BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Dalam persfektif pemikiran islam, ilmu kalam memiliki karakteristik, corak, bentuk dan
khas. Pemikirannya sangt melekat dengan kondisi sosial, kultural dan politis, di saat umat
islam sedang mengembangkan ajrannya. Secara teologis, pemikiran kalam muncul
bersamaan dengan penyikapan umat islam terhadap ajarannya, baik dalam bentuk
pemahaman, penghayatan dan pengalaman. Oleh karena itu, sejak awal terutama setelah
Rasulullah SAW wafat, pemikiran telah muncul.
Ilmu kalam termasuk cabang ilmu keislaman yang muncul semenjak masa yang terbilang
awal. Dalam konteks pemikiran islam, ilmu kalam termasuk bagian dari proses
pengalaman islam yang mengalir dalam bangunan peradaban islam pada umumnya. Oleh
karena itu, sebagai bagian dari pemikiran islam, ilmu kalam tidak dapat dipisahkan dari
proses sejarah peradaban islam. Ilmu kalam menjadi suatu rangkaian kesatuna sejarah,
dan telah ada di masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Akan tetapi,
setiap langkah yang menuju pemikiran kalam selanjutnya, di perlukan penguraian dan
analisis yang mendalam dalam hubungannya dengan entitas pandangan islam.
B.RUMUSAN MASALAH
C.TUJUAN
B. Tokoh-tokohnya
Salah satu tokoh penting dari aliran Maturidiyah ini ialah al-Bazdawi, yang nama
lengkapnya adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Ia dilahirkan pada tahun 421 H,
namun orang tidak mengetahuinya secara pasti, di mana ia dilahirkan. Kakek Bazdawi
adalah murid Maturidi, dan Bazdawi mmepelajari ajaran-ajaran Maturidi daru orang
tuanya, tidak di ketahui secara pasti di kota mana-mana saja Bazdawi bermukim, kecuali
di sebutkan bahwa ia berada di Bukhara pada tahun tahun 478 H/1085 M, dan menjadi
qhadi di Samarkand pada tahun 481 H/1088 M, kemudian wafat di Bukhara pada Tahun
493 H/1099 M. dengan demikian dapat di duga bahwa Bazdawi menghabiskan bagian
dari masa hidupnya di Bukhara. Ia dalah tokoh ulama yang dalam bidang fiqh brmazhab
hanafi. Karyanya yang terknal adalah kitab Ushul al-Din. Al-Bazdawi sndiri mempunyai
banyak murid, dan salah seorang daripadanya ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi.
Ia adalah pengarang buku al-‘aqaid al-nasafiah.
Seperti di ketahui, tidaklah selamanya pengikut suatu aliran, pendirinya selalu sama
dengan aliran yang ia ikuti. Hal ini terjadi pada Bazdawi yang pendirian-pendiriannya
lebih dekat kepada asy-‘Ariyah dapipada kepada maturidi, sementara maturidi sendiri
lebih dekat kepada mu’tazilah. Untuk mengetahui ajaran atau faham Bazdawi yang di
sebut pula dengan Maturidiyah Bukhara, ajaran-ajarannya sebagai berikut:
1.Kemampuan akal manusia
Bazdawi dan maturidi mempunyai pandangan yang sama tentang kemampuan akal
manusia, mengetahui adanya Tuhan, dan mengetahui baik dan buruk, meskipun
demikian, mengetahui adanya Tuhan dan bersyukur kepada-Nya bukanlah merupakan
kewajiban sebelum datangnya keterangan wahyu, dmikian pula mengerjakan perbuatan
baik dan menjauhi perbuatan jahat, karena menurutnya kewajiban-kewajiban itu, hanya di
tentukan oleh Tuhan, dan ketentuan-ketentuan itu hanya di ketahui melalui wahyu.
2.Perbuatan manusia
Tentang perbuatan manusia, Bazdawi tidak sefaham dengan maturidi.. mnurut
pendapatnya, sekalipun perbuatan manusia itu di ciptakan oleh Tuhan, tetapi bukanlah
perbuatan Tuhan. Manusia adalah pembuat perbuatan dalam arti kata yang sesungguhnya.
Terhadap pendapatnya ini, lalu dia di kritik orang, bahwa melakukan prbuatan yang
diciptakan Tuhan, lebih tepat dikatakan perbuatan manusia, akibat kritikan itu, lalu ia
menjadi ragu-ragu terhadap pendapatnya sendiri. Akhirnya ia mempunyai I pendapat
yang cendrung kepada anggapan bahwa daya manusia tidaklah efektif dalam
mewujudkan perbuatannya, sebagaimana halnya juga pendapat Al-Asy’ari.
3.Kehendak dan kekuasaan Tuhan
Menurut bazdawi, Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, ia bebas melakukan apa saja
yang di Kehendaki-Nya, tidak ada yang bisa menentang, memaksa ataupun melarang-
Nya. Namun demikian, kehendak dan kekuasaan Tuhan menurut faham Bazdawi tidaklah
semutlak apa yang terdapat dalam faham Asy’ari. Bazdawi menjelaskan bahwa tidak
mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi pahala bagi yang berbuat baik,
tetapi sebaliknya, bukan tidak mungkin Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi
hukuman kepada orang yang berbuat jahat.
2.Pebuatan manusia
Menurut Al-maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu
dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia,
kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki
kemampuan berbuat( ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepadanya
dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini, Al-maturidi mempertemukan antara Ikhtiar
sebagai perbuatan manusia dan Qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.
Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya
tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada
pertentangan antara Qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan Ikhtiar yang
ada pada manusia. Kemudian, karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan
yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam ati yang sebenarnya, maka tentu
daya itu juga daya manusia. Berbeda dengan Al-maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa
daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang bahwa perbuatan manusia adalah
perbuatan Tuhan. Bebeda pula dengan mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya
manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
Dalam masalah pemakaian daya ini, Al-maturidi membawa faham Abu Hanifah, yaitu
adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan
perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Tuhan, tetapi ia dapat memilih
yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan
kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-
nya. Dengan demikian. Berarti manusia dalam faham Al-matruidi tidak sebebas manusia
dalam faham mu’tazilah.
3.Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan tedapat persamaan antara pemikiran Al-maturidi
dengan Al-Asy’ari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, sepeti
sama’(mendengar), bashar (melihat), dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian
matuidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari . Al-Asy’ari mengartikan sifat
Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat tu sendiri,
sedangkan Al-maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakn sebagai esensi-Nya
dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah dzat tanpa terpisah
(innaha lam takun ain ad-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak
harus membawanya pada pengertian antrhropomorphisme karena sifat tidak berwujud
tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa pada berbilangnya
yang Qadim(taaddud al-qudama)
Tampakanya faham al-maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati faham
mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan al-maturidi tentang adanya
sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
Kalau di perhatikan, sebenarnya kaum muslimin sepakat bahwa Allah itu Maha
mengetahui, Maha Mendengar, Maha Kuasa dan sebagainya, sebagaimana tersebut di
dalam Al-Qur’an. Letak perbedaan mereka hanyalah pada apakah sifat-sifat itu sesuatu
yang ada di luar dzat ataukah bukan. Mu’tazilah meniadakan sifat-sifat itu tetapi Asy-Ari
mengatakan bahwa sifat-sifat itu adalah sesuatu di luar dzat, sedangkan Al-maturidi
menetapkan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang merubah dzat.
Dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat dalam A-Qur’an, al-maturidi
mentakwilkannya, sedang Al-asy’ari dalam hal ini mempunyai dua pendapat. Semula ia
mentahzihkan (mensucikan)saja, tanpa mentakwilkan, seeperti Tuhan mempunyai tangan,
tapi tidak seperti tangan makhluk-Nya, tetapi kemudian dia berubah, cenderung
mengikuti pandapat Al Maturidi, yaitu mentakwilkanya, sebagaimana disebutkan dalam
bukunya Al Luma’ yang dikutip oleh Abu ZAkrah, dan inilah pendapatnya yang terahir.
Dalam hal ini, maka pendapat Al As’ary dan Al Maturidi adalah sama.
4.Melihat Tuhan
Al-maturidi dalam hal ini mengatakan, bahwa Tuhan bisa dilihat dengan mata kepala
manusia nanti di akhirat, karena ia mempunyai wujud. Melihat Tuhan di hari Akhirat itu
tidak bisa di ketahui tentang bagaimana, kecuali hanya melalui apa yang di dengar dari
nash Al-Qur’an antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22-23 yaitu:
yang artinya:
Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mreka
melihat.(Qs. Al-Qiyamah:22-23)
Lebih dari itu, orang tidak di perintahkan untuk mencari-cari alasan yang tidak
diketahuinya, karena tidak memiliki ilmu tentang masalahnya, sebagaiman Allah
berfirman:
yang artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan di
minta pertanggung jawaban.(Qs. Al-Isra’:36)
Dalam hal ini melihat Tuhan di akhirat, al-maturidi dan al- asy’aiyah sependapat, tetapi
mu’tazilah menolaknya, dengan alasan bahwa melihat itu membutuhkan tempat bagi
orang yang melihat dan bagi yang dilihat. Sedangkan Allah mustahil berada pada satu
tempat atau berada pada waktu tertentu.
6.Kalam Tuhan
Al-maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan
kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim
bagi Allah sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits).
Al-quran dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu atau
hadits. Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat
dengan-Nya (bila kaifa) tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan suatu perantara.
Menuut al-maturidi, mu’tazilah memandang al-quran sebagai yang tesusun dari huruf-
huruf dan kata-kata sedangkan al-asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam
Allah menurut mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari Dzat-Nya. Al-
Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan
tidak brsifat kekal. Pendapat ini di terima Al-maturidi, hanya saja Al-maturidi lebih suka
menggunakan istilah ilmu hadis sbagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an.
Dalam konstek ini, pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan pendapat Al-
Maturidi, karena yang di maksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak tidak
lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu memang sifat Tuhan.
7.Perbuatan Tuhan
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semua ini
atas kehendak Tuhan., dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan,
kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang di tentukan oleh kehendak-Nya sendiri.
Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat yang baik dan yang terbaik bagi manusia.
Setiap perbuatan manusia Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang
di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-
Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
a)Tuhan tidak akan membebankan kwajiban-kewajiban kpada manusia di luar dari
kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga
diberikan kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuandan perbuatannya.
b)Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena mrupakan tuntutan keadilan yang
sudah ditetapkannya.
Aliran mu’tazilah mengatakan bahwa Allah melakukan semua perbuatan-Nya karna ada
maksud-maksud dan tujuan tertentu. Sedangkan Al-Maturidi mengatakan bahwa semua
perbuatan Allah mngandung hikmah(kebijaksanaan) atau tujuan, tetapi perbuatan-Nya ini
tidaklah atas dasar kewajiban, sebagaimana yang dikatakan mu’tazilah, sebab kalau atas
dasar kewajiban, berarti meniadakan kehendak dan mengharuskan adanya hak bagi selain
Allah untuk memaksa-Nya, sehingga kehendak Allah tidak bebas, padahal Allah berada
di atas hamba-Nya. Adpaun Aliran As-Asy’ariyah mngatakan, bahwa perbuatan Allah
bukan kerena hikmah dan tujuan.
8. Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia,
seperti kewajiban mengetahui baik buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang
dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu menurut al-maturidi, akal memerlukan
bimbingan ajaran wahyu untuk mengtahui kewajiban-kewajiban tersebut,. Jadi,
pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu
yang disampaikan Rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar
kemampuannya kepada akalnya.
Pandangan Al-maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan mu’tazilah yang
berpendapat bahwa pengutusan Rasul ketengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan
agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
BAB III
PNUTUP
A. KESIMPULAN
Aliran maturidiyah lahir di Samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya
adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Almaturidi, di daerah
Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu’tazilah. Tokoh dari aliran Al-
Maturidiyah itu sendiri adalah al-Bazdawi, yang nama lengkapnya adalah Abu al-Yusr
Muhammad al-Bazdawi. Ia dilahirkan pada tahun 421 H, namun orang tidak
mengetahuinya secara pasti, di mana ia dilahirkan. Al-Bazdawi memiliki perbedaan
pendapat mengenai ajaran-ajaran atau doktrin-doktrinya. Meskipun Al-Bazdawi tokoh
dari aliran maturidiyah, tetapi Bazdawi yang pendirian-pendiriannya lebih dekat kepada
asy-‘Ariyah dapipada kpada maturidi, sementara maturidi sendiri lebih dekat kepada
mu’tazilah. Sehingga di dalam Aliran Al-Maturidi terdapat 2 golongan yaitu golongan
Samarkand dan golongan Bukhara.
B Komentar/ kritik penulis terhadap Aliran Al-Maturidiyah
Apabila aliran Al-maturidiyah berkembang sampai saat ini, bila kita lihat dari tokoh-
tokoh dan pendiri al-Maturidi yang mengalami beberapa perbedaan pendapat mengenai
ajaran-ajarannya, di mana pendiri dari aliran Al-maturidi itu lebih memihak kepada aliran
Asy-Ariyah sedangkan aliran al-maturidi itu sendiri lebih ke pihak mu’tazilah. Bila aliran
ini berkembang pada saat ini, ini akan mengakibatkan kebingungan pada masyarakat
umumnya. Seharusnya aliran Al-maturidi harus mengikuti ajaran-ajaran yang ada [ada
aliran tersebut.