Anda di halaman 1dari 8

POLA HIDUP SEDERHANA

AL-QUR’AN SURAT AL-FURQON AYAT 67


AL-QUR’AN SURAT AL-ISRA’ AYAT 26-27

I. PENDAHULUAN
Setiap kaum muslimin dan muslimat selama ini senang berhura-hura dan
berperilaku komsumtif. Saat ini mereka cenderung mengikuti hawa nafsu tanpa
memperhitungkan bahwa itu perbuatan yang sia-sia dan merugi. Untuk mengatasi
perbuatan seseorang agar bernilai ibadah dan dapat mendatangkan kebaikan dunia
dan akhirat, maka dari itu pentingnya memahami dalil naqli dan aqli terutama
dalam membentuk pola pikir hidup sederhana. Hidup sederhana bukan berarti kita
menjadi fakir, namun bagaimana kita bersikap tunduk atau rendah diri di hadapan
Tuhan Semesta Alam.
Sederhana adalah kata sifat yang bermakna “bersahaja” atau “tidak
berlebih-lebihan”. Orang yang hidup sederhana adalah orang yang hidup dengan
bersahaja dan tidak berlebih-lebihan. Ketika kekurangan, orang yang sederhana
tidak akan menghalalkan segala cara, termasuk menyusahkan dirinya, untuk
memperoleh harta agar dihormati oleh orang lain. Begitu pula, ketika mempunyai
harta lebih, orang sederhana tidak akan tergoda untuk bermewah-mewahan,
menumpuk hartanya di rumah sendiri, tidak pula memanjakan diri dengan segala
fasilitas serba lux.
Kesederhanaan adalah kisah langka di era modern. Buktinya, banyak dari
kita yang selalu merasa “tidak cukup”, meski hidup sudah tercukupi. Bahkan
karena tidak bisanya hidup sederhana, ada orang yang sedang dihukum pun nekad
membawa kemewahan ke dalam penjara. Mungkin baginya, tidak sah hidup di
zaman kini tanpa melekatkan berbagai atribut kemewahan dalam dirinya.
Di era yang menjadikan benda sebagai pujaan, kesederhanaan adalah nilai
usang. Hidup sederhana dianggap tidak populer dan tidak mempopulerkan. Kalau
pun banyak orang sederhana, itu karena tidak ada pilihan lain kecuali hidup
“seadanya”. Orang yang hidup terjepit nasib dan pemiskinan.
II. PEMBAHASAN
A. QS. AL-FURQAAN AYAT 67
  
  
   
 
dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara
yang demikian.

1. Mufradat

(dan orang-orang yang), (apabila), (mereka

membelanjakan), (berlebih-lebihan), (kikir)

2. Tafsir Ayat

a.
Mereka dalam menafkahkan harta tidak boros dan tidak pula kikir, tetapi
tetap memelihara keseimbangan antara kedua sifat yang buruk itu. Sifat
boros pasti akan membawa kemusnahan harta benda dan kerusakan
masyarakat. Seseorang yang boros walaupun kebutuhan pribadi dan
keluarganya telah terpenuhi dengan hidup secara mewah, dia tetap akan
menghambur-hamburkan kekayaannya dengan cara yang lain yang
merusak, seperti main judi, main perempuan dan minum-minuman keras,
dan lain sebagainya. Dengan demikian dia merusak dirinya sendiri, dan
merusak masyarakat sekelilingnya padahal kekayaan yang dititipkan Allah
kepadanya harus dipeliharanya sebaik-baiknya sehingga dapat bermanfaat
untuk dirinya dan untuk masyarakatnya.

b.
Sifat kikir dan bakhilpun akan membawa kepada kerugian dan kerusakan,
karena seseorang yang bakhil selalu berusaha menumpuk kekayaan
walaupun dia sendiri hidup sebagai seorang miskin dan dia tidak mau
mengeluarkan uangnya untuk kepentingan masyarakatnya. Sedang untuk
kepentingan dirinya dan keluarganya dia merasa segan mengeluarkan uang
apalagi untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian akan
tertumpuklah kekayaan itu pada diri orang seorang atau beberapa gelintir
manusia yang serakah dan tamak.

3. Kandungan Ayat
Hamba-hamba yang mukmin itu apabila membelanjakan hartanya, tidak
berlaku mubazir dan boros untuk menonjolkan kekayaannya dan tidak pula kikir,
dikarenakan kecintaannya yang sangat kepada hartanya, akan tetapi mereka
berlaku wajar menurut kebutuhan, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula terlalu
menahan diri. Hidup sederhana tidak ada ukurannya yang pasti, karena ini
menyangkut moral seorang hamba dihadapan Robb-nya. Namun bila kita berkaca
kepada ayat-ayat tersebut diatas, pola hidup sederhana tidak hanya ditinjau dari
sisi penggunaan harta semata, sebab sederhana juga bisa diartikan sedang-sedang
saja, sesuai dengan kebutuhan.
Kebutuhan manusia secara garis besar ada dua,
pertama, kebutuhan jasmani, seperti makan dan minum, pakaian, rumah,
kendaraan dll. Kedua, kebutuhan rohani, seperti memberikan ilmu Allah kepada
diri sendiri dan orang lain, kebutuhan akan rasa aman dan tenteram.
Hal itu akan terwujud dengan cara, Pertama; bersikap haunan, rendah hati
(low profil), tidak sombong. Rendah hati akan tercermin dari tutur kata yang
santun, kata-kata yang mengandung kebajikan, lalu dibuktikan dengan kebijakan-
kebijakan, disebutlah dia orang bijak karena kebajikannya. Karena dia bijak tidak
akan berdebat dengan orang jahil dengan cara jahil pula, tapi dengan kata-kata
yang baik, berkualitas, sesuai dengan ajaran Islam (salaama). Kedua, melalui
malamnya dengan sikap sujud dan berdiri demi Robb-nya. Sujud adalah lambang
ketaatan kepada Allah/petunjuk-petunjukNya dalam segala keadaan, tidak hanya
taat ketika di masjid, ketika dihadapan orang lain, tapi dalam kesendiriannyapun
tetap istiqamah (qiyaama). Karena hal itu sudah menjadi kebutuhan rohaninya.
Sudah menjadi gaya hidupnya. Ketiga, aspirasinya, do’anya bersifat ukhrawiyah,
tidak duniawiyah, karena dia tahu mana sarana dan mana tujuan, tujuannya adalah
menyelamatkan diri dari azab jahannam. Sebab dia tidak mau binasa
selamanya. Keempat, orang-orang yang membelanjakan hartanya tidak
berlebihan, foya-foya, tapi ada skala prioritas, sesuai kebutuhan, tidak ada yang
mubazir. Orang zaman sekarang banyak menggunakan hartanya untuk hal-hal
yang tak bermanfaat, seperti kado bunga yang harganya mahal, umbul-umbul,
baleho, mengkoleksi pakaian dan asesoris orang terkenal, keramik dan lukisan
mahal, buku atau majalah-majalah porno, memelihara binatang yang tak perlu
sehingga menghabiskan uang tak terhitung dll. Padahal bila uang untuk itu
dikumpulkan dan dibagi-bagikan kepada yang miskin, mungkin sudah bisa
menghidupi orang sekampung, sehingga mereka terbebas dari belenggu
kemiskinan. Sebab harta pada hakikatnya adalah milik Allah (maalilaah), maka
penggunaannyapun haruslah menurut cara Allah

B. QS. AL-ISRA’ AYAT 26-27


  
 
  
   
 
  
 
  
26. dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. 27. Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat
ingkar kepada Tuhannya.

1. Mufradat

(dan berikanlah), (kepada keluarga terdekat), (haknya),

(dan orang miskin), (dan orang yang dalam perjalanan),

(boros)
2. Tafsir Ayat

a. dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (harta


kalian) secara boros
Setelah perintah untuk memberi nafkah, Allah melarang bersikap berlebih-
lebihan dalam memberi nafkah (membelanjakan harta), tetapi yang
dianjurkan ialah pertengahan.

b. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu


adalah saudara-saudara setan Yaitu saudara setan dalam pemborosan,
melakukan tindakan bodoh, dan tidak giat kepada Allah serta berbuat
maksiat kepada-Nya Dikatakan demikian karena dia ingkar kepada nikmat
yang telah diberikan Allah kepadanya dan tidak mau mengerjakan amal
ketaatan kepada-Nya, bahkan membalasnya dengan perbuatan durhaka dan
melanggar perintah-Nya.

3. Kandungan Ayat
a. Kandungan ayat 26
Ayat ini berisi perintah Allah agar kita memenuhi hak keluarga dekat, orang-
orang miskin, dan orang yang sedang dalam perjalanan. Kata wa äti dalam bahasa
Arab berarti pemberian sempurna. Maksud pemberian sempurna di sini tidak
hanya memberikan materi melainkan juga hal-hal yang bersifat imaterial, seperti
kasih sayang, rasa aman, dan lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud keluarga
dekat dalam ayat ini adalah keluarga yang masih terdapat hubungan darah atau
karena adanya ikatan perkawinan. Realistis yang ada pada masa sekarang ini
perolehan rezeki antara kerabat keluarga dilihat dari kuantitasnya. Dengan adanya
perbedaan perolehan rezeki inilah yang melatarbelakangi ajaran dalam ayat ini.
Sedangkan yang dimaksud dengan ibnu sabil dalam ayat ini adalah orang-
orang yang meninggalkan kampung halaman atau keluarganya demi kebaikan.
Adapun fakir miskin yang dimaksud adalah orang yang hidupnya kekurangan
sehingga tidak ada lagi harta yang mereka miliki. Di akhir ayat ini menjelaskan
tentang larangan Allah bagi kaum muslimin membelanjakan harta secara boros.
Pemborosan dalam ayat ini, tersirat pada kata tabzir, dipahami oleh para ulama
sebagai pengeluaran harta yang bukan pada jalur kebaikan.

b. Kandungan ayat 27
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa para pemboros adalah saudara setan.
Kata ikhwan,adalah bentuk jamak dari kata akhun yang biasa diterjemahkan
saudara. Secara etimologi, kata ini pada mulanya berarti persamaan atau
keserasian. Ayat ini seolah-olah menegaskan bahwa seorang pemboros dapat
disamakan dengan setan dalam hal keserasian akan sifat-sifat yang merekamiliki.
Penambahan kata känu mengisyaratkan kemantapan persamaan
dan persaudaraan itu.Selain itu, kata kafür pada ayat tersebut berarti sebuah
bentuk penyifatan setan yang dimiripkan dengan pemboros tersebut. Karena sikap
boros dalam membelanjakan harta dapat mengantarkannya menjadi ingkar
terhadap Allah. Di sinilah terjadi pengaruh setan terhadap sang pemboros. Orang
yang memiliki sifat pemboros tersebut di akhirat kelak akan berkumpul dengan
setan di neraka. Mereka akan mendapatkan azab atau siksaan yang
sangat pedih.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. ALLAH memerintahkan kepada seluruh orang yang beriman , agar
memberi pertolongan kepada semua fihak yang memerlukan. miskin dan
orang yang sedang dalam perjalanan .
2. Setiap orang yang beriman di tuntut untuk menempuh cara hidup
sederhana Sedangkan konsep sederhana menurut Islam adalah :
a. Tidak boros , maksutnya tidak menggunakan harta ke jalan yang
maksiat yang tidak di ridhoi oleh Allah SWT .
b. Tidak kikir , Artinya rela berkorban di jalan Allah SWT. dan rela
mengeluarkan hak orang lain yang ada di dalam hartanya .
3. Boros dan bermegah-megahan adalah sifat hidup yang di ajarkan oleh
syetan. Sedangkan ia ( SYETAN ) adalah musuh manusia yang paling
nyata .

B. Saran
Kami dari Kelompok menyadari bahwa masih kurang sempurnya makalah
yang kami sajikan ini, untuk itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang
membangun untuk memperbaiki dan kesempurnaan dari makalah kami ini.

Anda mungkin juga menyukai