Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“Sejarah Perkembangan Dan Penulisan Hadits”


Dibuat Guna Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Ulumul Hadits

Disusun oleh:

M. Rafli Surya Ardianzyah


22702332269

Syafi’i Ali
22702332267

Dosen Pengampu:
Nur Ikhlas, M.A

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SULTAN ABDURRAHMAN KEPULAUAN RIAU
TAHUN 2022/1444 H
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahiim
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. Karena berkat dan
rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Sejarah Perkembangan Dan Penulisan Hadis”. Shalawat serta salam tak lupa
kita sampaikan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW. Karena
beliaulah petunjuk dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang ini.
Penyusunan makalah ini di buat penulis dalam rangka memenuhi salah
satu tugas mata kuliah “Ulumul Hadis” di Program Studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam.
Sebagai penulis kami masih dalam proses pembelajaran jika pada saat
penyajian makalah ini jika banyak kekurangan dan kesalahan mohon
perhatiannya dan harap dimaklumi. Namun penulis berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi Penulis pada khususnya pembaca pada umumnya.
Sehingga sangat diharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian sebagai
bahan evaluasi penulis.
Demikian, besar harapan penulis agar makalah ini dapat menjadi bacaan
menarik bagi pembaca dan dapat bermanfaat. Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Bintan, 30 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................

B. Rumusan Masalah.............................................................................

C. Tujuan ..............................................................................................

BAB ll PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hadis............................................................

B. Hadis Pada Masa Khulafa’ Rasyidin.................................................

C. Hadis Pada Masa Tabi’in..................................................................

D. Penulisan Hadis.................................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................

B. Saran.....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah periwayatan hadis berbeda dengan sejarah periwayatan Al-
quran. Pernyataan Al-quran dari Nabi Muhammad Saw. kepada para
sahabat berlangusng secara umum. Para sahabat disamping ada yang
menghafalnya, ada juga yang mencatatnya, baik atas perintah dari Nabi
atau inisiatif sendiri. Periwayatan Al-quran dalam bentuk tertulis dan
penghimpunan seluruhnya secara resmi dilaksanakan pada masa khalifah
Utsman dengan tujuan untuk keseragaman bacaan.1
Periwayatan hadis berlangsung secara ahâd dan hanya sebagian
kecil saja yang berlangsung secara mutawâtir. 2 Sementara itu Nabi
memang pernah pula melarang para sahabat untuk menulis hadis. Nabi
pernah memerintahkan para sahabat untuk menghapus seluruh catatan
selain Al-quran. Namun dalam kesempatan lain Nabi pernah juga
menyuruh para sahabat agar menulis hadis. Nabi menyatakan bahwa apa
yang keluar dari lisannya adalah benar. Oleh karena itu, beliau tidak
keberatan bila hadis yang diucapkannya ditulis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah sebagaimana telah
disebutkan di atas, berikut ini dikemukakan rumusan masalah; yaitu:
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan hadis?
2. Bagaimana sejarah penulisan hadis?

C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan sejarah perkembangan hadis
2. Untuk mendeskripsikan sejarah penulisan hadis

1. Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabī, 1399 H), Juz 1, 58-63.
2. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), Cetakan Ke-2. hlm. 3.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hadis


Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang
telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan,
penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan
memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya
di zaman Nabi SAW. meneliti dan membina hadis, serta serta segala hal
yang memengaruhi hadis tersebut. Para ulama muhaditsin membagi
sejarah hadis dalam beberapa periode.3

1. Hadis Pada Masa Rasulullah SAW.


Hadis pada masa Nabi dikenal dengan Ashr al-Wahy wa al-
Takwin, yaitu masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat
Islam.4 Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian
para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang
diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui
perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa yang didengar,
dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi
amaliah dan ubudiah mereka.5
a. Kebijaksanaan Rasulullah SAW tentang Hadis
Ketika Rasulullah SAW masih hidup, sikap dan
kebijaksanaan beliau tentang hadits ialah sebagai berikut:
1) Rasulullah SAW memerintahkan kepada para
sahabatnya untuk menghafal, menyampaikan dan
menyebarkan hadits-hadits. Dalil yang
menunjukkan perintah ini yaitu:
“Dan ceritakanlah daripadaku. Tidak ada
keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang
3. Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. Ulumul Hadis. Bandung:Pustaka Setia. 2008. hlm. 33

4. Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), 31.

5. Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm 70-71.
kamu dengar daripadaku. Barangsiapa berdusta
pada diriku, hendaklah dia bersedia menempati
kediamannya dineraka.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim).

Ada dorongan kuat yang cukup memberikan


motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal
hadits. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan
budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra Islam
dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasulullah
SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya.
Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada
mereka yang menghafal hadits dan menyampaikannya
kepada orang lain.

2) Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk


menulis hadits-haditsnya. Dalil yang menunjukkan
perintah ini yaitu:
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal
daripadaku, terkecuali al-Qur‟an. Dan
barangsiapa telah menulis daripadaku selain al-
Qur‟an, hendaklah ia menghapusnya.” (HR.
Ahmad dan Muslim).

2. Cara Rasulullah SAW Menyampaikan Hadis


Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung
memperoleh hadis dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadis.
Tempat pertemuan antara Rasulullah SAW dan sahabatnya, seperti
di Masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan, dan
ketika muqim (berada di rumah). Melalui tempat tersebut
Rasulullah SAW menyampaikan hadis yang disampaikan melalui
sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah),
dan melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikan oleh para
sahabat (melalui musyahadah).
Ada beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan hadits
kepada para sahabat, yaitu:
a. Melalui majlis al-‟ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian
yang diadakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk membina
para jama‟ah. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh
banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka
berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna
mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh
Rasulullah SAW.
b. Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga
menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu,
yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika
yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan
biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri),
ia sampaikan melalui istri-istrinya.
c. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti
ketika haji wada‟ dan Fath Makkah. Ketika menunaikan
ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi Muhammad
SAW menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di
depan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah
haji, yang isinya terkait dengan bidang muamalah,
ubudiyah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang
meliputi kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan
ekonomi, kebajikan, dan solidaritas isi khatbah itu antara
lain larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan
larangan mengambil harta orang lain dengan batil, larangan
riba, menganiaya, persaudaraan dan persamaan diantara
manusia harus ditegakkan, dan umat Islam harus selalu
berpegang teguh kepada Al-Qur‟an dan Hadis.

3. Perbedaaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis


Diantara para sahabat tidak sama perolehan dan penguasaan
hadis. Hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan
mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW. Kedua,
perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada
sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu
masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang
banyak menerima hadis dari Rasulullah SAW dengan beberapa
penyebabnya, antara lain:
a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun Al-
Awwalun (yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu
Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi
Thalib dan Ibn Mas‟ud.
b. Ummahat Al-Mukminin (Istri-Istri Rasulullah SAW),
seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadis-hadis yang
diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal keluarga
dan pergaulan suami istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan
Rasulullah SAW juga menuliskan hadits-hadits yang
diterimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah
SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat
lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh yang mengikuti
majlis Rasulullah SAW, banyak bertanya kepada sahabat
lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari
wafatnya Rasulullah SAW, seperti Abdullah Ibn Umar,
Anas Ibn Malik dan Abdullah Ibn Abbas.

Sementara itu, menurut Muhamad Musthafa Azami, bahwa


para sahabat menerima hadis dari Rasulullah SAW melalui tiga
macam cara, yaitu:
a. Melalui metode hafalan. Secara historis masyarakat Arab
secara umum adalah masyarakat yang kuat daya hafalannya
sehingga terlepas apakah mereka pandai mengenal baca
tulis (ummi) atau tidak, akan membantu dalam menerima
dan memahami hadis dari Rasulullah SAW. Di sisi lain,
beliau juga sering mengulang-ulang apa yang telah
diucapkannya.
b. Metode tulisan. Di antara para sahabat Nabi Muhammad
SAW yang setelah menerima hadis dari beliau, mereka
langsung menuliskannya. Metode ini hanya bisa dilakukan
oleh orang-orang tertentu yang memiliki kemahiran dalam
menulis saja.
c. Metode praktik. Para sahabat mempraktikkan secara
langsung hadis-hadis yang diterima dari Nabi Muhammad
SAW dalam kehidupan sehai-hari, dan jika terjadi
perbedaan, maka mereka dapat langsung
mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah SAW.6

4. Penulisan Hadis Masa Rasulullah SAW dan Khulfa’ Rasyidin


Sa‟ad bin Ubaidah al-Anshar pernah memiliki himpunan
hadis Rasulullah SAW. Ibnu Hajar memastikan bahwa beliau
adalah salah seorang penulis jaman jahiliyah. Putranya
meriwayatkan hadis dari catatannya tersebut. Al-Bukhari
mengatakan bahwa catatan itu merupakan salinan dari catatan

6. Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 38-41.
Abdullah bin Abi Aufa yang menulis sendiri hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW.
Selain itu, pada masa Rasulullah SAW, tulisan Abdullah
bin Amr bin al-Ash termasuk sebagai ash-Shahifah ash-Shadiqah.
Abdullah bin Amr mencatat dari sumbernya, yakni Rasulullah
sendiri. Yang terhimpun seribu hadis Rasulullah SAW. Shahifah
dalam tulisan tangan beliau tidak ditemui sekarang, namun isinya
terhimpun di dalam kitab-kitab Hadis terutama di dalam Musnad
Ahmad.7

B. Hadits Pada Masa Khulafa’ Rasyidin


Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa Khulafa‟
Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn al-Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi
Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H s/d 40 H. Masa ini juga
disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur‟an, maka periwayatan hadis belum
begitu berkembang dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena
itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan
adanya pembatasan periwayatan.8
Pembatasan penyederhanaan hadis, yang ditunjukkan oleh para
sahabat dengan sikap kehati-hatiannya menggunakan dua jalan dalam
meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad SAW, yaitu:
a. Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadis yang
redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan
Rasulullah SAW, dan hanya bisa dilakukan apabila mereka
hafal benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW.
b. Periwayatan Maknawi adalah periwayatan hadis yang
matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari

7. Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), 63-64.

8. Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 79.


Rasulullah SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap
terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Rasulullah SAW, tanpa ada perubahan sedikitpun.9

Dengan demikian, para sahabat Nabi Muhammad SAW sangat


kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadis. Tradisi tersebut menunjukkan
bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadis,
diantaranya:
a. Para sahabat, bersikap cermat dan hati-hati dalam
menerima suatu riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan
hadits Nabi Muhammad SAW merupakan hal penting,
sebagai wujud kewajiban taat kepadanya.
b. Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap
periwayat maupun isi riwayat itu sendiri.
c. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Abu Bakar,
mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits.
d. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Ali Bin Abi Thalib,
meminta sumpah dari periwayatan hadits.
e. Para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang
terpercaya.
f. Diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan
hadis tanpa pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari
Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan mereka
memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin
berdusta.10

C. Hadits Pada Masa Tabi’in


Pada era tabi’in, keadaan sunnah tidak jauh berbeda dari era
sahabat. Namun pada masa ini, Al-Qur’an telah dikodifikasi dan

9. Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 83-84.

10. Idri, Studi Hadits, 40-41.


disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, maka tabi’in dapat memfokuskan
diri dan mempelajari sunnah dari para sahabat. Kemudahan lain, yang
diperoleh tabi’in karena sahabat Nabi Muhammad SAW telah menyebar
ke seluruh penjuru dunia Islam. Sehingga, mereka mudah mendapatkan
informasi tentang sunnah.

1. Pusat-pusat pembinaan hadis


Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam
periwayatan hadits, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam
mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah Al-Munawwarah,
Makkah Al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi
dan Andalusia, Yaman dan Khurasan. Ada beberapa orang yang
meriwayatkan hadis pada kota-kota tersebut, antara lain Abu
Hurairah, Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik, Aisyah, Abdullah
Ibn Abbas, Jabir Ibn Adillah dan Abi Sa’id Al-Khudri.
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena disinilah
Rasulullah SAW menetap setelah hijrah dan Rasulullah SAW juga
membina masyarakat Islam yang didalamnya terdiri atas Muhajirin
dan Anshar. Para sahabat yang menetap disini, diantaranya
Khulafa‟ Rasyidin, Abu Hurairah, Sii Aisyah, Abdullah Ibn Umar
dan Abu Sa‟id Al-Khudri, dengan menghasilkan para pembesar
Zuhri, Ubaidillah Ibn „Utbah Ibn Mas‟ud dan Salim Ibn Abdillah
Ibn Umar. tabi‟in, seperti Sa‟id Ibn Al-Musyayyab, „Urwah Ibn
Zubair, Ibn Syihab Al-Zuhri. Di antara ulama hadits yang
menghimpun hadits pada masa ini adalah: Ibnu Juraij (w. 150 H di
Makkah), Al-Awza‟I di Syiria (w. 159 H), Sufyan at-Tsawri di
Kufah (w. 161 H), Imam Malik al-Muwaththa‟ di Madinah (w. 174
H), dan lain-lain.11

2. Pergolakan politik dan pemalsuan hadis

11. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 70.
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat,
setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin, yaitu ketika
kekuasaan dipegang oleh Ali Bin Abi Thalib. Akan tetapi
akibatnya cukup panjang dan berlarut dengan terpecahnya umat
Islam ke dalam beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah,
dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam ketiga
kelompok tersebut).
Demikian, dari pergolakan politik tersebut memberikan
pengaruh negatif, yakni dengan munculnya hadis-hadis palsu
(mawdhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-
masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Sedangkan pengaruh positifnya ialah lahirnya rencana dan usaha
yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai
upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai
akibat dari pergolakan politik tersebut.12

12. Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 85-88.


D. Penulisan Hadis
Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan
kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai
bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian,
ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada seorangpun yang bisa
menulis dan membaca. Keadaaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan
dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang di antara
mereka ada yang mampu membaca dan menulis. Adiy ibn Zaid al-
Abbadiy (w. 35 SH) misalnya, sudah belajar menulis hingga
menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa
Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi
juga mengajarkan anak-anaknya di Madinah menulis Arab. Kota Makkah
dengan pusat perdangannya sebelum kenabian menjadi saksi adanya para
penulis dan orang-orang yang mampu membaca.13
Para sahabat Rasul adalah orang Arab tulen yang mayoritas tidak
bisa baca-tulis, namun demikian mereka mempunyai kemampuan hafalan
yang luar biasa. Semenjak zaman Jahiliyyah mereka biasa menghafal
nasab atau garis keturunan sampai nenek moyang mereka, riwayat-riwayat
tentang kejadian yang mereka alami. Bahkan, mereka hafal syair-syair dan
khitabah-khitabah yang pernah diucapkan. Dengan kekuatan hafalan
bangsa Arab yang demikian itu, seolah-olah Allah telah mempersiapkan
mereka untuk mendukung datangnya kenabian Muhammad Saw.14
Ketika Islam datang, di kalangan suku Quraisy terdapat 17 orang
yang dapat menulis, tetapi jumlah ini tidak dapat dijadikan patokan,
apalagi mengingat letak Makkah yang sangat strategis untuk perdagangan,
disamping sebagai pusat kegiatan agama. Di sisi lain, nama-nama penulis
yang disebutkan al-Baladzuri tidak mencakup orang-orang Makkah yang
dikenal dapat menulis seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Abdullah ibn Amr
ibn al-Ash, dan Sufyan ibn Harb.15
13. Al-Qaththan. Mabahits fi ‘Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005. hlm. 45

14. Lukman Zain, “Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya”, Diya al-Afkar, Vol. 2, No. 1 ( Juni 2014).

15. M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994). hlm. 133
Pada masa-masa awal, anak-anak di Madinah juga belajar menulis.
Munurut al-Waqidi, jumlah mereka yang dapat menulis tidak lebih dari
sebelas orang. Seperti halnya di Makkah, jumlah pendudk Madinah yang
mengetahui tulis-menulis relatif sedikit.16
Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih
banyak di Makkah daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan bahwa
Rasulullah mengizinkan tawanan dari Makkah dalam perang Badar yang
mampu menulis untuk mengajarkan menulis dan membaca kepada 10 anak
Madinah sebagai tebusan diri mereka.17
Rasulullah memerintahkan anak-anak untuk belajar di masjid
kampung mereka. Pada tahun pertama Hijriyah Rasulullah Saw.
memerintahkan untuk menghitung (menyensus) jumlah kaum muslimin di
Madinah, baik dewasa maupun anak-anak, laki-laki ataupun perempuan.
Pada masa Nabi SAW. tulis-menulis sudah tersebar luas. Al-
Qur‟an sendiri menganjurkan untuk belajar dan membaca. Rasulullah
sendiri mengangkat para penulis wahyu yang jumlahnya mencapai 40
orang, dan nama-nama mereka disebut dalam kitab al-Taratib al-Idariyyah.
Bahkan, dalam kitab Futuh al-Buldan disebutkan adanya sejumlah penulis
wanita, di antara mereka yaitu; Ummul Mu‘minin Hafshah, Ummu
Kultsum bintu „Uqbah, al-Syifa‟ bintu „Abdullah al-Qurasyiyyah,
„Aisyah bintu Sa„ad, Karimah bintu al-Miqdad.
Orang pertama yang menjadi penulis wahyu bagi Nabi di periode
Makkah ialah „Abdullah ibn Sarh. Para khalifah yang empat juga menjadi
penulis wahyu, begitu pula al-Zubair ibn „Awwam, Khalid dan Aban dua
putera Sa„id ibn al-„Ash ibn Umayyah, Hanzhalah ibn al-Rabi„ al-Asadi,
Mu„ayqib ibn Abi Fathimah, „Abdullah ibn al-Arqam al-Zuhri, Syurahbil
ibn Hasanah, dan „Abdullah ibn Rawahah. Setelah hijrah ke Madinah,
maka yang mula-mula menjadi penulis wahyu ialah Ubay ibn Ka„ab.
Kemudian diikuti oleh Zayd ibn Tsabit dan sejumlah sahabat lainnya.

16.Azami, Hadis Nabawi..., 133

17. Al-Qaththan. Mabahits fi ‘Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005. hlm. 45
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang
telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam
pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke
generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak
masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW. meneliti dan membina
hadis, serta serta segala hal yang memengaruhi hadis tersebut.
Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan
kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal
sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun
demikian, ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada
seorangpun yang bisa menulis dan membaca.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini pasti banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan, maka dari itu, kritik dan saran sangat diharapkan agar
penulisan makalah selanjutnya dapat meningkat jadi lebih baik lagi
tanpa ada kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA

Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabī,
1399 H), Juz 1
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang,
2007), Cetakan Ke-2
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. Ulumul Hadis. Bandung:Pustaka Setia. 2008
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN Maliki Press, 2010)
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media Perintis,
2011)

Anda mungkin juga menyukai