Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ULUMUL HADIST

Sejarah Kondifikasi Perkembangan Hadist

Oleh :

1. ZUYA LEURENZA SIAGIAN 2140100084


2. RAIHAN IBRAHIM SIREGAR 2140100086

DOSEN PENGAMPU : SYUAIB NASUTION, M.H

PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SYEIKH ALI HASAN AHMAD ADDARY

PADANG SIDEMPUAN

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan petunjuk dan hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat merampungkan
penulisan makalah ulumul hadist ini.

Umulul hadist (ilmu hadist) adalah salah satu bidang yang penting didalam islam,
yang sangat diperlukan dalam mengenal dan memahami hadist-hadist Nabi SAW. Hadist
adalah sumber ajaran dan hukum islam kedua, setelah dan berdampingan dengan Al-Quran.
Penerimaan hadist sebagai sumber ajaran dan hukum islam adalah merupakan realisasi dan
iman kepada Rasul SAW dan dua kalimat syahadat yang diikrarkan oleh setiap muslim,
selain karena fungsi dari hadist itu sendiri, yaitu sebagai penjelas dan penafsir terhadap ayat-
ayat Al-Quran yang bersifat umum.

Penulis menyadari berbagai kelemahan, kekurangan, dan keterbatasan yang ada


sehingga tetap terbuka kemungkinan terjadinya kekeliruan dan kekurangan disana sini dalam
penulisan dan penyajian materi makalah ini. Oleh karena itu dengan tangan terbuka, seraya
terlebih dahulu menyampaikan penghargaan dan terimakasih, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang konstruktif dari para pembaca.

Akhirnya, kepada Allah jugalah penulis menyerahkan diri serta memohon taufik dan
hidah-Nya, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, Amiin.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................1

A. Latar Belakang .........................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................................1
C. Tujuan .......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................2

A. Pada Masa Rasulullah SAW ...................................................................................2


B. Pada Masa Sahabat..................................................................................................6
C. Pada Masa Tabi’in ...................................................................................................8
D. Pada Masa Tabi’ Tabi’in ........................................................................................10
E. Metode Pembukuan Hadits.....................................................................................10

BAB III PENUTUP ..............................................................................................................14

KESIMPULAN ....................................................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hadist merupakan salah satu pedoman umat islam dalam menjalankan agama
Islam disamping Al-Quran. Maka dari itu, menjaga kemurnian hadist agar tetap
menjadi sumber ajaran islam yang mampu membawa pada kemaslahatan menjadi
tanggung jawab umat islam, terutama dari kalangan intelektual islam. Salah satu
persoalan dalam studi hadist yang senantiasa menjadi perdebatan yang cukup hangat
dan menyita banyak energi di kalangan para sarjana keislaman, khususnya bagi
mereka yang menaruh minat yang sangat tinggi pada bidang keilmuan hadist. Masalah
kodifikasi apabila ditinjau dari sejarahnya cukup memiliki berbagai macam persoalan
didalamnya, mulai dari munculnya kepentingan aliran, wafatnya para penghafal
hadist, hingga banyaknya hadis yang tercampur dengan pendapat para sahabat serta
tabi‟in, serta hal yang tak kalah pentingnya dibicarakan adalah kerangka metodologis
kodifikasi (tadwin) hadis itu sendiri. Kajian seputar metodologis dalam kodifikasi
tersebut tentunya akan mengungkap data penting tentang bagaimana proses historis
tadwin hadis dibangun diatas landasan dan dasar-dasar metodologis yang kokoh.
Berbagai macam persoalan kodifikasi tersebut tentunya perlu diluruskan untuk
kepentingan kemaslahatan bersama, khususnya umat islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pada masa Nabi SAW?
2. Bagaimana pada masa sahabat?
3. Bagaimana pada masa Tabiin?
4. Bagaimana pada masa Tabi‟ Tabiin?
5. Apa Metode pembukuan Hadist?

C. Tujuan
1. Mengetahui pada masa Nabi Muhammad SAW
2. Mengetahui pada masa sahabat
3. Mengetahui pada masa Tabiin
4. Mengetahui pada masa Tabi‟ Tabiin
5. Mengetahui metode pembukuan hadis

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pada Masa Nabi SAW


Rasul SAW membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan purun
waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadis. Keadaan ini sangat
menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya melalui perkataan (aqwal), perbuatan
(af‟al) dan penetapan (taqrir) Nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan
oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasul SAW
merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karna dia memiliki sifat
kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT ysng berbeda dengan manusia
laiinya.

A. Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadis


Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa
lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari
Rasul SAW sebagai sumber hadis. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak
atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Allah menurunkan Al-Quran dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai
utusannya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang
disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah berfirman dalam menggambarkan
kondisi utusannya tersebut.
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS Al-
Najm (53): 3-4)
Kedudukan nabi yang demikian ini otmatis menjadikan semua perkataan,
perbuatan dan taqrir nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak
menyia-nyiakan keberadaan rasulullah ini. Mereka sacra proaktif berguru dan
bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik
dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya,
bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar keberagamaannya dapat
mencapai tingkat kesempurnaan.

2
Oleh Karena itu, tempat-tempat pertemuan diantara kedua belah pihak
sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan Rasul
SAW cukup bervariasi, seperti di masjid, rumah nya sendiri, ketika dalam perjalanan,
(safar) dan ketika muqim (berada dirumah).
Melalui tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampaikan hadis,yang
terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar para sahabat (melalui
musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya
oleh mereka (melalui musyahadah).
Menurut riwayat Bukhari, ibnu mas‟ud pernah bercerita bahwa untuk tidak
melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul SAW menyampaikan hadisnya
dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti
pengajiannya.
Ada beberapa cara Rasul SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat,
yaitu:
Pertama, melalui para jama‟ah pada pusat pembinaanya yang disebut majilis
al-ilmi. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang menerima hadis,
sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti
kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAW.
Para sahabat begitu antusias untuk tetap bisa mengikuti kegiatan di majelis ini,
ini ditunjukkannya dengan banyak upaya. Terkadang diantara mereka bergantian
hadir, seperti yang dilakukan oleh Umar Ibn Khattab. Ia sewaktu-waktu bergantian
hadir dengan Ibn Zaid (dari bani ummayyah) untuk menghadiri majelis ini, ketika ia
berhalangan hadir. Ia berkata; kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari
lainnya ia yang pergi, demikian aku melakukannya.” Terkadang kepala-kepala suku
yang jauh dari madinah mengirim utusannya kemajelis ini, untuk kemudian
mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan hadisnnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal
ini karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis, para sahbat yang hadir hanya
beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW sendiri atau secara
kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu
orang saja, seperti hadis- hadis yang ditulis Abdullah ibn Amr ibn Al-ash.
Untuk hal-hal yang sensitive, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan
kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikan
3
melalui istri-istrinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan
dengan soal diatas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, seringkali ditanyakan
melalui istri-istrinya.
Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasul SAW adalah melalui ceramah atau
pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada‟ dan futuh Makkah.

1). Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis

Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak
menerima hadis dari Rasul SAW dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu antara
lain:
a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-mula
masuk islam), seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Ustman Bin Affan dan Ali
Bin Abi Thalib dan Ibn Mas‟ud. Mereka banyak menerima hadist dari Rasul
SAW, karena awal masuk Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
b. Ummahat Al-Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu
Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul SAW daripada sahabat-
sahabat lainnya hadis-hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal-
soal keluarga dan pergaulan suami istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga menuliskan
hadis-hadis yang diterimanya, seperti Abdullah Amr ibn Al-„Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul SAW akan tetapi banyak
bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu
Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak
bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari
wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah
ibn Abbas.

2). Menghafal Dan Menulis Hadist

a. Menghafal Hadist
Terhadap hadist Rasul SAW hanya menyuruh menghafalnya dan melarang
menulisnya secara resmi. Maka segala hadist yang diterima dari Rasul SAW oleh
para sahabat diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat

4
khawatir dengan ancaman Rasul SAW untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa
yang diterimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat
dalam kegiatan menghafal hadis. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan
budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak praislam dan mereka terkenal
kuat hafalannya, kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui
hafalannya, ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka
yang meghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.
b. Menulis Hadis
Di balik larangan Rasul SAW. Seperti pada hadis Abu Sa‟id Al-Khudri diatas,
ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan
melakukan penulisan terhadap hadis dan memiliki catatan-catatnnya, ialah:
1. Abdullah ibn Amr Al-Ash. Ia memiliki catatan hadis yang menurut
pengakuannya dibenarkan oleh Rasul SAW, sehingga diberinya nama al-
sahifah al-shadiqah. Menurut suatu riwayat diceritakan, bahwa orang-
orang quraisy mengeritik sikap Abdullah ibn Amr, karena sikapnya yang
selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW. Mereka berkata: “Engkau
tuliskan apa saja yang datang dari rasul itu manusia, yang bisa saja bicara
dalam keadaan marah”. Kritikannya ini disampaikannya kepada Rasul dan
Rasul menjawabnya dengan mengatakan: “Tulislah! Demi zat yang diriku
berada ditangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang
benar”. (HR Bukhari)
Hadis-hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadis,
yang menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasul SAW ketika
mereka berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya.
2. Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w, 78 H.). Ia memiliki catatan
hadis dari Rasul Saw tentang manasik Haji. Hadis-hadisnya kemudian
diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan Sahifah Jabir.
3. Abu Hurairah Al-Dausi (w, 59 H). Ia memiliki catatan hadis yang dikenal
dengan Al-Sahifah Al-Sahihah. Hasil karya nya ini diwariskan kepada
anaknta bernama Hammam.
4. Abu Syah (Umar ibn Sa‟ad Al-Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia
meminta kepada Rasul SAW dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika
pidato pada peristiwa futuh Mekkah sehubung dengan terjadinya
5
pembunuhan yang dilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza‟ah terhadap
salah seorang lelaki Bani Lais. Rasul SAW kemudian bersabda: “kalian
tuliskan untuk Abu Syah”.
Disamping nama diatas masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya,
yang juga mengaku memiliki catatan hadis dan dibenarkan Rasul SAW,
seperti Rafi‟I bin Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin Abi Thalib, dan Ibn
Mas‟ud.
c. Mempertemukan Dua Hadis yang Bertentangan
Dengan melihat dua kelompok hadis yang kelihatannya terjadi
kontradiksi,seperti pada hadis dari Abu Sa‟id Al-Khudri di satu pihak, dengan
hadis dari Abdullah ibn Amr ibn Al-„Ash, di pihak lain, yang masing-masing
didukung oleh hadis-hadis lainnya, mengundang perhatian para ulama untuk
menemukan penyelesaiannya. Diantara mereka ada yang mencoba dengan
menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan nasikh dan mansukh, dan ada
yang berusaha mengkompromikan keduanya, sehingga keduanya tetap digunakan
(ma‟mul).
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, larangan Rasul SAW menuliskan hadis
adalah khusus ketika al-Quran turun. Ini karena adanya kekhawatiran
tercampurnya maskah ayat al-Quran dengan hadis. Kemudian menurutnya
larangan itu dimaksudkan juga untuk tidak menuliskan al-Quran dalam satu suhuf.
Ini artinya, bahwa ketika wahyu tidak turun dan dituliskan bukan pada suhuf
untuk mencatat wahyu, adalah dibolehkan. Al-Nawawi dan Al-Suyuthi
memandang, bahwa larangan tersebut dimaksudkan bagu orang yang kuat
hafalannya, sehingga tidak ada kekhawatiran akan terjadinya lupa. Akan tetapi
bagi orang yang khawatir lupa atau kurang kuat ingatannya, dibolehkan
mencatatnya.1

B. Hadist Pada Masa Sahabat


Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya
masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan dan Ali
ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. masa ini
juga disebut dengan masa sahabat besar.

1
Dr.H.Munzier Suparta M.A Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2016) hlm 70-78

6
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran al-Quran, maka periwayatan hadis belum begitu
berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh
para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan
periwayatan ( al-tasabbut wa al-iqlal min al-riyawah).

1. Menjaga Pesaan Rasul SAW


Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW berpesan
kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada al-Quran dan hadis serta
mengajarkan kepada orang lain, sebagaimana sabdanya : “Telah aku
tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah
berpegang keduanya, yaitu kitab Allah (al-Quran) dan sunnahku (al-
Hadis)”. (HR. Malik) dan sabdanya pulak: “Sampaikanlah dariku walau
satu ayat/satu hadis”.
Pesan-pesan Rasul SAW sangat mendalam pengaruhnya kepada para
sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk
melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada
Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang
dicontohkannya.
2. Berhati-hati Dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada
usaha memelihara dan menyebarkan al-Qura. Ini terlihat bagaimana al-
Quran dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar ibn Khattab.
Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman ibn Affan, sehingga
melahirkan Mushaf Usmani. Satu disimpan di Madinah yang dinamai
mushaf al-imam, dan yang empat lagi masing-masing disimpan di
Makkah, Bashrah, Syiria dan Kufah. Sifat memusatkan perhatian terhadap
al-Quran tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian terhadap
hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang diterimanya dari Rasul
SAW secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam
meriwayatkannya mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.
Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha
secara resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti halnya al-
Quran. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau
7
kekhususan mereka (umat islam) dalam mempelajari al-Quran. Sebab lain
pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul SAW
sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan islam, dengan kesinukannya
masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi
seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap.
Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadis, dikalangan para
sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya
perselisihan soal lafadz, dan kesahisannya.
3. Periwayatan Hadis dengan Lazaf dan Makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis, yang ditunjukkan
oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti hadis-hadis
rasul tidak diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu hadis-hadis itu
diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup
masyarakat sehari-harinya seperti dalam permasalahan ibadah dan
muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat
pembawa hadis tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul
SAW. Pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti
yang disampaikan Rasul SAW.), dan kedua, dengan jalan periwayatan
maknawi (maknanya saja).

C. Hadist Pada Masa Tabi’in


Pada dasarnya periwayatkan yang dilakukan oleh kalangab Tabi‟in tidak
berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengikuti
jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi
mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Quran
sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh
para sahabat, pada masa Khulafa‟ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Usman
para sahabat ahli hadis menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Kepada
merekalah para tabi‟in mempelajari hadis.
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan islam
sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol,
disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya
perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah
8
tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya
periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar).
1. Pusat pusat Pembina Hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam meriwayatkan
hadis, sebagai tempat tujuan para tabi‟in dalam mencari hadis. Kota-kota
tersebut, ialah Madinah AL-Munawwar, Makkah AL-Mukarramah, kufah
,Basrah, syam, Mesir, Maghribi dan Andalus , yaman dan Khurusan. Dari
sejumlah para sahabat pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada
beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banyak antara lain Abu
Hurairah, Abdullah ibn, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas,
jabir ibn Abdillah Abi Sa‟id Al- khudri.
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena di sinilah Rasul
SAW menetap setelah hijrah. Di sini pula Rasul SAW membina
masyarakat Islam didalamnya terdiri atas Muhjirin, dan anshar dari
berbagai suku atau kabilah, di samping melindungi umat-umat non
muslim,seperti Yahudi. Para sahabat yang menetap disini, diantara
Khulaf‟a Al-Rasyidin, Abu Hurairah, siti, Aisyah, Abdullah ibn Umar dan
Abu Sa,id AL- Sa‟id ibn AL-Musyayyab,‟Utbah ibn mas‟ud dan salim ibn
Abdillah ibn umar.
2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya
perang Jamal dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali
ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut
dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok (Khawarij,
Syi‟ah, Mu‟awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam
ketiga kelompok tersebut).
Langsung atau tidak, dari pergolakan politik seperti diatas, cukup
memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh
yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadis-hadis
palsu (maudhu) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing
kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Adapun pengaruh yang berakibat positif, adalah lahirnya rencana dan
usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai

9
upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari
pergolakan politik tersebut.

D. Hadits Pada Masa Tabi’in


Tabi‟in adalah mereka yang bertemu dengan Sahabat nabi dalam
keadaanberiman dan meninggal dalam keadaan beriman.Wilayah kekuasaan
Islam sudah meluas. Sham, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan Spanyol. Hingga
beberapa Sahabathijrah ke wilayah tersebut demi mengemban tugas.
Pada masa inihingga akhir abad pertama, banyak di antara tabi‟in
yangmenentang penulisan hadith. Di antaranya: „Ubaydah bin „Amr al-Salmani
al-Muradi(72 H), Ibrahim bin Yazid al-Taymi (92 H), Jabir bin Zayd (93 H)
dan Ibrahim binYazid al-Nakha‟iy (96 H). Larangan penulisan tersebut karena :
a. Khawatir pendapatnya ditulis bersisian dengan hadith sehingga
tercampur.
b. Larangan tersebut hanya pribadi, sementara murid-muridnya dibiarkan
mencatat.
Sementara Metode Tabi‟in dalam Menjaga Sunnah Nabi Saw adalah
sebagaiberikut:
a. Menempuh metode yang sudah dilakukan para Sahabat.
b. Menerima riwayat dari orang yang kapasitasnya thiqah dan dabit.
c. Meminta sumpah dari periwayatnya saat mencari dukungan dari
perawi lain.
d. Melakukan rihlah untuk mengecek hadith dari pembawaaslinya

E. Metode Pembukuan Hadits


1. Metode Pertama: Metode Masanid
Al Masanid, jamak dari sanad, maksudnya: Buku-buku yang berisi
tentang kumpulan hadits setiap sahabat secara tersendiri, baik hadits shahih,
hasan, atau dhaif.Urutan nama-nama para sahabat di dalam musnad kadang
berdasarkan huruf hijaiyah atau alfabet sebagaimana dilakukan oleh banyak
ulama, dan ini paling mudah dipahami, kadang juga berdasarkan pada kabilah
dan suku, atau berdasarkan yang paling dahulu masuk Islam, atau berdasarkan
negara.Pada sebagian musnad kadang hanya terdapat kumpulan hadits salah

10
seorang sahabat saja, atau hadits sekelompok para sahabat seperti sepuluh
orang yang dijamin masuk surga.
Al Masanid yang dibuat oleh para ulama hadits jumlahnya banyak Al Kittani
dalam kitabnya Ar Risalah Al Mustathrafah menyebutkan jumlahnya sebanyak
82 musnad, kemudian berkata, “Musnad itu jumlahnya banyak selain yang
telah kami sebutkan.”
Musnad-musnad ini sebagaimana disebutkan sebelumnya tyidak hanya
berisi kumpulan hadits shahih saja, tetapi mencakup semua hadits shahih,
hasan dan dhaif, dan tidak beruritan berdasarkan bab-bab fikih, karena urutan
tersebut harus menggabungkan musnad setiap sahabat tanpa melihat objek
pembahasan riwayatnya. Hal ini akan mempersulit bagi orang yang ingin
mempelajarinya karena kesulitan mendapatkan hadits-hadits hukum fikih itu
sendiri, atau hadits-hadits tentang suatu permasalahan.
2. Metode Kedua: Al Ma‟ajim
Al Ma‟ajim adalah jamak dari muj‟am. Adapun menurut istilah para
ahli hadits adalah: Buku yang berisi kumpulan haidts-hadits yang berurutan
berdasarkan nama-nama sahabat, atau guru-guru penyusun, atau negeri, sesuai
dengan huruf hijaiyah.Adapun kitab-kitab muj‟am yang terkenal, antara lain:
a) Al Mu‟jam Al Kabir, karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad At
Thabarani (wafat 360 H) adalah berisi musnad-musnad para sahabat
yang disusun berdasarkan huruf mu‟jam (kamus), kecuali musnad Abu
Hurairah karena disendirikan dalam satu buku. Ada yang mengatakan:
Berisi 60.000 hadits. Ibnu Dihyah berkata bahwa dia adalah mu‟jam
terbesar di dunia. Jika mereka menyebut “Al Mu‟jam”, maka kitab
inilah yang dimaksud. Tapi jika kitab lain yang dimaksud maka ada
penjelasan dengan kata lain.
b) Al Mu‟jam A l Awsath, karya Abul Wasim Sulaiman bin Ahmad At
Thabarani, disusun berdasarkan nama-nama gurunya yang jumlahnya
sekitar 2000 orang. Ada yang mengatakan: di dalamnya terdapat
30.000 hadits.
c) Al Mu‟jam As Shaghir, karya At Thabarani juga, berisi 1000 orang
dari para gurunya, kebanyakan setiap satu hadits diriwayatkan dari satu
gurunya. Ada yang mengatakan: berisi 20000 hadits.

11
d) Mu‟jam Al Buldan, karya Abu Ya‟la Ahmad bin Ali Al Mushili (wafat
307 H).
e)
3. Metode Ketiga: Pengumpulan Hdits Berdasarkan Semua Bab Pembahasan
Agama, Seperti Kitab-kitab Al Jawami‟
Al Jawami‟ jamak dari jaami‟. Sedangkan jawami‟ dalam karya haidts
adalah apa yang disusun dan dibukukan oleh pengarangnya terhadap semua
pembahasan agama. Maka dalam kitan semodel ini, Anda akan menemukan
bab tentang iman (akidah), thaharah, ibadah, mumalat, pernikahan, sirah,
riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa, fitnah, dan lain sebagainya. Kitab-
kitab Jami‟ yang terkenal adalah:
a) Al Jami‟ Ash-Shahih, karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail Al Bukhari (wafat 256 H), orang yang pertama menyusun dan
membukukan hadits shahih, akan tetapi belum mencakup semuanya.
Kitab ini disusun berdasarkan urutan bab, diawali dengan kitab Bad‟u
Al Wahyu, dan Kitabul Iman. Kemudian dilanjutkan
dengan Kitabul Ilmi dan lainnya hingga berakhir Kitabut Tauhid.
Jumlah semuanya ada 97 kitab. Pada setiap kitab terbagi menjadi
beberapa bab, dan pada setiap bab terdapat sejumlah hadits.
b) Kitab Shahih Bukhari ini mendapat perhatian yang cukup besar dari
para ulama, di antaranya dengan membuat syarahnya, dan syarh yang
paling baik adalah kitab Fathul Bari bi Syarhi Shahihi Al
Bukhari, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat 852 H),
dan Umdatul Qari, karya Badrudin Al Aini (wafat 855 H),
dan Irsyadus Sari Ila Shahihi Al Bukhari, karya Al Qasthalani (wafat
922 H). Semuanya dicetak.
c) Al Jami‟ Ash-Shahih, karya Imam Abul Husain Muslim bin Hajjaj Al
Qusyairi An Naisaburi (wafat 261 H), berisi kumpulan riwayat hadits
yang shahih saja sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh Imam
Muslim, dimulai dengan Kitab Iman, kemudian Kitab Thaharah, Kitab
Haid, Kitab Shalat, dan dikahiri dengan Kitab Tafsir. Jumlah semuanya
ada 54 kitab. Setiap kitab meliupti beberapa bab, dan pada setiap bab
terdiri dari sejumlah hadits.Menurut para jumhur ulama hadits, Shahih
Muslim menempati peringkat kdeua setelah Shahih Bukhari.
12
Sedangkan menurut sebagian ulama wilayah Maghrib Shahih Muslim
lebih tinggi dari Shahih Bukhari.Shahih Muslim juga mendapat
penerimaan dan perhatian yang sangat besar oleh para ulama, di
antaranya dengan cara membuat syarh terhadap kitab tersebut. Di
antaranya kitab syarah yang terbaik adalah: “Al Minhaj fi Syarh
Shahih Muslim.”, karya Al Qadhi „Iyadh (Wafat 544 H), dan kitab “Ad
Dibaj „Ala Shahih Muslim bin Al Hajjaj” karya Imam Jalaludin
Abdurrahman bin Abu Bakar As Suyuthi (wafat 911 H), sudah dicetak.
d) “Al Jami Ash-Shahih” karya Imam Abu Isa Muhammad bin Isa At
Tirmidzi (wafat 279 H), merupakan kumpulan hadits shahih, hasan,
dan dhaif. Namun sebagian besar dijelaskan derajat hadits tersebut,
dengan urutan bab-bab berikut: bab Thaharah, bab Shalat, bab Witir,
bab Shalat Jumat, bab Shalat „Idain (Dua hari raya), bab Safar, bab
Zakat, bab Puasa, bab Haji, bab Jenazah, bab Nikah, bab Persusuan,
bab Talak dan Li’an, bab Jual-beli, hingga diakhiri dengan bab Al
Manaqib.

13
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Rasul SAW membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan purun
waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadis. Keadaan ini sangat
menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya melalui perkataan (aqwal), perbuatan
(af‟al) dan penetapan (taqrir) Nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan
oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasul SAW
merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karna dia memiliki sifat
kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT ysng berbeda dengan manusia
laiinya.

Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya


masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan dan Ali
ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. masa ini
juga disebut dengan masa sahabat besar.

Pada dasarnya periwayatkan yang dilakukan oleh kalangab Tabi‟in tidak


berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengikuti
jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi
mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Quran
sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh
para sahabat, pada masa Khulafa‟ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Usman
para sahabat ahli hadis menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Kepada
merekalah para tabi‟in mempelajari hadis.

14

Anda mungkin juga menyukai