak awal Islam. Sebagaifigur, Nabi menjadi pusat perhatian, dalam kapasitas
sebagai pemimpin, teladan, dan penyampai syariat Allah yang hampir semua perkataan dan
perilakunya bermuatan hukum, kecuali sebagian yang terkait dengan urusan duniawi.
Kebiasaan menghargai segala yang berasal dari Nabi terlihat pada banyaknya para sahabat, di
sebagian tinggal beberapa saat atau dalam waktu yang lama bersamanya, mendiskusikan dan
menelaah secara kritis hadis-hadis yang mereka terima. Jika terjadi persoalan yang
menyangkut kebenaran hadis yang mereka terima, mereka dapat langsung mengecek
kebenarannya kepada Nabi karena beliau berada bersama, bergaul dan, bermuamalah dengan
Ada beberapa teknik atau cara yang ditempuh Nabi saw. dalam menyampaikan hadis
kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Cara tersebut
Pertama, melalui majlis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh
Nabi untuk membina para jamaah. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh
banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu
majelis ini dilakukan secara reguler di mana para sahabat begitu antusias mengikuti
kegiatan di majelis ini. Menurut catatan Musthafa al-Siba’i, roh ilmiah para sahabat
sangat tinggi, mereka sangat haus akan fatwa-fatwa dari Nabi. Mereka selalu
4
melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk meminta solusi kepada Nabi atas
para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya
kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika Nabi menyampaikan suatu hadis,
para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh
Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan
Seperti kasus hadis di bawah ketika Nabi menjelaskan tentang seorang wanita yang
bertanya kepada Nabi saw., tentang mandi bagi wanita yang telah suci dari haidnya.
Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaimana mestinya, tetapi ia belum
o Nabi bersabda: “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-
o Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata: “Wanita itu saya tarik ke arah saya”
o Dan saya katakan kepadanya, “Usapkan seperca kain itu ke tempat bekas
darah”.
5
Pada hadis ini, Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif
berkenaan dengan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang
berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul saw., sering kali
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futûh Mekkah
dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi
menyampaikan khatbah yang sangat sejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin
yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah,
siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi kemanusiaan, persahabatan,
keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas. Isi khatbah itu antara
lain; larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan larangan mengambil harta
orang lain yang batil, larangan riba, menganiaya; perintah memperlakukan para istri
dengan baik, persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan; dan
umat Islam harus selalu berpegang kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu
dengan jalan musyâhadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan
hukumnya dan berita itu tersebar di kalangan umat Islam. Misalnya, suatu ketika Nabi
berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang membeli
6
2. Menghafal dan Menulis
Hadis Pada masa Nabi, sedikit sekali sahabat yang dapat menulis, sehingga yang
menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah dengan ingatan mereka.
Menurut ‘Abd al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat
kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwayatkan al-
Qur’an, hadis, syair, dan lain-lain dengan baik. Seakan mereka membaca dari sebuah
buku. Untuk memelihara kemurnian kedua sumber ajaran agama Islam, yakni al-
Quran dan Hadis, Rasulullah memiliki kebijakan yang berbeda. Beliau tidak pernah
al-Qur’an yang ditulis resmi oleh Zayd ibn Tsabit, sekretaris pribadi beliau. Bahkan,
“Janganlah kalian
tulis dariku (selain al-Qur’an) dan barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an,
maka hapuslah. Riwayatkan hadis dariku, tidak apa-apa. Barang siapa berdusta atas
Larangan ini dilakukan karena khawatir hadis bercampur dengan al-Qur’an yang saat
itu masih dalam proses penurunan. Dalam kesempatan lain, sebagaimana diriwayatkan oleh
‘Abd Allah ibn ‘Umar katanya: “Aku pernah menulis segala sesuatu yang kudengar dari
7
melarangku melakukannya. Mereka berkata: “Kamu hendak menulis (hadis) padahal
Rasulullah bersabda dalam keadaan marah dan senang”. Kemudian aku menahan diri (untuk
tidak menulis
kepada Rasulullah.
Beliau bersabda:
“Tulislah, maka demi Dzat yang aku berada dalam kekuasaan-Nya tidaklah keluar dariku
selain kebenaran”.
Berdasar hadis di atas diketahui bahwa ada sahabat tertentu yang diberi izin untuk menulis
hadis, tetapi secara umum nabi melarang umat Islam menulisnya. Nabi melarang menulis
hadis karena khawatir tercampur dengan al-Qur’an dan pada kesempatan lain ia
membolehkannya. Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan
seandainya Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin hadis dapat ditulis.
(a) hadis disampaikan tidak selalu di hadapan sahabat yang pandai menulis;
(b) perhatian Nabi dan para sahabat lebih tercurah pada al-Qur’an;
(c) meskipun Nabi mempunyai beberapa sekretaris, tetapi mereka hanya diberi tugas menulis
8
(d) sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal orang yang masih hidup
dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan peralatan yang sangat sederhana.
Menghadapi dua hadis yang tampak bertentangan di atas, ada beberapa pendapat berkenaan
1. Larangan menulis hadis terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin penulisannya
2. Larangan penulisan hadis itu ditujukan bagi orang yang kuat hafalannya dan tidak
dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Alquran.
Izin menulis hadis diberikan kepada orang yang pandai menulis dan tidak
3. Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai menulis dikhawatirkan
tulisannya keliru, sementara orang yang pandai menulis tidak dilarang menulis hadis;
4. Larangan menulis hadis dicabut (di-mansukh) oleh izin menulis hadis, karena tidak
5. Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis hadis bersifat khusus keapada
para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan catatan hadis dan catatan al-
Qur’an;
6. Larangan ditujukan untuk kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan untuk sekadar
7. Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat. Adapun
ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan dicatat, maka penulisan hadis diizinkan.
9
Ada sebagian sahabat yang memiliki catatan yang disebut dengan shâhifah untuk
mencatat sebagian hadis yang terima dari Nabi. Di antara sahabat yang memiliki catatan
hadis dari Nabi adalah ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash, dengan catatannya yang dberi nama
al-Shâdiqah. Beberapa sahabat yang juga mempunyai catatan hadis adalah ‘Ali ibn Abi
Thalib (w. 40 H/611 M), Sumrah ibn Jundab (w. 60 H/680 M), ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn
al-‘Ash (w. 65 H/685 M), ‘Abd Allah ibn ‘Abbas (w. 69 H/689 M), Jabir ibn ‘Abd Allah al-
Anshari (w. 78 H/697 M), dan ‘Abd Allah ibn abi Awfa’ (w. 86 H).
Catatan-catatan hadis ini di samping merupakan dokumen bahwa pada masa Nabi telah
terjadi aktivitas penulisan hadis juga dapat digunakan sebagai sarana untuk periwayatan hadis
secara tertulis. Meskipun jarang, periwayatan hadis secara tertulis pada masa ini juga pernah
dilakukan. Kebanyakan penyebaran hadis oleh para sahabat dilakukan secara lisan.
Para sahabat yang merupakan periwayat pertama hadis, memegang hadis dengan hati-
hati dan membatasi periwayatannya. Mereka menyadari bahwa hadis merupakan sumber
ajaran Islam setelah al-Qur'an dan harus tetap terpelihara dari kekeliruan sebagaimana halnya
al-Qur'an. Para sahabat berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis agar tidak
terjadi kesalahan dengan cara tidak meriwayatkannya kecuali saat-saat dibutuhkan melalui
penelitian yang mendalam. Khalifah pertama, Abu Bakar al-Shiddiq, mengambil kebijakan
memperketat periwayatan hadis dengan maksud agar hadis tidak disalahgunakan oleh kaum
munafik dan untuk menghindari kesalahan dan kelalaian sebagai akibat memperbanyak
periwayatan hadis yang berujung pada kebohongan mengenai hadis yang mereka riwayatkan
dari Nabi.
Dalam sejarah disebutkan, sebagaimana disepakati ulama hadis, bahwa telah terjadi
pemalsuan hadis (wadh’ al-hadîts) pada masa Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H/661 M), khalifah
10
yang keempat. Kemunculan hadis palsu - (mawdhû’) yang pertama kalinya disebabkan oleh
faktor politik, suatu upaya untuk menjustifikasi kekuatan sekte tertentu agar mendapat
legitimasi di kalangan umat Islam saat itu – menambah persoalan yang menyangkut
autentisitas hadis Nabi. Menurut Musthafa al-Siba’i, pihak yang pertama kali membuat hadis
palsu adalah orang-orang Syi’ah, ketika mereka merasa yakin bahwa ‘Ali dan keturunannya
yang paling berhak memegang jabatan khilâfah. Sejak itu, mereka mulai membuat hadis
palsu berkenaan dengan keutamaan ‘Ali dan keluarganya yang kemudian didengar oleh
sebagian ahl al-Sunnah wa al-jamâ’ah dan merekapun membuat hadis palsu sebagai
tandingan yang berisi keutamaan Abu Bakar, ‘Umar ibn alkhathab, serta Muawiyah. Karena
Irak merupakan pusat Syi’ah, maka ulama hadis menilai bahwa negeri itulah yang menjadi
Bukti hadis yang mereka buat antara lain hadis yang mendeskreditkan Muawiyah dan
menyanjung ‘Ali beserta pengikutnya. Mereka juga membuat hadis-hadis palsu yang mencela
para sahabat khususnya Abu Bakar, ‘Umar ibn al-khathab, dan sahabat-sahabat lain. Kaum
Syi’ah yang banyak membuat hadis palsu adalah kelompok al –Râfidhah yang meneurut Ibn
Taymiyah seperti dikutip ‘Ajjaj al-Khathib, pada masa ‘Ali berkuasa di Kufah sudah ada.
Mereka beranggapan bahwa berdusta untuk kebaikan diperbolehkan. John Burton, Seorang
orientalis, menyatakan: “One of the leaders of the Shi’a was suspected of fabrication” Salah
Sebagaimana para sahabat besar, para sahabat kecil dan tâbi’in juga cukup berhati-
hati dalam periwayatan hadis. Cara-cara yang dtempuh di samping yang dilakukan oleh para
sahabat besar juga berbagai cara yang sesuai dengan hati nurani mereka dalam rangka
menyampaikan hadis pada generasi berikutnya secara benar dan tidak keliru. Hanya saja,
11
beban mereka tidak terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para sahabat. Pada
masa ini, al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi
mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafâ’ al-Râsyidûn (masa
khalifah ‘Utsman bin ‘Affan) para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah
kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tâbi’in untuk mempelajari hadis-hadis
dari mereka. Kondisi ini juga berimplikasi pada tersebarnya hadis ke berbagai wilayah Islam.
Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (‘ashr intisyâr
alriwâyah), yaitu masa di mana hadis tidak lagi hanya terpusat di Madinah tetapi sudah
Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas. Banyak sahabat ataupun tâbi’in
yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, di samping banyak pula
yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai
dengan membawa perbendaharaan hadis yang ada pada mereka, sehingga hadis-hadis
1. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Aisyah, Abu Hurayrah, Ibn “Umar,
Abu Sa’id al-Khudzri, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tâbi’in: Sa’id ibn Musayyib,
2. Mekkah, dengan tokoh hadis dari kalangan sahabat: Ibn ‘Abbas, ‘Abd Allah ibn
Sa’id, dan lain-lain. Dari kalangan tâbi’in, tokoh hadis antara lain: Mujahid ibn Jabr,
‘Ikrimah Mawla ibn ‘Abbas, ‘ Atha ibn Abi Rabah, dan lain-lain
3. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi
Waqqas dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tâbi’in: Masruq ibn al-Ajda’,
12
4. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Utbah ibn Gahzwan, ‘Imran ibn
Husayn, dan lain-lain. Dari kalangan tâbi’in dikenal tokoh: al-Hasan al-Basri, Abu
5. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’,
‘Ubbadah ibn Shamit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tâbi’in: Abu Idris, Qabishah
6. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Amr ibn al-‘Ash, ‘Uqbah
ibn Amir, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tâbi’in: Yazid ibn Abi Hubayb, Abu
Hadis-hadis yang diterima oleh para tâbi’in ini ada yang dalam bentuk catatan-catatan
atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus di hafal, di samping dalam bentuk-bentuk yang
sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka
ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer
atau terlupakan. Sungguhpun demikian, pada masa pasca-sahabat besar ini muncul kekeliruan
periwayatan hadis ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah. Periwayatan tidak semata
menyangkut hadis-hadis yang berasal dari Nabi (marfû’), tetapi hadis yang bersumber dari
sahabat (mawqûf) dan tâbi’in (maqthû’) bahkan pernyataan beberapa ahli kitab yang telah
masuk Islam yang mereka sadur dari pernyataan Bani Israil atau shuhûf mereka sebagai
bahan komparasi setelah mereka masuk Islam. Dari sekian pernyataan yang memiliki
beragam sumber ini, tidak mustahil menimbulkan salah kutip; perkataan sahabat dinyatakan
sebagai hadis Nabi, atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabda Nabi. Faktor-faktor
penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain: pertama, periwayat
hadis sebagaimana manusia lain tidak terlepas dari unsur kekeliruan. Kedua, terbatasnya
penulisan dan kodifikasi hadis. Sejak masa Rasulullah memang ada beberapa sahabat yang
menulis hadis baik atas dasar izin Nabi atau ditulis para amir atau para pegawai, tetapi usaha
13
penulisan belum merupakan hal biasa, bahkan umumnya para periwayat mengandalkan
hafalan. Ketiga, terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sebagian besar
sahabat dan tâbi’in tebukti dengan adanya hadis atau kisah yang sama tetapi memiliki redaksi
yang beragam.
Di samping kekeliruan di atas, pada masa ini sudah mulai banyak bermunculan hadis
palsu. Pemalsuan hadis yang dimulai sejak masa ‘Ali ibn Abi Thalib terus berlanjut dan
semakin banyak, tidak menyangkut urusan politik tetapi masalah lain. Menghadapi terjadinya
kekeliruan dan pemalsuan hadis di atas, para ulama melakukan beberapa langkah yaitu:
Pertama, melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai hadis atau para periwayatnya.
Kedua, hanya menerima riwayat hadis dari periwayat yang tsiqah saja. Ketiga, mensyaratkan
tidak adanya syâdz yang berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang
lebih tsiqah. Keempat, untuk mengidentifikasi hadis palsu, mereka meneliti sanad dan rijâl al-
Hadîts dan bertanya kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.
Pada masa ini terjadi kegiatan kodifikasi hadis. Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan
Islam dipimpin oleh khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (99- 101 H), (khalifah ke delapan Bani
Umayah), melalui instruksinya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm
(gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis
dari para penghafalnya. Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn
Hazm (w. 117 H) agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada ‘Amrah binti ‘Abd al-
Rahman al-Anshari, murid kepercayaan ‘Aisyah, dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr
(w.107 H). Instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab al-Zuhri (w.
14
124 H), yang dinilai sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis daripada yang
lainnya. Dari para ulama inilah, kodifikasi hadis secara resmi awalnya dilakukan.
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi kodifikasi hadis pada masa ‘Umar ibn
‘Abd al-‘Aziz tersebut. Menurut Muhammad al-Zafzaf, kodifikasi hadis tersebut dilakukan
karena: Pertama, Para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis
akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak
menaruh perhatian terhadap hadis. Kedua, banyak berita yang diada-adakan oleh pelaku
bid’ah (al-mubtadi’) seperti khawarij, Rafidhah, Syi’ah, dan lain-lain yang berupa hadis-hadis
palsu. Periwayatan hadis pada masa ini, sebagaimana masa sebelumnya, banyak diwarnai
dengan hadis palsu dan bid’ah, yang berasal dari kalangan-kalangan Khawarij, Syi’ah, orang-
orang munafik, serta orang-orang Yahudi. Oleh karena itu, para periwayat hadis sangat hati-
Perintah ‘Umar tersebut di atas direspon positif oleh umat Islam, sehingga terkumpul
beberapa catatan-catatan hadis. Hasil catatan dan penghimpunan hadis berbeda-beda antara
ulama yang satu dengan yang lain. Abu Bakar ibn Hazm berhasil menghimpun hadis dalam
jumlah, yang menurut para ulama, kurang lengkap. Sedang ibn Syihab al-Zuhri berhasil
tidak ada yang sampai kepada kita. Ulama setelah al-Zuhri yang berhasil menyusun kitab
tadwîn yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, adalah Malik ibn Anas (93-179 H) di
Madinah, dengan hasil karyanya bernama al-Muwaththâ’, sebuah kitab yang selesai disusun
pada tahun 143 H dan merupakan kitab hasil kodifikasi yang pertama. Kitab ini di samping
berisi hadis marfû’, yaitu hadis yang disandarkan pada Nabi juga berisi pendapat para sahabat
(hadis mawqûf) dan pendapat para tâbi’in (hadis maqthû). Selain para ulama di atas, terdapat
15
Di antara mereka adalah Muhammad ibn Ishaq (w. 151 H) di Madinah, al-Rabi’ ibn
Shabih (w. 160 H) di Basrah, Hammad ibn Salamah (w. 176 H) di Bashrah, Sufyan al-Tsauri
Yaman, Ibn al-Mubarak (118-181 H) di Khurasan, Abd Allah ibn Wahab (125-197 H) di
Mesir, dan Jaringan ibn ‘Abd al-Hamid (110-188 H) di Rei. Kitab-kitab yang mereka tulis
kebanyakan tidak sampai pada generasi sekarang. Datanya ditemukan dalam berbagai kitab
Masa kodifikasi dilanjutkan dengan masa seleksi hadis. Yang dimaksud dengan masa seleksi
atau penyaringan di sini, ialah masa upaya para mudawwin hadis yang melakukan seleksi
secara ketat, sebagai kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil
melahirkan suatu kitab tadwîn. Masa ini dimulai sekitar akhir abad II atau awal abad III, atau
ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani ‘Abbasiyah, khususnya sejak masa al-
Makmun sampai dengan akhir abad III atau awal abad IV, masa al-Muktadir. Munculnya
periode seleksi ini, sebagaimana lebih dijelaskan, karena pada periode tadwîn belum berhasil
dipisahkan beberapa hadis yang berasal dari sahabat (mawqûf) dan dari tâbi’in (maqthû) dari
hadis yang berasal dari Nabi (marfû’). Begitu pula belum bisa dipisahkan beberapa hadis
yang dha’if dari yang sahih. Bahkan masih adanya hadis yang mawdhû’ (palsu) tercampur
pada hadis-hadis sahih. Masa ini disebut dengan ‘ashr al tajrîd wa al-tashhîh wa al-tanqîh
Dilihat dari sisi poltik, Daulah Bani ‘Abbasiyah yang terpusat di Baghdad pada masa ini
mengalami kemunduran. Banyak wilayah yang membebaskan diri hingga terbentuk dinasti-
dinasti kecil, sehingga kekuatan umat Islam menjadi lemah. Akan tetapi, walaupun dari segi
politik lemah, gerakan keilmuan tetap berjalan sebagaimana masa-masa sebelumnya. Para
16
ulama melakukan perjalanan (al-rihlah) dari satu daerah ke daerah lain dalam rangka mencari
dan menyebarkan ilmu yang mereka miliki. Mereka saling bertemu dan saling menerima
periwayatan hadis. Kemudian, hadis yang mereka terima di-tashhih-kan kepada para ulama
yang kompeten. Kitab-kitab hadis yang disusun pada masa ini sangat banyak. Di antaranya
adalah Shahîh al-Bukhârî karya Imam al-Bukhari, Shahîh Muslim karya Imam Muslim,
beberapa kitab al-sunan antara lain, Sunan Abî Dâwud karya Abu Dawud al-Sijistani (w. 275
H), Sunan al-Tirmidzî oleh al-Tirmidzi (w. 279 H), Sunan al-Nasâ’î karya al-Nasa’i (w. 303
H), Sunan Ibn Mâjah oleh Ibn Majah (w. 273 H), Sunan al-Dârimî karya al-Darimi (w. 255
H), dan Sunan Sa’îd ibn al-Manshûr oleh Sa’id ibn al-Manshur (w. 227 H).
Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang
diterimanya. Mereka berhasil memisahkan hadis-hadis yang dha’if dari yang sahih dan hadis-
hadis yang mawqûf dan yang maqthû dari yang marfû’, meskipun berdasarkan penelitiaan
para ulama berikutnya masih ditemukan tersisipkannya hadis-hadis yang dha’if pada kitab-
kitab sahih. Pada masa ini tidak seorangpun ulama yang membukukan hadis dengan menukil
dari kitab lain. Mereka membukukan hadis berdasarkan hadis-hadis yang diterima dari para
periwayat. Selain menyusun kitab-kitab hadis, mereka juga menyusun kitab-kitab yang berisi
teori-teori untuk mentashih hadis. Para ulama antusias menulis ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan hadis, ada yang mengarang kitab tentang sejarah para periwayat, illat hadis, dan lain-
lain. Secara umum, abad ketiga Hijriah ini merupakan masa keemasan dalam peradaban
Islam.
penyusunan kitab-kitab hadis. Masa ini disebut dengan ‘ashr al-tahdzîb wa al-taqrîb wa al-
17
istidrâk wa al-jâm’i (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan).
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan
beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat
dari munculnya al-Kutub al-Sittah, al-Muwaththâ’ karya Malik ibn Anas dan al-Musnad
karya Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian mereka untuk menyusun kitab-
kitab yang berisi pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis.
Di antara kitab yang disusun pada periode ini adalah kitab almustakhraj, yaitu kitab
hadis yang disusun berdasarkan penulisan kembali hadis-hadis yang terdapat dalam kitab lain
kemudian penulisan kitab itu mencantumkan sanad dari dirinya sendiri. Misalnya, kitab
Mustakhraj Shahîh Muslim antara lain al-Mustakhraj karya Abu ‘Awanah al-Asfarayani (w.
316 H), al-Mustakhraj karya al-Humayri (w. 311 H), dan al-Mustakhraj oleh Abu Hamid al-
Harawi (w. 355 H). Demikian pula kitab-kitab almustadrâk, yaitu kitab yang sebagian
hadisnya disusun dengan menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab
Namun, dalam menulis hadis-hadis susulan itu, penulis kitab mengikuti persyaratan
periwayatan hadis yang dipakai oleh kitab yang lain tersebut. Misalnya al-Hakim al-
Nassaburi (w. 405 H), penulis kitab al-Mustadrâk ‘alâ al-Sha-hîhayn yang berisi hadis-hadis
yang dinilainya sahih yang tidak termuat dalam kitab Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim.
Kitab-kitab al-zawâid juga termasuk salah satu kitab kategori ini, yaitu kitab yang disusun
dengan menghimpun hadis-hadis tambahan dalam suatu kitab yang tidak terdapat dalam
kitab-kitab lainnya. Misalnya kitab Misbâh al-Zujâjah fî Zawâid Ibn Mâjah karya al-Busayri
(w. 840H) yang mengandung hadis-hadis yang hanya ditulis oleh Ibn Majah (w. 273 H)
dalam kitab Sunan-nya, tetapi tidak terdapat dalam lima kitab hadis yang lain, yaitu Shahîh
al-Bukhârî, Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Tirmidzî, dan Sunan al-Nasâ’î.
18
Secara politis, masa ini hampir sama dengan masa sebelumnya. Namun, kekuatan-
kekuatan dari luar Islam sudah mulai menggeliat. Hal ini dibuktikan dengan dikuasainya Bayt
al-Maqdis di Yerussalem oleh tentara Salib dan puncaknya Baghdad runtuh oleh serangan
Jengis Khan.
Masa ini disebut dengan : ‘ashr al-syarh wa al-jâm’i wa al-takhrîj wa albahts (masa
masa ini berkenaan dengan upaya mensyarah kitab-kitab hadis yang sudah ada, menghimpun
dan mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab-kitab yang sudah ada, mentakhrij hadis-hadis
dalam kitab tertentu, dan membahas kandungan kitab-kitab hadis. Di antara usaha itu,
misalnya, pengumpulan isi kitab yang enam, seperti yang dilakukan oleh ‘Abd al-Haq ibn
Abd al-Rahman al-Asybili (terkenal dengan ibn al-Kharrat (w. 583 H), al-Fayir al Zabadi,
dan Ibn al-Atsir alJaziri. Juga penyusunan kitab-kitab hadis mengenai hukum, di antaranya
oleh al-Daruquthni, al-Bayhaqi, Ibn Daqiq al-‘Id, Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan Qudamah al-
Maqdisi.
Masa ini terbentang cukup panjang, dari mulai abad keempat Hijriah terus berlangsung
beberapa abad berikutnya. Dengan demikian, masa perkembangan ini melewati dua fase
sejarah perkembangan Islam, yakni fase pertengahan dan fase modern. Pada masa yang
disebut terakhir, muncul penulis hadis seperti al-Laknawi, al-Qasimi, dan al-Albani serta
ulama lain yang menghimpun hadis-hadis berdasar kualitas atau topik tertentu.
Dr. Zarkasih, M. Ag. (2012). Pengantar Studi Hadis. Yogyakarta: Aswaja Pressindo
19
Etimologi. Istilah “Madrasah Hadis (al-madrasah al-ḥadīṡiyyah)” adalah istilah yang
muncul belakangan dalam disiplin hadis; dipopulerkan oleh ulama-ulama kontemporer. Para
ulama menggunakan istilah madrasah untuk merujuk gerakan keilmuan (al-ḥarakah al-
„illmiyyah) yang dinisbahkan kepada (penduduk) daerah tertentu, seperti Madinah, Makkah,
Kufah, dan yang lainnya. Demikian makna kata madrasah hadis yang akan kita dapati dalam
kitab-kitab hadis, kitab-kitab al-„ilal, serta dalam ungkapan dan karya-karya para ulama
klasik.
Secara bahasa, kata madrasah (املدرسة adalah derivasi dari kata darasa-
akan menemukan keterangan tentang kata darasa beserta seluruh derivasinya yang secara
jelas dan tegas merujuk makna gerakan keilmuan (al-ḥarakah al-„illmiyyah) sebagaimana
yang disinggung di muka. Justru kita akan mendapati bahwa kata ini makna asalnya adalah
Ibn Fāris (395 H) dalam Mu‟jam Maqāyīs al-Luġah menjelaskan, bahwa gabungan huruf al-
dāl, al-rā‟, dan al-sīn makna asalnya adalah “tersembunyi (alkhafā‟),” “rendah (al-khafḍ),”
Kata al-dars maknanya adalah “jalan rahasia.” Ungkapan darasa al-manzil maknanya
adalah “tempat tinggal runtuh.” Kata al-darīs maknanya adalah “pakaian usang.” Ungkapan
darasat al-mar‟ah maknanya adalah “wanita itu haid.” Jika digunakan untuk gandum, darastu
al-ḥanṭah, atau yang lainnya, maknanya adalah “menebah (menggugurkan biji-biji dari
tangkainya).”
adalah “menguasai kitab tersebut dengan banyak membaca sampai ringan menghafalnya
20
pendapatnya ini dengan mengutip penjelasan al-Zamakhsyarī, bahwa ungkapan
Dalam al-Mu‟jam al-Wasīṭ, ditemukan makna yang lebih dekat pada makna istilah
yang tengah kita bahas. Bahwa kata madrasah maknanya adalah “tempat belajar mengajar
(maka al-dars wa al-ta‟līm),” dimaknai pula “sekelompok filsuf, pemikir, atau peneliti yang
menganut mazhab tertentu atau memegang pendapat yang sama (jama‟āh min al-mufakkirīn
musytarik).” Makna ini ditetapkan juga oleh Majma‟ alLuġah al-„Arabiyyah di Mesir.
Ada juga definisi yang dikemukakan oleh Muḥammad al-Zuhair, bahwa Madrasah
Hadis adalah “Komunitas rawi dan ahli hadis dengan karakteristik yang sama antar satu
anggota dengan yang lainnya, terkait media-media penyampaian dan pemeliharaan hadis,
baik riwāyah maupun dirāyah, tanpa memandang pada waktu dan tempat.
yang khusus mempelajari ilmu Hadis atau ilmu tentang hadis Nabi Muhammad. Fokus
pengkajian di madrasah-madrasah Hadis terutama berkaitan dengan ilmu Hadis, yaitu disiplin
ilmu yang mempelajari tentang asal-usul, jalur pengajaran, kritik, dan keabsahan hadis-hadis
1. Rijal al-Hadis: Mempelajari biografi para perawi hadis, termasuk meneliti kejujuran,
meneliti isnad (rantai perawi) hadis dan memeriksa matan (teks) hadis.
21
3. Ilmu Mustalah al-Hadis: Mempelajari kaidah-kaidah dan metodologi dalam
Dr. Zarkasih, M. Ag. (2012). Pengantar Studi Hadis. Yogyakarta: Aswaja Pressindo
Hadis, yaitu kajian tentang sanad (rantai perawi) dan matan (isi teks) Hadis, yang meliputi
metodologi, terminologi, kritik, dan aplikasi Hadis. Ahli Hadis bertanggung jawab untuk
memahami, menafsirkan, dan mengevaluasi keabsahan Hadis yang terdapat dalam literatur
Islam.
Para ahli Hadis yang dihasilkan oleh madrasah Hadis memiliki kemampuan untuk memeriksa
keaslian sanad Hadis, menentukan kualitas perawi, dan memeriksa kecocokan matan dengan
prinsip-prinsip Islam. Mereka juga mampu untuk memberikan fatwa (pendapat hukum)
berdasarkan Hadis, serta dapat memberikan nasihat dan pandangan terkait pemahaman Hadis
yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, peran para ahli Hadis yang
dihasilkan oleh madrasah Hadis sangat penting dalam mengembangkan ilmu Hadis dan
Beberapa contoh Ahli Hadis yang dihasilkan oleh madrasah Hadis antara lain:
22
1. Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab - Ia adalah lulusan Madrasah al-Maarif al-Islamiyyah
di Jakarta dan juga pernah mengajar di sana. Ia dikenal sebagai seorang ulama dan
ahli Hadis Indonesia yang terkemuka, serta memiliki banyak karya dan kontribusi
2. Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin - Ia juga merupakan lulusan Madrasah al-Maarif al-
Islamiyyah dan pernah menjadi pengajar di sana. Selain sebagai seorang ulama dan
ahli Hadis, ia juga merupakan tokoh nasional Indonesia yang dikenal luas.
Mesir. Ia dikenal sebagai seorang ulama dan cendekiawan Islam yang terkemuka,
serta memiliki banyak karya dan kontribusi dalam bidang ilmu Hadis.
4. Dr. KH. Abdullah Gymnastiar - Ia juga merupakan lulusan Madrasah al-Maarif al-
Islamiyyah. Selain sebagai pendakwah, ia juga dikenal sebagai seorang ahli Hadis
Islamiyyah dan saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Ia juga dikenal sebagai seorang ahli Hadis yang terkemuka di Indonesia.
Al-Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Hadist / Volume 5, No.2. Juni 2022 / p-ISSN:
23
DAFTAR PUSTAKA
PENUTUP
.1 KESIMPULAN
Dalam Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis Nabi dapat diklasifikasikan dalam
beberapa periode. T. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy membaginya menjadi tujuh priode,
yaitu:
Madrasah Hadis adalah “Komunitas rawi dan ahli hadis dengan karakteristik yang sama antar
satu anggota dengan yang lainnya, terkait media-media penyampaian dan pemeliharaan hadis,
baik riwāyah maupun dirāyah, tanpa memandang pada waktu dan tempat.
Ahli Hadis adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu Hadis, yaitu
kajian tentang sanad (rantai perawi) dan matan (isi teks) Hadis, yang meliputi metodologi,
terminologi, kritik, dan aplikasi Hadis. Ahli Hadis bertanggung jawab untuk memahami,
menafsirkan, dan mengevaluasi keabsahan Hadis yang terdapat dalam literatur Islam
24
.2 SARAN
Dengan selesainya makalah ini kami sadar bawasanya makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi materi
pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik
yang membangun dari pembaca agar dikemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih
baik lagi. Harapan kami semoga dengan ada nya kami dan makalah ini dapat menambah
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Zarkasih, M. Ag. (2012). Pengantar Studi Hadis. Yogyakarta: Aswaja Pressindo
Al-Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Hadist / Volume 5, No.2. Juni 2022 / p-ISSN: 2615-
25