Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur menurut
undang-undang, seseorang yang memutus suatu perkara secara adil berdasar atas bukti-
bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya sendiri. Dalam melakukan kekuasaan
kehakiman hakim dihadapkan dengan berbagai hal yang dapat mempengaruhi putusannya
nanti. Seorang hakim menjadi sangat rentan akan berbagai penyimpangan akan berbagai
penyimpangan baik yang dilakukan secara sengaja misalnya memutus seseorang yang
bersalah kemudian dibenarkan hanya karena memberikan uang kepada hakim tersebut
ataupun yang dilakukannya secara tidak sengaja misalnya memutus seseorang yang tidak
bersalah karena bukti-bukti yang menunjukan demikian. Segala sesuatunya akan
dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT.
Oleh sebab itu jabatan hakim mendapat perhatian khusus, antara lain dalam hukum
positif terlihat dengan adanya undang-undang pokok kehakiman yang secara khusus
mengatur tata cara peradilan termasuk jabatan hakim. Tak hanya dalam hukum positif
dalam hukum Islam pun jabatan hakim mendapat perhatian khusus dengan ayat-ayat al-
Qur’an yang membahas tentang jabatan hakim ini bahkan jauh sebelum hukum positif
mengaturnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hal-Hal Yang Berkenaan Dengan Harta Peninggalan?
2. Bagaimana penjelasan dari Al-Aul, Ar-Rad dan Acara Pembagian Sisa Harta?
3. Bagaimana Pengertian dan Hukum Wasiat?
4. Bagaimana Syarat dan Rukun Wasiat?
5. Bagaimana Permasalahan dalam Wasiat?
6. Bagaimana Hikmah dari Wasiat?

C. Tujuan

1. Menjelaskan Hal-Hal Yang Berkenaan Dengan Harta Peninggalan.


2. Menjelaskan penjelasan dari Al-Aul, Ar-Rad dan Acara Pembagian Sisa Harta.
3. Menjelaskan Pengertian dan Hukum Wasiat.
4. Menjelaskan Syarat dan Rukun Wasiat.
5. Menjelaskan Permasalahan dalam Wasiat.
6. Menjelaskan Hikmah dari Wasiat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hal-Hal Yang Berkenaan Dengan Harta Peninggalan


Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya
perlu diselesaikan dan dipenuhi terlebih dahulu kewajiban yang belum sempat dilakukan
oleh orang yang meninggal pada saat hidupnya, yang berkenaan dengan hartanya seperti:
1. Zakat
2. Biaya Pengurusan Jenazah
3. Melunasi Hutang
B. Al-Aul, Ar-Rad dan Acara Pembagian Sisa Harta
1. Al-Aul
a. Definisi al-’Aul
Al-’aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna
azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:
“… Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (an-
Nisa’: 3)
Al-’aul juga bermakna “naik” atau “meluap”. Dikatakan ‘alaa al-ma’u idzaa
irtafa’a yang artinya “air yang naik meluap”. Al-’aul bisa juga berarti
‘bertambah’, seperti tampak dalam kalimat ini: ‘alaa al-miizaan yang berarti ‘berat
timbangannya’.
Sedangkan definisi al-’aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah
bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris. Aul terjadi karena
berkumpulnya beberapa ahli waris zu fardin yang masing-masing mendapat
prioritas sehingga bagian masing-masing mereka menjadi berkurang dengan jalan
merubah asal masalahnya menjadi besar.
Dengan kata lain aul terjadi apabila jumlah penyebut lebih kecil daripada
pembilang.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang
dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian.
Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok
masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul
furudh yang ada meski bagian mereka menjadi berkurang.

1
1
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah ( ) dapat
2

1
berubah menjadi sepertiga ( ) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok
3
masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam

3
hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian (setengah) hanya
6

3
memperoleh (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain,
9
bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.
b. Latar Belakang Terjadinya ‘Aul
Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq
r.a. kasus ‘aul atau penambahan –sebagai salah satu persoalan dalam hal
pembagian waris– tidak pernah terjadi. Masalah ‘aul pertama kali muncul pada
masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: “Orang yang pertama
kali menambahkan pokok masalah (yakni ‘aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal
itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah
banyak.”
Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita
wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang

1
masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah (
2

2
), sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga ( ). Dengan
3
demikian, berarti fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun
demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari
harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung
perempuan, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris
keduanya.
Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: “Sungguh
aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa
yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung
perempuan pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga
sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung

1
perempuan pewaris maka akan berkuranglah nashib (bagian) suami.” Umar
kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di
antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan menganjurkan kepada Umar agar
menggunakan ‘aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata: “Tambahkanlah
hak para ashhabul furudh akan fardh-nya.” Para sahabat menyepakati langkah
tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul (penambahan) fardh ini sebagai
keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.
c. Pokok Masalah yang Tidak Dapat Di-’aul- kan

Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya
dapat di-’aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.

Ketiga pokok masalah yang dapat di-’aul-kan adalah enam (6), dua belas (12),
dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-’aul-kan
ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).

Sebagai contoh pokok yang dapat di-’aul-kan: seseorang wafat dan


meninggalkan suami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka
pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua (2). Bagian suami
setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung perempuan setengah, berarti
mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan ‘aul.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya:

1
ibu mendapat sepertiga ( ) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam
3
contoh ini pokok masalahnya tiga (3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah
dua bagian.

Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-
laki, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok

1
masalahnya dari empat (4), bagian istri seperempat ( ) berarti satu (1) bagian,
4

3
sedangkan sisanya (yakni ) dibagi dua antara saudara kandung laki-laki dengan
4
saudara kandung perempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian
perempuan.

1
Contoh kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak
perempuan, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti

1
berikut: pokok masalahnya dari delapan (8), bagian istri seperdelapan ( ) berarti
8

1
satu bagian, anak setengah ( ) berarti empat bagian, sedangkan saudara kandung
2

3
perempuan menerima sisanya, yakni tiga per delapan ( ).
8

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh


yang saya kemukakan semuanya tidak dapat di-’aulkan, sebab pokok masalahnya
cocok atau tepat dengan bagian para ashhabul furudh.

d. Pokok Masalah yang Dapat Di-’aul-kan

Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah


yang dapat di-’aul-kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat
(24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai
sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di-’aul-kan hingga
angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau
sepuluh. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya
dapat dinaikkan empat kali saja.

Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh
belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah
dua belas (12) hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh
belas (17). Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat
di-’aul-kan tiga kali saja.

Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-’aul-kan
kepada dua puluh tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang
memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan “masalah al-
mimbariyyah”.

Untuk lebih menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-


pokok masalah yang di-’aul-kan, perlu kita simak contoh-contohnya.

1
Beberapa Contoh Masalah ‘Aul:

1. Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu
perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari enam (6). Bagian ibu seperenam ¿) berarti satu bagian, bagian

1 3
ayah seperenam ( ) berarti satu bagian, bagian anak perempuan tiga per enam ( )
6 6
berarti tiga bagian, sedangkan bagian cucu perempuan dari keturunan anak laki-

1
laki seperenam ( ) sebagai penyempurna dua per tiga berarti satu bagian. Dalam
6
contoh ini tidak ada ‘aul, sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan
saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok

1
masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah ( ) berarti tiga, bagian saudara
2

1
kandung perempuan setengah ( ) berarti tiga, sedangkan bagian saudara
2

1
perempuan seibu seperenam ( ) berarti satu bagian. Dalam contoh kasus ini
6
jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok masalah enam
harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya)
cocok dengan pokok masalahnya.
3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan, dan
seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok

1
masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah ( ) berarti tiga, ibu seperenam
2

1 1
( )berarti satu bagian, saudara kandung perempuan setengah ( ) berarti tiga,
6 2

1
sedangkan saudara perempuan seibu seperenam ( )berarti satu bagian. Bila
6
demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok masalah, yaitu delapan

8
per enam ( ). Oleh karena itu, asal pokok masalah enam dinaikkan menjadi
6

1
delapan. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah al-
mubahalah.
4. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara kandung
perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti

1
berikut: pokok masalahnya enam (6). Bagian suami setengah ( ) berarti tiga
2

2
bagian. Sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga ( )
3

1
berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu sepertiga ( )berarti
3
dua bagian. Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok
masalahnya, karena itu pokok masalahnya di-’aul-kan menjadi sembilan, sehingga
jumlah bagian sesuai dengan pokok masalahnya. Masalah ini dikenal dengan
sebutan masalah marwaniyah.
5. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan
seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai

1
berikut: pokok masalahnya enam. Bagian suami setengah ( ) berarti tiga, ibu
2

1 2
seperenam ( )berarti satu, bagian dua orang saudara seayah dua per tiga ( )
6 3

1
berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu sepertiga ( )
3
berarti dua bagian.

Dalam contoh tersebut jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu
enam banding sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya
yang semula enam menjadi sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid
dikenal dengan istilah syuraihiyah.

Contoh ‘Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)

Seperti telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat
di-’aul-kan tiga kali saja, yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh
belas (17). Berikut ini saya berikan contoh-contohnya:

1
1. Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung
perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua

1 1
belas (12). Bagian istri seperempat ( ) berarti tiga, bagian ibu seperenam (
4 6
)berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandung perempuan dua

2
per tiga ( )berarti delapan bagian. Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya
3
telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan
menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara kandung
perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan
seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dua belas (12).

1 1
Bagian istri seperempat ( )berarti tiga, ibu mendapat seperenam ( ) berarti dua
4 6

1
bagian, saudara kandung perempuan memperoleh setengah ( ) berarti enam
2

1
bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam ( ) sebagai
6
penyempurna dua pertiga berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu

1
juga seperenam ( )berarti dua bagian. Jumlah bagian dalam contoh ini telah
6
melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok masalahnya
di-’aul-kan menjadi lima belas (15).
3. Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan
orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian

1
ketiga orang istri adalah seperempat ( ) berarti tiga bagian, sedangkan bagian
4

1
kedua nenek adalah seperenam ( ) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan
6

2
saudara perempuan seayah dua per tiga ( )-nya, berarti delapan bagian, dan
3

1
bagian keempat saudara perempuan seibu sepertiga ( ) yang berarti empat bagian.
3
1
Dalam contoh ini tampak dengan jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh telah
melampaui pokok masalahnya, yakni tujuh belas berbanding dua belas. Karena itu
pokok masalahnya harus di-’aul-kan dari dua belas menjadi tujuh belas.

Contoh ‘Aul Dua Puluh Empat (24)

Pokok masalah dua puluh empat (24) sebagaimana telah saya jelaskan hanya
dapat di-’aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah
ini hanya ada dalam kasus yang oleh ulama faraid dikenal dengan masalah al-
mimbariyah. Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika
memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar (podium).

Contoh masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang
istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-
laki. Maka pembagiannya seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24).

1
Ayah mendapat seperenam ( )berarti empat bagian, ibu memperoleh seperenam (
6

1 1
) berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan ( ) berarti tiga bagian, anak
6 8

1
perempuan mendapat setengah ( ) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu
2

1
perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam ( ) –sebagai
6

2
penyempurna dua per tiga ( )berarti empat bagian.
3

Dalam contoh tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima
atau yang menjadi hak ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya.
Karena itu kita harus meng-’aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan
jumlah bagian yang harus diberikan kepada para ashhabul furudh. Sekali lagi
ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyyah ini pokok masalah dua puluh empat
hanya bisa di-’aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.

Catatan:

1
1. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak

1
mendapatkan bagian setengah ( ) dari harta waris, kemudian yang lain berhak
2
mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing berhak

1
mendapatkan bagian setengah ( ), maka pokok masalahnya dari dua (2), dan
2
tidak dapat di-’aul-kan.
2. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak

1
mendapat bagian sepertiga ( ) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris
3

1 2
yang satu berhak mendapat bagian sepertiga ( ) dan yang lainnya dua per tiga (
3 3
), maka pokok masalahnya dari tiga (3), dan tidak ada ‘aul.
3. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak

1
mendapat bagian seperempat ( ) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris
4

1
yang satu berhak mendapat seperempat ( ) dan yang lain berhak mendapat
4

1
setengah ( ), maka pokok masalahnya dari empat (4), dan dalam hal ini tidak ada
2
‘aul.
4. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak

1
mendapat bagian seperdelapan ( ) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli
8
waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka
pokok masalahnya dari delapan, dan tidak ada ‘aul.

2. Ar Radd
a. Definisi ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti ‘kembali/kembalikan’ atau juga bermakna
‘berpaling/palingkan’. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:

1
“Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari.’ Lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula. ” (al-Kahfi: 64)”Dan Allah menghalau orang-
orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan …” (al-Ahzab: 25)
Dalam sebuah doa disebutkan “Allahumma radda kaidahum ‘annii” (Ya Allah,
palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).
Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok
masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd
merupakan kebalikan dari al-’aul.
Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para
ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta
warisan itu masih tersisa sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai
‘ashabah maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para
ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
b. Syarat-syarat ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga
syarat seperti di bawah ini:

1. Adanya ashhabul furudh.


2. Tidak adanya ‘ashabah.
3. Ada sisa harta waris.

Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd
tidak akan terjadi.

c. Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd

Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami
dan istri. Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya
tidak mendapatbagian tambahan dari sisa harta waris yang ada.Adapun ashhabul
furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:

1. Anak perempuan.
2. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki.
3. Saudara kandung perempuan.
4. Saudara perempuan seayah.
5. Ibu kandung.

1
6. Nenek sahih (ibu dari bapak).
7. Saudara perempuan seibu.
8. Saudara laki-laki seibu.

Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul


furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd.
Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat
salah satunya ayah atau kakek maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya
akan menerima waris sebagai ‘ashabah.

d. Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd

Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd
hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah
karena nasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu
adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian,
maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka
hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka
apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari
harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.

e. Macam-macam ar-Radd

Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum
tersendiri. Keempat macam itu:

1. Adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau
istri.
2. Adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri.
3. Adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri.
4. Adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau
istri.

Hukum Keadaan Pertama

Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari sahib fardh
dengan bagian yang sama yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak
mendapat bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya) dan dalam keadaan
1
itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan
jumlah ahli waris. Hal ini bertujuan untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar
lebih cepat sampai pada tujuan dengan cara yang paling mudah.

Sebagai misal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan,
maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka

2
sesuai fardh adalah dua per tiga ( ), dan sisanya mereka terima secara ar-radd.
3
Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan
mereka merupakan ahli waris dari bagian yang sama.

Contoh lain, bila seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara
kandung perempuan, maka pokok masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya
pun secara fardh dan ar-radd.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek dan saudara
perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari dua, disebabkan bagiannya sama.

Hukum Keadaan Kedua

Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ahli waris yang beragam –dan
tidak ada salah satu dari suami atau istri– maka cara pembagiannya dihitung dan
nilai bagiannya, bukan dari jumlah ahli waris (per kepala). Sebagai misal,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki

1
seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu seperenam ( ), untuk kedua saudara laki-
6

1
laki seibu sepertiga ( ). Di sini tampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka
3
yang dijadikan pokok masalah, yakni tiga.

Contoh-contoh keadaan kedua:

1. Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu


perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pokok masalahnya dari empat,
karena jumlah bagiannya ada empat.

1
2. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, saudara kandung perempuan,
serta saudara laki-laki seibu. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah
pokok masalahnya.
3. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek, anak perempuan, serta
seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka jumlah bagiannya
adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
4. Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan serta saudara
perempuan seayah. Maka pokok masalahnya empat, karena jumlah bagiannya
empat.
5. Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara
perempuan seayah, dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya
lima, karena jumlah bagiannya adalah lima.

Begitu seterusnya, yang penting tidak ada salah satu dari suami atau istri.

Hukum keadaan Ketiga

Apabila para ahli waris semuanya dari sahib fardh (bagian) yang sama, disertai
salah satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pokok
masalahnya dari sahib fardh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah
sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak

1
perempuan. Maka suami mendapatkan seperempat ( ) bagian, dan sisanya (tiga
4
per empat) dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala.

1
Berarti bila pokok masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (
4

3
) bagian berarti satu, dan sisanya (yakni ) merupakan bagian kedua anak
4
perempuan dan dibagi secara rata.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara
laki-laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya

1
dari empat, karena angka itu diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-

1
kan, yaitu istri, yang bagiannya dalam keadaan demikian seperempat ( ).
4

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang
anak perempuan. Pokok masalahnya adalah delapan, angka ini diambil dari sahib
fardh yang tidak dapat di-radd-kan (tidak berhak untuk ditambah). Maka istri

1
mendapatkan seperdelapan ( ) bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan
8

7
sisanya tujuh per delapan ( ) merupakan bagian kelima anak perempuan dan
8
dibagi secara merata di antara mereka. Hitungan ini perlu pentashihan, dan setelah
ditashih pokok masalahnya menjadi empat puluh, hitungan (bagiannya) sebagai
berikut: ibu mendapatkan seperdelapan dari empat puluh, berarti lima bagian,
sedangkan sisanya tiga puluh lima bagian dibagikan secara merata kepada kelima
anak perempuan pewaris, berarti masing-masing menerima tujuh bagian.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri dan empat anak
perempuan. Dalam hal ini pokok masalahnya dari empat, diambil dari istri sebagai
sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan. Pembagiannya: istri mendapatkan

1 3
seperempat ( ) bagian, sedangkan sisanya –tiga per empat ( ) dibagi secara
4 4
merata untuk keempat anak perempuan pewaris.

Dalam contoh ini juga harus ada pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh
karena itu, pokok masalah yang mulanya empat (4) naik menjadi enam belas (16).

1
Sehingga pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat ( ) dari enam
4
belas berarti empat bagian. Sedangkan sisanya dua belas bagian dibagikan secara
merata kepada keempat anak perempuan pewaris. Dengan demikian, setiap anak
memperoleh tiga bagian.

Hukum keadaan Keempat

Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang beragam


bagiannya, dan di dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka menurut kaidah
1
yang berlaku kita harus menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan
pertama kita tidak menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita
menyertakan suami atau istri. Kemudian kita buat diagramnya secara terpisah.
Setelah itu barulah kita lihat kedua ilustrasi tersebut dengan salah satu dari tiga
kriteria yang ada, mana yang paling tepat. Sedangkan ketiga kriteria yang
dimaksud ialah tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun
(perbedaan).

Untuk lebih memperjelas masalah yang rumit ini perlu saya sertakan contoh
kasusnya:

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan
seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:

Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari lima (yakni dari

1
jumlah bagian yang ada).Bagian nenek seperenam ( ) berarti satu bagian.
6

1
Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga ( ) = 2 bagian.
3

Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:

Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak
dapat di-radd-kan, yaitu istri.

1
Bagian istri seperempat ( ) berarti memperoleh satu bagian.
4

Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara
perempuan seibu.

Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara
bagian nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka
tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.

1
1
Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat ( ), maka sisa
4
harta waris tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama)
dengan masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah
kita jadikan ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.

Contoh lain: seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan
ibu.

Pada ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami/istri asal pokok masalahnya


dari enam, dan dengan ar-radd menjadi dari lima, karena itulah jumlah bagian
yang ada.

Sedangkan dalam ilustrasi kedua menyertakan suami/istri asal pokok


masalahnya dari delapan, karena merupakan fardh orang yang tidak dapat di-radd-
kan, yakni istri.

Apabila istri mengambil bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanya

7
tujuh per delapan ( ), dan sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan
8
ibu, secara fardh dan radd.

Seperti kita ketahui bahwa antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda).
Kemudian langkah berikutnya kita kalikan pokok masalah kedua (delapan)
dengan pokok masalah pertama (lima). Maka hasil perkalian antara kedua pokok
masalah itu adalah pokok masalah bagi kedua ilustrasi tersebut.

Kini, setelah kita kenali pokok masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut,
maka bagian istri adalah seperdelapan dari empat puluh bagian yang ada, berarti ia
mendapat lima (5) bagian.

Bagian kedua anak perempuan dan ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri
yang tersisa tiga puluh lima (35) bagian. Maka pembagiannya sebagai berikut:
bagian kedua anak perempuan adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya
dalam ilustrasi pertama) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian pada ilustrasi
kedua) berarti dua puluh delapan (28) bagian.

1
Adapun bagian ibu adalah hasil perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi
pertama (satu bagian) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian dalam ilustrasi
kedua) berarti tujuh (7) bagian.

Jadi, dari jumlah keseluruhan antara bagian istri, ditambah bagian kedua anak
perempuan, ditambah bagian ibu adalah 5 + 28 + 7 = 40. Lihat tabel berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami/istri:


Pokok masalahnya aslinya dari 65,
dengan radd, menjadi 5

2
Bagian kedua anak perempuan berarti 4
3

1
Bagian ibu seperenam ( )
6 berarti 1

Jumlah bagian 5

Ilustrasi pertama dengan menyertakan suami/istri:

Pokok masalah dari


delapan, diambil dari setelah tashih
40
ahlul fardh yang tak menjadi
dapat di-radd

1
Bagian istri , berarti 1 setelah tashih 5
8

1
Bagian dua anak
7
perempuan dan ibu

Setelah tashih bagian


4x7 28
anak perempuan

Bagian Ibu 4x7 7

C. Pengertian dan Hukum Wasiat


1. Pengertian Wasiat
Kata wasiat (washiyah) diambil dari kata washshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya
aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka muushii (orang yang berwasiat)
adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk dilaksanakan
sesudah dia mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).
Menurut Amir Syarifuddin secara sederhana wasiat diartikan dengan: “
penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati
pemiliknya “.
Menurut istilah syara’ wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik
berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat
sesudah orang yang berwasiat mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).
Menurut Hukum Islam pasal 171 huruf f wasiat adalah pemberian suatu benda
dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris
meninggal dunia (Elimartati, 2010 : 59).
Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia
membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang tidak sehat, artinya bukan ketika
menjelang ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat
yang ditumpahkan kepada orang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua
wasiat itu berbentuk harta. Adakalanya wasiat itu berbentuk nasihat, petunjuk perihal
tertentu, rahasia orang yang memberi wasiat, dan sebagainya (Beni Ahmad Saebani,
2009 : 343).
Dari berbagai definisi tersebut dapat di jelaskan bahwa wasiat adalah pemberian
seseorang pewaris kepada orang lain selain ahli waris yang berlaku setelah pewaris
meninggal dunia.
2. Hukum Wasiat
Menurut Sayyid sabiq, hukum wasiat itu ada beberapa macam yaitu :
a. Wajib
1
Wasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai kewajiban syara’
yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya
titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia
mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum
dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang
yang tidak diketahui selain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak
dipersaksikan.
b. Sunah
Wasiat itu disunatkan bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-
orang fakir dan orang-orang saleh.
c. Haram
Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli waris. Wasiat yang maksudnya
merugikan ahli waris seperti ini adalah batil, sekalipun wasiat itu mencapai
sepertiga harta. Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau
tempat hiburan.
d. Makruh
Wasiat itu makruh jika orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia
mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya.
Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang yang fasik jika diketahui atau
diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan
kerusakan.
e. Jaiz
Wasiat diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik orang
yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat).
3. Dasar Hukum Wasiat
a. Al Qur’an
Q.S Al-Baqarah ayat 180 :

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-


tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa”.
Q.S Al-Baqarah ayat 283 :

1
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

b) Hadits
‫ ( إِنَّ هَّللَا َ قَ @ ْد أَ ْعطَى ُك@ َّل ِذي‬: ‫سو َل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم يَقُو ُل‬ ُ ‫س ِمعْتُ َر‬ َ ‫َوعَنْ أَبِي أُ َما َمةَ اَ ْلبَا ِهلِ ِّي رضي هللا عنه‬
ُّ ‫سنَهُ أَ ْح َم ُد َواَلت ِّْر ِم ِذ‬
, َ‫ َوقَ َّواهُ اِبْنُ ُخ َز ْي َم@@ ة‬, ‫ي‬ َ َّ‫ َواأْل َ ْربَ َعةُ إِاَّل الن‬, ‫ َر َواهُ أَ ْح َم ُد‬ ) ‫ث‬
َّ ‫ َو َح‬, ‫سائِ َّي‬ ٍ ‫صيَّةَ لِ َوا ِر‬
ِ ‫ فَاَل َو‬, ُ‫ق َحقَّه‬
ٍّ ‫َح‬
‫َوابْنُ اَ ْل َجا ُرو ِد‬
Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memberi hak
kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris." Riwayat Ahmad
dan Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits hasah menurut Ahmad dan Tirmidzi, dan
dikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud
(Bulughul Maram digital, 2008 : 987)

َ ‫صيَّ ٍة َما تَ َعلَى‬


‫سبِ ْي ٍل‬ ِ ‫ َمنْ َما تَ َعلَى َو‬:‫سو ُل هللا صلى هللا عليه وسلم‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫َو َر َوى ابْنُ َما َجةَ عَنْ َجا بِ ٍر قَا َل‬
‫ش َها َد ٍة َو َما تَ َم ْغفُ ْو ًرا لَه‬
َ ‫سنَّ ٍة و َما تَ َعلَى تَقِ ٍّى َو‬
ُ ‫َو‬
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah
SAW : “ barang siapa yang mati dalam keadaan berwasiat, maka dia telah mati di
jalan Allah dan Sunnah, mati dalam keadaan taqwa dan syahid, dan dia mati dalam
keadaan diampuni dosanya.”
(Sayyid Sabiq, 1987 : 232)
c) Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan syariat Allah dan
RasulNya. Ijma’ didasarkan pada ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits.

D. Syarat dan Rukun Wasiat


1. Syarat wasiat
a. Syarat orang yang berwasiat

1
Menurut Sayyid Sabiq diisyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah
orang yang ahli kebaikan, yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan)
yang sah.
b. Syarat orang yang menerima wasiat
Dia bukan ahli waris dari orang yang berwasiat.
Orang yang diberi wasiat disyaratkan ada dan benar-benar ada disaat wasiat
dilaksanakan baik ada secara nyata maupun secara perkiraan, seperti berwasiat
kepada anak dalam kandungan, maka kandungan itu harus ada diwaktu wasiat
diterima.
Orang yang diberi wasiat bukanlah orang yang membunuh orang yang
memberi wasiat.
c. Syarat benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat adalah benda-benda atau
manfaat yang bisa dimiliki dan dapat digunakan untuk kepentingan manusia secara
positif (Elimartati, 2010 : 64).
Menurut pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa harta benda
yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewaris (ayat 2) (Abdul Shomad,
2010 : 355).
Menurut Amir Syrifuddin harta yang diwasiatkan itu tidak boleh melebihi
sepertiga dari harta yang dimiliki oleh pewasiat (Amir Syarifuddin, 2010 : 237).
Menurut pasal 195 bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya (pasal
195 ayat 2). Pernyataan persetujuan dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi
atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan notaris (pasal195 ayat 4).
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris ada
yang tidak menyetujuinya maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga
harta warisan (Abdul Shomad, 2010 : 356).
2. Rukun wasiat
Menurut Sayyid Sabiq rukun wasiat itu adalah dari orang yang
mewasiatkan.Menurut Ibnu Rusyd wasiat ada 4 yaitu : orang yang berwasiat, orang
yang menerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan sighat (Elimartati, 2010 : 61).

E. Permasalahan Dalam Wasiat


1. Yang tidak boleh menerima Wasiat

1
Dari uraian yang terdahulu bahwa yang boleh menerima wasiat adalah orang-
orang yang tidak menjadi ahli waris. Jadi intinya orang yang telah menjadi ahli waris
tidak berhak untuk menerima wasiat karena wasiat itu hanya diperuntukkan kepada
selain orang yang menjadi ahli waris.
Rincian tentang yang tidak boleh menerima wasiat dijelaskan dalam KHI pasal
207 dan 208. Pasal 207 “ wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan
pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan
kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan
dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya”. Pasal 208 “ wasiat tidak berlaku
bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut. Peraturan tersebut di atas
dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan dalampelaksanaan wasiat, mengingat
orang-orang yang disebut dalam pasal 207, 208 tersebut terlihat langsung dalam
kegiatan wasiat tersebut (Elimartati, 2010 : 67).
2. Batalnya wasiat
Menurut Sayyid Sabiq wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari
syarat yang ada pada wasiat, misalnya sebagai berikut :
a. Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah yang
menyampaikannya pada kematian.
b. Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberi wasiat itu mati.
c. Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh orang
yang diberi wasiat.
Menurut KHI pada pasal 197 :
A. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena :
1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewasiat.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan bahwa pewasiat telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat.
3. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk
membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon
penerima wasiat.
4. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat
dari pewasiat.

1
B. Wasiat itu menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu :
1. Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum
meninggalnya sipewasiat.
2. Mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia menolak untuk menerimanya.
3. Mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah mengatakan menerima atau
menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
C. Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.

3. Pencabutan wasiat
Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199 KHI yang berbunyi :
1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum
mengatakan persetujuannya atau mengatakan persetujuannya tetapi kemudian
menarik kembali.
2. Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang
saksi atau berdasarkan akte notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
3. Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis
dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.
4. Bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan
akte notaris.
Apabila wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut, maka surat wasiat yang dicabut
diserahkan kembali kepada pewasiat sebagaimana diatur dalam pasal 203 ayat (2)
KHI (Elimartati, 2010 : 69-70).
4. Wasiat wajibah
Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim
sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang
yang telah meninggal yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu
(Elimartati, 2010 : 70).
Orang-orang yang mendapat wasiat wajibah adalah cucu-cucu yang orang
tuanya telah mati mendahului atau berbarengan dengan pewaris. Mereka diberi wasiat

1
wajibah sebesar bagian orang tuanya dengan ketentuan tidak melebihi dari
3
peninggalan. Oleh karena besar kecilnya bagian orang tuanya itu tergantung dengan
sedikit atau banyaknya saudara orang tuanya, maka ada kemungkinan bahwa bagian

1
1 1 1 1
orang tuanya , , atau peninggalan, kelebihannya itu harus dikembalikan kepada
5 4 3 2
ahli waris. Walaupun cucu tersebut dapat menduduki kedudukan orang tuanya dalam
memperoleh harta warisan, namun jumlah yang diterimanya itu bukan semata-mata
berdasarkan memusakai (dengan fardh atau ushubah), tetapi berdasarkan wasiat
wajibah. Oleh karena itu, memberikan bagiannya harus didahulukan daripada
memberikan bagian kepada ahli waris (Abdul Shomad, 2010 : 365).
Dasar hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari pendapat-
pendapat ulama salaf dan khalaf yang menurut Fathur Rahman adalah :
Tergantung kewajiban berwasiat kepada kerabat, kerabat yang tidak dapat
menerima pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat fuqaha’ dan Tabi’in besar ahli
fiqih dan ahli hadits antara lain Sain bin Musayyad, Hasan Al-Basyri, Thawus, Ahmad
Ishak bin Rahawib dan Ibnu Hazmin.
Pemberian sebagian harta simati kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat
menerima pusaka yang berfungsi wasiat wajibah, bila simati tidak berwasiat adalah
diambil dari pendapat mazhab Ibnu Hazmin yang dinukilkan dari fuqaha’, tabi’in dan
pendapat Ahmad.
Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak menerima pusaka kepada cucu dan

1
pembatasan penerimaan sebesar peninggalan adalah didasarkan kepada Ibnu
3
hanzim, dan kaidah yang berbunyi “ pemegang kekuasaan mempunyai wewenang
perkara mubah karena ia berpendapat bahwa hal itu membawa kemaslahatan umum.
Bila penguasa memerintahkan demikian wajiblah ditaati”.
5. Ketentuan Teknis
Dalam KHI juga diatur beberapa ketentuan teknis untuk mengantisipasi dan
menyelesaikan masalah yang timbul, antara lain pasal 204 yang menyebutkan :
Jika pewasiat meninggal dunia maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan
pada notaris, dibuka olehnya dihadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan
dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat tersebut.
Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada notaris maka penyimpan
harus menyerahkan kepada notaris setempat dan selanjutnya notaris atau kantor urusan
agama membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini.
Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh notaris
atau kantor urusan agama diserahkan kepada penerima wasiat guna menyelesaikan
wasiat guna penyelesaian selanjutnya.
1
Pasal 205 menyatakan dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka
yang termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah pertempuran atau
yang berada disuatu tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat
surat wasiat dihadapan seorang komandan atasannya dengan dihadirkan oleh dua
orang saksi.
Pasal 206 mengatur orang yang sedang dalam perjalanan melalui laut
dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nahkoda atau mualim kapal jika pejabat
tersebut tidak ada maka dibuat dihadapan seorang penggantinya dengan dihadiri dua
orang saksi.
6. Kadar Wasiat
Kadar atau ukuran besarnya sesuatu yang diwasiatkan sebesar-besarnya adalah
sepertiga dari harta orang yang berwasiat, tidak boleh lebih dari itu, dan jika terjadi
wasiat dan melebihi dari ketentuan yang telah diatur, maka harus dikurangi sampai
sepertiga dari barang tinggalan. Sabda Rasulullah Faw yang artinya :
“Sesungguhnya Allah (menganjurkan) untuk bersedekah atasmu dengan sepertiga
harta (pusaka) kamu ketika menjelang wafatmu, sebagai tambahan kebaikanmu” (HR.
Daruqtuni dari Muaz bin Jabal)
Ukuran sepertiga dari harta pusaka itu adalah ukuran tertinggi jadi tidak boleh
melebihi ukuran atau kadar wasiat tertentu. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis
yang artinya :
“Ibnu Abbas, beliau berkata : Alangkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat
mereka dari sepertiga ke seperempat maka sesungguhnya Rasulullah Faw bersabda
wasiat itu sepertiga sedangkan sepertiga itu sudah banyak” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wasiat diatas adalah wasiat yang berkaitan dengan harta. Ada juga wasiat yang
berkaitan dengan hak kekuasaan atau tanggungjawab yang akan dilaksanakan setelah
orang yang berwasiat meninggal dunia. Misalnya seseorang berwasiat kepada orang
lain untuk menolong atau mendidik anaknya kelak, membayar hutangnya atau
mengembalikan fg8hbarang yang dipinjamnya sesudah orang yang berwasiat
meninggal dunia. Hak kekuasaan atau tanggung jawab yang diserahkan hendaklah
berupa harta karena jika bukan berbentuk harta maka tidak sah untuk diwasiatkan.
Contohnya hak menikah anak perempuannya. Hal ini tidak dapat diserahkan kepada
orang lain karena kekuasaan wali setelah orang yang berwasiat meninggal dunia
dengan sendirinya akan berpindah kepada wali yang lainmenurut susunan wali yang
telah ditetapkan dalam syari’at Islam.

1
7. Wasiat Bagi yang Tidak Memiliki Ahli Waris
Jika seorang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta sementara ia
tidak mempunyai seorangpun ahli waris yang berhak menerimanya maka seluruh harta
benda peninggalannya diserahakan kepada baitul mal atau lembaga lain yang sejenis
yang akan memanfaatkan harta tersebut untuk kepentingan umum dalam menegakkan
ajaran Islam. Sabda Rasulllah saw yang artinya :
“Saya menjadi ahli waris dari orang yang tidak mempunyai ahli waris” (HR. Ahmad
dan Abu Daud)
Hadis Rasulullah tersebut menjelaskan bahwa beliau tidak menerima pusaka
untuk diri beliau sendiri melainkan untuk digunakan dalam kepentingan kemaslahatan
umat Islam. Orang yang berwasiat sementara dia tidak mempunyai ahli waris maka
penyelesaian wasiatnya sama dengan orang yang memiliki ahli waris yaitu tidak lebih
dari sepertiga dai jumlah hartanya kemudian sisanya sebagai pusaka diserakan kepada
baitul mal.
F. Hikmah Wasiat

1. Menaati perintah Allah swt. Sebagaimana tertuang  dalam QS. Al-Baqarah :180
2. Sebagai amal jariyah seseorang setelah dirinya meninggal dunia
3. Menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagai kerabat atau orang lain yang
tidak mendapat warisan.

1
BAB III
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai