BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan tasawuf tidak pernah lepas dari sejarah para nabi terutama Nabi Muhammad, para
Sahabat, para Tabiin dan seterusnya. Nabi Muhammad telah memberikan benih-benih tasawuf yang
dapat di jadikan sebagai rujukan dalam segala perbuatanya. Baik sesuatu yang berhubungan dengan
perilaku beliau, ucapan-ucapan beliau, dan sifat-sifat beliau. Pada zaman Nabi Muhammad belum
muncul istilah tasawuf, namun kegiatan praktek sudah ada sebelum Nabi Muhammad diangkat sebagai
rasul. Istilah pada zaman itu sering dikenal dengan “Zuhud”. Kehidupan yang sama sekali tidak tertarik
dengan kemewahan dunia.
Di masa Rasulullah, gerakan tasawuf belum muncul, hal ini di karenakan pada masa itu belum
dibutuhkan. Dengan ketaatan para sahabat atas perintah nabi dan mereka selalu menjadikan nabi
sebagai contoh. Perilaku mereka tentang hidup kerohanian sangat mengental. Dengan kezuhudanya
yang mereka lakukan itu menjadi hal yang paling baik daripada terpengaruh dengan kemewahan dunia.
Kehidupan kerohanian mereka juga belum tercampur dengan masalah sosial politik, pemikiran-
pemikiran dari bangsa barat, dan sesuatu yang berbau kefilsafatan.
Di masa pertengahanlah tasawuf dari pola pikir manusia dan ulama mulai mengkristal. Tasawuf masa itu
sudah menjadi sebuah organisasi yang memiliki aturan, prinsip, dan sistem khusus. Tawasuf mereka
langsung menjelma menjadi sebauah thariqah. Perkembangan tasawuf inilah sangat berbeda dengan
tasawuf yang dahulu.
3) Bagaimana Praktek dari Perkembangan Tasawuf di Masa Klasik dan Masa Pertengahan ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bagaimana Perkembangan Tasawuf pada Masa Klasik
Tasawuf paada zaman dahulu dikatakan sebagai kehidupan rohani di karenakan ajaran ini mengandung
perjuangan manusia dalam mendapatkan kehidupan yang sempurna di mata Sang Pencipta. Kerohanian
ini berupa ikhtiar manusia dalam mengalahkan gangguan hawa nafsu dan kehidupan kebendaan.
Sejarah perkembangan kerohanian itu sendiri secara garis besar dibagi menjadi 2 yakni zuhud dan
tasawuf. Istilah ini pada dasarnya belum ada pada zaman Rasulullah SAW dan tidak disebutkan dalam
alqur’an, kecuali istilah zuhud.
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘an syai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu
dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk
ibadah. Zuhud juga tidak dapat dipisahkan dengan 2 keadaan yaitu pertama zuhud dijadikan sebagai
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tasawuf. Kedua zuhud dijadikan sebagai akhlak moral dari
sebuah perbuatan dan gerakan protes. Apabila zuhud ini tidak dapat dipisahkan dengan tasawuf , maka
fungsi zuhud dalam tasawuf dijadikan sebagai maqam. Namun apabila zuhud dikatakan sebagai moral
akhlak, maka fungsi zuhud disini berarti bagainmana upaya kehidupan agar mereka dapat menatap
dunia yang fana’ ini. Pandangan dunia menurut mereka hanyalah sekedar tempat beribadah untuk
menghantarkan keridhoan kepada Allah semata. Mereka sama sekali tidak terpengaruh dengan
kemewahan dunia ini. Perbedaan pandangan zuhud disini memiliki perbedaan yang sangat kuat yaitu
bahwa zuhud yang dikatakan sebagai maqam itu bersifat individual, sedangkan zuhud yanag kedua yang
dikatakan sebagai akhlak dan moral itu bersifat individual dan sosial, dan sering dipergunakan sebagai
protes dari penyimpangan sosial. Dalam penamaan zuhud terdapat istilah lain yaitu zahid.
Pada dasarnya seseorang sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid.
Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi
sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi. Kaum zahid lebih mengutamakan hidup kebatinan dan
kerohanian dan menjuruskan perhatianya dan kehidupanya kearah Allah.
Dalam permulaan Tarikh Islam, kehidupan zuhud atau asketisme belum lagi merupakan suatu gerakan
keagamaan yang meluas, yang diamalkan oleh seluruh masyarakat Islam, akan tetapi ia merupakan
kegiatan dan kecendrungan pribadi, mengikuti petunjuk Islam al-Quran dan sunah Nabi. Kegiatan yang
sama sekali tidak mementingkan kehidupan di dunia. Mereka hanya ingin mendekatkan diri kepada
Allah. Mereka lebih gemar berjihad dijalan Allah dan berdakwah untuk mengabdikan diri kepada-Nya.
Sikap zuhud inilah yang sering dikatakan sebagai ilmu pengantar dari kemunculan ilmu Tasawuf. Tahap
awal perkembangan tasawuf itu dimulai pada abad ke 1-H sampai kurang lebih abad ke 2-H. Pada masa
nabi belum muncul istilah-istilah, namun praktek ilmu-ilmu cabang sudah ada di masa nabi sebelum
diangkat sebagai rasul. Kehidupan Nabi Muhammad SAW, dapat dijadikan sebagai suri tauladan.
Perkembangan tasawuf pada masa klasik itu berkisar pada masa Nabi Muhammad SAW, para Sahabat
(Khulafaur Rasyidin), Tabi’in, masa Bani Umayah, dan masa Bani Abbasiyah.
Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan
kebersihan hati dalam menempuh liku-liku problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha
memperoleh petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat kebenaran yang
dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi yang sedemikianlah Nabi Muhammad
menerima wahyu dari Allah SWT yang penuh berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai
pedoman untuk ummat manusia dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Beliau telah dijadikan
sebuah pedoman hukum karena beliau telah menggabungkan kehidupan lahir dengan hidup kerohanian
di dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang diajarkan guna memperkuat iman, kebersihan hati,
keyakinan dan kekuatan bathin. Kehidupan kerohanian yang lain dari Nabi Muhammad ialah beliau
merasa hina di karenakan beliau tidak bangun saat wahyu turun, salah satunya sabda-Nya “
Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam, adalah menjadi ayat
yang besar bagi orang yang yakin” dan beliau telah menyalahkan diri .
Semua kehidupan Nabi Muhammad selalu dijadikan referensi oleh para sufi, berawal dari pengalaman
khalawat di Gua Hira, kebenaran mimpi Nabi Muhammad, masalah wahyu yang turun untuk beliau,
pengalaman Isra mi’raj, masalah misi perdamaian beliau dengan istri-istrinya dan kesederhanaan beliau
dalam menyingkapi arti kehidupan. Beliau menjadi kehidupan kerohanian lebih tinggi dibandingkan
dengan kemewahan belaka. Beliau mengajak kepada manusia bahwa hidup kemewahan di dunia
hanyalah bersifat sementara, oleh karena itu beliau menganjurkan agar manusia itu lebih mendekatkan
diri kepada Allah . pendekatan itulah yang dikatakan sebagai kehidupan yang abadi.
Abu Bakar pernah mendapati berita yang gembira dari Rasulullah. Bahwasanya beliau akan menempati
kedudukan menjadi pemimpin dari kelompok orang-orang yang ahli surga. Bahkan semua pintu surga
pun akan berebut untuk memanggil nama beliau. Beliau sangat terkenal kezuhudanya yaitu beliau
pernah hidup memakai sehelai kain saja. Apalagi dengan kedermawaanya membagikan semua hartanya
untuk orang lain sampai beliau melupakan kebutuhan untuk dirinya sendiri. Dalam kepemimpinan beliau
sebagai Khalifah beliau juga mempunyai keimanan yang begitu agung dan teguh. Beliau tidak penah
goyah dengan pendiriannya, tidak pernah ragu. Sikapnya yang sangat lunak dengan orang lain, pemaaf,
dan kasih sayang.
Umar bin Khatab adalah Khalifah kedua yang dijadikan pengganti setelah abu bakar wafat. Beliau
mempunyai jiwa yang bersih dan kesucian kerohanianya yang sangat tinggi. Umar bin Khatab paling
banyak berlindung terhadap kemampuannya sendiri. Apalagi perkara-perkara yang berhubungan
dengan hatinya dan tabi’at nya. Beliau sangat khawatir dengan terpengaruhnya beliau dengan
kemewahan dunia, keinginan nafsu, keinginan anak dan keluarganya. Suatu saat beliau pernah didapati
menggunakan baju yang memiliki 12 tambalan dan pada kain sampingnya terdapat 14 tambalan saat
berpidato di atas mimbar. Semua perilaku beliau tidak sekedar untuk kepentingan pribadi , tetapi beliau
juga ajarkan hidup kerohanian beliau terhadap orang lain seperti pembagian harta beliau untuk orang
yang berhak mendapatkanya. Yang menjadikan pandangan kehidupan dari beliau adalah kesabaran dan
keridhoan.
Utsman bin Affan adalah Khalifah yang ketiga. Beliau termasuk Khalifah yang telah diberikan kelapangan
riski oleh allah. meskipun begitu, riski yang berlimpah itu tidak melalaikan beliau untuk mendekatkan
diri kepada allah. Tangan beliau tidak pernah lepas dari al-qur’an, beliau selalu khawatir apabila malam
tiba beliau akan ketinggalan menerima surat dari tuhannya. Bahkan dalam pemerintahan beliaupun
terbunuh dalam posisi sedang membaca al-Qur’an. Tentang sikap beliau terhadap masalah duniawi
bahwa harta mempunyai nilai sosial yang harus ditasarufkan kepada kepentingan umum. Dia pernah
mengatakan bahwa “ seandainya aku tidak khawatir bahwa dalam Islam terdapat lobang yang dapat
kututup dengan harta ini, pasti aku tidak akan mengumpulkannya”[1].
Ali bin Abi Thalib adalah khalifah yang ke empat. Jabatan beliau dalam memimpin umat islam pun tidak
mengurangi hidup kerohanianya dengan Allah. kehidupan zuhudnya yaitu berupa pekerjaan beliau dan
cita-citanya yang besar yang menyebabkan beliau tidak peduli dengan apa yang beliau pakai. Beliau juga
pernah memakai pakaian yang robek karena mumuk. Apabila baju yang beliau pakai itu robek, maka
beliau langsung menjahitnya dengan tangannya sendiri. Dengan ini justru beliau dapat mengkhusyukan
hati, sehingga dengan kekhusyuanya beliau dapat dijadikan suri tauladan bagi orang yang beriman.
Kezuhudan beliau ada yang berhubungan pola makam yang sederhana, yaitu beliau pernah makan tiga
buah korma setiap hari dalam satu bulan. Beliau juga termasuk sahabat yang adil dan bijaksana.
Dalam hal ini gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi'in tidak pada masa
nabi di karenakan kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil,mereka
patuh dengan apa yang diajarkan oleh nabi dan mereka juga selalu menjadikan sikap nabi yang terpuji
itu sebagai suri tauladan. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan
secara seimbang. Nabi, para Shahabat dan para Tabi'in pada hakikatnya juga sudah sufi. Dengan
keteladanan mereka yang keimanannya teguh, sikapnya lunak, pemaaf dan kasih sayang, dermawan dan
mensyukuri nikmat-nikmat allah, jernih hatinya sehingga mereka dapat melihat nur Allah, karena nurnya
Allah meliputi dan ADA pada segala sesuatu, baik di langit maupun bumi. Mereka juga tidak pernah
mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai
sang Khaliq.
Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah
orang-orang lalai pada sisi kerohanian. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah).
Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup.
Tasawuf pada masa Bani Umayah sudahlah berbeda dengan hidup kerohanian sebelumnya. Hal ini
dikarenakan hidup kerohanian disini sudah terkontaminasi dengan masalah sosial politik. Apalagi
masalah terbunuhnya Utsman bin Affan yang berkepanjangan dengan masa-masa selanjutnya. Oleh
karena itu munculah kelompok Bani Umayah, Syiah, Khawarij, dan Murji’ah. Tasawuf pada masa Bani
Umayah dilatar belakangi adanya kemewahan kekuasaan umayah dengan kehidupannya. Pemerintahan
ini sangat kejam dengan sekelompok politik yang menentangnya. Puncak kekejaman ini sangat terlihat
pada saat adanya perang karbala yang di dalamnya terbunuh Husen bin Ali bin Abi Thalib. Akhirnya
peristiwa ini memberikan pengaruh yang besar tentang sebuah penyesalan. Kelompok disini disebut
kelompok tawwabun ( kelompok yang merasa dirinya banyak dosa sehingga selalu bertaubat kepada
Allah).
Dalam situasi ini kaum Muslimin yang merasa shaleh, mereka berkewajiban untuk menyerukan
kehidupan zuhud, sederhana, tidak di pengaruhi oleh hawa nafsu,dll. Salah satu tokoh tasawuf pada
masa ini ialah Abu Dzar al-Ghifari. Beliau yang menerapkan keadilan dalam kehidupan sosial. Kezuhudan
beliau adalah beliau hidup sebatangkara, tidak mempunyai tempat tinggal, beliau hidup di latar Masjid
Nabawi. Beliau sangat sabar, wara’, dan qana’ah. Disini pula muncul beberapa istilah baru, seperti
buka’in (kelompok yang selalu mengucurkan air mata kepedihan), qashshash (pendongeng), nussak(ahli
ibadah),’ubbaad(orang-orang yang mengabdikan dirinya semata-mata hanya untuk Tuhannya),
rabbaniyyin(ahli keTuhanan). Istilah-istilah ini akan dijelaskan pada tahapan perkembangan tasawuf di
masa klasik dan pertengahan.
Tasawuf pada masa Bani Abbasiyah muncul di karenakan hadirnya Dzu Nun al-Misri. Beliau adalah
orang pertama yang memperkenalkan maqamat dalam dunia sufi. Pemikiranya yang sistematis yang
dapat dijadikan penelitian para sufi. Kemudian muncul lagi seorang sufi bernama Surri al-Saqathi. Beliau
memperkenalkan uzlah-uzlah yang tadinya bersifat individu atau perorang menjadi uzlah yang bersifat
kolektif. Hal ini bertujuan untuk menghindari kehidupan dunia yang penuh dengan pertentangan, intrik,
dan pertumpahan darah. Di era inilah istilah sufi mulai muncul dari beberapa kalangan, sebutan khusus
untuk mereka yang secara ketat dan tegas menghindari kehidupan yang fana dan lebih mengutamakan
pendekatan diri terhadap Allah SWT.
Oleh karena itu, hidup kerohanian atau tasawuf pada masa klasik sering menggunakan istilah zuhud,
belum ada peresmian nama asli dari tasawuf itu sendiri. Semua itu hanyalah sekedar praktek semata.
Dalam ajaran Islam, tasawuf juga tidak lepas bahwa sumbernya berasal dari al-Qur’an dan
hadits. Tasawuf dianggap sebagai ajaran yang mistik, ajaran yang terletak pada batin dan perenungan.
Perenungan inilah karena adanya penghayatan dari sumber tasawuf itu sendiri yaitu al-Qur’an dan
hadits. Namun sumber tasawuf ini juga masih diperebutkan. Ada yang menyatakan bahwa sumber
tasawuf Islam adalah dari ajaran Islam itu sendiri. Selain itu ada pula yang menyatakan bahawa sumber
dari tasawuf itu berasal dari Persia, Hindu, Nasrani, dan sebagainya. Salah satu prakteknya yaitu
· Berasal dari pengaruh Hindu seperti ucapan-ucapan doa dan nyanyian-nyanyian agama.sperti
yoganya orang hindu banyak persamaan kehidupan dari riyadhah kaum shufi.
· Berasal dari pengaruh Persia seperti zuhud dalam islam menyerupai zuhudnya para pendeta Imam
Manu, begitu juga qanaahnya islam di serupai dengan qonaahnya mereka yaitu dengan hidup sederhana
dan dilarang makan daging binatang, hal ini disamakan dengan Madzab Mazdak.
· Berasal dari agama Nasrani seperti ajarannya, latihan kerohanian, khalawatnya, bahkan hingga
pakaiannya. Adanya kehidupan yang kaya dan yang miskin, bertafakur dan berdiam diri.
· Berasal dari pengaruh Filsafat Yunani seperti alam pikiran islam telah terpengaruh dengan Filsafat
Aristoteles untuk kepercayaan tentang Zat Pencipta yang akhirnya tumbuhlah “Ilmuul Qalam”.
Pada dasarnya adanya pernyataan bahwa pengaruh tasawuf dari luar Islam sendiri itu tidaklah sampai
pada ajaran tasawuf bagian inti atau isinya namun sekedar ada pada kulit ajaran tasawuf itu sendiri.
Kaum shufi itu sendiri, atau golongan Islam yang tidak masuk kedalam salah satu Madzhab. Kerohanian
yang membantu kehidupan mereka, berkata bahwasanya pokok ambilan kerohanian itu ialah agama
sendiri. Pertama al-Qur’an, ke-dua Hadits dan ketiga tidak kurang penting nya contoh tauladan dari
Nabi Muhammad SAW, para Sahabat ,dan para Tabi’in yang sudah dijelaskan di atas.[2]
Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime merupakan fase yang mendahului lahirnya
tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Dalam Islam, asketisisme mempunyai pengertian
khusus. Asketisisme bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan dunia, tetapi asketisme ini
adalah tidak ada keterikatan nafsu dengan dunia. Istilah yang populer digunakan pada masa awal
tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan ‘ubbaad. Nussaak merupakan bentuk jamak dari nasik, yang
berarti orang-orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad
adalah bentuk plural dari zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan, harta benda dan
pangkat. Sedangkan ‘ubbaad merupakan bentuk jamak dari abid yakni orang-orang yang telah
mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.
Pada dasarnya zuhud adalah permulaan dari munculnya tasawuf. Di masa ini belum muncul istilah
tasawuf namun prakteknya sudah ada sejak itu, seperti lahirnya hasan bashri yang memperkenalkan
ajaran Khauf dan Raja’. Rasa takut dan berharap kepada Allah lah yang sering di ajarkan bagi para
mursyid terhadap muridnya.
Sedangkan pengamalannya dari kehidupan rohani yaitu dengan mengurangi makan, menjauhkan diri
dari keramaian duniawi dan mencela dunia seperti harta, keluarga, dan kedudukan. Abu al- Wafa
menyimpulkan zuhud salah satunya yaitu menjauhkan diri dari kehidupan dunia untuk menuju kee
kehidupan akherat, dengan melakukan sesuatu yang bersifat sederhana, praktis, dan bertujuan untuk
meningkatkan moral.
Pada abad yang ketiga dan keempat ini, tawasuf mulai mengalami pengembangan . istilah zuhud sudah
diganti dengan istilah tasawuf . Bahkan penamaan tasawuf di sinipun sudah hampir punah. Mereka
lebih menggunakan tasawuf dengan istilah sufi. Corak-coraknya pun sudah berbeda sekali dengan yang
dulu. Abad ini menggunakan tasawuf yang bersifat kefana’an yang fokus dengan persatuan hamba dan
hubunganya dengan sang Khaliq(ittishal). Metode yang dikenal dengan istilah tingkatan (maqam) serta
keadaan (hal), ma’rifat, tauhid, penyatuan atau hulul. Bahkan mereka menyusun aturan-aturan praktis
bagi tarekat mereka dan mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal dalam kalangan
mereka sendiri, yang asing bagi kalangan luar. Sejak saat itu muncul karya-karya tentang tasawuf,
dengan para pengarang seperti Al-Muhasibi (w. 243 H), Al-Kharraz (w. 277 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w.
285 H), dan Al-Junaid (w. 297 H). Sehingga dapat dikatakan bahwa abad ketiga Hijriyah merupakan
tasawuf yang mencapai peringkat terjernih dan tertinggi, karena tokoh-tokoh sufi inilah yang kemudian
di jadikan panutan para sufi yang hidup setelahnya.
Pemikiran mereka yang sangat cakap dalam bidang apapun. Maka terkenal pulalah ilmu mereka sebagai
ilmu Batin, ilmu Hakikat, ilmu Wiratsah dan ilmu Dirayah. Semua istilah tersebut merupakan kebalikan
dari ilmu Lahir, ilmu Syariah, ilmu Dirasah, dan ilmu Riwayah .
Pada abad III dan IV hijriyah, terdapat dua aliran tasawuf, yaitu aliran Tasawuf Sunni. Tasawuf sunni
adalah tasawuf yang pokok ajaranya sangat terikat dengan al-Qur’an dan Hadits serta mengkaitkan
antara ahwal dengan maqamat mereka terhadap kedua sumber tersebut. Sedangkan yang kedua adalah
aliran tasawuf “semi falsafi”. Para pengikut tasawuf ini cenderung dengana ungkapan-ungkapan yang
ganjil(syathahiyat ) serta bertolak dengan keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya
penyatuan ( ittihad atau hulul).[3]).[4]
Aliran tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembang pada abad kelima Hijriyah.
Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis , mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali
dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan setelahnya.
Tenggelamnya aliran kedua pada abad kelima Hijriyah, pada dasarnya disebabkan oleh berjayanya aliran
teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah melalui keunggulan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari atas aliran-aliran lainnya.
Tasawuf pada masa ini cenderung melakukan pembaruan dengan mengembalikannya ke landasan Al-
Quran dan Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan Al-
Ghazali. Di sini akan dibahas pandangan atau kritik mereka terhadap penyimpangan tasawuf.
Abu Al-Qasim Al-Qusyairi merupakan tokoh yang sangat terkenal pada abad kelima Hijriyah terutama
karena karya beliau yang sangat terkenal, al-Risalah al-Qusyairiyyah, yang sangat berpedoman pada Al-
Quran dan Sunnah. Di awal mukadimahnya, Qusyairi melukiskan bahwa saat itu sudah amat langka para
sufi sejati. Karena itu, Qusyairi menulis kitab yang ia menguraikan konsep-konsep tasawuf, maqamat
wal ahwal, kondisi ruhaniah dan karamah para wali, serta diakhiri dengan biografi singkat mengenai
para tokoh sufi ternama.
Tokoh sufi lain yang tasawufnya berasaskan doktrin Ahlus Sunnah ialah Abu Ismail Abdullah ibn
Muhammad Al-Anshari atau yang lebih dikenal dengan Al-Hawari. Ia dipandang sebagai penggagas aliran
pembaruan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-
ungkapannya, seperti Al-Busthami dan Al-Hallaj .
Karya Al-Harawi yang paling terkenal adalah Manazil al-Sairin ila Rabb al-Alamin. Dalam karya ringkas
tersebut, ia memaparkan tingkat-tingkat ruhaniah yang mempunyai awal dan akhir. Ketingkatan ini
menurut al-Qusyairi dianalogikan dengan sebuah bangunan yang didalamnya harus ada pondasinya agar
bangunan itu menjadi kokoh .oleh karena itu tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas
keikhlasan serta mengikuti Sunnah.
Al-Harawi juga dikenal dengan teori fana’ dalam kesatuan, namun fana’nya berbeda dengan fana’ para
sufi semi falsafi sebelumnya. Baginya fana’ bukanlah fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi dari
penyaksian dan perasaan mereka sendiri atau dengan kata lain, ketidaksadaran atas segala sesuatu
selain yang disaksikan.
Al-Harawi menganggap bahwa orang yang suka mengeluarkan ungkapan-ungkapan ganjil, maka hatinya
tidak bisa tenteram, atau dengan kata lain ungkapan tersebut muncul dari ketidaktenangan. Sebab
apabila ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka, maka akan membuat mereka terhindar dari
keganjilan ucapan atau pun segala penyebabnya.
Setelah mendalami berbagai ilmu, seperti ilmu Fikih, Kalam, Filsafat dan Tasawuf, maka ia berkeyakinan
bahwa jalan sufi adalah jalan terbaik bahkan pada titik ekstremnya.
Para pengkaji tasawuf filosofis, berpendapat bahwa perhatian para penganut tasawuf filosofis terutama
diarahkan untuk menyusun teori-teori wujud dengan berlandaskan rasa (dzauq), yang merupakan titik
tolak tasawuf mereka. Ibn Khaldun memaparkan ada empat karakteristik tasawuf filosofis yaitu
Pertama, latihan ruhaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya.
Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, misalnya sifat-sifat rabbani, arsy, kursi,
malaikat, wahyu, kenabian, ruh, hakikat realitas segala wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan
susunan kosmos, terutama tentang Penciptanya dan penciptaannya.
Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk
kekeramatan atau keluarbiasaan. Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya
sepintas samar-samar (syahahiyyat), yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
mengingkarinya, menyetujui, atau menginterpretasikannya.
Adapun tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Suhrawardi dan Ibn Arabi. Di sini akan dielaborasi
sekilas pandangan ketiga tokoh tersebut agar dapat memperjelas konsep tasawuf filosofis yaitu Al-
Suhrawardi Al-Maqtul dikenal sebagai Shaykh al-Ishraq, guru filsafat cahaya. Walaupun ia meninggalkan
banyak karya, namun karyanya yang paling terkenal dan mengantarkannya dirinya sebagai tokoh
tasawuf filosofis adalah Hikmah al-Isyraq. Kitab tersebut menguraikan pandangan-pandangannya
tentang filsafat isyraqi atau tasawuf isyraqi (iluminatif),
yang didasarkan pada penalaran yang tersebar dan pemikiran sesuatu tanpa dipahami oleh orang lain,
dengan latihan formal terhadap pikiran sekaligus pembersihan jiwa. Garis besar teori Suhrawardi dapat
disingkat dalam nukilan berikut:
“Hakikat dari Cahaya Mutlak, Tuhan, memberi terang terus menerus, yang merupakan
pengejawantahan dan menyebabkan segala sesuatu ada, memberikan kehidupan kepada segala sesuatu
dengan sinarnya. Segalanya di dunia berasal dari Cahaya hakikat-Nya dan segala keindahan dan
kesempurnaan adalah karunia dari kemurahan-Nya, dan mencapai terang ini sepenuhnya berarti
keselamatan”.
Melalui paparan singkat di atas, sebenarnya dalam doktrin Wahdat al-Wujud, Tuhan betul-betul Esa
karena tidak ada wujud hakiki, kecuali Tuhan; wujud hanya milik Tuhan. Alam tidak mempunyai wujud
kecuali sejauh berasal dari Tuhan. Alam tidak lebih dari penampakan-Nya. Dengan demikian, doktrin ini
hanya mengakui satu wujud atau realitas karena mengakui dua jenis wujud atau realitas yang sama
sekali independen berarti memberi tempat kepada syirik atau menyembah tuhan lebih dari satu.
Periode abad keenam dan ketujuh Hijriyah tidak kalah penting dengan periode-periode sebelumnya.
Sebab pada periode ini justru tasawuf telah menjadi semacam filsafat hidup bagi sebagian besar
masyarakat Islam. Tasawuf menjadi memiliki aturan-aturan, prinsip, dan sistem khusus; di mana
sebelumnya ia hanya dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi dalam dunia Islam tanpa adanya
ikatan satu sama lain. Periode inilah kata “tarekat” pada para sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah
pribadi sufi yang bergabung dengan seorang guru (syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci
dalam jalan ruhani. Mereka hidup secara kolektif di berbagai zawiah, rabath, dan khanaqah (tempat-
tempat latihan), atau berkumpul secara periodik dalam acara-acara tertentu, serta mengadakan
berbagai pertemuan ilmiah maupun ruhaniah yang teratur.
Tarekat secara etimologis berasal dari bahasa Arab, thariqah yang berarti al-khat fi al-syai (garis
sesuatu), al-shirat dan al-sabil (jalan). Kata ini juga bermakna al-hal (keadaan). Dalam literatur Barat,
menurut Gibb, kata thariqah menjadi tarika yang berarti road (jalan raya), way (cara), dan path (jalan
setapak). Hanya saja ada perbedaan antara road dan path. Jika yang pertama merupakan jalan besar
yakni syariat, maka yang kedua jalan kecil yakni yang secara khusus ditujukan sebagai tarekat atau
perjalanan spiritual. Sedangkan secara praktis, tarekat dapat dipahami sebagai sebuah pengamalan
keagamaan yang bersifat esoterik (penghayatan), yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan
menggunakan amalan-amalan berbentuk wirid dan zikir yang diyakini memiliki mata rantai secara
sambung menyambung dari guru mursyid ke guru mursyid. lainnya sampai kepada Nabi Muhammad
Saw, dan bahkan sampai Jibril dan Allah. Mata rantai ini dikenal di kalangan tarekat dengan nama silsilah
(transmisi). Dalam tataran ini, tarekat menjadi sebuah organisasi ketasawufan.
Secara lebih luasnya, dalam dunia sufistik menurut Schimmel, tarekat adalah jalan yang ditempuh para
sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’
sedangkan anak jalan disebut tariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi,
pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak
bagi setiap Muslim. Tidak mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia berpangkal;
pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih
dahulu secara seksama, akan tetapi tariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih sulit dijalani serta
membawa santri (salik) dalam suluk atau pengembaraannya melalui berbagai persinggahan (maqam),
sampai mungkin cepat atau lambat akhirnya ia mencapai tujuannya, yaitu tauhid sempurna; yaitu
pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah satu.
Sebagai organisasi tasawuf atau metode spiritual yang praktis, tarekat memiliki metode yang berbeda-
beda antara satu dengan yang lain. Ada yang menggunakan program penyucian jiwa, zikir, tafakur,
meditasi, mendengar musik dan menari, qiyamul lail dan lain-lain. Tetapi tujuan mereka semuanya sama
yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah semata (taqarrub ila Allah).
Walaupun sejak jauh sebelumnya organisasi tarekat telah hadir, seperti tarekat Junaidiyyah yang
bersumber pada ajaran Abu Al-Qasim al-Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H) atau tarekat Nuriyyah yang
didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), namun baru pada abad ketujuh Hijriyah dan
sesudahnya inilah tarekat berkembang pesat.
2.3 Praktek dari perkembangan tasawuf di masa klasik dan masa pertengahan
Semua perkembangan tasawuf dari abad ke abad memiliki ciri khas tersendiri yang membawa
pengaruhnya di zaman sekarang. Pengajaran yang dilakukan oleh mereka di jadikan referensi para shufi
untuk sebagai teladan. Praktek tasawuf mereka dapat diamalkan dan dapat di bandingkan antara
tasawuf masa klasik dan masa pertengahan.
Praktek kehidupan nabi muhammad SAW yang dapat dicerminkan sebagai contoh salah satunya:
· Hidup mahabbah ( sangat mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi kecintaanya terhadap diri
sendiri).
· Rawatib serta shalat dhuha yang tidak kurang dari delapan rakaat setiap hari.
Praktek kehidupan para sahabat salah satunya Khulafaur Rasyidun yang dapat dicerminkan salah
satunya :
· Cara hidup yang selalu memilih kesederhanaan dengan sifat yang mulia,seperti zuhud ,wara’,
sabar, qana’ah, kedermawanan, tawakal.
Praktek kehidupan Bani Umayah dan Bani Abbasiyah yang dapat dicerminkan salah satunya:
· Menjauhi kehidupan dunia yang berarti menghilangkan sifat-sifat yang merusak ibadah agar dekat
dengan Allah SWT.[5]
· Menjadikan adanya harta/kejayaan sebagai sebab yang bisa menjadikan sarana dan prasarana
untuk kebaikan.
· Menjadikan kehidupan yang fakir sebagai alat untuk konsentrasi ibadah dan berdzikir kepada Allah
SWT
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Kehidupan kerohanian pada masa klasik dengan masa pertengahan sangat berbeda. Bersamaan dengan
muncul beberapa pendapat tentang penamaan kata “Tasawuf ”. Sumber-sumber ajaran tasawuf
mereka juga masih di perdebatkan. Dari masa ke masa tasawuf mengalami perkembangan dalam
ajaranya, begitu juga para tokoh dalam mengajarkan pemahaman kepada para pengikutnya. Tahapan
tasawuf itulah yang dapat membedakan antara tasawuf yang murni dengan tasawuf yang sudah
tercampur dengan ajaran yang lain.
Hidup kerohanian yang sangat terkenal apalagi di setiap tokoh mempunyai sikap kezuhudanya masing-
masing. Kezuhudan mereka yang membuat kehidupan mereka lebih berarti dengan hadirnya allah
dalam benaknya. Ajaran yang tidak pernah hilang dari tasawuf adalah kewara’anya, sabar, dan qanaah.
Harta, pakaian, kebutuhan sehari-hari, keluarga, dan kekuasaan bukanlah hal yang dijadikan sebagai
penghalang mereka untuk tetap mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Nabi, Sahabat dan para Tabi’in di jadikan sebagai penelitian para shufi dalam masalah tasawuf di masa
klasik. Sedangkan para tokoh yang lain, seperti imam ghazali, ibn ata’illah dan para tokoh yang muncul
pada abad pertengahan (1250 H-1700 H), ajaran tasawufnya yang sudah tercampur dengan ilmu filsafat
dan kehidupan zuhud yang ekstrim.
Oleh karena itu, sejarah perkembangan tasawuf itu meliputi masa pembentukan(abad 1-2 H), masa
pengembangan(abad 3-4 H), masa konsolidasi(abad 5 H), masa falsafi(abad 6 H) , dan masa
pemurnian(abad 7 H dan seterusnya).
2.2 Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan krtik dan saran dari semua pihak demi perbaikan
makalah ini di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
HAMKA. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1981
Khoiri,Alwan. Akhlak dan Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005
Syukur,Amin. Menggugat Tasawuf Sufisme dan Tanggung jawab Sosial Abad 21. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 1999