Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Hadis


Mata Kuliah Ulumul Hadis
Dosen : Isti’anah, M. A.

Disusun oleh :
Farida Fitriani (2031120)
Nurul Afifa (203)

PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA (IAINU)
2021
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmanirohim

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam tercurah
pada Nabi Muhammad SAW, penghulu para nabi dan penutup para rasul, keluarga, sahabat,
dan pengikut-pengikut beliau hingga akhir zaman.

Makalah ini dibuat untuk memperkaya ilmu pengetahuan kita semua tentang Ilmu
Hadis dan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Ulumul Hadis. Dalam
makalah ini dibahas tahap-tahap perkembangan ilmu hadis yang meliputi, kelahiran ilmu hadis,
tahap penyempurnaan, tahap pembukuan ilmu hadis secara terpisah, dan penyusunan kitab-
kitab induk ulumul hadis dan penyebarannya. Adapun, makalah ini saya buat tidak lepas dari
berbagai pihak yang membantu dalam kelancaran pembuatan makalah ini. Untuk itu, saya
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah ikut berkontribusi
didalam pembuatan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan kemudahan bagi kita semua untuk mempelajari
ilmu hadis.

Kebumen, 24 Februari 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................................1
C. Tujuan ....................................................................................................................1

BAB II ISI

A. Kelahiran Ilmu Hadis ..............................................................................................2


B. Tahap Penyempurnaan ............................................................................................4
C. Tahap Pembukuan secara Terpisah .........................................................................5
D. Penyusunan Kitab-kitab Induk Ulumul Hadis dan Penyebarannya ..........................6
E. Kematangan dan Kesempurnaan Pembukuan ..........................................................7
F. Masa Kebekuan dan Kejumudan .............................................................................8
G. Kebangkitan Kedua ................................................................................................9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 11
B. Kritik dan Saran.................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis adalah salah satu pedoman hidup umat Islam yang kedua setelah Al
Qur’an. Hadis merupakan gambaran perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad
SAW yang ditiru oleh para sahabat secara terus-menerus berwujud menjadi sunnah, dan
sunnah Rasulullah SAW yang diamalkan oleh umat Islam harus mengacu pada hadis
yang diriwayatkan oleh para rawi yang adil, sanad yang bersambung, dan matan yang
tidak ada kecatatan serta tidak bertentangan dengan Al Qur’an.
As-sunnah atau Al-Hadis berfungsi menjelaskan, menguatkan, mengkhususkan,
menakwilkan, dan menambah berbagai keterangan dan ketentuan yang termuat dalam
Al Qur’an, tetapi ayat-ayatnya masih bersifat global, mujmal, musytarak, mubham,
mutasyabihat, dan majazi.
Para sabahat memperoleh hadis dari Rasulullah SAW lewat berbagai cara. Ada
yang secara langsung berhubungan dengan nabi, melalui majelis ilmu, atau sebagai
orang yang selalu ada disamping Rasulullah SAW. Hadis-hadis tersebut kemudian
disampaikan kepada umat lain secara hati-hati. Berjalannya waktu, banyak para sahabat
yang meninggal, kemudian muncul lah ide untuk menulis hadis Rasulullah SAW agar
tidak hilang.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai tahap-tahap perkembangan hadis
dari kelahiran hingga penyusunan kitab-kitab ulumul hadis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja tahap-tahap perkembangan ilmu hadis?
2. Jelaskan tahap-tahap pembukuan ilmu hadis ?
C. Tujuan
1. Mengetahui mengenai kelahiran ilmu hadis.
2. Memahami tahap penyempurnaan dalam pembukuan ilmu hadits.
3. Memahami tahap pembukuan ilmu hadis secara terpisah.
4. Memahami penyusunan kitab-kitab induk ulumul hadis dan penyebarannya.
5. Memahami kematangan dan kesempurnaan pembukuan ilmu hadits.
6. Memahami masa kebekuan dan kejumudan ilmu hadits.
7. Memahami kebangkitan kedua perkembangan ilmu hadis.

1
BAB II

ISI

Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Hadis

A. Kelahiran Ilmu Hadits


1. Faktor Pendukung Pemeliharaan Hadits
a. Kejernihan hati dan kuatnya daya hafal
Bangsa Arab dahulunya adalah umat yang ummi, artinya tidak bisa membaca
dan menulis. Mereka mengandalkan ingatan yang kuat. Kesederhanaan
kehidupan yang jauh dari peradaban kota membuat hati mereka menjadi jernih.
b. Minat yang Kuat terhadap Agama
BangsaArab yakin bahwa tidak ada kebahagiaan di dunia dan keberuntungan di
akhirat kecuali dengan agama Islam.
c. Kedudukan Hadits dalam Agama Islam
Hadits merupakan sendi asasi yang telah membentuk pola pikir para sahabat
serta sikap perbuatan dan etika mereka.
d. Nabi Tahu bahwa Sahabat Akan Menjadi Pengganti Beliau dalam Mengemban
Amanah dan Menyampaikan Risalah
Cara Nabi menyampaikan hadits :
1) Menyampaikan sedikit demi sedikit agar meresap dalam hati
2) Berbicara dengan sederhana (tidak panjang lebar)
3) Mengulangi pembicaraannya agar dapat ditangkap oleh hati orang-orang
yang mendengarnya.1

2. Penulisan Hadits
Beberapa faktor mengapa hadits tidak dibukukan atau ditulis yaitu :
a. Membukukan ucapan amalan serta muamalah Nabi adalah suatu hal yang sulit
b. Kemudian orang arab tidak pandai menulis dan membaca tulisan
c. Dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al
Qur’an dengan tidak sengaja. 2

1
Nuruddin, ‘Ulumul Hadis, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2016, hal 25-28
2
bhgfhhfff

2
Namun ada juga beberapa sahabat yang menulis hadits dalam lembaran-lembaran
salah satunya yaitu Abdullah Ibn Umar Ibn Ash yang dinamai as-Shadiqah.
Beberapa tulisan hadits pada waktu itu adalah sebagai berikut :
a. Al-Shahifah al-Shadiqah ditulis oleh Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash
b. Shahifah Ali bin Abi Thalib hanya berisi hadits tentang ketentuan hukum diat
dan pembebasan tawanan
c. Shahifah Sa’ad bin’Ubadah (15 H) adalah seorang sahabat senior
d. Surat-surat Rasulullah Saw. Kepada para gubernur dan pegawai beliau
berkenaan dengan pengaturan wilayah dan penjelasan-penjelasan hukum
agama. 3

3. Pedoman Periwayatan Hadits pada Masa Sahabat


Pada masa ini manusia berada pada puncak keadilannya, sehingga tidak
membutuhkan jarh wa ta’dil karena periode sahabat yang semuanya orang-orang
adil dan karenanya tidak membutuhkan banyak kecurigaan. Oleh karena itu, mereka
menggunakan kaidah periwayatan hadits yang sangat sederhana, sesuai dengan
kebutuhan pada masa itu untuk memastikan keshahihan riwayat dan menjauhi
kesalahan. 4

4. Pedoman Periwayatan Hadits yang Terpenting pada Masa Sahabat


a. Pengurangan riwayat dari Rasulullah Saw. Karena adanya kekhawatiran salah
atau lupa, yang pada gilirannya mereka akan berdusta atas nama Rasulullah
tanpa disadari.
b. Berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan hadits
c. Pengujian terhadap setiap riwayat dengan cara membandingkan setiap riwayat
yang diterima dengan nash dan kaidah agama. 5

5. Munculnya Pemalsuan Hadits dan Langkah-Langkah Pemberantasannya


Pada akhir pemerintahan Utsman timbullah bencana besar di kalangan umat
Islam yang mengakibatkan terbunuhnya al-Imam al-Syahid Utsman bin Affan dan
al-Imam al-Husain r.a. Beberapa kelompok penyeleweng muncul, kemudian

3
Nuruddin, ‘Ulumul Hadis, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2016, hal 35-36
4
Ibid, hal 41
5
Ibid, hal 42-43

3
mereka membuat hadits-hadits yang tidak pernah diucapkan Rasulullah Saw. untuk
membela bidahnya.6
Usaha sahabat dalam penelitian dan pembahasan mengenai hadits palsu :
a. Mencari sanad hadits dan meneliti karakteristik para perawinya, padahal
sebelum itu mereka saling pecaya dalam menerima hadits.
b. Mengimbau agar setiap orang berhati-hati dalam menerima hadits dan tidak
menerimanya kecuali dari orang-orang yang dapat dipercaya keagamaannya,
ke-wara’-annya, hafalannya, dan ketepatannya.
c. Mereka menempuh jalan jauh sekadar untuk mendengar hadits tertentu dari
orang yang mendengarnya langsung dari Rasulullah dan untuk mengetahui
karakteristik yang bersangkutan.
d. Mereka membandingkan setiap hadits yang diriwayatkan dengan hadits riwayat
orang lain yang dikenal lebih kuat hafalannya dan lebih dapat dipercaya, demi
mengetahui kepalsuan dan kelemahannya. Apabila didapati bahwa hadits
mereka bertentangan dengan hadits riwayat orang yang lebih kuat hafalan dan
lebih dipercaya, maka serta merta mereka yakin menolak atau
meninggalkannya. 7

B. Tahap Penyempurnaan
Ilmu hadits mencapai titik kesempurnaannya, karena setiap cabangnya dapat berdiri
sendiri dan sejalan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan dipergunakan oleh
para ulama. Tahap ini berlangsung dari awal abad kedua sampai awal abad ketiga. 8 Hal
ini ditandai dengan :
1. Melemahnya daya hafal di kalangan umat Islam, sebagaimana disebutkan oleh al-
Dzahabi dalam Tadzkirat al-Huffazh.
2. Panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadits, lantaran bentangan jarak, waktu dan
semakin banyaknya rawi.
3. Munculnya sejumlah kelompok umat Islam yang menyimpang dari jalan kebenaran
yang ditempuh para sahabat, tabi’in. Oleh karena itu, umat Islam bangkit untuk
mengantisipasi kekacauan ini dengan langkah :
a. Pembukuan hadits secara resmi

6
Ibid, hal 45
7
Ibid, hal 46-48
8
Ibid, hal 49

4
Umar bin Abdul Aziz memerintahkan ke seluruh wilayah kekuasaannya agar
setiap orang yang hafal hadits men uliskan dan membukukannya supaya tiada
hadits yang akan hilang setelah itu.
Al Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada
Abu Bakar bin Hazm yang berisi: “Perhatikanlah hadits-hadits Rasulullah Saw.
yang kau jumpai dan tulislah, karena aku sangat khawatir akan terhapusnya
ilmu, sejalan dengan hilangnya ulama.
Saat itu kitab-kitab belum disusun secara sistematis melainkan sekedar
dihimpun dalam kitab-kitab jami’ dan mushannaf. Imam Malik menyusun
kitabnya al-Muwaththa’, kitab hadits yang paling shahih pada waktu itu. Al-
Syafi’i berkata, “Kitab yang paling shahih setelah Kitab Allah adalah kitab al-
Muwaththa’.”
b. Sikap para ulama yang lebih kritis terhadap para rawi hadits dalam upaya jarh
wa ta’dil. Karena makin banyak ditemukan kelemahan baik daya hafal ataupun
unsur-unsur nafsu dan perbuatan bidah.
c. Sikap tawaqquf (tidak menolak dan tidak menerima) apabila mendapatkan
hadits dari seseorang yang tidak mereka kenal sebagai ahli hadits.
d. Sikap menelusuri sejumlah hadits untuk mengungkap kecacatan yang mungkin
tersembunyi di dalamnya, lalu untuk setiap hal yang baru mereka membuat
kaidah dan formula khusus dalam upaya mengenalkannya. Dengan upaya ini
menjadi semakin sempurnalah cabang-cabang ilmu hadits. Semuanya dapat
berdiri sendiri dengan istilah-istilahnya yang khas. 9

C. Tahap Pembukuan Ilmu Hadits secara Terpisah


Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat
Hijriyah. Abad ketiga merupakan masa pembukuan hadits dan merupakan zaman
keemasan Sunnah, sebab dalam abad inilah Sunnah dan ilmu-ilmunya dibukukan
dengan sempurna.
Tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan hadits Rasul
secara khusus. Untuk itu mereka susun kitab-kitab musnad untuk menghimpun hadits
Rasul yang mereka kelompokkan berdasarkan nama-nama sahabat, sehingga hadits-

9
Ibid, hal 49-51

5
hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar misalnya, dikumpulkan dalam satu tempat
dengan judul Musnad Abu Bakar, demikian pula hadits-hadits Umar dan sebagainya.
Kemudian datanglah Al-Bukhari dengan inisiatif baru yakni membukukan
hadits-hadits shahih secara khusus dan disusun berdasarkan bab tertentu agar mudah
dicari dan dipahami hadits-haditsnya. Kitab yang disusunnya diberi nama al-Jami’ ash-
Shahih. Berikutnya datanglah enam imam lainnya yang tiada lain adalah murid-
muridnya kecuali an-Nasai. Mereka menyusun kita masing-masing berdasarkan bab-
bab fiqih dengan hadits-hadits yang mereka pilih secara selektif meskipun para penulis
kitab sunan itu tidak mensyaratkan semua haditsnya harus shahih.
Metode Al-Bukhari memiliki keunggulan yang tiada tertandingi karena
mencangkup pembukuan riwayat dan ulumul hadits.
Penulisan kitab merupakan suatu bagian yang integral dari seorang imam hadits.
Semua penyusun Kitab Enam telah menyusun banyak kitab tentang ilmu hadits.
Demikian juga penyusun yang lain, mereka menyusun kitab ilmu hadits dengan judul
yang sesuai dengan cabang ilmu hadits yang dibahas.10 Oleh karena itu, kitab yang
mencakup seluruh cabang ilmu hadits diberi judul ‘Ulum al-Hadits. 11

D. Penyusunan Kitab-Kitab Induk ‘Ulum al-Hadits dan Penyebarannya


Tahap ini bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal abad
ketujuh. Para ulama pada periode ini menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah
disusun para ulama sebelumnya yang notabene perintis dalam pembukuan hadis dan
ilmu hadis. Kemudian mereka menghimpun keterangan-keterangan yang berserakan
dan melengkapinya dengan berlandaskan keterangan-keterangan ulama lain yang
diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada pembicaranya, sebagaimana yang
dilakukan oleh para ulama sebelumnya. Lalu keterangan-keterangan itu diberi komentar
dan digali hukumnya.
Kitab-kitab ‘Ulum al-Hadits dan sejumlah lain dari cabang ilmu hadits yang
disusun dalam periode ini menjadi sumber asli bagi disiplin ini pada periode berikutnya.
Para ulama yang datang kemudia menyusun kitab-kitabnya berdasarkan kitab-kitab
induk tersebut dengan membuang sanad-sanadnya, menghapus hal-hal yang sedikit
meragukan atau menambah seperlunya.

10
Ibid, hal 52-54
11
Lihat Ar-Risalat al-Mustathafah

6
Diantara kitab yang terpenting adalah kitab-kitab berikut ini.
a. Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, karya al-Hakim Abu Abdillah an-Naissaburi (405 H).
Kitab ini membahas 52 cabang. Ilmu hadits dan telah dicetak di Mesir pada tahun
1937 M.
b. Al-Mustakhraj, karya Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Ishfahani (430 H).
Kitab ini membahas hal-hal yang tidak dibahas dalam kitab Al-Hakim dan
karenannya dinamakan al-Mustakhraj. Namun kedua kitab ini belum membahas
banyak masalah, karena waktu yang berdekatan.
c. Ma La Yasa’u al-Muhaddits Jahluhu, karya al-Miyanji Abu Hafsh Umar bin Abdul
Majid (580 H), sebuah kitab hadis yang sangat singkat.
Sementara itu, al-Khatib adalah orang yang telah menyusun kitab-kitabnya yang
tersendiri yang komplet dan khusus untuk setiap cabang ilmu hadits sehingga karya-
karyanya menjadi santapan lezat bagi para imam di bidang ini sebagaimana dikatakan
oleh al-Hafizh Abu Bakar bin Nuqthah, “Setiap orang yang objektif akan mengakui
bahwa para muhaddits setelah al-Khatib sangat bergantung pada kitab-kitabnya.”
Kitab diatas sangat diwarnai dengan kumpulan kutipan pendapat para ulama
hadits yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya, dan untuk setiap kumpulan kutipan
mereka buatkan judul yang menggambarkan kandungannya agar para pembaca mudah
memahami sasaran pembahasannya. 12

E. Kematangan dan Kesempurnaan Pembukuan ‘Ulum al-Hadits


Tahap ini bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abad kesepuluh. Dalam
tahap ini pembukuan ‘ulumul al-hadits mencapai tingkat kesempurnaannya dengan
ditulisnya sejumlah kitab mencapai tingkat seluruh cabang ilmu hadits. Bersama itu
dilakukan penghapusan sejumlah ungkapan dan penelitian berbagai masalah dengan
mendetail. Para penyusun kitab itu adalah para imam besar yang hafal semua hadis dan
mampu menyamai pengetahuan dan penalaran para imam besar terdahulu terhadap
cabang-cabang hadis keadaan sanad dan matannya.
Pelopor pembaharuan dalam pembukuan ilmu ini adalah al-Imam al-Muhaddits
al-Faqih al-Hafiz al-Ushuli Abu ‘Amr Utsman bin ash-Shalah (643 H) dengan kitab
‘Ulum al-Hadits-nya yang sangat mansyur.

12
Ibid, hal 55-57

7
Kitab tersebut merupakan pelopor yang dapat ditiru dan merupakan rujukan
yang dapat dipercaya, sehingga para penulis berikutnya banyak menginduk kepadanya
sebagian mereka meringkasnya, sebagian lagi menyusunnnya dalah bentuk syair, dan
sebagian yang lain mensyarahinya dan melengkapinya dengan catatan kaki. Akan tetapi
para penyusun pada tahap ini adalah para imam besar sehingga mereka tidak
mengikutinya dalam menetapkan kaidah-kaidah ilmiah melainkan mereka berijtihad
dan seringkali menyanggah dan menyalahinya. 13
Beberapa kitab-kitab penting yang disusun pada tahap ini setelah ‘Ulum al-
Hadits karya Ibnu Shalah adalah seperti berikut :
a. Al-Irsyad, karya Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi (676 H). Kitab ini
merupakan ringkasan dari kitab ‘Ulum al-Hadits. Kitab ini kemudian
diringkasnya lagi menjadi al-Taqrib wa al-Taisir li Al-hadits Al-basyir an-Nadzir.
b. Al-Tabshirah wa al-Tadzlatah, kitab yang disusun dalam bentuk syair sebanyak
seribu bait, karya al-Hafizh Abdurrahman bin al-Husain al-‘Iraqi (806 H). Kitab
ini mencakup seluruh isi kitab ‘Ulum al-Hadits dengan menjelaskan dan
menambahi kekurangannya dengan beberapa masalah, lalu disyarahinya dengan
syarah yang sangat baik.
c. At-Taqyid Wa al-lidhah li ma Uthliqa wa Ughliqa min Kitab Ibn ash-Shalah
karya al-Hafizh al-‘Iraqi. Kitab ini merupakan syarah terhadap kitab Ibnu ash-
Shalah yang dikenal pula dengan nama an-Nukat. 14

F. Masa Kebekuan dan Kejumudan


Tahap ini berlangsung dari abad kesepuluh sampai abad keempat belas Hijriyah.
Pada tahap ini ijtihad dalam masalah ilmu hadits dan penyusunan kitabnya nyaris
berhenti total. Tahap ini ditandai dengan lahirnya sejumlah kita hadits yang ringkas dan
praktis, baik dalam bentuk syair maupun prosa. Dan para penulis sibuk dengan kritik-
kritik terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam kitab yang telah ada tanpa ikut
menyelami inti permasalahannya, baik melalui penelitian maupun melalui ijtihad.
Diantara kitab yang disusun pada tahap ini adalah sebagai berikut :
a. Al-Manzhumat al-Baiquniyyah karya Umar bin Muhammad bin Futuh Al-Baiquni
ad-Dimasyqi (1080 H). Kitab ini berisi 36 bait syair. Ia juga memiliki keistimewaan

13
Ibid, hal 57-58
14
Ibid, hal 59

8
dibanding kitab manzhumah lainnya karena kitab ini disusun dengan sistematis dan
dengan bahasa yang sangat sederhana sehingga mudah dihafalkan oleh orang-orang
yang mempelajarinya.
b. Taudhih al-Afiar, karya ash-Shan’ani Muhammad bin Ismail al-Amir (1182 H).
kitab ini cukup komplet dan penting.
c. Syarah Nuz-hat an-Nazhar karya Syekh Ali bin Sulthan al-Harawi Al-Qari’I (1014
H). Kitab ini dikenal dengan nama Syarh asy-Syarh. Kitab ini penuh dengan
pembahasan yang sangat bermanfaat sesuai dengan keluasan ilmu penyusunnya.
Akan tetapi dalam tahap ini Allah Swt telah membangkitkan semangat
pengkajian hadits di wilayah India dengan semangat yang cukup tinggi. Kegiatan ini
dipelopori oleh al-‘Allamah al-Imam al-Muhadits Syah Waliyullah ad-Dahlawi (176
H) dan dilanjutkan oleh anak cucunya serta murid-muridnya. Mereka memprioritaskan
perhatiannya terhadap ilmu hadits daripada ilmu-ilmu lainnya. Periwayatan mereka
sesuai dengan teori yang disetujui oleh ahli riwayah dan dikehendaki oleh ahli
dirayah.15

G. Kebangkitan Kedua
Tahap ini bermula pada permulaan abad keempat belas Hijriyah. Pada tahap ini
umat islam terbangkitkan oleh sejumlah kekhawatiran yang setiap saat bisa muncul
sebagai akibat bersentuhan antara dunia islam dengan dunia Timur dan Barat,
bentrokan militer yang tidak manusiawi dan kolonialisme pemikiran yang lebih jahat
dan lebih bahaya.
Maka muncullah informasi yang mengaburkan eksistensi hadis yang
dilontarkan oleh para orientalis dan diterima begitu saja oleh orang-orang yang mudah
terbawa arus serba asing, lalu mereka turut mengumandangkannya dengan penuh
keyakinan. Kondisi ini menuntut disusunya kitab-kitab yang membahas seputar
informasi tersebut guna menyanggah kesalahan-kesalahan dan kedutaan mereka.
Sejalan dengan itu, kondisi sekarang menuntut pembaruan sistematika penyusunan
kitab-kitab ‘Ulum al-Hadits.
Karya-karyanya yaitu :
a. Qawa’id at-Tahdits karya Syekh Jamaluddin al-Qasimi. Pembahasan ilmu Hadis
dalam kitab ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) pembahasan hadis Sahih dan

15
Ibid, hal 61

9
hadis Hasan, (2) pembahasan Hadits Dhaif, dan (3) pembahasan hal-hal yang
berkaitan dengan ketiga macam hadis tersebut. Dalam hal sistematika yang
demikian, kitab ini menjadi panutan bagi para penulis bidang yang sama pada
waktu itu.
b. Miftah as-sunnah atau Tarikh Funun al-Hadits karya Abdul Aziz Al-Khuli.
Kitab ini merupakan pelopor dalam pengkajian sejarah hadis dan perkembangan
ilmu-ilmu nya
c. As-sunnah wa makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami karya Dr. Musthafa as-Shiba’i.
Kitab ini sangat agung, membicarakan ihwal para orientalis, serangan mereka
terhadap hadis, dan serangan balik mereka ketika mereka kalah argumentasi.
Disamping itu kitab ini juga menyanggah anggapan-anggapan kelompok ingkar
sunnah baik dari generasi yang terdahulu maupun dari generasi waktu itu.
d. Al-hadits Wa al-muhadditsun karya Dr Muhammad Muhammad Abu Zahw.
Kitab ini menjelaskan ketekunan para ulama dalam mengabdi kepada sunnah
disertai hasil penelitian hadis pada periode periode pertama yaitu periode sahabat
tabiin sampai periode pembukuan Hadits.
e. Al Manhaj Al Hadits Al Hadits fi ‘Ulum al-Hadits karya al-Ustadz Dokter Syekh
Muhammad Muhammad as-Simahi menguasai seluruh cabang ilmu.
Kitab ini terbagi menjadi 4 bagian.
bagian pertama : sejarah hadis terdiri dari 3 jilid
bagian kedua : mushthalah al-Hadits
bagian ketiga : periwayatan hadis
bagian keempat : hal ihwal para hadis. 16

16
Ibid, hal 62-63

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadis adalah hukum Islam kedua setelah Al Qur’an. Hadis ada sebagai penjelas
hukum/ aturan yang ada di Al Qur’an. pada masa Rasulullah SAW para sahabat
menyimpan hadis di otaknya. Mereka orang-orang Arab terkenal dengan kekuatan
menghafalnya. Para sahabat menyampaikan hadis kepada orang lain secara hati-
hati menghindari terjadinya kesalahan lafal, isi, dan maksud hadis tersebut.
Berjalannya waktu, sabahat-sahabat Rasulullah SAW mulai wafat. Untuk
menghindari hilangnya hadis, dimulailah kodifikasi hadis yang dimulai resmi pada
masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Setelah melalui masa penulisan dan
seleksi secara teliti agar tidak tercampur antara hadis shahih dan hadis palsu,
lahirlah kita-kitab hadis yang terkenal dengan Kutub As Sittah.
B. Kritik dan Saran
Dalam pembuatan makalah ini saya menyadari masih banyak kekurangan.
Untuk itu saya meminta kritik ataupun saran yang mendukung agar terus
meningkatkan keterampilan dalam menulis makalah.

11
DAFTAR PUSTAKA
Nuruddin. ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2016.

12

Anda mungkin juga menyukai