Anda di halaman 1dari 19

Makalah Pelajaran : Akidah Akhlak

MAKALAH IMAM ASSYAFI’I

Disusun Oleh :

Kelompok 3

1. Nira Septiani 5. Muhanmad Farel

2. Nadira Suherti 6. Rehan Jumadi

3. Raudatul Jannah 7. Rizki Azhari

4. Raffli 8. Mukti Al Bukhori

Guru pembimbing : Drs. JAHRI, M. Si

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 BANYUASIN

TAHUN AJARAN 2023/2024


KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Dia-lah yang telah menganugerahkan

Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Dia-lah yang Maha Mengetahui

makna dan maksud kandungan Al-Qur’an. Shalawat beserta salam semoga selalu

tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW. utusan Allah, suri tauladan kita

yang memiliki akhlak Qur’ani.

Dengan pertolongan dan hidayah-Nya-lah, kami dapat menyelesaikan

Makalah’’ Imam As-Syafi’i ’’ ini. Adapun tujuan dan maksud dari makalah kami

ini, untuk menambah wawasan dan pengetahuan yang semoga bermanfaat bagi kita

semua.

Ucapan terima kasih kami kepada guru mata pelajaran akidah akhlak, bapak

Drs. JAHRI, M. Si. yang telah membimbing kami pada mata kuliah ini. Semoga

selalu dalam rahmat Allah SWT. Dan dimudahkan segala urusannya. Kemudian

ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpatisipati dalam pembuatan

makalah ini.

Kami menyadari banyaknya kekurangan pada makalah ini, bagi dari segi

penulisan maupun materi. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami perlukan,

guna membantu kami untuk terus meningkatkan kemampuan kami. Semoga

makalah ini tercatat sebagai amal shaleh dan motivator untuk meningkatkan

semangat menuntut ilmu. Aamiin.

Pangkalan Balai, November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1

C. Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2

A. Biografi Imam Syafi’i ............................................................................... 2

B. Karya-karya Imam Syafi’i .......................................................................... 8

C. Pemikiran Imam Syafi’i tentang Ilmu ...................................................... 11

D. Pemikiran Imam Syafi’i tentang Ilmu Fikih ............................................ 12

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 15

A. Kesimpulan .................................................................................................... 15

B. Saran .................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam melaksanakan perintah agama, umat Islam tentu harus berlandaskan pada

aturan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Ada begitu banyak ibadah, dan tata caranya, yang

mendasari lahirnya ilmu fiqih, yaitu ilmu tentang hukum dan tata cara melakukan ibadah yang

bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis.

Hukum mengatur halal dan haram, sunat dan makruh, tata cara sholat, cara

bersuci dan sebagainya. Dalam agama Islam terutama dalam hal fiqih mengenal

adanya Mazhab. Mazhab yaitu sesuatu yang menjadi pendapat imam atau ahli agama

tentang hukum suatu perkara baik dalam urusan agama, masalah ibadah ataupun

permasalahan lainnya.

Ada banyak Mazhab dalam perkembangannya, namun ada empat Mazhab

yang paling masyhur, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Mayoritas

umat Islam Indonesia menganut Mazhab Syafi'i, hal tersebut tidak lepas dari peran

penyebar Islam pertama kali ke Indonesia yang juga menganut Mazhab Syafi'i.

Mazhab Syafi’i memiliki pengaruh besar dalam tradisi hukum Islam di Indonesia. Nah

berdasarkan uraian di atas, tulisan ini akan mencoba melihat dan mengkaji lebih dalam

tentang imam syafi’i.

C. Rumusan Masalah

1. Apa isi Biografi Imam Syafi'I ?

2. Apa saja karya-karya imam syafi'I ?

3. Bagaimana pemikiran Imam Syafi'i tentang ilmu ?

1
4. Bagaimana pemikiran Imam Syafi'i tentang ilmu fiqih ?

D. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui isi biografi imam syafi'i

2. Mengetahaui karya-karya imam syafii

3. Mengetahui pemikiran imam syafii tentang ilmu

4. Mengetahui pemikiran imam syafii tentang ilmu fikih

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Syafi’i

َ ‫أَبُو‬
Abū ʿAbdillāh Muḥammad bin Idrīs asy-Syāfiʿī (bahasa Arab: ُ‫ع ْب ِد ٱهللِ ُم َح َّمد‬

َّ ‫يس ٱل‬
‫شافِعِي‬ َ ‫ ;بْنُ إِد ِْر‬767 – Januari 820 M) adalah seorang teolog Muslim beretnis Arab,

penulis, dan cendekiawan, yang merupakan salah satu kontributor pertama dari

prinsip-prinsip yurisprudensi Islam (Uṣūl al-fiqh).

Sering disebut sebagai Syaikhul Islām, asy-Syāfi'ī adalah salah satu dari

empat Imam Sunni besar, yang warisannya dalam masalah yuridis dan pengajaran

akhirnya mengarah pada pembentukan mazhab fiqh Syafi'i.

Dia adalah murid Imam hadis awal yang paling menonjol, Malik bin Anas.

Asy-Syāfi'ī juga pernah diangkat menjadi hakim di Najran. Asy-Syāfi'ī lahir di

Palestina (Jund Filastin), dan kemudian tinggal di Makkah dan Madinah di Hijaz,

kemudian ia beralih ke Yaman, Mesir, dan Baghdad di Irak.

2
Leluhur

Asy-Syāfiʿī termasuk dalam klan Quraisy dari Bani Muthalib, yang

merupakan saudara dari klan Bani Hasyim, klan nabi Islam Muhammad dan leluhur

para khalifah Abbasiyah. Garis keturunan ini mungkin telah memberinya prestise,

yang muncul dari suku Muhammad, dan kekerabatan kakek buyut Muhammad

dengannya. Namun, asy-Syāfiʿī tumbuh dalam kemiskinan, terlepas dari posisi

sosial keluarganya yang tinggi.

Masa muda

Asy-Syāfiʿī lahir di Palestina (Jund Filastīn) di kota Asqalan pada tahun 150

H (767 M). Ayahnya meninggal di Asy-Syam ketika dia masih kecil. Khawatir akan

kehilangan garis keturunan syarīf-nya, ibunya memutuskan untuk pindah ke

Makkah ketika dia berusia sekitar dua tahun. Selain itu, akar keluarga keibuannya

berasal dari Yaman, dan ada lebih banyak anggota keluarganya di Mekkah, di mana

ibunya percaya bahwa dia sebaiknya diasuh.

Sedikit yang diketahui tentang kehidupan awal asy-Syāfiʿī di Makkah,

kecuali bahwa ia dibesarkan dalam keadaan miskin dan sejak masa mudanya ia rajin

belajar. Sebuah riwayat menyatakan bahwa ibunya tidak mampu membeli kertas,

jadi dia menulis hasil pelajarannya pada tulang. Ia belajar di bawah bimbingan

Muslim bin Khalid az-Zanji, Mufti Makkah saat itu, yang dianggap sebagai guru

pertama asy-Syāfiʿī. Pada usia tujuh tahun, asy-Syāfiʿī telah menghafal Al-Qur'an.

Pada usia sepuluh tahun, dia telah menghafal Muwaṭṭaʾ karya Malik bin

Anas di luar kepala, yang membuat az-Zanji akan menunjuknya untuk mengajar

3
saat dirinya tidak ada atau berhalangan. Asy-Syāfiʿī telah diberi wewenang untuk

mengeluarkan fatwa pada usia lima belas tahun.

Belajar dengan Mālik

Asy-Syāfiʿī pindah ke Madinah untuk melanjutkan studi hukum Islamnya.

Ada perbedaan terhadap pada usia berapa dia berangkat ke Madinah; sebuah

riwayat menyatakan bahwa usianya pada saat itu tiga belas tahun, sementara yang

lain menyatakan bahwa dia berusia dua puluhan.

Di sana, dia diajari selama bertahun-tahun oleh Imam terkenal Mālik bin

Anas,yang terkesan dengan ingatan, pengetahuan, dan kecerdasannya.Menjelang

kematian Mālik pada tahun 179 H (795 M), asy-Syāfiʿī telah memperoleh reputasi

sebagai seorang ahli hukum yang brilian. Meskipun kemudian dia tidak setuju

dengan beberapa pandangan Mālik, asy-Syāfiʿī sangat menghormatinya dengan

selalu menyebut dia sebagai "Guru".

Fitnah Yamani

Pada usia tiga puluh tahun, asy-Syāfiʿī diangkat sebagai gubernur Abbasiyah

di kota Yaman Najran.Dia terbukti sebagai administrator yang adil tetapi segera

terjerat dengan kecemburuan faksi. Pada 803 M, asy-Syāfiʿī dituduh membantu

Banu Ali dalam pemberontakan, dan dengan demikian dipanggil dengan dirantai

bersama sejumlah Banu Ali ke hadapan khalifah Harun ar-Rasyid (m. 786–809) di

ar-Raqqah.

Sementara para komplotan lainnya dihukum mati, pembelaan asy-Syāfiʿī

sendiri yang fasih meyakinkan Khalifah untuk menolak tuduhan itu. Riwayat lain

menyatakan bahwa ahli hukum Hanafi terkenal, Muḥammad bin al-Ḥasan asy-

4
Syaibānī, hadir di pengadilan dan membela asy-Syāfiʿī sebagai tokoh fikih terkenal.

Kelak, peristiwa itu membuat asy-Syāfiʿī semakin dekat dengan asy-Syaibānī, yang

kemudian akan menjadi guru asy-Syāfiʿī. Juga didalilkan bahwa kejadian ini

mendorongnya untuk mengabdikan sisa karirnya pada studi hukum, dan tidak

pernah lagi melayani pemerintah.

Berguru kepada Asy-Syaibānī, dan paparan ahli hukum Hanafi

Asy-Syāfiʿī pergi ke Baghdad untuk belajar dengan asy-Syaibānī dan

lainnya.Di sinilah dia mengembangkan mazhab pertamanya, dipengaruhi oleh

ajaran Abu Hanifah dan Malik bin Anas.[butuh rujukan] Karyanya kemudian

dikenal sebagai al-Mażhab al-Qadim lil Imam asy-Syāfiʿī, atau Mazhab Lama asy-

Syāfiʿī.

Di sinilah asy-Syāfiʿī secara aktif berpartisipasi dalam argumen hukum

dengan para ahli hukum Hanafi, dengan gigih membela mazhab Mālikī.Beberapa

otoritas menyatakan bahwaa sy-Syāfiʿī terkadang kesulitan dalam mempertahankan

argumennya.

Asy-Syāfiʿī akhirnya meninggalkan Baghdad menuju Makkah pada tahun

804 M, kemungkinan karena keluhan dari pengikut Hanafi kepada asy-Syaibānī

bahwa asy-Syāfiʿī telah menjadi agak kritis terhadap posisi asy-Syaibānī selama

perselisihan mereka. Akibatnya, asy-Syāfiʿī dilaporkan telah berdebat dengan asy-

Syaibānī mengenai perbedaan mereka, meski siapa yang memenangkan debat

masih belum diketahui secara pasti.

Di Makkah, asy-Syāfiʿī mulai berceramah di Masjidilharam, yang

meninggalkan kesan mendalam bagi banyak murid-murid yang mempelajari fikih,

5
termasuk ahli hukum Hanbali yang terkenal, Ahmad bin Hanbal. Penalaran hukum

asy-Syāfiʿī mulai matang, ketika ia mulai menghargai kekuatan penalaran hukum

para ahli hukum Hanafi, dan menyadari kelemahan yang melekat baik pada mazhab

Mālikī maupun Hanafi.

Berangkat ke Baghdad dan Mesir

Asy-Syāfiʿī akhirnya kembali ke Baghdad pada tahun 810 M. Pada saat ini,

statusnya sebagai seorang ahli hukum telah cukup berkembang untuk

memungkinkannya membangun garis spekulasi hukum yang independen. Khalifah

al-Ma'mun (m. 813–833) dikatakan telah menawarkan posisi asy-Syāfiʿī sebagai

hakim, tetapi dia menolak tawaran tersebut.

Koneksi dengan keluarga Muhammad

Pada 814 M, asy-Syāfiʿī memutuskan untuk meninggalkan Baghdad

menuju Mesir. Alasan kepergiannya dari Irak tidak pasti, tetapi di Mesir dia akan

bertemu guru lain, Sayyidah Nafisah binti Hasan, yang juga akan membiayai

studinya.

Beberapa murid utamanya akan menuliskan apa yang dikatakan asy-Syāfiʿī,

yang kemudian akan meminta mereka untuk membacanya kembali dengan suara

keras sehingga dapat dilakukan koreksi. Semua penulis biografi asy-Syāfiʿī setuju

bahwa warisan karya-karya atas namanya adalah hasil dari setiap sesi pelajaran

dengan murid-muridnya.

Nafisah adalah keturunan dari Muhammad, melalui cucunya Hasan bin Ali,

yang menikah dengan keturunan Muhammad lainnya, yaitu Ishaq al-Mu'tamin,

putra Ja'far ash-Shadiq, yang kabarnya juga merupakan guru dari Malik bin Anas

6
dan Abu Hanifah. Jadi keempat Imam besar Fiqh Sunni (Abu Hanifah, Malik, asy-

Syāfiʿī, dan Ibnu Hanbal) sama-sama terhubung dengan Ja'far dari keluarga

Muhammad, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kematian dan makam

Makam Imam Syafi'i di Kairo. Setidaknya satu otoritas meriwayatkan bahwa

asy-Syāfiʿī meninggal akibat luka yang diderita akibat serangan oleh pendukung

pengikut Maliki yang bernama Fityan. Cerita berlanjut bahwa asy-Syāfiʿī

memenangkan perdebatan dan Fityan yang tidak terima, kemudian melakukan

pelecehan.

Gubernur Mesir pada masa itu, yang memiliki hubungan baik dengan asy-

Syāfiʿī, memerintahkan agar Fityan dihukum dengan diarak melalui jalan-jalan kota

dengan membawa papan dan menyebutkan alasan hukumannya. Pendukung Fityan

sangat marah dengan perlakuan ini dan menyerang asy-Syāfiʿī sebagai pembalasan

setelah asy-Syāfiʿī selesai berceramah. Asy-Syāfiʿī meninggal beberapa hari

kemudian.

Namun, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam biografinya tentang asy-Syāfiʿī,

Tawālī al-Ta'sīs, meragukan cerita ini dengan mengatakan "Saya tidak

mempertimbangkan [cerita] ini sebagai sumber yang dapat dipercaya". Namun,

asy-Syāfiʿī juga diketahui menderita penyakit usus serius/wasir,yang membuatnya

menjadi lemah dan sakit selama tahun-tahun terakhir hidupnya. Dengan demikian,

penyebab pasti kematian asy-Syāfiʿī tidak diketahui.

Asy-Syāfiʿī meninggal pada usia 54 tahun pada tanggal 30 Rajab tahun 204

H (20 Januari 820 M), di Fustat, Mesir, dan dimakamkan di kubah Bani Abdul

7
Hakam, dekat Gunung al-Muqattam. Sebuah qubbah (bahasa Arab: ‫ )قُـبَّـة‬dan makam

dibangun pada tahun 608 H (1212 M) oleh Sultan Ayyubiyah, al-Kamil (m. 1218–

1238), dan tetap menjadi situs penting saat ini.

Salahuddin al-Ayyubi membangun madrasah dan tempat suci di lokasi

makam Asy-Syafi'i. Saudara laki-laki Salahuddin, Afdal, membangun mausoleum

untuknya pada tahun 1211 setelah kekalahan Fatimiyah. Tempat ini tetap menjadi

situs di mana orang mengajukan petisi untuk keadilan.

B. Karya-karya Imam Syafi’i

Karangan Imam Syafi’i sangat banyak, menurut imam Abu Muhammad al-

Hasan bin Muhammad al-Marwasiy bahwa Imam Syafi’i menyusun kitab sebanyak

113 buah, mulai dari kitab tafsir, hadits, fiqh, kesusteraan arab, dan orang pertama

yang menyusun ilmu Ushul Fiqh. Kitab-kitab karya Imam Syafi’i dibagi oleh ahli

sejarah menjadi dua bagian, yaitu:

● Kitab yang ditulis Imam Syafi’i sendiri, seperti al-Umm dan al-Risalah

(riwayat dari muridnya dan bernama al-Buwaithy dilanjutkan oleh muridnya yang

bernama Rabi’ ibn Sulaiman).kitab al-Umm berisi tentang masalahmasalah fiqh

yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i dalam al-Risalah.

Selanjutnya kitab al-Risalah adalah kitab pertama yang dikarang oleh Imam

Syafi’i pada usia yang muda belia. Kitab ini ditulis atas permintaan Abd. al-Rahman

ibn Mahdy di Makkah, karena Abd al-Rahman ibn Mahdy meminta kepada Imam

Syafi’i agar menuliskan sebuah kitab yang mencakup ilmu tentang arti al-Qur’an,

hal ihwal yang ada dalam al-Qur’an, nasikh dan mansukh serta hadits Nabi.

8
Kitab ini setelah dikarang, kemudian disalin oleh murid-muridnya, setelah itu

dikirim ke Makkah itulah sebabnya dinamai al-Risalah, karena setelah dikarang,

lalu dikirim kepada Abd. al-Rahman ibn Mahdy di Makkah.

● Kitab yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtashar oleh al-

Muzany dan Mukhtashar oleh al-Buwaithy (keduanya merupakan Ikhtishar dari

kitab Imam Syafi’i al-Imla’ wa al-Amaly).

Kitab-kitab Imam Syafi’i baik yang ditulis sendiri maupun didiktekan kepada

muridnya ataupun yang dinisbatkan kepadanya, antara lain sebagai berikut:

• Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh (riwayat rabi’).

• Kitab al-Umm, sebuah kitab fiqh yang didalamnya dihubungkan pula sejumlah

kitabnya.

1 .Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila.

2.Kitab Khilaf Ali wa Ibn Mas’ud, sebuah kitab yang menghimpun permasalahan

yang diperselisihkan antara Ali dengan Ibn Mas’ud dan antara Imam Syafi’i dengan

Abi Hanifah.

3.Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Syafi’i.

4. Kitab Jama’i al-Ilmi.

5. Kitab al-Radd ala Muhammad ibn al-Hasan.

6.Kitab Siyar al-Auza’iy.

7. Kitab Ikhtilaf al-hadits.

8. Kitab Ibthalu al-Istihsan.

9
•Kitab al-Musnad, berisi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Umm yang

dilengkapi dengan Sanadnya.

• al-Imla’.

•al-Amaliy.

•Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).

Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).

• Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).

•Kitab Ikhtilaf al-Hadits (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadits-hadits Nabi saw.).

Kitab-kitab Imam Syafi’i dikutip dan dikembangkan para muridnya yang

tersebar di Makkah, Irak, Mesir, dan lain-lain. Imam Syafi’i ketika dating ke Mesir,

pada umumnya di kala itu penduduk Mesir mengikuti Madzhab hanafi dan

Madzhab maliki.

Kemudian setelah ia membukukan kitabnya (qaul jadid), ia mengajarkannya

di masjid Amr bin Ash, maka mulai berkembanglah pemikiran madzhabnya di

Mesir, apalagi di kala itu yang menerima pelajaran darinya banyak dari kalangan

ulama, seperti Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakam, Ismail ibn Yahya, al-

Buwaithiy, al-Rabi’, al-Jiziy, Asyhab ibn al-Qasim dan ibn Mawaz. Mereka adalah

ulama yang berpengaruh di Mesir. Inilah yang mengawali tersiarnya madzhab

Syafi’i sampai ke seluruh pelosok.

10
C. Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Ilmu

-Konsep Ilmu Menurut Imam Syafi’i Imam Syafi’i menyatakan bahwa:

Setiap ilmu selain Alquran adalah kesibukan, Kecuali al-Hadits dan ilmu tentang

pemahaman agama. Ilmu itu apa yang padanya mengandung “ungkapan telah

menyampaikan kepada kami” (sanad). Sedangkan selain itu, adalah bisikan-bisikan

setan. (Muhammad ibnu Idris asySyafi’I, 1974: 30)

Selain beliau, Syaikh Bin Bazz telah menyatakan, “Sesungguhnya (kata) ilmu

itu dilontarkan untuk banyak hal, akan tetapi menurut para ulama Islam, yang

dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i. Inilah yang dimaksud dalam Kitabullah

dan Sunnah RasulNya shollallohu ‘alaihi wa sallam secara mutlak, yaitu ilmu

tentang Alloh, Asma’-Nya, SifatNya, ilmu tentang hakNya atas hambaNya dan

tentang segala sesuatu yang disyariatkan untuk mereka oleh Alloh Subhanahu wa

Ta’ala.“ (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, jilid 23: 297).

Dalam muqoddimah Kitab al-‘Ilm, Syaikh ‘Utsaimin juga menjelaskan “Yang

kami maksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i. yaitu ilmu yang diturunkan oleh

Allah kepada RasulNya yang berupa bukti-bukti yang nyata dan petunjuk. Jadi ilmu

yang mengandung pujian adalah ilmu wahyu.”. Dengan demikian, yang dimaksud

dengan ilmu oleh Imam Syafi’i adalah ilmu syar’i.

-Menuntut Ilmu harus Memiliki Landasan (Hujjah). Hujjah adalah dasar dan

landasan yang dijadikan sebagai penguat ilmu syariat tersebut. Imam Syafi’i telah

membuat perumpamaan bagi penuntut ilmu syar’i yang tidak berdasarkan hujjah.

Beliau berkata: “Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah adalah

seperti orang yang mencari kayu bakar pada malam hari, ia membawa seikat kayu,

11
di mana di dalamnya terdapat ular yang siap mematuknya, sedangkan dia tidak

mengetahuinya.” (Al-Baihaqi, Jilid 2, t.t: 143).

Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa beliau menganjurkan para

penuntut ilmu ketika menuntut ilmu harus berdasarkan kepada hujjah yang berasal

dari Alquran dan Sunnah Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Apabila

seseorang mempelajari ilmu agama, akan tetapi tidak merujuk kepada sumbernya

yang asli, yaitu Kitabulloh dan Sunnah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam,

maka bisa saja ia akan mendapatkan masalah-masalah yang disangka termasuk

agama, padahal bukan, sehingga akibatnya dapat terjatuh ke dalam penyimpangan.

Imam Syafi’i menjelaskan tentang resiko dan bahaya yang akan menimpa

seorang penuntut ilmu apabila tidak berdasarkan kepada hujjah dalam mempelajari

ilmu yaitu akan tersesat tanpa disadarinya. Apabila seseorang mempelajari ilmu

syariat tanpa dasar Alquran dan Hadits yang shohih, maka akhirnya adalah berupa

penyimpangan, kekeliruan dan kesesatan.

D. Pemikiran Imam Syafi’I Tentang Ilmu Fikih

Usul fikih, yang merupakan metodologi perumusan fikih atau hukum Islam,

disusun secara konseptual dan sistematis pertamakali oleh Imam Syafi'i. Dalam

proses perumusan usul fikihnya itu, Al-Syafi'i melakukan sintesis terhadap dua

pemikiran usul fikih sebelumnya yang is kuasai kedua-duanya dengan baik :

pemikiran yang bercorak rasional (ahl al-ra?y) yang diimami oleh Imam Abu

Hanifah, dan pemikiran yang bercorak tradisional (ahl al-hadits) yang dimotori oleh

Imam Malik. Metodologi ilmiah yang berhasil disusun Al-Syafi'i tersebut kemudian

diikuti dan digunakan tidak saja oleh para ilmuwan hukum Islam, tetapi juga

12
digunakan dalam disiplin ilsnu keislaman lain, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu

logika (mantik), ilmu bahasa dan sastra Arab, dan sebagainya. Ini dikarenakan apa

yang telah berhasil dibangun Al-Syafi'i tersebut merupakan kerangka epistemologis

yang bersifat dasar yang bisa digunakan secara umum.

Selain berhasil menyusun metodologi perumusan fikih, Al-Syafi'i juga

berhasil menunuskan sutuber hukum Islam yang tersusun secara hirarkis, yaitu : AI-

Qur'an, Al-Hadis, Ijmak, dan Qiyas. Dua somber hukum pertama masuk kategori

wahyu (divine revelation), sementara dua sumber hukum berikutnya masuk

kategori akal (human reason).

Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa Al-Syafi'i telah berhasil

mengintegrasikan atau mensintesiskan wahyu di satu sisi, dan akal di sisi lain.

Hanya saja, akal ditempatkan Al-Syafi'i di bawah wahyu, yang kebebasannya

dibatasi dan digunakan hanya sekadar untuk mengokohkan wahyu. Ini bisa

dibuktikan terutama oleh pandangannya yang menganggap qiyas sebagai satu-

satunya metode ijtihad, dan menolak metode lain yang relatif memberikan ruang

yang lebih luas bagi akal, seperti istihsan (preferensi juristik) dan istislah

(keniaslahatan juristik).

Pemikiran panting lain, yang juga dibangun pertama kali oleh Al-Syafi'i, yang

kemudian dijadikan referensi panting dalam perumusan metode ilmiah dalam

disiplin ilmu-ilmu keistaman, adalah upayanya melahirkan konsep Al-bayan. Al-

bayan (secara harfiah berarti `penjelasan'), yang diuraikannya dalam karya usul

fikihnya yang begitu monumental, Al-Risalah, pada awalnya memang merupakan

analisis tekstual (kebahasaan) sebagai upaya metodis memahami Al-Qur'an.

13
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, al-bayan digunakan sebagai kerangka

epistemotogis dan metode ilmiah tidak saja bagi ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga

ilmu pengetahuan pada umumnya, terutama ilmu sosial, budaya, dan humaniora.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Imam syafi’i adalah ulama fikih terkemuka. asy-Syāfi'ī adalah salah satu dari

empat Imam Sunni besar, yang warisannya dalam masalah yuridis dan pengajaran

akhirnya mengarah pada pembentukan mazhab fiqh Syafi'i. Banyak sekali

pemikaran beliau tentang ilmu dan juga fikih yang telah kami paparkan diatas, dan

beliau juga telah banyak menghasilkan karya-karyanya, salah satunya kitab ar

risalah dan al um yang merupakan kitab tentang fikih. Asy-Syāfiʿī meninggal pada

usia 54 tahun pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H (20 Januari 820 M), di Fustat,

Mesir, dan dimakamkan di kubah Bani Abdul Hakam, dekat Gunung al-Muqattam.

B. Saran

Akhirnya terselesaikannya makalah ini kami selaku pemakalah menyadari

dalam penyusunan makalah ini yang membahas tentang ‘’Imam As syafi’i’’ masih

jauh dari kesempurnaan baik dari tata cara penulisan dan bahasa yang dipergunakan

maupun dari segi penyajian materinya. Untuk itu kritik dan saran dari bapak dan

teman-teman sekalian yang terlibat dalam penyusunan makalah ini yang bersifat

kousteuktif dan bersifat komulatif sangat kami harapkan supaya dalam penugasan

makalah yang akan datang lebih baik dan lebih sempurna.

15
DAFTAR PUSTAKA

Futuhal Arifin, Biografi Empat Imam Madzhab, (Jakarta: Pustaka Qalami, 2003),
h., 127.
Masturi Ilham dan Asmu'i Taman, Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2006), h., 355
Ahmad Nahrawi `Abd al-Salam. 1994. al-Imam al-Syafi'i fi Madzhabaih fi al-
Qadim wa al-Jadid. Kairo: Dar al-Kutub.
Jaih Mubarok. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Mahmud Syalthut. 2000. Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf,
Bandung: CV Pustaka Setia.
TM. Hasbi Ash Shiddieqy. 1997. Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab,
Semarang: PT. Putaka Rizki Putra.
Siradjuddin Abbas, 2004. Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta:
Pustaka Tarbiyah.
Ahmad Nahrawi Abdussalam Al-Indonisi, Ensiklopedia Imam Syafii (Jakarta: PT
Mizan Publika, 2008), cetakan pertama, h, 4.
Imam Fakhrudin Ar-Razi, Manaqib Imam Asy-Syafi’I, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2017), cetakan pertama, h, 18.

16

Anda mungkin juga menyukai