Anda di halaman 1dari 10

MAZHAB SUNNI YANG MASIH EKSIS DAN YANG SUDAH LENYAP

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh
Dosen Pembimbing Fatma Amilia, S.Ag.,M.S.I.

Kelompok 2 :
1. Sugianti Khasanah (11670017)
2. Hendra Budi G (11670018)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan izin dan ridha-
Nya makalah ini dapat selesai pada waktunya. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kedamaian dan rahmat untuk alam
semesta.
Makalah yang membahas mengenai “Mazhab Sunni yang masih berkembang dan yang
sudah lenyap” ini terdiri dar i pendahuluan, pembahasan dan penutup.Membahas mengenai
perkembangan beberapa mazhab yang ada. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh yaitu Ibu Fatma Amilia dan kepada teman-teman yang
telah membantu proses penyelesaian makalah ini.
Makalah ini penulis sajikan dengan segala kekurangannya, namun dikandung harapan
barangkali dapat dijadikan bahan bacaan tambahan dari buku-buku yang ada.Kritik dan saran
sangat diharapkan dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca.
Terima kasih.

Yogyakarta, 19 Agustus 2013

Penyusun
BAB I
PENDAHULUANPara Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Imam Ahmad
Bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Bagi
ilmuwan, selain Imam mazhab yang empat itu juga terdapat Imam yang dikenal seperti
Imam Daud AzZahiri, Al-Imam Abu Amer Abdur Rahman Ibn Muhammad Al-Auza‟I, Abu
Abdillah Sofyan Bin Said al-Tsauri, Abdul Haris al-Laits Ibnu Sa‟ad al-Fahmi, Abu Ja‟far
Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari. Akan tetapi, untuk mengetahui pola pemikiran masing-
masing Imam mazhab itu sangat terbatas. Bahkan ada yang cenderung ingin mendalami
mazhab tertentu saja.Hal ini disebabkan, karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu
yang diterima hanya dari ulama atau guru yang menganut suatu mazhab saja.

Menganut suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan
hendaknya menutup pintu rapat-rapat. Sehingga, tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada
pada mazhab yang lain yang juga bersumber dari al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal ini
dimaksudkan agar seseorang tidak fanatic terhadap satu mazhab. Andaikan sukar menghindari
kefanatikan kepada satu mazhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain
yang berbeda dengan pendapat kita.
Pada makalah ini, akan dibahas mengenai mazhab Sunni yg masih berkembang diantaranya
Imam Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Imam Ahmad Bin Hambali dan yang sudah tidak berkembang
diantaranya Imam Daud Az-Zahiri, Ibnu Hazm, Al-Imam Abu Amer
Abdur Rahman Ibn Muhammad Al-Auza‟I, Abu Abdillah Sofyan Bin Said al-Tsauri, Abdul Haris al-
Laits Ibnu Sa‟ad al-Fahmi, Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari.
BAB II PEMBAHASANA. MAZHAB SUNNI YANG MASIH BERKEMBANG

1. Imam Hanafi
Imam hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699M). Nama beliau sejak kecil
ialah Nu‟man bin Tsabit bin Zauth bin Mah. Ayah beliau keturunan dari
bangsa Persi (Kabul Afganistan) yang sudah menetap di Kufah.Mazhab Hanafi memakai Qur‟an,
Hadits, Fatwa sahabat. Berdasarkan riwayat-riwayat lain, ia memakai juaga
Ijma‟, Qiyas, Istihsan, dan „Urf.1

Dalam mengistinbatkan suatu hukum, beliau terlebih dahulu melihatkepada kitabullah,


dan bila tidak beliau temukan, dilihat pada Sunnah Rasulullah, bila tidak ditemukan dalam
Sunnah Rasulullah, beliau melihat perkataan (pendapat) para Sahabat, lalu beliau ambil
pendapat yang sesuai dengan jalan pikiran beliau dan ditinggal mana yang tidak sesuai, dan

1 . A. Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. 1995. Hal 151


beliau tidak akan mengambil pendapat selain dari para Sahabat. Apabila para Sahabat
semuanya sependapat dalam menetapkan suatu hukum, beliau pun akan mengikuti pendapat
itu sepenuhnya.
Apabila itu dikemukakan oleh Ibrahim an- Nakha‟i, Sya‟bi, Ibnu Sirin, Hasan, Atha‟, Said
Ibn Musayyab, tidak beliau ambil karena beliau pun dapat pula berijtihad seperti para Imam
Mujtahid tersebut. Tegasnya beliau tidak akan mau mengambil
pendapat para tabi‟in dan para ulama yang sezaman dengan beliau.2

Imam hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau


banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi. Sebagai dasar yang beliau jadikan
dalam menetapkan suatu hukum adalah al-kitab, as-sunnah, aqwalush shahabah, al-qiyas, al-
istihsan dan urf.
a. Al-Kitab
Al-Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam yang memberi sinar pembentukan Hukum Islam
sampai akhir zaman.
b. As-Sunnah
As-sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-kitab, merinci yang masih bersifat umum
(global).
c. Aqwalush Shahabah (Perkataan Sahabat)
Para sahabat itu adalah termasuk orang yang membantu menyampaikan risalah Allah,
mereka tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur‟an (walaupun tidak semua sahabat
mengetahuinya), mereka lama bergaul dengan Rasulullah, sehingga mereka tahu bagaimana
kaitan Hadits Nabi dengan ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan itu. d. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang pada Qiyas, apabila ternyata dalam al-Qur‟an, sunnah atau
perkataan sahabat tidak beliau temukan. Beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada
hukumnya kepada nash yang ada setelah memperhatikan illat yang sama antara keduanya.
e. Al-Istihsan
Al-Istihsan sebenarnya merupakan pengembangan dari al-Qiyas.Istihsan menurut
bahasa berarti “menganggap baik” atau “mencari yang baik”. Menurut istilah Ulama
ushul fiqh, istihsan ialah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas illatnya untuk
mengamalkan qiyas yang samar illatnya, atau meninggalkan hukum yang bersifat umum dan
berpegang kepada hukum yang bersifat pengecualian karena ada dalil yang
memperkuatnya.

2 M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. 1996. Hal 187-188


f. „Urf
„Urf menurut bahasa berarti apa yang biasa dilakukan orang, baik dalam kata-kata maupun
perbuatan. Dengan perkataan lain adat kebiasaan.3

2. Imam Maliki
Imam Maliki dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93H (712M).
nama beliau adalah Maliki bin Abi Amir. Salah seorang kakeknya dating ke Madinah lalu berdiam
di sana. Kakeknya Abu Amir seorang sahabat yang turut menyaksikan segala peperangan Nabi
selain perang Badar.
Pada masa Imam Maliki dilahirkan, Pemerintahan Islam ada di tangan kekuasaan kepala
Negara Sulaiman bin Abdul Maliki (dari Bani Umayyah yang ketujuh). Kemudian setetah beliau
menjadi seorang alim besar dan dikenal di mana-mana, pada masa itu pula penyelidikan beliau
tentang hukum-hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian kaum muslimin.Buah hasil
ijtihad beliau dikenal oleh orang banyak dengan sebutan

Mazhab Imam Maliki.4

a. Hadits-hadits yang dihimpun Imam Maliki


Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Imam Maliki menghimpun Hadits Nabi
selama 40 tahun dan dalam suatu riwayat lagi ada yang menyatakan bahwa Imam
Maliki telah hafal 100.000 hadits dan beliaulah yang paling hafal hadits Nabi. Kemudian
hadits-hadits yang banyak itu beliau selidiki lebih lanjut sehingga dari sekian banyak hadits
tersebut tinggal 10.000 hadits yang beliau ambil. Tetapi hadits sebanyak 10.000 pun masih
beliau teliti dan beliau cocokkan dengan Al-Quran dan akhirnya hanya 5.000 haditslah yang
beliau himpun kemudian hadits-hadits itu disusun dalam bentuk sebuah buku yang diberi
nama kitab al-Muwaththa.
b. Dasar-dasar Mazhab Imam Maliki
Dasar-dasar hokum yang diambil dan dipergunakan oleh Imam Maliki dapat
disimpilkan sebagai berikut :
1) Al-Quran
2) Sunnah Rasul yang telah beliau pandang sah
3) Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadits apabila
ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.

3 Ibid. Hal 188-194


4 Ibid. Hal 195
4) Qiyas
5) Istishlah (Mashalihul Mursalah)
c. Cara Imam Maliki memberi Fatwa
Imam Maliki adalah seorang yang terkenal alim besar, tetapi amat berhati-hati dan
amat teliti dalam urusan hukum-hukum keagamaan, terutama dalam urusan riwayat yang
dikatakan hadits dari Nabi.
Imam Syafi‟I berkata : “ Sungguh aku telah menyaksikan Imam Maliki, bahwa
beliau pernah ditanya masalah-masalah sebanyak 48 masalah, beliau menjawab “saya
belum tahu.” Dari pernyataan ini jelaslah bahwa beliau adalah orang yang amat berhati-hati
menjawab masalah yang bertalian dengan hokum-hukum keagamaan dan beliau tidak
terburu-buru memberi jawaban terhadap masalah-masalah yang memang belum diketahii
hukumnya oleh beliau.
Beberapa ulama meriwayatkan, Imam Maliki berkata : “ saya tidak memberi fatwa-
fatwa dan meriwayatkan hadits, sehingga tujuh puluh ulama membenarkan dan mengaku.”
Artinya bahwa segala masalah yang difatwakan oleh beliau kepada orang lain setelah
disaksikan oleh tujuh puluh orang ulama, dan mereka itu menetapkan dan sepakat, bahwa
beliau orang yang ahli dalam masalah yang difatwakannya itu.5

d. Pesan Imam Maliki Mengenai Bid‟ah


Imam Maliki adalah seorang alim besar yang amat cinta kepada Sunnah Nabi dan
sangat benci terhadap orang yang membuat model baru tentang urusan agama dan
perbuatan yang dalam istilan agama disebut bid‟ah.
Beliau sangat keras terhadap bid‟ah dan ahli bid‟ah, antara lain : Beliau pernah
bersyair yang artinya : „Sebaik -baik urusan agama itu adalah yang mengikutu Sunnah
Nabi dan sejelek- jelek urusan agama itu, adalah perbuatan yang baru.” Artinya bahwa
sebaik-baik urusan agama mengenai urusan peribadatan adalah yang mengikuti
pimpinan Nabi dan sejelek-jeleknya adalah yang diperbuat tanpa contoh dari Nabi dan tidak
pernah pula dikerjakan oleh Nabi.6

3. Imam Syafi’i
Imam Syafi‟imerupakan imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran dari emapt
imam mazhab dalam fiqh sunni. Beliau adalah pendukung ilmu hadits dan

5 Ibid. Hal 198-200

6 Ibid. Hal 201-202


pembaharu dalam agama/mujaddid dalam abad II H.7

Imam Syafi‟i dilahirkan di Guzzah suatu kampung dalam jajahan Palestina.Masih wilayah
Asqalan pada tahun 150 H (767 M), bersamaaan dengan wafatnya Imam Hanafi.Kemudian
beliau dibawa ibunya ke Mekkah dan dibesarkan disana.
Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Abbas ibn Utsman ibn Syafi‟I al-
Muthalibi dari keturunan Muthalib bin Abdi Manaf, yaitu kakek keempat dari rasul dan kakek
yang kesembilan dari asy-Syafi‟i. Dengan demikian, beliau adalah keturunan dari keluarga
bangsa Quraisy dan keturunan beliau bersatu dengan keturunan
Nabi SAW pada Abdul Manaf (datuk Nabi yang ke-3).8

a. Pendapat-pendapat asy-Syafi‟i dan Pemikirannya


Asy-Syafi‟I tidak menyukai ilmu kalam karena ilmu kalam dibangun oleh golongan
Muktazilah, sedang mereka menyalahi jalan yang ditempuh ulama salaf dalam
mengungkapkan akidah dan al-Quran.Sebagai seorang Fiqh/Muhaddits tentu saja beliau
mengutamakan Ittiba‟ dan menjauhi ibtida‟ sedang golongan Muktazilah mempelajarinya
secara falsafah.
Tentang Imam, beliau berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tashdiq dan amal, dia
bisa bertambah dan bisa berkurang, yaitu bertambah dengan bertambah amal dan
berkurang dengan berkurang amal.
Mengenai Imamah, beliau berpendapat bahwa Imamah harus ada untuk menjaga
kemaslahatan umat dan beliau berpendapat, bahwa Imamah harus dipegang oleh orang
Quraisy dan dapat terjadi tanpa baiat. Pada hal ini beliau tidak mensyaratkan khlaifah harus
dari golongan Hasyimiyah.Disamping itu beliau
berpendapat, bahwa Abu Bakar lebih utama dari Ali.Kedudukan para Khulafaur Rasyidin
menurut pendapatnya ialah yang paling utama Abu Bakar, Umar, Usman, dan kemudian Ali.
b. Pendirian Imam Syafi‟I tentang Bid‟ah
Karena Imam Syafi‟I terkenal sebagai pembelan Sunnah dan termasuk seorang ahli
hadits, maka sudah tentu beliau sangat keras terhadap perbuatan bid‟ah dan ahli bid‟ah.
Pendiriannya terhadap bid‟ah adalah sebagai berikut :
1) Bid‟ah terpuji

7 Fakhruddin.Intelelectual Network, sejarah & Pemikiran Empat Imam Mazhab Fikih. 2009. Hal 122

8 M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. 1996. Hal 203-204


Bid‟ah terpuji yaitu bid‟ah yang sesuai dengan Sunnah.Bid‟ah terpuji menurutnya
barang yang diada-adakan dari macam kebaikan dengan tidak menyalahi sedikit pun
dari semua sumber hukum yang disebutkan itu.
2) Bid‟ah tercela
Bid‟ah tercela yaitu bid‟ah yang menyalahi as-Sunnah.Menurut beliau, bid‟ah tercela
adalah semua perbuatn yang diada-adakan dengan menyalahi al-Quran,
Sunnah, Ijma (kesepakatan para sahabat Nabi), dan Atsar (keterangan para sahabat
Nabi).
c. Pendirian Imam Syafi‟I tentang Hukum secara Qiyas
Pendirian Imam Syafi‟I tentang Hukum Qiyas sangat hati-hati dank eras, karena
menurutnya qiyas dalam hal keagamaan itu tidak begitu perlu diadakan kecuali dalam
keadaan memaksa.Selain itu hukum qiyas yang terpaksa diadakan adalah hukum-hukum
yang tidak mengenai urusan ibadah, yang pada pokoknya tidak dapat dipikirkan sebab-
sebabnya, atau tidak dapat dimengerti bagaimana tujuan yang sebenarnya seperti, ibadah
shalat dan puasa.
Cara Imam Syafi‟I mengambil atau mendatangkan hukum qiyas adalah sebagai
berikut :
1) Hanya yang mengenai urusan keduniaan atau muamalat saja.
2) Hanya yang hukumnya belum atau tidak didapati dengan jelas dari nash al-Quran atau
dari Hadits yang shahih.
3) Cara beliau menqiyas adalah dengan nash-nash yang tertera dalam ayat-ayat al-
Quran dan dari Hadits Nabi.9

d. Dasar-dasar Hukum yang Dipakai Oleh Imam Syafi‟i


Imam Syafi‟i terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Maliki dan
mempertahankan mazhab ulama Madinah hingga terkenallah beliau dengan sebutan
Nasyirus Sunnah (penyebar Sunnah).Hal ini adalah hasil mempertemukan antara fiqh
Madinah dengan fiqh Irak.
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh ImamSyafi‟I sebagai acuan
pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut :
1) Al-Quran, beliau mengambil dengan makna yang lahir kecuali jika didapati alas an yang
menunjukkan bukan arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau dituruti.

9 Ibid. Hal 207-210


2) As-Sunnah, beliau mengambil Sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi
yang Ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah
mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadits itu orang kepercayaan, kuat
ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
3) Ijma‟, bahwa para Sahabat semuanya telah menyepakatinya. Disamping itu, beliau
berpendapat dan meyakini bahwa kemungkina ijma‟ dan penyesuaian paham bagi
segenap ulama itu tidak mungkin karena berjauhan tempat tinggal dan sulit
berkomunuikasi.
4) Qiyas, Imam Syafi‟I memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak
tercantum, juga dalam keadaan memaksa. Hukum Qiyas yang terpaksa diadakan itu
hanya mengenai keduniaan atau muamalah, karena segala sesuatu yang berhubungan
dengan ibadah telah cukup sempurna dari al-Quran dan asSunnah.
5) Istidlal (Istishhab), makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang yang
lain. Dua sumber utama yang diakui untuk ditarik kesimpulannya ialah adat kebiasaan
dan undang-undang agama yang diwahyukan sebelum islam. Diakui, bahwa adat
kebiasaan yang lazim di tanah Arab pada waktu datang Islam yang tidak dihapus oleh
Islam, mempunyai kekuasaan hukum. Demikian pula adat dan kebiasaan yang lazim
dimana-mana, jika tidak bertentangan dengan jiwa al-Quran atau tidak terang-terangan
dilarang oleh al-Quran juga diperbolehkan.10

4. Imam Ahmad Bin Hambali


Imam Hambali nama lengkapnya ialah al-Imam Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal ibn
Hilal Addahili as-Syaibani al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H.
Ayahandanya bernama Muhammad as-Syaibani, sedangkan ibu beliau bernama Syarifah
binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindun as-Syaibani (wanita dari bangsa
Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka kaum bani Amir.11

Cara Imam Hambali memberi fatwa, Imam Hambali dalam memberikan fatwa tentang
urusan agama dan hukum-hukum yang berkenaan dengan agama sangat berhatihati, baik dalam
menjawab atau menjelaskan hukumnya. Bahkan seringkali beliau memberikan jawaban: “Saya
tidak tahu atau belum tahu atau belum saya periksa”, kalau memang belum jelas benar, tentang
perkara yang ditanyakan kepada beliau. Inilah salah satu pernyataan tentang cara-cara Imam
Hambali memberikan fatwa atau jawaban tentang
persoalan-persoalan yang ia hadapi, baik masalah hukum atau masalah-masalah yang
baru terjadi di dalam lingkungan masyarakat, tidak sekali pun beliau terburu-buru menjawabnya
sebelum menyelidiki dan memperoleh keterangan yang jelas yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.12

Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada
dasar-dasar berikut:
a. Nash al-Qur‟an dan Hadits, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi
memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat
yang menyalahinya.
b. Fatwa sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati sesuatu
pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau
perpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan
ijmak.

10
Ibid. Hal 211-212
11
Ibid. Hal 221-222
12
Ibid. Hal 229

Anda mungkin juga menyukai