Kedudukan dan Fungsi Syari’at Kedudukan Dan Fungsi Hakikat
Kedudukan dan Fungsi Ma’rifat Nama Tarekat dan Pendirinya
Dimensi ajaran islam Pada perkembangan selanjutnya, dimensi Islam yang mengandung unsur syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji melahirkan ilmu syari’at atau fikih, dari dimensi iman yang mengandung unsur iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasulNya, hari kiamat, dan iman kepada takdir-Nya melahirkan ilmu kalam (teologi Islam), dan dimensi ihsān pada gilirannya melahirkan ilmu tasawuf. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa manusia itu mempunyai tiga potensi yaitu panca indera (anggota tubuh), akal pikiran, dan hati sanubari. Ketiga ini harus bersih dan sehat, berdaya guna, dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menghasilkan kondisi seperti ini ada tiga bidang ilmu yang berperan penting. Pertama, fikih berperan dalam dalam membersihkan dan menyehatkan panca indera dan anggota tubuh. Istilah yang digunakan fikih untuk membersihkan dan menyehatkan panca indera dan anggota tubuh adalah ṭaharah (bersuci). Karenanya fikih banyak berurusan dengan dimensi eksoterik (lahiriah) dari manusia. Kedua, filsafat berperan dalam menggerakkan, menyehatkan dan meluruskan akal fikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan dimensi metafisik dari manusia, dalam rangkan menghasilkan konsep-konsep yang menjelaskan inti tentang sesuatu. Ketiga, tasawuf berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya tasawuf banyak berurusan dengan dimensi esoterik (batin) dari manusia. Dimensi Ajaran Islam
Tasawuf sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad
Amin Kurdi adalah ilmu untuk mengetahui keadaan jiwa, baik maupun buruk, kemudian bertekad untuk mensucikan jiwa tersebut dari sifat-sifat buruk, diisi dengan sifat-sifat yang baik, sertaberusaha merambah jalan (sulūk) untuk berada dekat di sisi Allah Swt. maka tasawuf adalah jalan yang tepat untuk mencapai keadaan jiwa yang bersih sehingga dapat menghadap Allah Syari’at berasal dari akar kata syara’a yang berarti jalan. Ia adalah jalan yang benar, sebagai rute perjalanan yang baik, dan dapat ditempuh oleh siapa saja. Kata syari’at terdapat dalam al-Quran, baik dalam bentuk kata kerja (verb), kata benda (noun), ataupun kata sifat (adjective) terdapat dalam beberapa ayat, misalnya dalam QS. al-Jatsiyah (45): 8, al-Maidah (5): 48, al-A’raf (7): 163. Dalam dunia tasawuf, syari’at dijadikan sebagai dasar/pondasi bagi tahap berikutnya (tarekat , hakikat, dan ma’rifat) sehingga kedudukannya sangat penting. Sebagian besar sufí memahami syari’at dalam pengertian yang luas, mencakup ilmu dan seluruh ajaran Islam. Syari’at bukan hanya sekedar kumpulan kode atau peraturan yang mengatur tindak lahiri tetapi juga menjelaskan tentang keimanan, tauhid, cinta (mahabah), syukur, sabar, ibadah, ẓikir, jihad, takwa, dan ihsan, serta menunjukkan bagaimana mewujudkan realitas tersebut. Syaikh Ahmad Sirhindi mengemukakan: “di dalam syari’at terkandung tiga hal yaitu pengetahuan (ilmu), praktik (amal), dan ikhlas. Artinya meyakini kebenaran syari’at dan melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan tulus dan akhlak demi mendapatkan keridaan Ilahi”.
Kedudukan dan fungsi Syari’at
Kedudukan dan fungsi syari’at
Tujuan syariat Islam pada
hakekatnya adalah menyelamatkan manusia, baik sebagai individu, kelompok manusia, serta bangsa-negara agar selamat dari kesesatan dan kerugian Kedudukan dan Fungsi Tarekat Kata ṭarekat berasal dari bahasa Arab ṭārīqah, (jamak: ṭurūq atau ṭarāiq), yang berarti: jalan atau metode atau aliran (madzhab). Tarekat adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan untuk sampai (wusul) kepada-Nya. Tarekat merupakan metode yang harus ditempuh seorang sufi dengan aturan-aturan tertentu sesuai dengan petunjuk guru atau mursyid tarekat masing- masing, agar berada sedekat mungkin dengan Allah Swt. Tarekat secara literal juga bermakna jalan tanpa rambu di padang pasir. Suatu ketika, Syaikh Bahauddin al-Naqsyabandi ditanya, apa tujuan ṭarekat? Beliau menjawab: “Tujuannya adalah untuk mengetahui secara rinci apa yang baru engkau ketahui secara singkat, dan untuk merasakan dalam penglihatan apa yang engkau ketahui lewat penjelasan dan argumen”. Tujuan ṭarekat adalah untuk memperkuat keyakinan terhadap syari’at, meyakini kebenarannya, mematuhi ajaran-ajarannya dengan senang dan spontan, mengikis kemalasan dan meniadakan penentangan atas keinginan diri (nafsu). Kedudukan dan Fungsi Tarekat Pada dasarnya, ṭarekat yang ditempuh oleh para sufí berupa ibadah ẓikir yang berasal dari praktik Nabi Muhammad Saw. yang kemudian diamalkan oleh al-khulafa’ alrasyidūn, tabi’īn, tabi’i at-tabi’īn, dan seterusnya sampai kepada para syaikh atau mursyid secara sambung-menyambung sampai sekarang. J. Spencer Trimingham menyimpulkan perkembangan tarekat sebagai berikut: 1. Tahap khanqah terjadi sekitar abad ke-10 M. Pada tahap ini tarekat berarti jalan atau metode yang ditempuh seorang sufi untuk sampai kepada Allah secara individual (far ḍiyah). Pada masa ini para sufí melaksanakan kontemplasi dan latihan-latihan spiritual secara individual. 2. Tahap ṭarekat terjadi sekitar abd ke-12 M. Pada masa ini sudah terbentuk ajaranajaran, peraturan dan metode tasawuf, muncul pula pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilahnya masing-masing. Pada tahap ini tasawuf telah mengambil bentuk kelas menengah. 3. Tahap ṭā’ifah terjadi pada abad ke-15 M. Pada masa ini terjadi transisi misi ajaran dan peraturan-peraturan dari guru tarekat yang disebut syaikh kepada para pengikut atau murid- muridnya. Pada masa ini muncul organisasi-organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di tempat lain, misalnya Tarekat Qadariyah, tarekat Naqsyabandiyah, dan Tarekat Sadziliyah. Kedudukan dan Fungsi Tarekat Dalam menjalankan ṭarekat, seorang murid dipersyaratkan untuk memenuhi unsurunsur sebagai berikut: a. Mempelajari ilmu pengetahuain yang berkaitan dengan syari’at agama b. Mengamati dan bersaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak langkah guru; melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya c. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan hakiki. d. Berbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin dengan segala wirid dan doa guna pemantapan dan kekhususan dalam mencapai maqamat yang lebih tinggi. e. Mengekang kawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang menodai amal. Hakikat berarti kebenaran atau kenyataan yang sebenarnya, seakar dengan kata alHaqq, "reality", absolut adalah kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi dan teologis. Dalam kepustakaan sufi, hakikat berarti persepsi atas realitas menurut pengetahuan mistik. Hakikat juga dapat diartikan sebagai kebenaran yaitu makna terdalam dari praktik dan petunjuk yang ada pada syari’at dan tarekat . Syari’at ibarat ilmu tentang obat. Tarekat adalah pengobatan, dan hakikat adalah kesehatan. Dalam pengertian seperti ini, hakikat merupakan tahap ketiga dalam ilmu tasawuf, yakni: syari'at (hukum yang mengatur), tarekat (suatu jalan atau cara) sebagai suatu tahapan dalam perjalanan spiritual menuju allah al-haqq, hakikat (kebenaran yang essensial), dan ma'rifat (mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, baik asma, sifat, maupun af'al-Nya).
Kedudukan dan Fungsi Hakikat
Kedudukan dan Fungsi Hakikat Syaikh Athaillah As-Sakandary menyampaikan bahwa amal perbuatan terdiri atas tiga bagian, yaitu: Amal syari’at; amal tarekat, dan amal hakikat. Syari’at untuk memperbaiki zawahir atau zawarih (anggota badan), tarekat untuk memperbaiki dhamir (hati); dan hakikat untuk memperbaiki sarair (ruh). Memperbaiki zahir (anggota badan) dengan tiga perkara pula yaitu: ikhlas , sidiq (jujur), dan tuma’ninah (ketenangan). Memperbaiki ruh juga dengan tiga cara, yaitu: Murāqabah (waspada/merasa, diawasi/seolah-olah melihat Allah Swt.), musyāhadah (menyaksikan asma, sifat, dan af’al-Nya), dan, ma’rifat (mengenal Allah Swt.) Atau dengan pengertian lain, bahwa memperbaiki ẓahir (anggota badan) yaitu dengan menjauhi larangan Allah Swt. dan mengikuti perintah-Nya, memperbaiki hati yaitu dengan menjauhi sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat utama, dan memperbaiki ruh dengan menghinakannya dan menundukkannya sehingga menjadi terdidik adab, tawaduk, dan berbudi. Dari segi bahasa, ma’rifat berarti pengetahuan atau pengalaman, sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifat diartikan sebagai kearifan yang dalam akan kebenaran spiritual. Beberapa sufi mendefinisikannya sebagai perkembangan pengetahuan tentang Allah dalam kesadaran seseorang, yang berarti naiknya diri seseorang ke titik yang merealisasikan kemanusiaannya dengan semua dimensi dan nilai intrinsiknya. Ma’rifat adalah cahaya yang dipancarkan kepada hati siapa saja yang dikehendaki-Nya. Ini merupakan pengetahuan hakiki yang datang melalui “penyingkapan” (kasyf), “penyaksian” (musyahadah), dan “cita rasa” (dzauq). Pengetahuan ini berasal dari Allah. Imam Ja’far al-Sadiq mengatakan, “Para ahli ma’rifat (arifin) berada bersama orang-orang, sedangkan hatinya bersama Allah. Jika hatinya melupakan Alah sekejab saja, ia akan mati karena kerinduannya kepada Allah.
Kedudukan dan Fungsi Ma’rifat
Kedudukan dan Fungsi Ma’rifat Dzū al-Nūn al-Misrī menyebutkan ada tiga tingkatan Ma’rifat. Pertama, ma’rifat kalangan awam (orang banyak pada umumnya), mereka mengetahui tidak ada Tuhan selain Allah melalui pembenaran berita tentang Tuhan dalam pengajaran syahadat. Kedua, ma’rifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini, mereka mengetahui adanya Allah melalui tanda-tanda atau dalil- dalil pemikiran. Ketiga, ma’rifat kalangan para wali dan orang-orang suci, mereka mengenal Allah berdasarkan pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan dengan Tuhan. Ma’rifat tingkat ketiga inilah yang kemudian dipandang dalam lingkungan tasawuf sebagai ma’rifat hakiki dan tertinggi. Junaid al-Baghdadi mengatakan: “ Seseorang tidak akan menjadi ‘arif sebelum ia menjadi bumi diinjak oleh orang yang saleh dan jahat, menjadi seperti awan yang menaungi semua makhluk, dan menjadi hujan menyirami segala sesuatu baik yang mencintainya maupun yang membencinya.” Nama Tarekat dan Pendirinya
Tarekat Qadiriyyah ( Abdul Qadir Al-Jailani )
Tarekat Naqsyabandiyah ( Muhammad bin Muhammad Baha' al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi ) Tarekat Syadziliyah ( Abdul Hasan Asy-Syadzili ) Tarekat Syattariyah ( Syah Abd-Allah al-syattar ) Tarekat Sammaniyah (Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As- Samani Al-Hasani Al- Madani ) Terimakasih