Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Biografi 4 Mazhab Ulama Fiqh

DISUSUN OLEH :

SHELA HADRI DHUHA

MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 LOMBOK TENGAH

TAHUN PELAJARAN 2017/2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, karena berkat
rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Biografi 4 Mazhab Ulama Fiqh.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya
makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Wassalam
Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 1
C. Tujuan penulisan............................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Profil mazhab Hanafi................................................................................ 2
B. Profil mazhab Maliki................................................................................ 3
C. Profil mazhab Syafi’i................................................................................ 7
D. Profil mazhab Hanbali............................................................................... 11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa dinasti Abbasiyah tahun 750 – 1258 M muncul mazhab – mazhab fiqh yang
diantaranya empat imam mazhab yang terkenal yaitu imam Hanafi dari kufah, imam maliki dari
madinah, imam Syafi’i dari gaza, dan Imam Hanbali dari baghdad. Mereka merupakan ulama
fiqh yang paling agung dan tiada tandingannya di dunia dengan kitab- kitab yang terkenal yang
sangat memberi andil dalam pengembangan ilmu fiqh yaitu al-fiqhul Akbar karangan imam Abu
hanifah, kitab Al-Muwattha karangan Imam Maliki, kitab al-umm karangan Imam Syafi’i Dan
Kitab Al- kharraj karangan Imam Hanbali. Pada Masa Ini Ulama juga Telah Menyusun Ilmu
ushul Fiqh yaitu ilmu tentang kaidah – kaidah dalam pengambilan hukum Islam. Ar- Risalah
Karangan Imam Syafi’i Adalah merupakan Kitab Ushul Fiqh yang paling pertama.

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan profil mazhab Hanafi
2. Menjelaskan profil mazhab Maliki
3. Menjelaskan profil mazhab Syafi’i
4. Menjelaskan profil mazhab Hambali

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami dan semua
mahasiswa/I mampu memahami tentang biografi 4 mazhab fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Profil Mazhab Hanafi


Pendiri mazhab Hanafi ialah : Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Seorang keturunan bangsa
Ajam dari Persia. Dilahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat
pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan
sebutan : Abu Hanifah An Nu’man.Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Kata
"Hanif" dalam bahasa Arab berarti "cenderung" pada agama yang benar. Menurut riwayat lain
dijelaskan bahwa gelar "Abu Hanifah" itu beliau peroleh karena sedemikian eratnya dengan tinta.
Kata "Hanifah" itu menurut lughat Irak artinya "dawat" atau "tinta".
Abu Hanifah memiliki ilmu yang luas dalam semua kajian Islam hingga ia merupakan
seorang mujtahid besar (imamul a"zdam ) sepanjang masa. Meskipun demikian ia hidup
sebagaimana layaknya dengan melakukan usaha berdagang dalam rangka menghidupi keluarga.
Dengan prinsip berdiri di atas kemampuan sendiri, ia prihatin juga terhadap kepentingan kaum
muslimin , terutama bagi mereka yang berhajat akhlak yang mulia yang dimilikinya mampu
mengendalikan hawa nafsu, tidak goyah oleh imbauan jabatan dan kebesaran duniawi dan selalu
sabar dalam mengahadapi berbagai cobaan. Meskipun ia berdagang ia hidup sebagai kehidupan
sufi dengan zuhud, wara, dan taat ibadah. Kalau kita hayati kehidupannya maka akan tampak
kepada kita bahwa Abu Hanifah hidup dengan ilmu dan bimbingan umat dengan penuh kreatif,
hidup dengan kemampuan sendiri tidak memberatkan orang lain. Disamping menjalankan usaha
dagangnya. ia juga hidup dengan ibadah yang intensif siang dan malam.
Dasar-Dasar Istinbath Mazhab Imam Abu Hanifah
Mazhab abu Hanifah adalah gambaran yang hidup dan jelas bagi relevansi Hukum Islam
dengan tuntutan masyarakat, beliau mendasarkan hukumnya pada :
a. Al-Qur’an: Alqur’an merupakan sumber pokok hukum islam sampai akhir zaman.
b. Hadits: Hadits merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat umum.
c. Aqwalus shahabah (Ucapan Para Sahabat): ucapan para sahbat menurut Imam hanafi itu sangat
penting karena menurut beliau para sahabat meupakan pembawa ajaran rasul setelah
generasinya.
d. Qiyas: beliau akan menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam Nash Al-Qur’an, Hadits,
maupun Aqwalus shahabah. Istihsan: merupakan kelanjutan dari Qiyas. Epnggunaan Ar-Ra’yu
lebih menonjol lagi,istihsan menurut bahasa adalah “menganggap lebih baik”, menurut ulama
Ushul Fiqh Istihsan adalah meninggalkan ketentuan Qiyas yang jelas Illatnya untuk
mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.
e. Urf, beliaua mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dalam kebutuhan srta
memeperhatikan muamalh manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau
menggunakan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah dan Ijma’ atau
Qiyas ), beliau akan menggunakan Istihsan, jika tidak bisa digunakan dengan istihsan maka
beliau kembalikan kepada Urf manusia.

Selain itu, dasar dasar ilmu hukum tersebut ada pula berapa pendirian terhadap taqlik
yaitu Sebagai seorang ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta (tidak
mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga kepada para Ulama beliau menginginkan
seorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dalam ajaran agama. Bahakan beliau pernah
berkata “Tidak Halal bagi seorang yang ating fatwa dengan perkataanku, selam ia belum
mengerti dari mana perkataanku”.
Dalam mengistinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada kitabullah, bila
tifdak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak ditemukan pula dalam sunnah beliau
melihat kepada perkataan para sahabat, lalu beliau menggunakan jalan pikiran untuk mengambil
pendapat mana yang sesuai dengan jala pikiran dan ditiggal mana yang tidak sesuai.

B. Profil Mazhab Maliki


Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin Amr al-Asbahi lahir di Madinah pada
tahun 93 H (714 M). Rumah leluhurnya itu di Yaman, namun kakeknya menetap di Madinah
setelah memeluk Islam.
Sebenarnya terdapat perbedaan pendapat tentang kelahirannya, tetapi pendapat yang
paling kuat adalah apa yang disebutkan oleh Imam yahya bin Bakir bahwa beliau mendengar
imam malik berkata: “aku dilahirkan pada 93 H".
Lahir dalam keluarga berada, Imam Malik tidak perlu bekerja untuk mencari nafkah. Dia
sangat tertarik untuk mempelajari Islam, dan akhirnya mengabdikan seluruh hidupnya untuk
mempelajari Fiqh. Imam Malik menerima pendidikan dalam kota yang paling penting dari
pembelajaran Islam, Madinah, dan tinggal di mana keturunan langsung dan pengikut para
sahabat Nabi, sallallahu alayhi wasallam, tinggal.
Dikatakan bahwa Imam Malik mencari lebih dari tiga ratus Tabi'een atau mereka yang
melihat dan mengikuti para sahabat Nabi, sallallahu alayhi wasallam. Imam Malik memegang
hadits Nabi, sallallahu alayhi wasallam, dalam penghormatan sedemikian rupa sehingga dia tidak
pernah diriwayatkan, mengajarkan hadits apapun atau memberi fatwa tanpa terlebih dahulu
bersuci. Ismael bin abi Uwaiss berkata, "Aku bertanya pamanku Imam Malik - tentang sesuatu.
Dia mempersilakan saya duduk, kemudian berwudhu, lalu berkata, 'Laa Hawla wala quwata illa
billah. "Dia tidak memberikan fatwa apapun tanpa mengucapkan kata tersebut terlebih dahulu."
Juga, Imam Malik melihat fatwa sebagai, tindakan yang tepat, dan penting sensitif yang
dapat memiliki hasil yang jauh ke depan, dan dia sangat berhati-hati memberikan fatwa, jika ia
tidak yakin tentang suatu hal, ia tidak akan berani bicara . Al-Haytham berkata, "Saya pernah
bersama Imam Malik ketika ditanya lebih dari empat puluh pertanyaan dan aku mendengar dia
menjawab," Aku tidak tahu, 'tiga puluh dua dari mereka. "
Namun, ia adalah orang tentang siapa asy-Syafi'ee berkata, "Ketika ulama disebutkan,
Malik adalah seperti bintang di antara mereka." Malik mengatakan bahwa ia tidak duduk untuk
memberikan fatwa, sebelum tujuh puluh ulama Madinah pertama bersaksi kompetensinya dalam
melakukannya. Imam Malik menjadi Imam di Madinah, dan salah satu Imam yang paling
terkenal dari Islam.

Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang
pada:
a. Al-Qur’an
Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir
nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula
dengan memperhatikan ‘illatnya.

b. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang
dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila dalil syar’iy menghendaki adanya
penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat
pertentangan antara makna zahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka
yang dipegang adalah makna zahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh
sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang
terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah
sunnah mutawatir atau masyhurah).
c. Ijma’ Ahl al-Madinah
Ijma’ ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari
al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah. Ijma’
semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo, yang
dimaksud dengan ijma’ ahl al-Madinah tersebut ialah ijma’ ahl al-Madinah pada masa lampau
yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-
Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-Madinah yang
asalnya dari al-Naql, sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada khabar
ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah, sedang khabar ahad
hanya merupakan pemberitaan perseorangan.
d. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka
terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan
fatwa sahabat itu adalah berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik,
para sahabat besar itu tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari
Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak
boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian
ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.
e. Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah,
jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah,
sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain
yang qath’iy. Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-
kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau
tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa
khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar
ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah.
f. Al-Istihsan
Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: “Menurut hukum dengan mengambil
maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud
mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,tidak berarti
hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan
pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan”. Dari ta’rif tersebut, jelas
bahwa istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan
dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan yang lain sering dikatakan bahwa
istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan
syari’at diturunkan. Artinya jika terdapat satu masalah yang menurut qiyas semestinya
diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu
mashlahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian itu harus
dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif. Tegasnya, istihsan
selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa
dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan hukum harus mendatangkan mashlahat atau
menghindarkan madharat.
g. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat
atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka maslahah mursalah itu
kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat
diketahui melalui Al-Qur’an, sunnah atau ijma’. Para ulama yang berpegang kepada maslahah
mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
 Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang seksama, bukan
sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
 Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan sekedar
maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
 Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak
bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma’.
h. Sadd Al-Zara’i
Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’i sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya
haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula
hukumnya.
i. Istishhab
Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishhab
adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan
atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah dinyatakan
adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut,
hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.
j. Syar’u Man Qablana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan kaedah syar’u
man qablana syar’un lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak
kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang menyatakan demikian. Menurut Abd.
Wahab Khallaf, bahwa apabila Al-Qur’an dan sunnah shahihah mengisahkan suatu hukum yang
pernah diberlakukan buat umat sebelum kita melalui para Rasul yang diutus Allah untuk mereka
dan hukum-hukum tersebut dinyatakan pula di dalam Al-Qur’an dan sunnah shahihah, maka
hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita.

C. Profil Mazhab Syafi’i


Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Syafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i
(bahasa Arab: ‫ )محمد بن إدريس الشافعي‬yang akrab dipanggil Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina,
150 H / 767 dan wafat di Fusthat, Mesir 204H / 819M. Beliau adalah seorang mufti besar Sunni
Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia
termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang
merupakan kakek Muhammad.
Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan
beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah.
Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan
juga beliau hafal dengan lancar hanya dalam waktu 9 hari saja, Imam Syafi’i juga menekuni
bahasa dan sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau
kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada
saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya
dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar
saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-
murid Imam Hanafi di sana.

Karya tulis Imam Syafi'i

Ar-Risalah

Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab
“Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid
mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz.
Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al
Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu)
melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus
sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa
Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’,
takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak
menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”
Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak;
Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh
pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i
mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku,
maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam Istinbāţ hukum,
antara lain :
1. Alquran dan sunnah
2. Ijmak
3. Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi ikhtilaf.
Sedangkan manhaj atau langkah-langkah ijtihad Imam Syafi’i, seperti yang dikutip DR.
Jaih Mubarok dari Ahmad Amin dalam kitabnya Duha al-Islam, yaitu sebagai berikut : rujukan
pokok adalah Alquran dan sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur dalam Alquran dan
sunnah, hukumnya ditentukan dengan qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih. Ijmak
diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil dari hadis adalah makna zahir. Apabila
suatu lafaz ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zahir lebih diutamakan.hadis
munqati’ ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab. As-Asltidak boleh diqiyaskan kepada al-asl.
Kata “mengapa” dan “bagaimana” tidak boleh dipertanyakan kepada Alquran dan sunnah,
keduanya dipertanyakan hanya kepada al-Furu’
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi’i menggunakan lima sumber,
yaitu:
1. Nash-nash
Baik Alquran dan sunnah yang merupakan sumber utama bagi fikih Islam, dan selain
keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi
tidak pernah bertentangan dengan Alquran atau sunnah.
2. Ijmak
merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam Syafi’i menempati urutan
setelah Alquran dan sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu zaman
tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijmak
pertama yang digunakan oleh imam Syafi’i adalah ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan
bahwa ijmak diakhirkan dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila mmasalah yang
sudah disepakati bertentangan dengan Alquran dan sunnah maka tidak adahujjah padanya.

3. Pendapat para sahabat.


Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu yang
sudah disepakati, seperti ijmak mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil rampasan perang
tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijmak seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam
keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada
yang lain dalam suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafi’i tetap
mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam
Syafi’i akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah atau ijmak, atau
mrnguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat pendapat baru yang
bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
4. Qiyas.
Imam Syafi’i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat Islam
untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada nash pasti. Beliau tidak
menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang mujtahid lebih dari
sekedar menjelaskan hukum syariat dalam masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.

5. Istidlal.
Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila tidak menemukan
hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua sumberistidlal yang diakui oleh imam Syafi’i
adalah adat istiadat (‘urf) dan undang-undang agama yang diwahyukan sebelum Islam (istishab).
Namun begitu, kedua sumber ini tidak termasuk metode yang digunakan oleh imam Syafi’i
sebagai dasar istinbath hukum yang digunakan oleh imam Syafi’i.

6. Kaul Qadim dan Kaul Jadid.


Ulama membagi pendapat imam Syafi’i menjadi dua, yaitu Kaul Qadim dan Kaul Jadid.
Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan
Kaul Jadid adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Di Irak, beliau
belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-
ra’y. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat imam Syafi’i dan berhasil
dipengaruhinya adalah Ahmad bin Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur. Setelah
tinggal di Irak, imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di Mesir,
dia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat imam
Malik. Imam Malik adalah penerus fikih Madinah yang dikenal sebagai ahl al-hadits. Karena
perjalanan intelektualnya itu, imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian
disebut Kaul Jadid. Dengan demikian, Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang bercorak
ra’yu, sedangkan Kaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak sunnah.
D. Profil Mazhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah Al Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal
Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad
bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari
ilmu pengetahuan, antara lain Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat
menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan
mazhab Hambali, diantaranya :

1. Muwaquddin Ibnu Qudaamah al Maqdisi yang mengarang kitab Al Mughni.


2. Syamsuddin Ibnu Qudaamah al Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
3. Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al Fataawa.
4. Ibnul Qaiyim al Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul
Hukmiyyah fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh
yang membela dan mengembangkan mazhab Hambali.

Adapun sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal dalam
menetapkan hukum adalah:
1. Nash dari Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur’an dan dari Sunnah Rasul yang
shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu.
2. Fatwa para sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun dari
hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada
perselisihan di kalangan mereka. Apabila terdapat perbedaan di antara fatwa para sahabat, maka
Imam Ahmad ibn Hanbal memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

3. Hadits Mursal dan Hadits Dha’if


Apabila ia tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum
dengan hadits mursal dan hadits dha’if. Dalam pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, hadits
hanya dua kelompok yaitu, hadits shahih dan hadits dha’if.

4. Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits
dha’if, maka ia menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang digunakan dalam
keadaan dharurat (terpaksa)

5. Sadd al-dzara’I, yaitu melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.
Daerah yang Menganut Mazhab Hambali
Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam
waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa
pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi. Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi
pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina,
Siria dan Irak.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendiri mazhab Hanafi ialah : Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Seorang keturunan bangsa
Ajam dari Persia. Dilahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat
pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan
sebutan : Abu Hanifah An Nu’man.Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah.
Dikatakan bahwa Imam Malik mencari lebih dari tiga ratus Tabi'een atau mereka yang
melihat dan mengikuti para sahabat Nabi, sallallahu alayhi wasallam. Imam Malik memegang
hadits Nabi, sallallahu alayhi wasallam, dalam penghormatan sedemikian rupa sehingga dia tidak
pernah diriwayatkan, mengajarkan hadits apapun atau memberi fatwa tanpa terlebih dahulu
bersuci. Ismael bin abi Uwaiss berkata, "Aku bertanya pamanku Imam Malik - tentang sesuatu.
Dia mempersilakan saya duduk, kemudian berwudhu, lalu berkata, 'Laa Hawla wala quwata illa
billah. "Dia tidak memberikan fatwa apapun tanpa mengucapkan kata tersebut terlebih dahulu."
Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Syafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i
(bahasa Arab: ‫ )محمد بن إدريس الشافعي‬yang akrab dipanggil Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina,
150 H / 767 dan wafat di Fusthat, Mesir 204H / 819M. Beliau adalah seorang mufti besar Sunni
Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia
termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang
merupakan kakek Muhammad.
Pendiri Mazhab Hambali ialah Al Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal
Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad
bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari
ilmu pengetahuan, antara lain Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat
menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Prof. Dr. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad, MA. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Dr. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos.
Haswir, MAg. dan Muhammad Nurwahid, MAg. 2006. Perbandingan Mazhab, Realitas Pergulatan
Pemikiran Ulama Fiqih. Pekanbaru: Alaf Riau.
M. Zein, Satria Effendi, Prof. Dr. H. MA. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.

Mubarok, Jaih, Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai