Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

IMAM SYAFI’I
Dosen Pengampu : Drs. Lukman Firmansyah, M.M.Pd
Di ajukan untuk memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah fiqih

Disusun Oleh :
Mia Lupita Rizkia Amalia Hasni
Neng Dety Arianti Susan Melati
Nureka Siti Nurjannah
Novia Rachim Yuni Lestari
Ridha Aulia Kamila

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUKABUMI
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu wataala yang telah menganugerahkan


nikmat kepada seluruh makhluknya, shalawat dan salam kepada kekasih-Nya
Nabi Muhammad SAW.
Telah selesai tugas kelompok penulisan makalah tentang Imam Syafi’i
yang berisi tentang riwayat hidup serta sejarah madzhab Imam Syafi’i, semoga
menjadi tambahan pengetahuan bagi kita semua, banyak kekurangan dalam
penulisan ini dan semoga ini menjadi media pembelajaran untuk terus mendalami
ilmu-ilmu para ulama salafusshalih.

Sukabumi, 25 Desember 2019


DAFTAR ISI
A. Latar Belakang ............................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
C. Tujuan Penulisan Makalah ........................................................................... 5
BAB II ..................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6
A. Biografi Imam Syafi’i .................................................................................. 6
B. Sejarah Madzhab Muhammad Idris Syafi’i ................................................. 7
C. Tahap-tahap Pembentuk Madzhab Muhammad Idris Syafi’i ...................... 9
D. Dasar-dasar Pemikiran Muhammad Idris Syafi’i ....................................... 14
BAB III ................................................................................................................. 20
PENUTUP ............................................................................................................. 20
A. SIMPULAN ................................................................................................... 20
B. SARAN .......................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Madzhab adalah cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti. Embrio dari
perbedaan madzhab ini adalah karena terjadi perbedaan cara pandang dan analisis
terhadap nash (teks), walaupun semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Namun perbedaan tersebut dianggap wajar oleh para
ulama fiqh. Karena berbagai faktor yang mempengaruhinya, diantaranya faktor
intuisi, interaksi sosial, budaya dan faktor adaptasi perkembangan zaman.
Madzhab dalam hukum Islam pun semakin bermunculan. Sebagai contoh ada
madzhab sunni yang terdiri dari madzhab Abu Hanifah Annu’man, Malik Bin
Anas, Muhammad Idris Asy-syafi’i, Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal.
Karena pengorbanan dan bakti mereka yang besar terhadapa agama Islam
yang mahasuci, khususnya dalam bidang ilmu fiqih mereka telah sampai ke
peringkat atau kedudukan yang baik dan tinggi dalam Islam. Peninggalan mereka
merupakan amalan ilmu fiqih yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan bagi
agama Islam dan kaum muslim umumnya.
Namun pada makalah ini akan dibahas lebih spesifik tentang biografi
Muhammad Idris Syafi’i atau lebih dikenal dengan Imam Syafi’i. Imam Syafi’i
adalah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah
pendukung terhadap Ilmu Hadist dan pembaharu dalam agama (mujaddid) dalam
abad kedua hijriah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi imam Syafi’i?
2. Bagaimana sejarah madzhab imam Syafi’i?
3. Tahap-tahap pembentukan madzhab imam Syafi’i
4. Dasar-dasar pemikiran imam Syafi’i
5. Qaul Qadim dan Qaul Jadid dalam perkembangan Fiqh Al-Syafi’iyah
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Mengetahui bagaimana sejarah madzhab imam Syafi’I ?
2. Mengetahui tahap-tahap pembentukan madzhab imam Syafi’i
3. Mengetahui dasar-dasar pemikiran imam Syafi’i
4. Mengetahui Qaul Qadim dan Qaul Jadid dalam perkembangan Fiqh Al-
Syafi’iyah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Syafi’i


Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H, tahun di mana Imam Abu Hanifah-
Imam Madzhab Fiqih yang paling tua meninggal dunia. Beliau dipanggil dengan
Abu Abdillah Imam Syafi’i berkata, “Saya dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H.
Kemudian saya dibawa ke Mekah ketika berumur dua tahun, Ibu beliau
bersungguh-sungguh mendidik Imam Syafi’i kecil dengan pendidikan bangsa
Arab sehingga beliau pun hafal Al-Qur’an dalam usia tujuh tahun Kemudian
beliau menuntut ilmu hadits dan menekuninya, lalu menghafal kitab Muwattha’
Imam Malik, sehingga tampaklah kecerdasan dan kepiawaian beliau. Kecerdasan
beliau yang tinggi mulai tampak ketika mampu menghafal hadits-hadits
Rasulullah dengan cepat.
Imam Syafi’i sangat bersemangat dalam mempelajari hadits dan
memerhatikan para Muhaddits (penyampai hadits), lalu menghafal hadits-hadits
tersebut dengan cara mendengar. Terkadang beliau menuliskannya di atas porselin
dan terkadang di atas lembaran kulit. Imam Syafi’i bermulazamah kepada Imam
Malik dan meriwayatkan Al-Muwattha’ dari beliauh serta mempelajari berbagai
persoalan bersama beliau.
Imam Syafi’i mempelajari setiap hal yang ada kemungkinan bermanfaat untuk
perkembangan fikih Islam. Beliau ingin merancang satu mazhab fikih Islam yang
bersumber dari Al~ Qur’an dan As-Sunah, serta mengambalikan semua
permasalahan kepada kedua sumber itu. Oleh karena itu, beliau mempelajari
bahasa, Al-Qur’an, hadits, periwayatan dari para pendahulunya, perbedaan dan
kesepakatan pendapat di kalangan ulama tanpa menyertakan aliran, mazhab, atau
kelompok tertentu. Demi tujuan itu, beliau telah melakukan berbagai rihlah
keilmuan (Study Tour) yang darinya beliau mengambil manfaat berupa ilmu dan
berbagai pengalaman hidup mengenai karakter-karakter manusia, kondisi-kondisi
mereka, dan sosial mereka.
Kata-Kata Bijak dari Imam Syafi’i “Barang siapa yang mencari kekuasaan,
maka kekuasaan itu akan lari darinya dan jika terjadi suatu kejadian, ia akan
kehilangan ilmu yang banyak diantaranya:
1. Menuntut ilmu membutuhkan tiga hal kecakapan dalam menulis, panjang
umur, dan kecerdasan.
2. Amal yang paling berat ada tiga: dermawan di saat kekurangan, wara’
(menjaga diri) pada waktu sendirian, dan mengatakan kebenaran di
hadapan orang yang diharapkan dan ditakuti.
3. Menuntut ilmu lebih baik daripada shalat sunah.
4. jadikanlah diam sebagai sarana dalam berbicara, dan berfikir sebagai
sarana untuk mengambil istimbath.
5. Siapa yang mempelajari Al-Qur’an, harga dirinya akan menjadi agung.
Siapa yang menulis hadits, hujjahnya akan menjadi kuat. Siapa yang
belajar tentang fikih, kedudukannya akan mulia, siapa yang belajar tentang
bahasa, karakternya akan meningkat. Siapa yang belajar tentang hisab
(perhitungan), pendapatnya akan kuat. Dan barang siapa yang tidak
menjaga jiwanya, niscaya ilmunya tidak akan bermanfaat untuknya.”

Imam syafi’i meninggal pada usia lima puluh empat tahun.

B. Sejarah Madzhab Muhammad Idris Syafi’i


Imam Syafi’i adalah orang yang kuat dalam berhujjah, amat jelas ketika
menerangkan, berwawasan luas, memiliki kecermatan yang tinggi, ketajaman
dalam berpikir, teliti, jenius, dan menguasai banyak ilmu. Semua itu memang
wajar terjadi karena imam Syafi’i amat menguasai bahasa Arab lengkap dengan
seluk beluk kesusasteraan dan syair-syairnya serta mampu menghimpun berbagai
dalil syariat yang berbeda, baik dalil yang berasal dari Al-Qur’an, Hadist, Ijma’
dan Qiyas. Imam Syafi’i juga telah meletakkan prinsip-prinsip dasar Ijtihadnya
dalam ar-risalah yang menjadi karya tulis pertama dalam ilmu Ushul Fiqih.
Kemudian ia mengembangkannya sesuai dengan manhaj yang jelas lagi bersih
dari segala tendensi dan kepentingan.
Pada tahap pertama, Imam Syafi’i membangun qaul qadim-nya pada tahun
183 H di Irak, ketika berusia 34 tahun-melalui karyanya al-Hujjah. Kitab yang
berisi qaul qadim Imam Syafi’i ini diriwayatkan oleh empat orang muridnya, yaitu
Imam Ahmad Bin Hanbal, Abu Tsaur, Az-Za’farani, dan al-Karabisi. Diantara
keempat riwayat ini, Az-Za’farani menjadi riwayat qaul qadim Imam Syafi’i yang
paling outentik. Buku tersebut ditulis setelah Imam Syafi’i berhasil
mempertemukan Fiqih ulama Hijaz seperti fiqih gurunya, Imam Malik Bin Annas,
dengan Fiqih ulama Irak yang dia dalami memalui proses telaah terhadap kitab-
kitab fiqih ulama Irak dan lewat perdebatannya dengan Muhammad Bin al-Hasan,
murid Abu hanifah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar, setelah
Imam Syafi’i mengetahui ilmu ahli hadist dan ilmu ahli ra’yi, beliau lalu membuat
landasan ushul fiqih dan membuat kaidah dengan mempertemukan persaman dan
perbedaan pendapat ulama’.
Pada tahap kedua, Imam Syafi’i tiba di Baghdad pada tahun 195 H dan
mengarang ar-risalah yang ditulis sebagai landasan ilmu Ushul Fiqih. Imam
Syafi’i menulis kitab tersebut untuk memenuhi anjuran yang disampaikan imam
al-Hafizh Abdurrahman Bin Mahdi yang meminta beliau untuk menulis sebuah
kitab yang menerangkan tentang syarat-syarat penggunaan dalil (Istitlal) dengan
Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, penjelasan mengenai nasakh dan
mansukh; dan derajat dalil yang ‘Am dan Khas. Demikianlah keterangan yang
terdapat di dalam Manaqib as-Syafi’i karya Imam ar-Razi. Hal tersebut diperkuat
oleh pernyataan para Ulama yang hidup sezaman dengannya bahwa Imam Syafi’i
memang menyusun ar-Risalah di Makkah.
Setelah Imam Syafi’i selesai menyusun, dia mengirimkan buku ar-Risalah
tersebut kepada Ibnu Mahdi. Usai membacanya Ibnu Mahdi berkata, “Saya tidak
menyangka bahwa Allah telah menciptakan orang seperti lelaki (Imam Syafi’i)
ini.” Kitab ar-Risalah telah membuat saya sedemikian takjub. Karena dengan
membacanya, saya telah menyaksikan perkataan seseorang yang amat cerdas,
fasih, dan sangat santun. Oleh karenanya saya berdoa semoga kebaikan selalu
berlimpah padanya.

C. Tahap-tahap Pembentuk Madzhab Muhammad Idris Syafi’i


Al-Nahrawi membagi sejarah pertumbuhan dan perkembangan madzhab Al-
Syafi’i kepada empat periode : periode persiapan ; periode pertumbuhan dengan
lahirnya madzhab al-qadim ; periode kematangan dan kesempurnaan pada
madzhab al-jadid ; dan periode pengembangan dan pengayaan.
1. Tahap Persiapan
Persiapan bagi lahirnya madzhab al-Syafi’i belangsung sejak wafatnya
Imam Malik, tahun 179 H, sampai dengan kedatangannya yang kedua ke
Baghdad, tahun 195 H. sebagaimana disinggung diatas, setelah Imam Malik
wafat, Al-Syafi’i berangkat ke Yaman untuk bekerja. Dengan demikian,
kehidupan kelimuaannya beralih dari dunia teori ke dunia penerapan
dilapangan. Keberadaan dilapangan menuntut perhatian lebih bila dibanding
dengan periode menuntut ilmu. Disini perhatian tidak mungkin lepas dari
berbagai faktor, kondisi dan situasi ekonomi, politik, dan sosial yang ada.
Dalam penerapan, teori-teori murni yang dalam kajian dinilai terbaik kadang-
kadang harus mengalami semacam penyesuaian demi mendapatkan
kemaslahatan umum sebagai tujuan syariat.
Selama di Yaman, al-Syafi’i memperoleh banyak pengalaman yang
memperkaya khasanah keilmuannya. Disamping itu, melalui diskusi-diskusi
dengan tokoh utama madzhab Hanafi, Muhammad Ibnu al-Hasan al-Syaibani,
ia dapat pula mengenali aliran ahl al-Ra’yi secara dekat, memperluas
wawasan, serta mematangkan pemikiran dan kepribadiaannya.
Setelah kembali ke Makkah, ia ,melanjutkan karirnya dengan mengajar
dimasjid al-Haram. Tanggung jawab sebagai pengajar jelas menuntunnya
untuk terus memperdalam pengetahuan agar selalu siap menghadapi berbagai
persoalan yang timbul. Selain itu, kehadiran para ulama’ dari berbagai
wilayah, khususnya pada musim haji, membuka peluang besar bagi terjadinya
dialog dan diskusi ilmiah.
Akumulasi dari ini semua, seperti disimpulkan oleh al-Nahrawi,
merupakan faktor penting yang mendorong dan sekaligus membantu al-Syafi’i
membentuk suatu madzhab fiqih sendiri. Pada gilirannya, ia melakukan
perbandingan untuk mendapatkan sisi-sisi positif dan kelebihan berbagai
metode ijtihad ahl al-Ra’yi maupun ahl al-Hadist. Kaidah-kaidah terbaik yang
diperoleh dari perbandingan ini diolah dan dirumuskannya dalam suatu
tatanan baru yang kemudian diletakkan sebagai dasar madzhabnya.
2. Periode Pertumbuhan (Al-Qadim)
Tahun 195 H, pada saaat kedatangannya yang kedua ke Baghdad, sampai
dengan tahun 199 H, saat ia pindah ke Mesir, bisa disebut sebagai periode
pertumbuhan bagi madzhab al-Syafi’i. ketika al-Syafi’i datang kembali ke
Baghdad (195 H), ia tidak datang sebagai penuntut ilmu, melainkan sebagai
ulama’ yang telah matang dengan konsep serta pemikiran-pemikirannya
sendiri. Kini ia memperkenalkan pandangan-pandangan fiqihnya secara utuh,
lengkap dengan kaidah-kaidah umum, dan pokok-pokok pikiran yang siap
untuk dikembangkan. Madzhab baru itu digelarnya di Baghdad yang sejak
lama dikuasai dan dijadikan sebagai pusat pengembangan oleh aliran ahl al-
Ra’yi.
Tampaknya masa ini merupakan masa ujian paling berat bagi al-Syafi’i
dalam menegakkan konsep dan pemikiran fiqihnya yang terbukti dapat ia lalui
dengan sebaik-baiknya. Majelis pengajiaannya segera menarik perhatian dari
berbagai kalangan. Banyak ulama, dengan latar belakang dan keahlian yang
berbeda : ahli hadist, Fiqih, Bahasa dan Sastra hadir di majelis itu, dan
masing-masing mereka mendapatakan apa yang diinginkannya. Melalui
berbagia diskusi dengan para ulama ahl al-Ra’yi, tampaklah bahwa tingkat
keilmuan as-Syafi’i berada diatas mereka. Dengan demikian, ia segera
terkenal, namanya menjadi harum dan tersohor ke segala penjuru.
Madzhabnya diterima dan tersebar luas ditengah-tengah masyarakat. Para
ulama mengakuinya dan kalangan penguasa pun menaruh hormat kepadanya.
Beberapa diantara mereka meniggalkan madzhabnya dan beralih menjadi
pengikut madzhab syafi’i. ketika al-Syafi’i datang ke Baghdad, di masjid
jami’ al-Gharbi terdapat 20 majlis (halqah) pengajian ahl al-Ra’yi tapi sepekan
kemudian jumlahnya menyusut menjadi tiga atau empat buah saja.
Pendapat dan fatwa-fatwa fiqih yang dikemukakannya pada periode ini
dikenal dengan sebutan Qaul Qadim. Selama kira-kira dua tahun berada di
Baghdad, ia berhasil menyusun dan mendiktekan kitab arissalah dalam bidang
ushul al-fiqih dan al-Hujjah dalam bidang fiqih. Kitab al-hujjah inilah yang
menjadi rujukan bagi qaul qadim al-Syafi’i yang selanjutnya diriwayatkan
oleh beberapa murid yang belajar kepadanya di Baghdad.

3. Periode kematangan (Al-Jadid)


Ahmad Amin mengemukakan bahwa madzhab al-Syafi’i kurang mendapat
sambutan di Irak dan tidak mampu bersaing dengan madzhab Hanafi, yang
tokoh-tokohnya akrab dan berpengaruh terhadap penguasa. Senada dengan ini,
Ibnu Al-Bazaz mengatakan bahwa fatwa-fatwa al-Syafi’i yang dituangkannya
didalam kitab-kitabnya selama di Baghdad itu banyak yang dibantah oleh para
murid Muhammad Ibnu Hasan., mereka mendesak posisinya dengan
mengungkapkan kelemahan-kelemahan fatwanya. Disamping itu, menurut
Ibnu Al-Bazaz, kelompok ahl al-Hadist pun tidak menerima al-Syafi’i, bahkan
mereka menuduhnya sebagai pengenut mu’tazilah karena tidak mendapatkan
pasaran di Irak, ia pergi ke mesir, dimana tidak ada ulama atau fuqaha
yangdapat mengimbanginya.
Namun, seperti dikemukakan oleh al-Nahrawi, alasan ini pun kelihatannya
kurang berbobot karena tidak sejalan dengan kepribadian al-Syafi’i yang
terkenal kuat itu dan bertentangan pula dengan sukses besar yang diraihnya
ketika pertama kali memperkenalkan madzhabnya di Baghdad. Disana al-
Syafi’i mempunyai beberapa orang murid yang senantiasa menginginkan
kebersamaan yang lebih lama dengan al-Syafi’i. kesetiaan mereka terbukti
dari tindakan menyebarluaskan fiqh al-Syafi’i di Baghdad setelah
kepergiaannya ke Mesir. Ahmad bin Hanbal dan Abu Tsaur , sebelum mereka
membentuk madzhabnya masing-masing, serta Al-Za’farani, dan Al-Karabisi,
cukup dikenal jasanya dalam meriwayatkan fikih Al-Syafi’i (qaul qadim) yang
mereka pelajari darinya di Baghdad. Oleh karena itu, menurut Al-Nahrawi,
alasan yang lebih tepat adalah persoalan menyangkut politik sebagaimana
dikemukakan oleh Abu Zahrah. Menurutnya kepergian al-Syafi’i itu terkait
dengan dua hal.
Pertama, pengaruh besar bangsa Parsi terhadap khalifah Al-Ma’mun.
Setelah memenangkan persaingan dengan Al-amin, yang sesungguhnya
merupakan pertentangan antara Parsi dengan Arab, unsur bangsa Parsi
mendapatkan posisi yang sangat kuat di istana. Mereka berhasil menduduki
jabatan-jabatan penting dalam pememrintahan. Agaknya al-Syafi’i tidak
merasa senang berada di bawah naungan pemerintahan yang telah dikuasai
oleh unsur Parsi itu.
Kedua, karena Al-Ma’mun, seorang ahli ilmu kalam, bahkan filosof,
sangat akrab dengan kalangan Mu’tazilah. Merekalah yang dekat dan selalu
hadir di majelisnya. Al-Syafi’i, yang sangat tidak suka terhadap mutakallim
dan cara berpikir Mu’tazilah itu, merasa lebih baik menjauhi mereka dan pergi
ke Mesir.
Masa yang dilalui al-Syafi’i di Mesir itu relatif pendek, tetap sangat berarti
dalam pengembangan madzhabnya. Di sana ia senantiasa sibuk dengan
kegiatan produktif yang menghasilkan temuan ilmu dan istinbath hukum yang
membuat kekuatan hujjah dalil dan argumen ilmiah serta kebesaran pribadi al-
Syafi’i sebagai seorang imam yang nyata. Karena berbagai alasan ilmiah, ia
menyatakan ruju’, meninggalkan beberapa pendapat lama yang telah
dikemukakannya di Baghdad dan mengubahnya dengan fatwa yang baru.
Pendapat-pendapat baru (qaul jadid) itu dituangkan secara sisitematis dalam
beberapa buah kitab.
Dengan demikian, pada periode inilah madzhab fikih al-Syafi’i mencapai
tingkat kesempurnaan sebagai madzhab yang utuh, hidup, dan mempunyai
daya gerak menuju pengayaan yang akan terjadi sesuai dengan tuntutan
perkembangan pada periode selanjutnya. Kini madzhabnya telah tegak dengan
kokoh, siap dengan rumusan tentang langkah-langkah yang harus ditempuh
dalam menjawab tantangan masa sekarang dan masa yang akan datang.
Dengan kaidah-kaidah yang telah ditanya itu, para sahabat serta pengikutnya
kemudian dapat melakukan takhrij, memproyeksi ajarannya sebagai upaya
pengayaan madzhab tersebut.

4. Periode Pengembangan dan Pengayaan


Periode ini berlangsung sejak wafatnya al-Syafi’i sampai dengan
pertengahan abad kelima, atau bahkan, abad ketujuh menurut pendapat
sebagian ahli.
Para murid dan penerus al-Syafi’i dari berbagai generasi (thabaqat) yang
telah mencapai derajat ijtihad dalam keilmuannya terus melakukan istinbath
hukum untuk masalah-masalah yang timbul pada masa mereka atau yang
ditimbulkan sebagai perandaian (masa’il fardliyah). Selain itu, sesuai dengan
semangat ijtihad yang diwariskan oleh al-Syafi’i sendiri, mereka juga
melakukan peninjauan ulang terhadap fatwa-fatwa imamnya. Dalil-dalil yang
mendukung setiap fatwanya diperiksa kembali untuk menguji kekuatannya.
Dalam hal al-Syafi’i memberi dua, atau lebih, fatwa yang berbeda mereka
melakukan tarjih setelah menelusuri dalilnya masing-masing untuk
mendapatkan pilihan terkuat.
Mereka inilah yang kemudian memainkan peran penting dalam membela,
melengkapi, dan menyebarkan madzhab al-Syafi’i sehingga ia dapat hidup
berdampingan atau bersaing dengan madzhab-madzhab lainnya di hampir
semua wilayah Islam. Selain ramai dengan kegiatan istinbath, kajian, dan
diskusi antara sesamanya atau antara mereka dengan ulama dari madzhab lain,
para ulama Syafi’iyah pada periode ini juga banyak menghasilkan karya tulis.
Hampir setiap ulama terkemuka menuangkan ilmunya dalam berbagai tulisan,
risalah, ta’liq, matan, mukhtashar, ataupun syarh, sesuai dengan metode
penulisan yang berkembang pada masanya. Dengan demikian, semakin lama
semakin kayalah madzhab tersebut dengan kitab-kitab.
D. Dasar-dasar Pemikiran Muhammad Idris Syafi’i
Berikut ini, dikemukakan secara singkat pokok-pokok pikiran dan kaidah-
kaidah ijtihad yang dirumuskan oleh al-Syafi’i mengenai keempat dalil tersebut
satu per satu.
1. Al-Qur’an
Al-Syafi’i menegaskan bahwa Al-Qur’an membawa petunjuk,
menerangkan yang halal dan yang haram, menjanjikan balasan, surga bagi
yang taat dan neraka bagi yang durhaka, serta memberikan dengan kisah-kisah
umat terdahulu. Semua yang diturunkan Allah dalam Al-Qur’an adalah hujjah
(dalil, argumen) dan rahmat. Tingkat keilmuan seseorang erat terkait dengan
pengetahuannya tentang isi Al-Qur’an. Orang yang berilmu adalah orang yang
mengetahui Al-Qur’an, sedangkan orang yag jahil adalah yang tidak
mengetahuinya. Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu perlu berupaya keras
untuk menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, baik yang diperoleh dari nash
(penegasan ungkapan) maupun melalui intinbath (penggalian hukum).
Menurutnya, setiap kasus yang terjadi pada seseorang pasti mempunyai dalil
dan petunjuk dalam Al-Qur’an.
Sesungguhnya Al-Syafi’i telah melakukan kajian secara luas dan
mendalam tentang berbagai aspek Al-Qur’an. Akan tetapi, di sini hanya akan
dikemukakan beberapa pokok pikirannya tentang kitab suci tersebut.
2. As-Sunnah
Dengan pendidikan yang diperolehnya dari kalangan Ahl-Al-Hadist. Al-
Syafi’i sangat kuat berpegang pada hadits sebagai dalil hukum, sikap,
pendirian, dan pandangannya terhadap Sunnah dinyatakan dengan sangat jelas
dalam kitab-kitabnya. Dengan berbagai argumentasi, ia mendukung ke-hujjah-
an Sunnah, sehingga ia mendapatkan gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela
Sunnah) ketika berada di Baghdad.
Dengan mengambil sikap menengah di antara Ahl Al-ra’yi dan Ahl Al-
Hadits, ia memberikan batasan-batasan yang jelas tentang hakikat Sunnah dan
menetapkan persyaratan tertentu yang harus terpenuhi agar suatu riwayat
dapat diterima. Secara umum, kaidah-kaidah yang dirumuskannya tentang
hadits dianggap sebagai sumbangan pemikiran penting dalam kajian hadits
dan hukum Islam serta berpengaruh besar pada masa-masa selanjutnya.
3. Al-Ijma’
Dalam masalah-masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al-Qur’an
ataupun Sunnah, sehingga hukumnya harus dicari melalui ijtihad, jelas terbuka
peluang untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan ini, para mujtahid diberi
kebebasan, bahan keharusan,untuk bertindak atau berfatwa sesuai dengan hasil
ijtihadnya masing-masing.
Fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat mengikat. Masalah-masalah tersebut
tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi ulama yang datang kemudian dan
orang awam bebas memilih untuk mengikuti salah satu dari pendapat yang
ada. Akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, setelah melakukan ijtihad sesuai
dengan kemampuan masing-masing, seluruh ulama sampai kepada kesimpulan
yang sama sehingga terbentuklah suatu kesepakatan tentang hukumnya.
Kesepakatan seperti itu disebut ijma’ dan dipandang sebagai hujjah yang
mempunyai kekuatan mengikat. Dengan adanya suatu ijma’, kajian terhadap
masalah tersebut dianggap telah selesai
4. Qiyas
Sesungguhnya qiyas dan ra’yu, bukanlah sesuatu yang baru pada masa al-
Syafi’i. Qiyas telah dikenal dan digunakan sejak masa awal oleh para sahabat :
Abu Bakar, Umar ra. dan lain-lain. Penggunaan ra’yu itu kemudian meluas
sedemikian rupa, sehingga mewarnai salah satu aliran fikih yang dikenal
dengan Ahl Al-ra’yi, yang berkembang pesat dibawah kepimpinan Abu
Hanifah. Akan tetapi, sejauh itu, belum ada rumusan yang jelas tentang
hakikat, batas-batas, dan kedudukannya sebagai dalil. Al-Syafi’i-lah yang
pertama sekali memberikan bentuk, batasan, syarat-syarat, dan berbagai
ketentuan serta posisi yang jelas bagi qiyas dalam deretan dalil-dalil hukum. Ia
menempatkan qiyas pada urutan keempat, baik dari segi kemuliaan (syarf)
maupun kekuatannya, berikut adalah pokok-pokok pikiran Al-Syafi’i dalam
kitab Al-Risalah tentang Qiyas, antara lain sebagai berikut :
1. Bahwa setiap kasus yang terjadi atas orang muslim pasti ada hukumnya.
Kalaupun hukum itu tidak dinyatakan secara tegas, pasti ada petunjuk
kearahnya dan hukum itu dapat dicari dengan ijtihad, yaitu bahwa
pengetahuan yangdiperoleh dengan qiyas itu adalah benar secara zhahir
dan hanya berlaku bagi orang yang menemukannya, tidak bagi semua
ulama, sebab hanya Allah yang mengetahui hal-hal yang ghaib.
2. Qiyas itu ada dua tingkatan. Pertama, sesuatu yang diqiyaskan itu tercakup
oleh pengertian ashl (kasus pokok) sehingga tidak akan ada perbedaan
dalam mengqiyas, Kedua, sesuatu itu mempunyai kesamaan dengan
beberapa ashl; dalam hal ini ia harus diqiyaskan kepada ashl yang paling
mirip dengannya, namun orang-orang mungkin akan berbeda pendapat
dalam menentukannya.
3. Hukum masalah yang tidak ada nash-nya haruslah dicari dengan qiyas,
namun kita hanya dibebani dengan apa yang kita anggap benar (al-haqq
‘indana) dan kebenaran itu bertingkat-tingkat sesuai kekuatan tunjukan
dalil-dalilnya.
4. Jika terjadi perbedaan pendapat, para mujtahid harus mengamalkan hasil
ijtihadnya masing-masing, sebab, pada lahirnya itulah yang benar baginya,
walaupun pada hakikatnya dua pendapat yang berbeda tentang sesuatu
tidaklah mungkin sama-sama benar. Akan tetapi, jika seseorang ulama
telah berijtihad dengan meneliti dalil-dalil seraya memohonkan
pertolongan (inayah) dan taufiq dari Allah, ia telah melaksanakan
kewajibannya.
5. Sekalipun dalam keadaan tidak mampu mendapatkan kebenaran yang
sesungguhnya, orang tidak boleh bertindak hanya berdasarkan ra’yu
(pendapat pribadi) semata-mata, tanpa dalil.
6. Qaul Qadim dan Qaul Jadid Dalam Perkembangan Fiqh Al-Syafi’i

Seperti telah disinggung sebelumnya, baik di Baghdad maupun di Mesir,


al-Syafi’i berhasil mendapatkan perhatian besar dari sejumlah penuntut ilmu
yang datang berguru dan menjadi muridnya. Ia juga sempat menulis kitab-
kitab sebagai sarana pengajaran. Melalui hubungan belajar yang berlangsung
dengan baik, mereka memahami, menguji, dan menguasai metodologi ijtihad
al-syafi’i dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, dengan secara sadar, mereka
pun mengagumi pribadi, mengakui keutamaan ilmu, dan menganut ajaran al-
syafi’i. Pada gilirannya, sebagai ulama-ulama besar, mereka meriwayatkan
dan mengajarkan ilmu al-syafi’i itu kepada generasi berikutnya. Sesuai dengan
tahap perkembangan mazhab tersebut, para penerus syafi’i itu terbagi menjadi
dua kelompok, yakni para perawi qaul qadim yang belajar kepadanya di
Baghdad, dan perawi qaul jaddid yang belajar di Mesir. Dengan demikian,
pada masa-masa awal, pengembangan madzhab al-Syafi’i berlangsung pada
dua pusat dengan corak yang berbeda, Baghdad dengan corak qadim dan
Mesir dengan corak jadid.
Namun, hal ini tidak berlangsung lama sebab dalam kegiatan inilah yang
marak pada masa itu para ilmuwan sangat banyak melakukan perjalanan
(rihlah). Dalam rangka menuntut ilmu. Melalui perjalanan seperti itu,
terjadilah kontak antara tokoh-tokoh kedua pusat pengembangan tadi sehingga
qaul qadim dan qaul jaddid bertemu dengan periwayatan berikutnya. Lebih
dari itu, beberapa orang murid yang mempelajari qaul jadid di Mesir
kemudian menetap di Irak dan berhubungan dengan para penerus al-Syfi’i di
pusat pengembangan qaul qadim tersebut sehingga riwayat qaul qadim dan
qaul jaddid membentuk himpunan besar madzhab al-Syafi’i.
Seperti pada periwayatan lisan, proses perpaduan kedua kelompok qaul itu
juga terjadi pada penulisan kitab-kitab. Kalau kitab-kitab periode pertama
hanya memuat satu kelompok qaul, tampak bahwa karya-karya yang lahir
pada masa berikutnya telah meliput qaul qadim, qaul jadid.
Adanya dua qaul yang berbeda untuk masalah yang sama tentu merupakan
khasanah yang sangat berharga dalam kajian. Akan tetapi, hal itu justru dapat
menyulitkan dalam lapangan fatwa yang menghendaki kepastian hukum. Oleh
karena itu, diperlukan upaya tarjih, memilih yang terkuat dari pendapat yang
berbeda itu. Selanjutnya, hal ini menuntut pola adanya kriteria tertentu
sebagai acuan tarjih.
Secara umum, menurut al-Nawawi, fatwa-fatwa qaul jadid-lah yang harus
di amalkan karena itulah yang lebih shahih dan dianggap sah sebagai madzhab
al-syafi’i. Sebab, pada prinsipnya semua fatwa qaul qadim yang bertentangan
dengan qaul jadid telah ditinggalkan dan tidak dapat dipandang lagi sebagai
madzhab al-Syafi’i.
Itulah sebabnya, kitab-kitab yang ditulis pada periode pengayaan madzhab
tersebut selalu memuat fatwa qaul jadid lengkap dengan dalil-dalil yang
mendukungnya, serta fatwa yang lanjutan lahir sebagai proyeksi darinya,
sedangkan fatwa-fatwa qaul qadim hanya dimuat sebagai bahan perbandingan
dalam kajian. Akan tetapi, sesuai dengan anjuran al-Syafi’i sendiri, para
sahabat dan pengikutnya terus melakukan ijtihad. Selain upaya
memproyeksikan fatwa-fatwa qaul jaddid, ijtihad mereka juga meliputi
peninjauan ulang dan penelitian kembali terhadap fatwa serta dalil yang
mendukungnya. Untuk ini mereka melakukan penelusuran terhadap hadits-
hadits yang semakin mudah ditemukan pada abad-abad kemudian dan
pemeriksaan terhadap qiyas yang digunakan. Melalui ijtihad yang
berkelanjutan itu, mereka menemukan adanya beberapa fatwa qaul qodim
yang ternyata lebih kuat dari pada fatwa qaul jadid dan mereka kembali
mengangkatnya dalam fatwa-fatwa.
Para penulis fiqih madzhab al-Syafi’i kemudian, khususnya yang menulis
kitab-kitab dalam ukuran cukup besar, selalu memberikan uraian tentang tiap-
tiap fatwa lengkap dengan berbagai dalil yang mendukungnya. Kelihatannya,
dalil-dalil yang dikemukakan itu tidak hanya terdiri atas kutipan dari kitab-
kitab al-Syafi’i sendiri, sebagian darinya adalah temuan dari para penulis itu
sendiri, atau boleh jadi, diambil dari madzhab lain yang memberikan fatwa
serupa.
Demikianlah, qaul qadim dan qaul jadid terus menjadi bahan kajian dalam
madzhab al-Syafi’i. Setelah melalui masa yang panjang ternyata ada beberapa
qaul qadim yang secara umum dianggap lebih shahih dari pada qaul jadid.
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Sejarawan sepakat bahwa imam asy-syafi’i lahir pada tahun 150 H. Nama
lengkap dari Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin
‘Utsman bin Syafi’i bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin al-
Muthalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay
bin Ghalib.
Diakhir hayatnya,imam asy-syafi’i sibuk, berdakwah, menyebarkan ilmu, dan
mengarang di Mesir, sampai hal itu memberikan mudharat bagi tubuhnya.
Akibatnya, ia terkena penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Tetapi
karena kecintaannya terhadap ilmu. Imam syafi’i tetap melakukan pekerjaannya
itu dengan tidak memperdulikan sakitnya, sampai akhir beliau wafat pada akhir
bulan rajab tahun 204 H.

B. SARAN

Semoga umat Islam sering membaca tentang tokoh Islam khusus nya (Remaja
Islam). Agar mengetahui perjuangan para tokoh-tokoh Islam dalam Islam. Agar
lebih mantap dengan Islam dan lebih mendekatkan diri kepada ALLAH SWT.
DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syinawi, Abdul Aziz.Biografi Imam Syafi’i.Solo: PT.Aqwam Media


Profetika.2018

Anda mungkin juga menyukai