MAKALAH FIQIH
KEL. VII
FEYZA AISYAH HUMAIRA
HASAN ASY’ARI
M. YUAN AUN HANIEF
MUHAMMAD RAIHAN RAMADHAN
Wakalah dan sulhu
WAKALAH
1. Pengertian Wakalah
Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian
mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwidh. Contoh
kalimat “aku serahkan urusanku kepada Allah” mewakili pengertian istilah
tersebut. Namun dalam hal ini yang dimaksud al-wakalah adalah pelimpahan
kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
Menurut ulama wakalah adalah:
a. Mazhab hanafi:wakalah adalah pendelegasian suatu tindakan hukum pada
orang lain yang bertindak sebagai wakil.
b. Mazhab syafi’i:pendelegasian hak pada seseorang dalam hal hal yang dapat
di wakilkan pada orang lain selama ia hidup (wasiat).
2. Dasar Hukum
a. Al-qur’an
Salah satu diperbolehkannya al-wakalah dalam firman allah swt. Berkenaan
dengan kisah ashabul kahfi yang demekian:
ْض يَوْ ٍم ۚ قَالُوا َربُّ ُك ْم أَ ْعلَ ُم بِ َما لَبِ ْثتُ ْم فَا ْب َعثُوا أَ َح َد ُك ْم َ َِو َك ٰ َذل
َ ك بَ َع ْثنَاهُ ْم لِيَتَ َسا َءلُوا بَ ْينَهُ ْم ۚ قَا َل قَائِ ٌل ِم ْنهُ ْم َك ْم لَبِ ْثتُ ْم ۖ قَالُوا لَبِ ْثنَا يَوْ ًما أَوْ بَع
ف َواَل يُ ْش ِع َر َّن بِ ُك ْم أَ َحدًا ْ َّق ِم ْنهُ َو ْليَتَلَط ٍ بِ َو ِرقِ ُك ْم ٰهَ ِذ ِه إِلَى ْال َم ِدينَ ِة فَ ْليَ ْنظُرْ أَيُّهَا أَ ْز َك ٰى طَ َعا ًما فَ ْليَأْتِ ُك ْم بِ ِر ْز
ِ ِّق بَ ْينِ ِه َما فَا ْب َعثُوا َح َك ًما ِم ْن أَ ْهلِ ِه َو َح َك ًما ِم ْن أَ ْهلِهَا إِ ْن ي ُِريدَا إِصْ اَل حًا ي َُوف
ق هَّللا ُ بَ ْينَهُ َما ۗ إِ َّن هَّللا َ َكانَ َعلِي ًما خَ بِيرًا َ َوإِ ْن ِخ ْفتُ ْم ِشقَا
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (an-nisa 35)
b. Hadist
Banyak hadist yang dapat di jadikan landasan wakalah antara lain
“suatu ketika rassulullah pernah mewakilkan dirinya pada hakim bin nizam atau ‘urwah
albariqi’untuk membeli domba qurban”
(HR. Abu daud)
c. Ijma
Para ulama sepakat dengan ijma dibolehkannya wakalah, bahkan mereka
cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis
ta’awun atau tolong-menolong atas kebaikan dan taqwa.
Dalam perkembangan fiqih Islam, status wakalah sempat diperdebatkan: apakah
wakalah masuk dalam kategori niabah, yaitu sebatas mewakili atau kategori wilayah
atau wali. Hingga kini, dua pendapat itu masih terus berkembang. Pendapat
pertama menyatakan bahwa wakalah adalah niabah atau mewakili. Menurut
pendapat ini wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi muwakkil.
Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah karena khilafah
(menggantikan) dibolehkan untuk mengarah kepada yang lebih baik sebagaimana
dalam jual bel, melakukan pembayaran secara tunai lebih baik walaupun
diperkenankan secara kredit.
Dalam kehidupan perbankan, aktivitas wakalah adalah nasabah ataupun investor
(muwakil) berhubungan timbal balik dengan bank (wakil) yang terikat dengan
kontrak dan fee, sedangkan muwakil dimanfaatkan untuk taukil (agency,
administration, payment, co arranger, dan sebaginya).
3. Syarat dan Rukun Wakalah
a. Rukunwakalah
Rukun wakalah terdiri atas ijab dari muwakil (pihak yang mewakilkan), dan qabul
dari wakil. Ijab harus di ucapkan secara jelas oleh muwakil, sedangkan qabul tidak
harus di ungkapkan, namun bisa di wujudkan dalam tindakan. Jika wakil mengetahui
jenis pekerjaan yang diwakilkan, kemudian ia secara langsung melakanakannya,
maka hal ini dianggap sebuah qabul, cukup mengetahui adanya wakalah dan
diwujudkan dalam tindakan.
b. Syarat wakalah
• Seorang muwakil, diisyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas suatu pekerjaan
yang akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan alasan orang yang tidak memiliki
otoritas tersebut kepada orang lain.
• Seorang wakil, disyaratkan haruslahorang yang berakal dan tamyiz.
• Obyek yang diwakilkan harus diketahui oleh wakil, wakil mengetahui secara jelas
apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang diinginkan. Obyek tetrsebut
memang bisa diwakilkan kepada orang lain.
4. Aplikasi Wakalah Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Akad Wakalah dapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang, termasuk
dalam bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan:
A. Transfer uang
Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad
Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah
sebagai Al-Muwakkil terhadap bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan
perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada
rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer
dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank
mengkreditkan sejumlah dana kepada kepada rekening tujuan. Berikut adalah
beberapa contoh proses dalam transfer uang ini
a) Wesel Pos
Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan secara langsung dari Al-
Muwakkil kepada Al-Wakil, dan Al-Wakil memberikan uangnya secara
langsung kepada nasabah yang dituju. Berikut adalah proses pentransferan
uang dalam Wesel Pos.
b) Transfer uang melalui cabang suatu bank
Dalam proses ini, Al-Muwakkil memberikan uangnya secara tunai
kepada bank yang merupakan Al-Wakil, namun bank tidak memberikannya
secara langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi bank mengirimkannya
kepada rekening nasabah yang dituju tersebut. Berikut adalah proses
pentrasferan uang melalui cabang sebuah bank.
c) Transfer melalui ATM
Kemudian ada juga proses transfer uang dimana pendelegasian untuk
mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan dari Al-Muwakkil
kepada bank sebagai Al-Wakil. Dalam model ini, Nasabah Al-Muwakkil
meminta bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan kemudian
meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang dituju sebesar
pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering terjadi saat ini
adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer sendiri
melalui mesin ATM.
SHULHU
1. Pengertian shulhu
Ash-Shulh berasal dari bahasa Arab yang berarti perdamaian,
penghentian perselisihan, penghentian peperangan. Dalam kazanah
keilmuan, ash-shulhu dikategorikan sebagai salah satu akad berupa
perjanjian diantara dua orang yang berselisih atau berperkara untuk
menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Dalam terminologi ilmu
fiqih ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk menghilangkan
polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan
antara orang-orang yang berselisih.
Misalnya seseorang menuduh orang lain mengambil suatu hak yang
diklaimnya sebagai miliknya, lalu tertuduh mengakui karena
ketidaktahuannya terhadap penuduh, kemudian tertuduh mengajak
penuduh berdamai dengan tujuan menjauhi atau menghindari suatu
permusuhan dan sumpah yang diwajibkan atas tertuduh yang
menyangkal tuduhan.
Di dalam Ash-shulhu ini ada beberapa istilah yaitu: Masing-masing
pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat Islam distilahkan
musalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan di sebut
musalih’anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak
terhadap pihak yang lain untuk mengaklhjiri pertingkaian/pertengkaran
dinamakan dengan musalih’alaihi atau di sebut juga badalush shulh
Sedangkan menurut istilah (terminologi) didefinisikan oleh para ulama
adalah sebagai berikut:
1.Menurut imam Taqiy al-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini dalam kitab
Kifayatu al-Akhyar yang dimaksud al-Sulh adalah “akad yang memutuskan
perselisihan dua pihak yang berselisih”.
2.Hasbi Ash-Shidieqy dalam bukunya pengantar fiqh muamalah berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan Al-Shulh adalah “Akad yang disepakati dua
orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad
itu dapat hilang perselisihan”. [Hasbie Ash-Shidieqy,Pengantar Fiqh Muamalah,
(Bulan Bintang: Jakarta,1984),hlm.92.]
3.Sulaiman Rasyid berpendapat bahwa yang dimaksud Al-Shulh adalah akad
perjanjian untuk menghilangkan dendam, permusuhan, dan perbantahan.
[Sulaiman Rasyid,fiqh Islam,(at-Tahairiyyah: Jakarta, 1976),hlm.151-152.]
4.Sayyid Sabiq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-Shulh adalah
suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang
berlawanan
2. Dasar Hukum
1. Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan
perdamaian akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih
sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa
akan dapat diakhiri.
2. Adapun dasar hukum anjuran diadakan perdamaian dapat dilihat dalam
al-qur’an, sunah rasul dan ijma.
3. األخ َرى فَقَاتِلُوا الَّتِي
ْ َت إِحْ دَاهُ َما َعلَى ْ َان ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ا ْقتَتَلُوا فَأَصْ لِحُوا‹ بَ ْينَهُ َما أَ ْم ِر فَإِ ْن بَغ ِ و َإِ ْن طَائِفَت
)٩( َت فَأَصْ لِحُوا‹ بَ ْينَهُ َما بِ ْال َع ْد ِل َوأَ ْق ِسطُوا‹ إِ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين
ْ تَب ِْغي َحتَّى تَفِي َء إِلَى هَّللا ِ فَإِ ْن فَا َء
4. Artinya : dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang
satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada
perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujurat : 9)”.
5. Mengenai hukum shulhu diungkapkan juga dalam berbagai hadits nabi,
salah satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Tirmizi
yang artinya “perdamaian dibolehkan dikalangan kaum muslimin,
kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau mengharamkan
yang haram. Dan orang-orang islam (yang mengadakan perdamaian itu)
bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram
(HR. Ibnu Hibban dan Turmuzi)”.
6. Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits di atas bahwa
perdamaian merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak
dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran dasar
keislaman. Untuk pencapaian dan perwujudan perdamaian, sama sekali
tidak dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah tegas di
dalam islam. Orang-orang islam yang terlibat di dalam perdamaian mesti
mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak berisikan hal-hal yang
mengarah kepada pemutarbalikan hukum; yang halal menjadi haram
atau sebaliknya.
7. Dasar hukum lain yang mengemukakan di adakannya perdamaian di
antara para pihak-pihak yang bersengketa di dasarkan pada ijma.
5. Pelaksanaan Shulhu
Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan perdamaian disini adalah
menyangkut tempat dan waktu pelaksanaan perjanjian perdamaian yang
diadakan oleh para pihak.
1. Perdamaian Diluar Sidang pengadilan
Di dalam penyelesaian persengketaan dapat saja kedua belah pihak
menyelesaikan sendiri, misalnya mereka meminta bantuan kepada sanak
keluarga, pemuka masyarakat atau pihak lainnya, dalam upaya mencari
penyelesaian persengketaan diluar sidang secara damai sebelum
persengketaan itu diajukan atau selama proses persidangan berlangsung,
dengan cara ini banyak yang berhasil.
Namun sering pula terjadi dikemudian hari sengketa yang sama mungkin
timbul kembali misalnya dalam hal sengketa tanah sawah, dimana mereka
telah berjanji untuk mengadakan perdamaian dan salah satu pihak juga telah
pula menyerahkan kembali tanah itu secara damai, namun beberapa waktu
kemudian diambil/dikuasai kembali oleh pihak yang menyerahkannya.
Untuk menghindari timbulnya persoalan yang sama dikemudian hari,
maka dalam praktek sering perjanjian perdamaian itu dilaksanakan secara
tertulis, yaitu dibuat akta perjanjian perdamaian. Agar akta perjanjian itu
memilikikekuatan hokum tentuunya haruslah dibuat secara autentik, yaitu
dibuat dihadapan Notaris.
2. Melalui Sidang Pengadilan
Perdamaian melalui sidang pengadilan berlainan caranya dengan
perdamaian diluar sidang pengadilan, perdamaian melalui sidang pengadilan
dilangsungkan pada saat perkara tersebut diproses di depan sidang pengadilan
(gugatan sedang berjalan). Di dalam ketentuan perundang-undangan
ditentukan bahwa sebelum perkara tersebut diproses Hakim harus
menganjurkan agar para pihak yang bersengketa berdamai. Dalam hal ini
tentunya peranan Hakim sangat menentukan.
Andaikata Hakim berhasil untuk mendamaikan para pihak yang
bersengketa, maka dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak yang
bersengketa dihukum untuk menaati isi dari akta perjanjian perdamaiann
tersebut. Lazimnya dalam praktek diistilahkan dengan “Akta Dading
[Pasaribu & K. Lubis,Hukum….,.hlm. 30-32]”.