Anda di halaman 1dari 11

Pembagian Waris bab VII : MASALAH AL ‘AUL DAN 

AR-RADD

Feb5

A. Definisi al-’Aul

Al-’aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya)
dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:

“… Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa’: 3)

Al-’aul juga bermakna ‘naik’ atau ‘meluap’. Dikatakan ‘alaa al-ma’u idzaa irtafa’a yang artinya
‘air yang naik meluap’. Al-’aul bisa juga berarti ‘bertambah’, seperti tampak dalam kalimat ini:
‘alaa al-miizaan yang berarti ‘berat timbangannya’.

Sedangkan definisi al-’aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan
berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.

Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis,
padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus
menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi
jumlah ashhabul furudh yang ada — meski bagian mereka menjadi berkurang.

Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi
sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula
enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat
bagian 3/6 (setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul
furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau
bertambah.

B. Latar Belakang Terjadinya ‘Aul

Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus ‘aul atau
penambahan –sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagian waris– tidak pernah terjadi.
Masalah ‘aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas
berkata: “Orang yang pertama kali menambahkan pokok masalah (yakni ‘aul) adalah Umar bin
Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah
banyak.”

Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat dan
meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam ilmu
faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah (1/2), sedangkan bagian dua saudara
kandung perempuan dua per tiga (2/3). Dengan demikian, berarti fardh-nya telah melebihi
peninggalan pewaris. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima
setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung
perempuan, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: “Sungguh aku tidak mengerti,
siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku
berikan hak suami, pastilah saudara kandung perempuan pewaris akan dirugikan karena
berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara
kandung perempuan pewaris maka akan berkuranglah nashib (bagian) suami.” Umar kemudian
mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Zaid bin
Tsabit dan menganjurkan kepada Umar agar menggunakan ‘aul. Umar menerima anjuran Zaid
dan berkata: “Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya.” Para sahabat
menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul (penambahan) fardh ini
sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.

C. Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-’aul- kan

Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-’aul-kan,
sedangkan yang empat tidak dapat.

Ketiga pokok masalah yang dapat di-’aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh
empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-’aul-kan ada empat, yaitu dua (2),
tiga (3), empat (4), dan delapan (8).

Sebagai contoh pokok yang dapat di-’aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan
suami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok
masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung
perempuan setengah, berarti mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini tidak
menggunakan ‘aul.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibu mendapat
sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya
tiga (3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.

Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki, dan saudara
kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari empat (4),
bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua
antara saudara kandung laki-laki dengan saudara kandung perempuan, dengan ketentuan bagian
laki-laki dua kali bagian perempuan.

Contoh kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan
saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari
delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8) berarti satu bagian, anak setengah (1/2) berarti empat
bagian, sedangkan saudara kandung perempuan menerima sisanya, yakni tiga per delapan (3/8).

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh yang saya
kemukakan semuanya tidak dapat di-’aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan
bagian para ashhabul furudh.

Pokok Masalah yang Dapat Di-’aul-kan


Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah yang dapat di-’aul-
kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok
masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam
(6) hanya dapat di-’aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan,
sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya
dapat dinaikkan empat kali saja.

Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun
hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12) hanya dapat
dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Lebih dari itu tidak bisa.
Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-’aul-kan tiga kali saja.

Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-’aul-kan kepada dua puluh tujuh
(27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama
faraid dengan sebutan “masalah al-mimbariyyah”.

Untuk lebih menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-pokok masalah
yang di-’aul-kan, perlu kita simak contoh-contohnya.

Beberapa Contoh Masalah ‘Aul

1. Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan
keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari
enam (6). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian ayah seperenam (1/6)
berarti satu bagian, bagian anak perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga bagian,
sedangkan bagian cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) –
sebagai penyempurna dua per tiga– berarti satu bagian. Dalam contoh ini tidak ada ‘aul,
sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara
perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari enam (6).
Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah
(1/2) berarti tiga, sedangkan bagian saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu
bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah,
karenanya pokok masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan demikian,
jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan, dan seorang
saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari
enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu
bagian, saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan saudara
perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bila demikian, jumlah bagiannya
telah melebihi jumlah pokok masalah, yaitu delapan per enam (8/6). Oleh karena itu, asal
pokok masalah enam dinaikkan menjadi delapan. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid
dikenal dengan istilah al-mubahalah.
4. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara kandung
perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut:
pokok masalahnya enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian. Sedangkan
bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat bagian, dan
bagian dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena itu pokok
masalahnya di-’aul-kan menjadi sembilan, sehingga jumlah bagian sesuai dengan pokok
masalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan masalah marwaniyah.
5. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan
dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok
masalahnya enam. Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti
satu, bagian dua orang saudara seayah dua per tiga (2/3) berarti empat, sedangkan bagian
dua orang saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.

Dalam contoh tersebut jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu enam banding
sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya yang semula enam menjadi
sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah syuraihiyah.

Contoh ‘Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)

Seperti telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-’aul-kan tiga kali
saja, yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Berikut ini saya berikan
contoh-contohnya:

1. Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung perempuan.
Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri
seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan
bagian dua orang saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti delapan bagian.
Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga
belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan
jumlah bagian yang ada.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara kandung
perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian istri
seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara
kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian, sedangkan saudara
perempuan seayah seperenam (1/6) –sebagai penyempurna dua pertiga– berarti dua
bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian.
Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian.
Karena itu pokok masalahnya di-’aul-kan menjadi lima belas (15).
3. Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang
saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian ketiga orang
istri adalah seperempat (1/4) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah
seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah dua
per tiga (2/3)-nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu
sepertiga (1/3) yang berarti empat bagian.
Dalam contoh ini tampak dengan jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh telah melampaui
pokok masalahnya, yakni tujuh belas berbanding dua belas. Karena itu pokok masalahnya harus
di-’aul-kan dari dua belas menjadi tujuh belas.

Contoh ‘Aul Dua Puluh Empat (24)

Pokok masalah dua puluh empat (24) –sebagaimana telah saya jelaskan– hanya dapat di-’aul-kan
menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam kasus yang
oleh ulama faraid dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Mereka menyebutnya demikian
karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar (podium).

Contoh masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu,
anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti
ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24). Ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat
bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8)
berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan
cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) –sebagai penyempurna
dua per tiga (2/3)– berarti empat bagian.

Dalam contoh tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang
menjadi hak ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus
meng-’aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan
kepada para ashhabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyyah ini pokok
masalah dua puluh empat hanya bisa di-’aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.

Catatan

1. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak
mendapatkan bagian setengah (1/2) dari harta waris, kemudian yang lain berhak
mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing berhak
mendapatkan bagian setengah (1/2), maka pokok masalahnya dari dua (2), dan tidak
dapat di-’aul-kan.
2. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat
bagian sepertiga (1/3) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak
mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lainnya dua per tiga (2/3), maka pokok
masalahnya dari tiga (3), dan tidak ada ‘aul.
3. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat
bagian seperempat (1/4) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu
berhak mendapat seperempat (1/4) dan yang lain berhak mendapat setengah (1/2), maka
pokok masalahuya dari empat (4), dan dalam hal ini tidak ada ‘aul.
4. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat
bagian seperdelapan (1/8) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu
berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pokok masalahnya dari
delapan, dan tidak ada ‘aul.

D. Definisi ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti ‘kembali/kembalikan’ atau juga bermakna
‘berpaling/palingkan’. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:

“Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari.’ Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka
semula. ” (al-Kahfi: 64)”Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka
penuh kejengkelan …” (al-Ahzab: 25)

Dalam sebuah doa disebutkan “Allahumma radda kaidahum ‘annii” (Ya Allah,
palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).

Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari
al-’aul.

Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah
menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa –sementara itu
tidak ada sosok kerabat lain sebagai ‘ashabah– maka sisa harta waris itu diberikan atau
dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.

E. Syarat-syarat ar-Radd

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di
bawah ini:

1. adanya ashhabul furudh


2. tidak adanya ‘ashabah
3. ada sisa harta waris.

Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan
terjadi.

F. Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd

Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya,
suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapatbagian tambahan dari sisa harta waris
yang ada.

Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:

1. anak perempuan
2. cucu perempuan keturunan anak laki-laki
3. saudara kandung perempuan
4. saudara perempuan seayah
5. ibu kandung
6. nenek sahih (ibu dari bapak)
7. saudara perempuan seibu
8. saudara laki-laki seibu

Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam
beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan
bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya –ayah atau kakek– -maka
tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai ‘ashabah.

G. Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd

Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami
dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena
kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini
akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan
ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka
apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris,
suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.

H. Macam-macam ar-Radd

Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri.
Keempat macam itu:

1. adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri
2. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
3. adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
4. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

Hukum Keadaan Pertama

Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari sahib fardh dengan bagian yang
sama –yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapat bagian setengah, atau
seperempat, dan seterusnya)– dan dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara
pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Hal ini bertujuan untuk menghindari
sikap bertele-tele dan agar lebih cepat sampai pada tujuan dengan cara yang paling mudah.

Sebagai misal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok
masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua per
tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing
sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari bagian yang sama.

Contoh lain, bila seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan,
maka pokok masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya pun secara fardh dan ar-radd.

Misal lain, seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka
pokok masalahnya dari dua, disebabkan bagiannya sama.
Hukum Keadaan Kedua

Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ahli waris yang beragam –dan tidak ada salah satu
dari suami atau istri– maka cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya, bukan dari jumlah
ahli waris (per kepala). Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua
orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu seperenam (1/6), untuk kedua
saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3). Di sini tampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka
yang dijadikan pokok masalah, yakni tiga.

Contoh-contoh keadaan kedua

1. Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan
keturunan anak lak-laki. Maka pokok masalahnya dari empat, karena jumlah bagiannya
ada empat.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, saudara kandung perempuan, serta
saudara laki-laki seibu. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok
masalahnya.
3. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek, anak perempuan, serta seorang cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah
pokok masalahnya.
4. Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan serta saudara
perempuan seayah. Maka pokok masalahnya empat, karena jumlah bagiannya empat.
5. Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan
seayah, dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya lima, karena jumlah
bagiannya adalah lima.

Begitu seterusnya, yang penting tidak ada salah satu dari suami atau istri.

Hukum keadaan Ketiga

Apabila para ahli waris semuanya dari sahib fardh (bagian) yang sama, disertai salah satu dari
suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pokok masalahnya dari sahib fardh
yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai
dengan jumlah per kepala.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami
mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (tiga per empat) dibagikan kepada anak
secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari empat (4), suami
mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian
kedua anak perempuan dan dibagi secara rata.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu,
serta seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari empat, karena angka itu
diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri, yang bagiannya dalam keadaan
demikian seperempat (1/4).
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan.
Pokok masalahnya adalah delapan, angka ini diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-
kan (tidak berhak untuk ditambah). Maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, berarti
mendapat satu bagian, sedangkan sisanya tujuh per delapan (7/8) merupakan bagian kelima anak
perempuan dan dibagi secara merata di antara mereka. Hitungan ini perlu pentashihan, dan
setelah ditashih pokok masalahnya menjadi empat puluh, hitungan (bagiannya) sebagai berikut:
ibu mendapatkan seperdelapan dari empat puluh, berarti lima bagian, sedangkan sisanya –tiga
puluh lima bagian– dibagikan secara merata kepada kelima anak perempuan pewaris, berarti
masing-masing menerima tujuh bagian.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri dan empat anak perempuan. Dalam
hal ini pokok masalahnya dari empat, diambil dari istri sebagai sahib fardh yang tidak dapat di-
radd-kan. Pembagiannya: istri mendapatkan seperempat (1/4) bagian, sedangkan sisanya –tiga
per empat (3/4)– dibagi secara merata untuk keempat anak perempuan pewaris.

Dalam contoh ini juga harus ada pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh karena itu, pokok
masalah yang mulanya empat (4) naik menjadi enam belas (16). Sehingga pembagiannya seperti
berikut: bagian istri seperempat (1/4) dari enam belas berarti empat bagian. Sedangkan sisanya
dua belas bagian dibagikan secara merata kepada keempat anak perempuan pewaris. Dengan
demikian, setiap anak memperoleh tiga bagian.

Hukum keadaan Keempat

Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya, dan di
dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka menurut kaidah yang berlaku kita harus
menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan suami atau
istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri. Kemudian kita buat
diagramnya secara terpisah. Setelah itu barulah kita lihat kedua ilustrasi tersebut dengan salah
satu dari tiga kriteria yang ada, mana yang paling tepat. Sedangkan ketiga kriteria yang dimaksud
ialah tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).

Untuk lebih memperjelas masalah yang rumit ini perlu saya sertakan contoh kasusnya:

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya seperti berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:

Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari lima (yakni dari jumlah bagian yang
ada).Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian.

Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.

Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:


Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di-radd-
kan, yaitu istri.

Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian.

Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.

Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan
bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti tamaatsul
(sama) dalam kedua ilustrasi.

Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal
tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya
tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah kita jadikan ilustrasi masalah kedua itu sebagai
pokok masalah.

Contoh lain: seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu.

Pada ilustrasi pertama –tanpa menyertakan suami/istri– asal pokok masalahnya dari enam, dan
dengan ar-radd menjadi dari lima, karena itulah jumlah bagian yang ada.

Sedangkan dalam ilustrasi kedua –menyertakan suami/istri– asal pokok masalahnya dari delapan,
karena merupakan fardh orang yang tidak dapat di-radd-kan, yakni istri.

Apabila istri mengambil bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanya tujuh per delapan
(7/8), dan sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan ibu, secara fardh dan radd.

Seperti kita ketahui bahwa antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda). Kemudian langkah
berikutnya kita kalikan pokok masalah kedua (delapan) dengan pokok masalah pertama (lima).
Maka hasil perkalian antara kedua pokok masalah itu adalah pokok masalah bagi kedua ilustrasi
tersebut.

Kini, setelah kita kenali pokok masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut, maka bagian istri
adatah seperdelapan dari empat puluh bagian yang ada, berarti ia mendapat lima (5) bagian.

Bagian kedua anak perempuan dan ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri –yang tersisa tiga
puluh lima (35) bagian. Maka pembagiannya sebagai berikut: bagian kedua anak perempuan
adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya dalam ilustrasi pertama) dengan tujuh (yang
merupakan sisa bagian pada ilustrasi kedua) berarti dua puluh delapan (28) bagian.

Adapun bagian ibu adalah hasil perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi pertama (satu bagian)
dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian dalam ilustrasi kedua) berarti tujuh (7) bagian.

Jadi, dari jumlah keseluruhan antara bagian istri, ditambah bagian kedua anak perempuan,
ditambah bagian ibu adalah 5 + 28 + 7 = 40. Lihat tabel berikut:
Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami/istri

Pokok masalahnya aslinya dari 65, dengan radd, menjadi 5

Bagian kedua anak perempuan 2/3 berarti 4

Bagian ibu seperenam (1/6) berarti 1

Jumlah bagian 5

Ilustrasi kedua dengan menyertakan suami/istri

Pokok masalah dari delapan, diambil dari ahlul fardh yang tak setelah tashih
40
dapat di-radd menjadi

Bagian istri 1/8, berarti 1 setelah tashih 5

Bagian dua anak perempuan dan ibu 7

setelah tashih bagian anak perempuan 4x7 28

bagian ibu 4x7 7

Anda mungkin juga menyukai