Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SEJARAH KAJIAN AL-QUR’AN DARI ILMUAN


BARAT
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas dalam mata kuliah Kajian Barat
atas Al-Qur’an
Dosen Pengampu : Dr. Muhammad, Lc. M.Th.I

Disusun oleh :
1. M. Yazid Rahmatullah 19240005
2. Alifya Bussaina Karim 19240051
3. Moh. Farhan Nasrullah 19240062

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS SYARI’AH
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puji syukur kita panjatkan kepada


Allah S.W.T. Karena atas limpahan berkah, rahmat dan inayah-Nya kita diberikan
umur yang panjang dan kesehatan yang sempurna sehingga dapat terus menuntut
ilmu. Untaian shalawat dan salam senantiasa terlantun untuk Nabi Muhammad
S.A.W. yang telah menyampaikan risalah islam kepada kita semua, sehingga kita
dapat mengecap manisnya iman dan ajaran islam.

Ucapan terimakasih kami sampaikan utamanya kepada orangtua kami, yang


selalu memberikan segala dukungan, baik materi maupun non materi. Terimakasih
juga kami sampaikan kepada Ustadz Dr. Muhammad, LC., M.Th.I. Tanpa
bimbingan beliau, mustahil makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Kami selaku penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan di


dalam makalah ini. Sehingga kami memohon maaf atas kekurangan yang ada dan
kami berharap semoga ada manfaat yang dapat kita ambil dari manfaat ini. Kami
juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Malang, 07 September 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat manusia diturunkan kepada
Rasulullah SAW di Makkah dan Madinah. Al-Qur’an tidak hanya pedoman
hidup bagi umat islam saja, tetapi merupakan pedoman hidup bagi seluruh
umat manusia, di ruang dan waktu manapun. Oleh karena itu nilai-nilai
universal Al-Qur’an selalu bisa diaplikasikan baik di zaman dahulu, sekarang,
dan yang akan mendatang serta di tempat manapun.
Al-Qur’an juga merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW. Al-
Qur’an terbuka untuk dipelajari bagi siapapun, baik orang muslim maupun non
muslim. Umat islam ketika mempelajari Al-Qur’an dan dunia keislaman
berangkat dari keimanan sehingga hasil pembelajarannya pun tidak melenceng
dari syariat-syariat islam dan tidak terlalu dicampuri kepentingan lain. Akan
tetapi berbeda ketika kaum non-muslim atau orientalis yang mempelajari Al-
Qur’an. Dalam makalah ini kita akan membahas tentang apa yang dimaksud
dengan orientalis, apa latar belakang munculnya orientalis, dan kesalahan-
kesalahan orientalis dalam menafsirkan Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya orientalis dalam Al-Qur’an?
2. Apa saja unsur-unsur yang melatarbelakangi munculnya orientalis di dunia
barat?
3. Bagaimana kesalahan orang barat dalam penafsiran Al-Qur’an?

C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah munculnya orientalis dalam Al-Qur’an
2. Mengetahui unsur-unsur yang melatarbelakangi munculnya orientalis di
dunia barat
3. Mengetahui kesalahan orang barat dalam penafsiran Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Munculnya Orientalis dalam Al-Qur’an

Pada abad ke-19, setidaknya ada dua model citra dan persepsi Barat (Eropa)
terhadap Islam. Pertama, menganggap Islam sebagai musuh dan rival Kristen.
Kedua, menganggap Islam sebagai bentuk pencapaian akal dan perasaan
manusia dalam usaha mereka untuk mengetahui dan merumuskan sifat Tuhan
dan alam. Pada periode yang sama, semangat evangelisme (penginjilan), yang
disertai dengan kolonialisme, mewarnai dunia dan masyarakat Islam. Ide dasar
evangelisme adalah bahwa keselamatan (salvation) terletak hanya pada
pengakuan dosa dan penerimaan Gospel Kristen. Ide dan semangat evangelisme
ini menciptakan konfrontasi antara Kristen dan Muslim dalam skala lebih besar
ketimbang masa-masa sebelumnya. Evangelisme membangkitkan kembali sikap
permusuhan Eropa terhadap Islam. 1

Salah satu bentuk permusuhan Barat terhadap Islam adalah dengan


menghina atau menjelek-jelekkan al-Qur’an. Tentu tidak semua kalangan Barat
melakukan hal demikian. Studi Al-Qur’an merupakan bagian dari Studi Islam
(Islamic Studies) yang sangat digemari di dunia Barat. Hampir semua kampus
atau Perguruan Tinggi di Barat menawarkan studi Islam dengan berbagai
penyebutan seperti Middle East Studies, Near Eastern Studies, Religious
Studies, Comparative Religion, dan lain-lain. Kajian terhadap Al-Qur’an mulai
menarik perhatian di Barat ketika Theodor Noldeke (1836-1930) menulis buku
sejarah Al-Qur’an (Geschichtedes Qorāns) yang kemudian diterbitkan pada
tahun 1860 oleh Universitas Gottingen, Jerman.

Noldeke membahas tentang sejarah muncul dan berkembangnya teks Al-


Qur’an, pengumpulan, dan periwayatannya. Ia juga mempermasalahkan
mengapa susunan Al-Qur’an tidak sesuai dengan masa turunnya. Kajian ini
kemudian dilanjutkan oleh Friedrich Schwally (w. 1919) pada tahun 1909 atas

1Azyumardi Azra, kata pengantar dalam buku Robert A. Morey, The Islamic Invasion (Islam Yang
Dihujat), trj. Sadu Suud (Bekasi: C.V. Fokus Muslimedia, cet-II, 2005), hlm. 22.
permintaan Noldeke sendiri. Setelah Noldeke menulis buku tersebut, Gustav
Weil menulis juga tentang sejarah Al-Qur’an dalam buku Historisch-kritische
Einleitung in der Koran (Mukaddimah al-Qur’an: Kritik Sejarah) yang terbit
tahun 1884. Pada akhirnya, buku sejarah Al-Qur’an Geschichtedes Qorāns
dikumpulkan menjadi satu. Ada empat tokoh penulis buku tersebut yaitu
Theodor Noldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf Begstrasser, dan Otto Pretzl.2

Kalangan orientalis mengkaji Al-Qur’an dari berbagai macam aspek, tentu


yang dikaji bersumber dari teks-teks Al-Qur’an sendiri. Di antara nama-nama
Orientalis yang melakukan studi kritis terhadap Al-Qur’an atau studi Islam
secara umum adalah Abraham Geiger (1810-1874), Gustave Weil (1808-1889),
William Muir (1819-1905), Theodor Noldeke (1836-1930), Friedrich Schwally
(w. 1919), Edward Sell (1839-1932), Hartwig Hirscfeld (1854-1934), David S.
Margoliouth (1858-1940), W.St. Clair-Tisdall (1859-1928), Louis Cheikho
(1859-1927), Paul Casanova (1861-1926), Julius Wellhausen (1844-1918),
Charles Cutley Torrey (1863-1956), Leone Caetani (1869-1935), Joseph
Horovits (1874-1931), Richard Bell (1876-1953), Alphonse Mingana (1881-
1937), Israel Schapiro (1882-1957), Siegmund Fraenkel (1885-1925), Tor
Andrae (1885-1947), Arthur Jeffery (1893-1959), Regis Blachere (1900-1973),
W. Montgomery Watt, Kenneth Cragg, John Wansbrough (1928-2002), S.M.
Zwemmer, Andrew Rippin, C. Luxenberg, Danial A. Madigan, Harald Motzki,
dan lain-lain.3 Perlu diketahui bahwa kajian mereka tidak hanya terfokus pada
studi Al-Qur’an, tetapi studi Islam secara umum seperti hadis, sejarah, politik,
filsafat, tasawuf, dan ilmu lainnya.

Pada tahun 1844, salah seorang orientalis bernama Rodinson 4 melacak


sejarah kajian orientalis yang dimulai sejak abad IV sampai pertengahan abad
XX. Sumber yang digunakan adalah Historische Kritische Einleitung in der
Koran karya Gustav Weil (1808-1889). Weil merupakan sarjana Barat pertama
yang membagi periodesasi Al-Qur’an menjadi empat, yaitu Makkīyah awal,

2 Wolfgang H. Behn, The History of The Qur’ān (Leiden-Boston: Brill, 2013)


3 Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani
Press, cet-III, 1428 H/2007 M), hlm. 47-48
4 Ihsan Ali Fauzi telah membahas pandangan Maxime Rodinson tentang citra dan studi Barat

terhadap Islam dalam artikelnya, “Orientalisme di Mata Orientalis: Mixime Rodinson tentang
Citra dan Studi Barat atas Islam”, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 3, No. 2, 1992, hlm. 4-22
tengah, akhir dan Madanīyah. Tesis tersebut kemudian diadopsi oleh Theodor
Noldeke (1836-1930) dan Friedrich Schwally (w. 1919) dalam Geshichtedes
Qorans. Karya Nӧldeke dan Schwally mempengaruhi Regis Blachere dalam
menulis terjemahan Al-Qur’an berjudul Le Coran: Troduction Selon unEssaide
Reclassementdes Sourates (1949-1950).5 Kajian Al-Qur’an sebelum Nӧldeke
dilakukan oleh seorang orientalis Jerman di Leizig, yaitu Gustave Flugel pada
tahun 1834. Ia menerbitkan mushaf hasil kajian filologinya yang berjudul Corani
Textus Arabicus. Beberapa kajian orientalis telah dikumpulkan dan diedit oleh
Ibn Warraq dalam buku The Origins of The Koran: Classic Essayson Islam’s
Holy Book (New York: Prometheus Book, 1998). Sebagian sarjana Barat di atas
mengkaji sejarah Nabi Muhammad dan komunitas Muslim awal dengan merujuk
kepada Al-Qur’an karena bagi mereka ia merupakan sumber yang paling
terpercaya (the most reliable source for reconstruction of the life of Muhammad
and the history of early Muslim community).6

B. Latar Belakang Munculnya Orientalis di Dunia Barat


Hubungan atau kontak dunia barat dengan dunia timur telah berlangsung
sejak lama. Pada tahun 600-330 SM terjadi perebutan kekuasaan antara Grik Tua
dengan Dinasti Achaemendis dari Imparium Parsi yang menyebabkan adanya
dorongan pada masing-masing pihak untuk saling mengenal. Selanjutnya,
hubungan kembali terjadi ketika Yunani dan Romawi berhasil melakukan invasi
ke Mesir.
Agama Islam sendiri, dalam beberapa waktu telah berhasil mengembangkan
pengaruhnya dengan mendirikan kerajaan di Andalusia (Spanyol). Selain itu,
Islam juga berhasil mengembangkan kekayaan intelektual dengan membangun
beberapa Perguruan Tinggi Islam. Diantara Perguruan Tinggi Islam ini yaitu:
Nizamiyah, Al-Azhar, Cordova, dan Kairawan. Selain faktor di atas, faktor

5 Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Alquran dalam Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Amzah,
cet-I, 2015), hlm. 74-75.

6 Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Alquran dalam Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Amzah,
cet-I, 2015), hlm. 74-75.
ekonomi juga memengaruhi hubungan dunia barat dan dunia timur. Pada saat
itu, jalur perdagangan dari dunia timur dikuasai oleh pemerintah islam. 7
Kemudian diantara penyebab langsung munculnya orientalis yaitu adanya
studi-studi yang dilakukan oleh ilmuan barat tentang ketimuran. H. Muhammad
Bahar Akkase Teng dalam tulisannya yang berjudul Orientalis dan Orientalisme
dalam Perspektif Sejarah menyebutkan bahwa setidaknya ada empat motif yang
melatarbelakangi munculnya orientalis, yaitu8:
1. Motif keagamaan
Masyarakat dunia barat yang identik mewakili kristen memandang Islam
sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrin kristen. Islam
sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya tentu banyak melontarkan
koreksi terhadap agama kristen. Bagi barat, kritik-kritik ini perlu dijawab agar
tidak memengaruhi penganut kristen.
2. Motif keilmuan
Dalam catatan sejarah dijelaskan bahwa islam telah lebih dulu mencapai
kejayaan sains dan teknologi dibanding dunia barat.
3. Motif ekonomi
Ketika barat kemudian sudah menjadi lebih maju daripada dunia timur,
mereka membutuhkan daerah jajahan sekaligus pasar yang mereka lihat ada
di dunia Muslim yang saat itu sedang terpuruk.
4. Motif politik
Islam di pandangan adalah peradaban yang di masa lalu telah tersebar dan
menguasai peradaban dunia dengan cepat. Barat sebagai peradaban yang baru
bangkit dari kegelapan melihat islam sebagai ancaman langsung yang besar
bagi kekuatan politik dan agama mereka.

C. Kesalahan Orientalis dalam Penafsiran Al-Qur’an.

Kajian orientalis tentang otentisitas Alquran, berdasar pada tiga asumsi:


Pertama, mereka memposisikan Alquran sebagai dokuemn tertulis atau teks,
bukan sebagai sebuah hafalan yang dibaca. Padahal, pada prinsipnya Alquran

7Abd.Rahim, Sejarah perkembangan orientalisme, (STAIN Diponegoro), h. 182-183.


8H.M. Bahar Akkase Teng, Orientalis dan Orientalisme dalam Perspektif Sejarah, (Jurnal Ilmu
Budaya : 2016), h. 48-49.
bukanlah tulisan (rasm atau writing), tetapi bacaan (qira’ah atau recitation)
dalam pengertian ucapan dan sebutan. Baik proses turunnya (pewahyuan),
penyampaian, pengajaran, sampai periwayatannya dilakukan melalui lisan dan
hafalan, bukan tulisan. Artinya, membaca Alquran adalah membaca dari ingatan
(qara’a ‘an zhahri qalbin atau to recite from memory).9
Kekeliruan para orientalis bersumber dari sini. Orintalis seperti Jeffery,
Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat dari asumsi yang salah, menganggap
Alquran sebagai dokumen tertulis atau teks, dan bukan sebagai hafalan yang
dibaca atau recitation. Padahal tulisan yang ada hanya berfungsi sebagai
penunjang semata-mata. Proses transmisi semacam ini melalui isnad
(narasumber) secara mutawatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil
menjamin keutuhan Alquran.
Dengan asumsi ini mereka lantas mau menerapkan metode filologi yang
digunakan dalam kajian Bibel. Akibatnya mereka menaggap Alquran sebagai
karya sejarah, sekedar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab. Mereka juga
mengatakan bahwa mushaf sekarang berbeda dengan aslinya, karenanya perlu
membuat edisi kritis. Di sinilah kesalahan besar para orientalis yang
menyamakan Bibel dengan Alquran.
Alquran pada dasarnya bukanlah tulisan, tetapi merupakan bacaan. Proses
pewahyuannya, cara penyampaiannya dan periwayatannya dilakukan melalui
lisan, bukan tulisan10. Adapun para penghafal tersebut menuliskannya, semua
berdasarkan hafalan, bersandar pada apa yang dibacakan dari gurunya. Proses
transmisi ini terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keasliannya dari generasi
ke generasi.
Siapa saja yang ingin mempelajari Alquran secara serius dan mendalam,
perlu menyadari terlebih dahulu bahwa Alquran adalah sebuah Buku Bacaan
yang khas (unik) dilihat dari pengaturan penulisan, bahasa, komposisi, ketelitian,
tema, isi, penyampaian, keaslian, kesucian dan dampak yang ditimbulkannya.
Sehingga, perlu menyadari sejak awal, bahwa berpegang pada konsep sebuah
buku biasa yang dipahami selama ini, tidak akan menolong. Bahkan boleh jadi

9 William Montgomery, Bells Intoduction to the Qur’an, diterjemahkan oleh Sudana dengan judul
Richard Bells Pengantar Qur’an, (Jakarta, IInis, 1998), h. 99.
10 Mustafa Azami, Sejarah Teks Alquran ....h. 337.
akan menghambat, untuk pencapaian pemahaman yang utuh dan benar tentang
kandungan Alquran.
Dan di sinilah letak kesalahan mendasar dari para orientalis Barat dalam
memahami makna Alquran, selama ini. Mereka (para orientalis) mempelajari
Alquran sebagai sebuah buku biasa, dengan ciri-ciri buku pada umumnya yang
mereka pahami. Maka, hasil studi mereka sudah dapat diduga, bukanlah suatu
pemahaman yang benar tentang kandungan Alquran.
Bahkan sangat disesalkan, tanpa mereka sadari dan mau mengerti, apa yang
dihasilkan para orientalis adalah kesimpulan-kesimpulan dan kritik-kritik yang
salah, sehingga menyesatkan orang banyak tentang Alquran.
Maka, untuk mempelajari dan memahami kandungan makna Alquran, perlu
diawali dengan pendekatan dan niat yang tulus dan jujur. Ketulusan dan
kejujuran dalam berusaha memahami secara optimal ilmu dan hikmah yang
dikandung Alquran, dengan memosisikan Alquran secara benar, yaitu sebagai
kitab suci, firman Allah SWT. Karena tidak ada yang mengetahui secara persis
kandungan ilmu dan hikmah Alquran, selain Allah SWT sendiri.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Orientalis yaitu orang-orang yang mempelajari atau mengetahui tentang
dunia timur. Orientalis barat berarti orang-orang barat yang mengkaji tentang
dunia timur. Secara lebih spesifik, orientalis dapat diartikan sebagai orang-orang
dunia barat yang memfokuskan kajian pada keilmuan keislaman atau lebih
khusus pada Al-Qur’an. Orang-orang barat mempelajari Al-Qur’an didasari atas
beberapa motif atau tujuan. Antara lain yaitu motif ekonomi, politik, agama, dan
lain-lain. Kajian-kajian orientalis atas Al-Qur’an ini didasarkan atas tiga asumsi,
antara lain yaitu mereka memposisikan Alquran sebagai dokumen tertulis atau
teks dan bukan sebagai sebuah hafalan yang dibaca.
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2005. Kata pengantar dalam The Islamic Invasion. Bekasi:
Fokus Muslimedia.
Behn, Wolfgang H. 2013. The History of The Qur’an. Leiden : Brill.
Armas, Adnin. 2007. Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis.
Jakarta : Gema Insani Press.
Fauzi, Ali Ihsan. 1992. “Orientalisme di Mata Orientalis : Mixime Rodinson
tentang Citra dan Studi Barat atas Islam” : Jurnal Ulumul Qur’an Volume 3.
Said, Hasani Ahmad. 2015. Diskursus Munasabah Al-Qur’an dalam Tafsir Al-
Misbah. Jakarta : Amzah.
Rahim, Abd. Sejarah Perkembangan Orientalisme. STAIN Diponegoro.
Teng, H.M. Bahar Akkase. 2016. “Orientalis dan Orientalisme dalam Perspektif
Sejarah” dalam Jurnal Ilmu Budaya
Montgomery, William. 1998. Bells Intoduction to the Qur’an, terj. Sudana.
Jakarta : Ilnis.

Anda mungkin juga menyukai