Anda di halaman 1dari 5

Nama : Riski Siregar

NIM : 12170311469
UAS : Fiqih
RESUME MATERI MAKALAH MAZHAB SYAFI‟I

Mazhab Syafi`i adalah salah satu mazhab dari empat mazhab Imam lainnya,
telah berpengaruh besar terhadap perkembangan hukum di Indonesia. Mazhab ini
telah lama berkembang dan mengakar pada mayoritas muslim di Indonesia.
Keunggulan mazhab Syafi`I dengan mazhab Imam yang lain salah satunya adalah
dari segi pengambilan hukum yang seimbang menggunakan nass dan ra‟yu (logika)
dalm penetapan hukum.

Mazhab Syafii didirikan oleh Muhammad bin Idris Asy Syafii. Mazhab ini
dinamakan sesuai dengan pendirinya, Mazhab ini muncul pada pertengahan abad
ke-2 Hijriah. Imam Syafi‟i memiliki pemikiran fikih yang khas dan berbeda
dibandingkan kedua mazhab terdahulunya. Sumber acuan mazhab ini adalah paham
dan pemikiran Syafi‟i yang dimuat dalam kitabnya, Ar- Risalah, Al-Umm, Ikhtilaf
al-Hadits, dan lain-lain.

Biografi Imam Syafi’i


Nama lengkap Imam Syafi‟i adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Al-
Syafi‟ee bin Al- Abbas bin Utsman bin Shafie bin Ubaid bin Abu Yazid bin Hasyim
bin Al-Muttalib, dimana ayah dari Abdul Muthalib kakek Nabi (SAW) bin Abd
Manaf1. Imam Syafi‟i lahir pada tahun 150 H (767 M) di Gaza, Palestina. Itu adalah
tahun yang sama di mana Imam Besar Abu Hanifah meninggal.

Imam Syafi‟i atau yang juga dikenal dengan nama „Syaikh Al Islam‟, adalah
salah satu dari empat Imam besar mazhab Sunni. Menurut beberapa sumber, dia hafal
Quran pada usia tujuh atau sembilan tahun, Imam Syafi‟i tidak hanya menghafal
seluruh Al-Qur‟an, tetapi juga sejarah dan etimologi setiap ayat, semuanya pada usia
10 tahun.

Di Makkah Imam Syafi‟i belajar kepada Muslim ibn Khalid al-Zinji, di


Madinah belajar pada Imam Malik bin Anas, di Yaman ia mengaji pada Mathraq ibn
Mazi dan di Irak belajar pada Muhammad bin Hasan. Di antara guru-gurunya tersebut
ada yang beraliran tradisionalis atau ahli Hadis seperti Imam Malik bin Anas, dan ada
yang beraliran rasional seperti Muhammad bin Hasan,

Dalam bidang hadis, Imam Syafi‟i berbeda pula dengan Abu Hanifah dan
Imam Malik. Menurut Imam Syafi‟i , apabila suatu hadis sudah shahih sanadnya dan
bersambung sampai Nabi saw, maka sudah wajib diamalkan tanpa harus dikaitkan
dengan amalan ahli Madinah sebagaimana disyari‟atkan oleh Imam Malik, dan tidak
perlu ditentukan syarat-syarat yang terlalu banyak dalam penerimaan hadis
sebagaimana disyaratkan oleh Imam Abu Hanifah. Karena itulah Imam Syafi‟i
dijuluki sebagai Nashir as Sunnah (penolong sunnah).

Sejarah Mazhab Syafi’i

Mazhab adalah, jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam
mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristwa (hal) berdasarkan kepada Al-
Qur‟an dan Hadist. Dalam kitab al-Umm dijelaskan pembentukan mazhabnya sebagai
berikut: “Ilmu itu bertingkat-tingkat, pertama ilmu yang di ambil dari kitab (Al-
Qur‟an) dan sunah Rasulullah SAW.

Pemikiran fikih mazhab ini diawali oleh Imam Syafi‟i, yang hidup pada zaman
pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadis) dan
Ahlur Ra‟yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad).

Mazhab Syafii didirikan oleh Muhammad bin Idris Asy Syafii. Mazhab ini
dinamakan sesuai dengan pendirinya, Mazhab ini muncul pada pertengahan abad ke-2
Hijriah. Imam Syafi‟i memiliki pemikiran fikih yang khas dan berbeda dibandingkan
kedua mazhab terdahulunya. Sumber acuan mazhab ini adalah paham dan pemikiran
Syafi‟i yang dimuat dalam kitabnya, Ar- Risalah, Al-Umm, Ikhtilaf al-Hadits, dan
lain-lain.

Konsep Mazhab Syafi’i


Aliran keagamaan Imam Syafi‟i, sama dengan imam mazhab lainnya dari imam-
imam mazhab empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad ibn Hanbal adalah
termasuk golongan Ahlu al- Sunnah wa al-Jama‟ah.

Sebagai seorang fiqh/muhaddits tentu saja beliau mengutamakan Ittiba‟ dan


menjahui ibtida‟ sedang golongan muktazilah mempelajarinya secara falsafah. Imam
Syafi‟i terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Maliki dan mempertahankan
mazhab ulama Madinah hingga terkenallah beliau dengan sebutan Nasyirus Sunnah
(penyebar Sunnah).

Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi‟i:

1. Al-Qur‟an Menurut Imam Syafi‟i , setiap persoalan yang muncul akan


ditemukan ketentuan hukumnya dalam al Qur‟an. Dalam menjelaskan hukum,
al Qur‟an menggunakan empat cara, yaitu:

a. Al Qur‟an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang


jelas, seperti nash pewajiban shalat, zakat, puasa danhaji. Atau nash
tentang pengharaman zina, minum khamr, makan bangkai, dan
lainsebagainya.

b. Suatu hukum yang disebut secara global dalam al Qur‟an dan dirinci
dalam Sunnah. Misalnya jumlah rakaat shalat, waktu pelaksanaannya,
apa dan berapa kadar zakat. Semua itu disebutkan secara global dalam
al Qur‟an dan Nabi yang menerangkan secara rinci.

c. Nabi juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash
hukumnya dalam al Qur‟an. Bentuk penjelasan al Qur‟an untuk
masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan
menjauhi larangannya. Dengan demikian suatu hukum yang ditetapkan
oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh al Qur‟an, karena al Qur‟an
memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi
dan menjauhi yang dilarang.

2. As-Sunnah Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir


saja, tetapi yang Ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi
dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni:

a) Perawi dapat dipercaya keagamaannya dan juga tidak menerima hadis


dariorang yang tidak dipercaya. Perawinya dabit.

b) Perawinya berakal dalam artinya bisa memahami apa yang diriwayatkan.

c) Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadis itu dari orang


yang menyampaikan kepadanya.

d) Perawinya tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis itu.

3. Ijma‟ Dalam arti bahwa para sahabat semua telah menyepakatinya. Ijma‟ yang
dipakai Imam Syafi‟i sebagai dalil hukum adalah ijma yang disandarkan pada
nash atau ada.

4. Qiyas

Imam Syafi‟i memakai qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum di atas
tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa. Hukum qiyas yang terpaksa
itu hanya mengenai keduniaan atau muamalah, karena segala sesuatu yang
bertalian ibadah telah cukup sempurna dari al-Qur‟an dan as-Sunnah
Rasulullah. Untuk itu beliau dengan tegas berkata: “Tidak ada hukum qiyas
dalam ibadah”. Beliau tidak terburu - buru menjatuhkan hukum secara qiyas
sebelum lebih menyelidiki tentang dapat atau tidaknya hukum itu
dipergunakan.
5. Istidlal (Istishhab)

Maulana Muhammad Ali dalam bukunya Islamologi mengatakan


bahwa Istidlal makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang
lain. Imam Syafi‟i memakai jalan istidlal dengan mencari alasan atas akidah-
akidah agama ahli kitab yang terang- terangan tidak dihapus oleh Al- Qur‟an.
Beliau tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia.

Karakteristik Mazhab Syafi’i

1. Penggunaan Sumber Utama: Mahzab Syafi'i mengutamakan penggunaan


sumber-sumber hukum utama dalam menetapkan hukum agama, seperti al-
Quran, hadis, dan ijma (konsensus ulama).

2. Qiyas (Analogi): Mahzab Syafi'i menerima penggunaan qiyas sebagai metode


dalam menetapkan hukum agama.

3. Ijma (Konsensus Ulama): Mahzab Syafi'i mengakui pentingnya ijma atau


konsensus ulama sebagai sumber hukum.

4. Menjaga Keadilan Sosial: Mahzab Syafi'i memberikan perhatian khusus pada


prinsip keadilan sosial dan kemaslahatan umat Muslim.

5. Kajian Ilmiah yang Mendalam: Mahzab Syafi'i menekankan pentingnya


kajian ilmiah yang mendalam dalam mengembangkan pemahaman hukum
agama.

Anda mungkin juga menyukai