Anda di halaman 1dari 11

PROF .

DR TENGKU MUHAMMAD HASBI ASH-SHIDDIEQY

A. Biografi
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada
tanggal 10 Maret 1904. Ayahnya bernama Teungku[1] Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi
Husein ibn Muhammad Suud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai
sebuah pesantren (meunasah). Sedangkan Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku
Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika
itu.[2] Hasbi tumbuh di tengah-tengah keluarga ulama pejabat, pendidik dan pejuang. Jika
ditelusuri lebih jauh, dalam diri beliau mengalir campuran darah Aceh dan Arab. Bahkan
menurut silsilah, beliau adalah keturunan ke 37 yang mempunyai ketersambungan dengan Abu
Bakar ash-Shiddiq (573-13 H/634 M). Oleh sebab itu, pada nama belakang beliau
ditambahlkan ash-Shiddieqy. [3]
Hasbi menikah di usia 19 tahun dengan Siti Khadidjah, namun sang istri meninggal
ketika melahirkan putri pertama yang bernama Nur Jauharah yang kemudian menyusul ibunya
kembali ke Rahmatullah. Kemudian Hasbi menikah lagi dengan Tengku Nyak Asiyah binti
Tengku Haji Hanum dan dikarunia 4 anak.[4]
-Perjalanan Akademik
Sejak kecil, Hasbi sangatlah cerdas dan kritis terhadap sesuatu. Dengan dukungan
keluarga yang kental agama, Hasbi dengan mudah mengukir pendidikan agama pertamanya
di dayah(pesantren) milik ayahnya.[5] Disana ia belajar al-Quran, Qiraat, tajwid, dasar-dasar
tafsir dan fiqih yang diajarkan langsung oleh ayahnya sendiri.

Berbekal semangat keilmuan dan dorongan dari ayahnya, Hasbi kemudian nyantri di
berbagai pesantren Aceh dari satu kota ke kota lain selama 8 tahun. Setelah tamat, Hasbi
belum puas karena ilmu yang ia dapatkan di dayah hanyalah sekedar sebuah kitab, bahkan
terbatas kitab-kitab bermadzab SyafiI, dengan metode pembelajaran hanya berkutat menyimak
penjelasan guru. Menurutnya, metode ini tidaklah mendidik karena secara tidak langsung
mengajarkan murid bertalkid dengan selalu menunggu keputusan yang telah dibuat oleh ulama-
ulama terdahulu. Sehingga Hasbi lebih memilih belajar secara otodidak.[6]

Keinginannya untuk belajar lebih luas tentang Islam akhirnya terwujud setelah ia bertemu
dengan seorang pembaharu Islam yang bernama Syekh Muhammad ibn Salim al-
Kalali. [7]Syekh Muhammad mengajarkan Hasbi bahasa Arab dan kitab-kitab yang ditulis oleh
pelopor-pelopor pembaharu Islam[8]. Dari sinilah benih-benih pembaharu muncul dalam diri
Hasbi. Kemudian pada tahun 1926, atas saran Syekh Muhammad, Hasbi berangkat ke
Surabaya dan melanjutkan pendidikannya di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan
yang didirikan oleh Syekh Ahmad Surkati (1874-1943), ulama dari Sudan yang mempunyai
pemikiran modern kala itu. Di Madrasah al-Irsyad Hasbi mengambil
pelajaran takhassus (jurusan) dalam bidang pendidikan dan bahasa selama 2 tahun. Al-
Irsyad dan Ahmad Surkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang
modern sehingga, setelah kembali ke Aceh. Teungku[9]Hasbi as-Shiddieqy langsung
bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.[10]

-Karir dan karya-karya


Pada era demokrasi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstituante. Akan tetapi ia lebih memilih
menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan tahun 1951.
Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
hingga tahun 1972.[11]

Selain itu, beliau juga memangku jabatan di berbagai Perguruan Tinggi Swasta. Pada
tahun 1961 M-1971 M, beliau menjabat sebagai Rektor Universitas al-Irsyad, Surakarta. Dan
jabatan yang sama di Universitas Cokroaminoto. Beliau juga mengajar di Universitas Islam
Indonesia (UII), Yogyakarta sejak tahun 1964 M. Pada tahun 1967 M, beliau mengajar
sekaligus menjadi Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Sultan Agung (Unissula),
Semarang.

Pada tanggal 9 Desember 1975, setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam
rangka menunaikan ibadah haji, beliau meninggal dalam usia 71 tahun[12]. Jasad beliau
dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara pelepasan jenazah
almarhum, turut memberi sambutan almarhum Buya Hamka, dan pada saat pemakaman
beliau dilepas oleh almarhum Mr. Moh. Rum. Naskah terakhir yang beliau selesaikan adalah
Pedoman Haji yang kini telah banyak beredar di masyarakat luas.

Sebagai ulama yang produktif di zamannya, Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin
ilmu keislaman. Menurut skripsi Kurniasih, buku yang ditulis Hasbi berjumlah 72 judul (142
jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh (36 judul). Bidang-bidang lainnya adalah
hadis(8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-
tema yang bersifat umum[13], diantaranya yakni:

I. Bidang Hadis meliputi:


1. Beberapa Rangkuman Hadis.
2. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis.
3. Mutiara Hadis berjumlah 5 jilid.
4. Pokok-pokok Ilmu Dasar Hadis.
5. Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum.
6. Koleksi Hadis-hadis Hukum berjumlah 9 jilid.
7. Rijalul Hadis.
8. Sejarah Perkembangan Hadis.
9. Kriteria Antara Sunnah dan Bidah
II. Bidang Tafsir Al-Quran
1. Beberapa rangkaian ayat.
2. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Al-Quran/Tafsir.
3. Tafsir Al-Quran al-Majid an-Nur.
4. Tafsir al-Bayan.
5. Mujizat Al-Quran.
III. Bidang Fiqh
1. Sejarah Peradilan Agama.
2. Tuntunan Quran.
3. Pedoman Sholat.
4. Hukum-hukum Fiqh Islam
5. Pedoman Hukum Islam.
6. Pedoman Zakat.
7. Al-Ahkam (Pedoman Muslimin).
8. Pedoman Puasa.
9. Kuliah Ibadah.
10. Pengantar Ilmu Fiqh.
11. Falsafah Hukum Islam.
12. Pedoman Haji
Atas jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan, Muhammad Hasbi as-Shiddieqy
mendapatkan beberapa pengahargaan diantaranya :

1) Anugrah Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tahun
1975.

2) Anugrah Doktor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta pada tahun 1975.[14]

B. Pemikiran Hasbi dalam Bidang Hadis dan Ulum Hadis.

1. Pemikiran Hasbi Tentang Sunnah dan Hadis

Umat Islam sepakat bahwasanya Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah al-Quran
yang merupakan bentuk perkataan, perbuatan dan ataupun taqrir yang disandarkan kepada
Rasulullah Saw baik yang bersifat aqidah, syariat, muamalah maupun akhlaq. Para ulama telah
memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pengkajian, penelitian dan penyeleksian
terhadap hadis-hadis Nabi Saw yang bertujuan untuk membedakannya dari perkataan,
perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada selain beliau. Kata sunnah berdasarkan definisi
leksikalnya adalah thariqah dan sirah yang berarti jalan atau metodologi. Sementara menurut
terminologinya, maka akan ditemukan perbedaan defenisi
antara Muhadditsin, Ushuliyyin dan Fuqaha. Adapun Sunnah menurut Muhadditsin[15] adalah
segala apa yang berasal dari Nabi Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan
(taqrir), sifat, atau sejarah hidup. Definisi Muhadditsinini tidak memiliki perbedaan dengan
definisi mereka terhadap kata Hadits.
Sunnah menurut Hasbi adalah seperti yang didfinisikan oleh para Ushuliyyin (ulama
ushul fiqih), yakni segala yang disandarkan kepada Nabi Saw selain al-Quran, baik dari segi
perkataan, perbuatan, ataupun taqrir yang dapat dijadikan sebagai dalil atas sebuah hukum
syariat. Sunnah menurut Muhadditsin[16] adalah segala apa yang berasal dari Nabi Saw baik
dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan (taqrir), sifat, atau sejarah hidup. Definisi
tersebut juga berlaku untuk term Hadits.

Perbedaan definisi antara Ushuliyyin dan Muhadditsin ini disebabkan karena perbedaan
metodologis dimana Muhadditsin di dalam penelitiannya memposisikan Rasulullah Saw
sebagai Imam tertinggi, pemberi jalan menuju kepada hidayah, pemberi nasehat sebagaimana
berita yang disampaikan Allah Swt bahwa Rasulullah Saw merupakan uswah dan qudwah bagi
kaum muslimin, sehingga para Muhadditsin mengambil seluruh yang bersumber dari Nabi Saw
baik dari masalah sirah (perjalanan hidup), Akhlaq, kecenderungan, berita-berita, perkataan,
dan perbuatan beliau saw tanpa melihat apakah yang dinuqil tersebut memiliki kandungan
hukum syariat atau pun tidak. Adapaun Ushuliyyin memposisikan Nabi Saw
sebagai Musyarri yang menjelaskan kepada manusia tentang pranata sosial, dan sebagai peletak
kaidah-kaidah dasar untuk para Mujtahidin setelah beliau, oleh karena itu mereka melihat
sunnah hanya sebatas apa yang datang dari Nabi Saw.[17].

Untuk term Hadis, Hasbi secara tegas membedakan antara istilah Sunnah[18] dengan
Hadis dimana beliau memandang bahwa hadis adalah segala peristiwa yang disandarkan
kepada Nabi Saw, walaupun peristiwa itu terjadi hanya sekali saja disepanjang hayat beliau,
adapaun Sunnah adalah perbuatan Nabi Saw yang mutawatir, khususnya dari segi makna,
namun jika dari segi penukilan matan/lafalnya tidak mutawatir namun pelaksanaannya
mutawatir, maka tetap dinamakan sunnah.[19] Meskipun demikian beliau memandang bahwa
kaum muslimin wajib untuk mengamalkan hadis dan sunnah dan menjadikannya pedoman
pada setiap zaman dan tempat, sebab tidak dibenarkan sama sekali menyalahi hukum dan
perintah Nabi Saw selama hadis tersebut adalah shahih dan tidak bertentangan dengan
petunjuk al-Quran.

Menurut Hasbi Sunnah dibagi menjadi 2, yaitu Sunnah filiyyah dan Sunnah
Takriyyah.Adapun Sunnah filiyyah, Hasbi mengutip pendapat Ulama ushul terbagi menjadi
:[20]

Pekerjaan Nabi yang masuk urusan tabiat, seperti keseharian Nabi, mis makan, minum,
tidur, dan lain-lain.
Pekerjaan tertentu untuk Nabi, seperti beristri lebih dari empat yang tidak boleh ditiru oleh
Umatnya.

Pekerjaan Nabi yang digunakan sebagai bayan (penerang)buat umatnya dalam beribadah.
Seperti shalat dhuzur empat rakaat.

Apabila pekerjaan itu dilakukan atas dasar taat, seperti Nabi mencukur rambut
diHudaibiyyah, maka ada yang mengatakan hukumnya nadb dan Sunnah bagi Umatnya.

Pekerjaan Nabi tidak atas dasar ibadah dan bukan perintah Allah, seperti memakai jubah.

Adapaun pekerjaan-pekerjaan yang tidak dijalankan Nabi dan tidak ada halangan untuk
melakukannya (Sunnah Takriyyah), yakni apabila Nabi mengerjakan sesuatu, maka perbuatan
itu dihukumi sunnnah. Sebaliknya, Apabila Nabi meninggalkan sesuatu, maka meninggalkan
perbuatan itu lah sunnah. seperti Nabi meningglakan adzan pada hari shalat raya, shalat nisfu
Syaban, membaca al-Quran untuk orang yang meningggal maka diperintahkan untuk
meniggalkannya. Akan tetapi walaupun Nabi tidak mengerjakannya, tetapi termasuk Maslahah
Mursalah (berbeda dengan Bidah) seperti kodifikasi al-Quran dalam mushaf , shalat tarawih
dengan berjamaah dan lainnya, maka tidak ada masalah bagi kita untuk mengerjakannya.[21]

Memperhatikan pandangan T.M Hasbi di atas tentang Sunnah dan hadis, maka dapat
dikatan bahwa beliau menitik beratkan Sunnah pada wilayah amaliyah Nabi Saw baik yang
mutawatir secara lafal, makna, maupun pelaksanaannya. Hal ini sejalan dengan pandangan para
Fuqaha yang memposisikan Nabi Saw sebagai manusia yang menjalankan hukum Allah Swt.
Namun pada wilayah pendefenisian saja T.M Hasbi memilih untuk berada pada
sisi Ushuliyyinyaitu melihat sunnah dari segi Madlul al-Hukmy (petunjuk hukum). Namun
ketika beliau menjelaskan tentang kata hadis, maka beliau cenderung menggunkan
pendefenisian hadis menurut peristilahan para Muhadditsin yang secara lahir sejalan dengan
pendefenisian mereka terhadap kata Sunnah.

Analisis ini menunjukkan bahwa T.M Hasbi cenderung menggabungkan seluruh bentuk
peristilahan atau defenisi etimologi dari kedua istilah tersebut (Sunnah dan Hadis), yang
membedakan diatara keduanya adalah kalimat pengikat dari kedua kata, dimana T.M Hasbi
menyebutkan istilah Sunnah Matawatir baik dari lafal, makna maupun pengamalan, dan
menyebutkan istilah hadis dengan hadis shahih. Dimana keduanya wajib diamalkan oleh
seluruh kaum muslimin kapan pun dan dimana pun mereka berada.
Adapun dalam istilah ulumul hadis atau ushulul hadis T.M Hasbi lebih memilih untuk
menggunakan istilah Ilmu Dirayah Hadis dengan alasan bahwa penggunaan
istilah Mushthalahulhadis untuk segenap macam Ilmu Dirayah adalah merupakan suatu
tajawuz, oleh karena itu beliau menggunakan istilah ilmu dirayah untuk seluruh macam ilmu
hadis, dengan mengasusmsikan bahwa Ilmu Dirayah sama dengan Ulumul Hadis atau Ushulul
Hadis.

2. Perbedaan antara Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar, serta pengertian Hadis Qudsi

Pengertian Hadis menurut Hasbi sebagiamana yang di jelaskan di atas adalah segala
peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Saw, walaupun peristiwa itu terjadi hanya sekali saja
disepanjang hayat beliau. adapaun Sunnah[22] adalah perbuatan Nabi Saw yang mutawatir,
khususnya dari segi makna, namun jika dari segi penukilan matan/lafalnya tidak mutawatir
namun pelaksanaannya mutawatir, maka tetap dinamakan sunnah.

Tarif (pengertian) Khabar[23] : menurut lughat ialah : warta berita yang disamapaikan
dari seseorang kepada seseorang. Jamanya akhbar, muradifnya naba yang
jamanya anba orang yang banyak khabar dinamai khabir. Menurut istilah sumber ahli hadis
adalah : warta baik warta dari Nabi maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabiin. Ada
juga yang mengatakan bahwa Khabar dipakai buat segala warta yang di terima dari yang selain
Nabi mengingat hal inilah orang yang meriwayatkan hadis dinamai Muhadditsun dan orang
yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary.

Tarif Atsar[24] dari segi bahasa adalah bekasan sesuatu atau sisa sesuatu. Berarti nukilan
(yang di nukilkan, yaitu sesuatu yang dinukilkan dari Nabi jamanya atsar dan utsur. Mengingat
hal ini, dinamailah ahli hadis dengan atsary. Fuqaha memakai perkataan atsar untuk perkataan-
perkataan Ulama Salaf, Sahabat, Tabiin dan lain-lain. Ada yang
mengatakan atsar lebih amdari khabar. Atsar diitlaqkan kepada yang datang dari Nabi dan
yang selainnya, sedangkanKhabar diitlaqkan kepada yang datang dari Nabi saja.

Tarif Hadis Qudsi : ialah perkataan-perkataan yang di sabdakan Nabi saw dengan
mengatakan Allah berfirman...... Nabi menyandarkan perkataan itu kepada Allah, beliau
meriwayatkan dari Allah swt.[25]

3. Ilmu Dirayah Hadis

Ilmu hadis dirayah adalah sekumpulan kaidah dan masalah yang dengan kaidah dan
masalah itu dapat diketahui keadaan marwi dan keadaan perawi dari segi dapat tidaknya
diterima riwayat tersebut. Penukil hadis dinamakan rawi jamanya ruwah, hadis yang
disandarkan kepada Nabi saw ataupun kepada Sahabat atau orang lain dinamakan marwi.
Faedah Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui mana hadis yang disandarkan kepada
Rasul saw yang harus kita terima dan mana yang harus ditolak. Ilmu ini juag aling melengkapi
satu sama lainnya, yang mana tiadalah berfaedah Ilmu Hadis Riwayah apabila tidak di sertai
dengan Ilmu Hadis Dirayah, karena dengan ilmu yang kedua ini, kita dapat mengetahui mana
yang maqbul dan mana yang mardud.[26]

Ilmu hadis Dirayah terhadap matan hadis, sama dengan kedudukan tafsir terhadap al-
Quran atau kedudukan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ilmu ini melengkapi
Qaidah dan menerangkan keadaan-keadaan perawi dan marwi sebagaimana dia mengandung
pengertian pemahaman hadis dan mengungkapkan makna dan hukum dari padanya. Salah satu
kepentingan ilmu ini adalah melakukan pengistinbatan hukum.[27] Ilmu ini hanya dimiliki
oleh umat Islam, dia benar-benar suatu ilmu bernilai tinggi yang disumbangkan ulama-ulama
Islam kepada kebudayaan manusia.

4. Memahami Hadis Nabi

Menurut Hasbi hadis Shahih adalah dalil nash yang tidak boleh di tinggalkan, akan tetapi
dalam pengamalannya harus di perhatikan dengan hati-hati.disamping karena keberagaman
kualitas juga karena ada beberapa hadis yang tidak berlaku atau tidak diterima dikarenakan
tempat dan waktu dengan mengingat peran Muhammad yang terkadang sebagai Rasul utusan
Allah yang harus di taati dan terkadang sebagai manusia biasa yang tidak menjadi syariat yang
tidak harus ditaati.[28] Dengan mencontohkan perilaku-perilaku Nabi yang berposesi sebagai
manusia biasa, seperti cara makan, bepakaian, berjalan atau berkendaraan dan sebagainya.

Dengan mengutip pendapat Syah Waliyullah al-Dahlawi beliau menandaskan bahwa


dalam memahami hadis Nabi harus memperhatikan fungsi Nabi yaitu : 1) fungsi Nabi sebagai
Rasul. Semua ajaran Nabi ada yang berdasarkan wahyu dan dan sebagian berdasarkan ijtihad,
namun ijtihad Nabi bisa dijadikan juga harus dipandang sebagai wayhu, karena Allah tidak
mungkin membiarkan Rasulnya melakukan ijtihad yang salah. 2) fungsi Nabi bukan sebagai
penyampai risalah, diantaranya perbuatan Nabi yang dikerjakan sebagai adat kebiasaan bukan
sebagai Ibadah.[29] Dia mengemukakan bahwa dalam memahami hadis Nabi juga harus
memperhatikan aspek dhahirnya dan aspek dalalahnya.

Pemikiran Hasbi diatas sangat mungkin dipengaruhi pemikiran al-Qarafi yang dianggap
sebagai orang pertama yang memilah-milih ucapan dan sikap Nabi saw dikaitkan dengan posisi
beliau.[30] yang terkadang menjadi Rasul, mufti, hakim dan sebagainya dan terkadang juga
sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan. Pada masa awal Islam, pemilihan fungsi
dan kedudukan Nabi dalam memahami hadis telah ada secara implisit. Sebagai contoh adalah
kasus Jabir bin Abdillah yang memohon kepada Nabi agar bersedia berbicara kepada sekian
banyak pedagang dengan tujuan untuk membebaskan ayah Jabir dari utang-utangnya.
Demikian halnya juga dengan kasus penentuan lokasi markas pasukan perang badar.

[1] Teungku adalah sebutan untuk orang alim (Ulama) dalam tatanan masyrakat aceh.
Pada masa kerajaan aceh, teungku mempunyai fungsi dan pengaruh yang sangat besar.
Teungku merupakan orang kedua dalam suatu kolektifitas masyarakat aceh. Lihat : Snouck
Hurgronje, Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje,(Jakarta : INIS, 1996), hlm. 147
[2] Nourouzzaman Shiddiqi, Prof. Dr. T. M. Hasbi ash-Shiddiqy dalam Lima Tokoh
Pengembangan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Editor Drs. Moh Damami, M. Ag. Dkk,
(Yogyakarta : Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 1998), hlm. 114
[3] Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Insani
Madani, 2008), hlm. 202.
[4]Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 10.
[5] Ensiklopedi Hukum Islam, diedit oleh Abdul Aziz Dahlan, dkk, Vol. II : 130, artikel
Hasbi ash-Shiddieqy.
[6] Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia., hlm. 14
[7] syekh muhammad ibn salim al-kalali, seorang pembaharu berkebangsaan arab yang
menerbitkan majalah al-imam di singapura pada tahun 1907-1917, kemudian ia bermukim di
lhoksumawe aceh sampai akhir hayatnya. lihat nourouzzaman shiddiqi, fiqh indonesia.,
hlm. 246.
[8] Zamahsari Junaidi, T. M. Hasbi ash-Shiddieqy : Mujtahid Muqarin yang
Produktif, dalam pesantren. No. 2/Vol II/ 1985, hlm. 63
[9] Di Aceh besar gelar teungku di berikan kepada pemangku jabatan yang berhubungan
dengan agama atau berpengetahuan luas atau lebih taat beribadah.
Baik teungku maupun teuku merupakan singkatan dari tuanku. Lihat : Dr. Snouck
Hurgronje, Aceh, Rakyat, dan Adat Istiadatnya, (Jakarta : INIS, 1996), hlm. 54.
[10] Zamahsari Junaidi, T. M. Hasbi ash-Shiddieqy : Mujtahid Muqarin yang
Produktif, dalam pesantren. No. 2/Vol II/ 1985, hlm. 63.
[11] Nourouzzaman Shiddiqi, fiqh, hlm. 3-16

[12] Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir, (Yogyakarta: Pustaka Insani Madani,
2008), hlm. 205.

[13] Kurningsih dalam Penafsiran Ayat-ayat Mutasyabihat, Studi Komparatif Antara


Hasbi Ash-Shidieqy dan Hamka. Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2000, hlm. 19.
[14]http://darul-ulum.blogspot.com/2007/11/fiqh-indonesia-tema-pemikiran-hukum.html,
diakses tanggal 22 Oktober 2009.
[15] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1980) hlm. 25.
[16] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1980) hlm. 25.
[17] Yusuf al Qardawi, Kaifa Nataamalu al Sunnah al Nabawiyah terj. Muhammad al
Baqir (Bandung: Karisma, 1999), hlm. 28.

[18] http://media bilhikmah.multiply.com/journal/item/20. Diakses tanggal 15 November


2009
[19] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1980) hlm. 20-24

[20] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Kriteria Sunnah dan Bidah, (Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 1999), hlm. 21-25

[21] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Kriteria Sunnah dan Bidah, (Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 1999), hlm. 24

T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Kriteria Sunnah dan Bidah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978),
hlm. 24

[22] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1980) hlm. 24-25.
[23] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1980) hlm. 32.
[24] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1980) hlm. 33.
[25] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1980) hlm. 32-40

[26] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta : Bulan


Bintang, 1958) hlm. 23

[27] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta : Bulan


Bintang, 1958) hlm. 24-26

[28] Nourouzzaman Shiddiq, Jeram-Jeram, hlm 226. T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-


pokok Ilmu Dirayah Hadis jilid I (Jakarta : Bulan Bintang, 1958) hlm. 109-150

[29] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis jilid I I (Jakarta : Bulan
Bintang, 1958) hlm. 348-350

[30] M. Quraish Shihab, Hubungan Hadis dan Al-Quran (Tinjaun Dari Segi Fungsi dan
Makna),dalam Yunahar Ilyas dan M. Masudi (ed) . Pengembangan Pemikiran Terhadap
Hadis (Yogyakarta : LPPI UMY, 1996) hlm. 58

Anda mungkin juga menyukai