Dosen Pengampu:
Dr.H.Syufa’at M.Ag.
Disusun oleh:
FAKULTAS SYARIAH
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam konsepsi islam terdapat kata ijtihad yang mana mengandung makna mencurahkan
segala kemampuan atau pemikiran untuk mencari solusi masalah. Dimana dengan ijtihad
tersebut akan membawa umat menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. Dikarenakan seorang
mujtahid pembawa panji keilmuan yang bergerak dalam pemikiran dan pemahaman ajaran-
ajaran Allah yang diturunkan dalam Al Quran baik yang terdapat didalamnya maupun tidak.
Sesungguhnya ijtihadlah yang membuat syariat menjadi subur dan kaya serta memberinya
kemampuan untuk memegang kendali ke arah jalan yang di ridhoi Allah SWT dengan tidak
melebihi batas-batas hukumnya ataupun mengabaikan hak-haknya manusia, yang demikian
benar-benar memenuhi syarat dan dilakukan oleh para ahli serta pada tempatnya.
Para ulama mujtahid melakukan ijtihad dengan metode-metode yang berlainan, begitu juga
salah satu ulama yang bernama KH.Sahal Mahfud metode-metodenya lah yang akan secara
rinci penulis bahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad dalam bahasa arab berasal dari kata“ jahada “ yang artinya mencurahkan segala
kemampuan atau menanggung beban kesulitan, merupakan bentuk kata yang mengikuti
wazan“ iftafngaala ” menunjukan arti kata yang berlebih atau (mubalghah) dalam
perbuatan. Sementara menurut istilah, pengertian ijtihad adalah proses penetapan
hukum syariat dengan mencurahkan seluruh pikiran dan tenaga secara bersungguh-
sungguh. Dengan pengertian tersebut, bisa disimpulkan bahwa ijtihad adalah penetapan
salah satu sumber hukum Islam.
2
6. Mengetahui hadits yang di Nasikh Dan Mansukh
7. Mengtahui sebab Wurud Hadits
8. Mengetahui bahasa arab.
3
Kiai Sahal menentukan adanya target, hal inilah yang menjadi kunci kesuksesan
beliau dalam belajar.
Setelah selesai, beliau melanjutkan pendidikannya dengan belajar di
Madrasah Ibtidaiyah (1943-1949), Madrasah Tsanawiyah (1950-1953) Perguruan
Islam Mathali'ul Falah, Kajen, Pati. Setelah beberapa tahun belajar di
lingkungannya sendiri,beliau nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa
Timur di bawah asuhan Kiai Muhajir.
Selanjutnya tahun 1957-1960, beliau belajar di pesantren Sarang, Rembang,
tentang ushul fiqih, qawa'id fiqh dan balaghah di bawah bimbingan Kiai Zubair
Dahlan, Pada pertengahan tahun 1960-an. Dr. KH. MA. Sahal Mahfudz belajar
ke Makkah di bawah bimbingan langsung Syekh Yasin al-Faddani.
Di Bendo Dr. KH. MA. Sahal Mahfudz mendalami keilmuan tasawuf dan fiqih
termasuk kitab yang dikajinya adalah Ihya 'Ulumiddin, al-Mahalli, Fath al-
Wahhab, Fath al-Mu'in, al-Bajuri, at-Taqrib, Sullam at-Taufiq, Safinat an-Najah,
Sullam al- Munajat dan kitab-kitab kecil lainnya. Di samping itu juga aktif
mengadakan halaqah-halaqah kecil-kecilan dengan teman-teman senior.
Kepada Kiai Ahmad beliau mengaji kitab tasawuf al-Hikam. Kitab yang
dipelajari waktu di Sarang antara lain Jam' al- Jawami','Uqud al-Juman, Tafsir al-
Baidhawi, Lubbab an-Nuqul, Manhaj Dzawi an- Nadzar karangan Syekh
Mahfudz Termas dan lain-lain.
Guru-guru beliau saat mengembara menuntut ilmu adalah KH Mahfudh bin
Abdussalam al-Hafidz,KH Abdullah Salam,KH Muhajir Kediri,KH Zubair
Dahlan Rembang,KH Ahmad,dan Syekh Yasin al-Faddani.
3. Pengasuh Pesanteren
Dr. KH. MA. Sahal Mahfudz adalah pengasuh Pesantren Maslakul Huda
Putra sejak tahun 1963. Pesantren di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah ini
didirikan oleh ayahnya, KH. Mahfudz Salam, tahun 1910. Sebagai pemimpin
pesantren, Kiai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di
kalangan NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Sikap
demokratisnya menonjol dan dia mendorong kemandirian dengan memajukan
kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan
pendidikan, ekonomi dan kesehatan.
4. Karya Karya KH Sahal Mahfudz
4
At-Tsamarah al-Hajainiyah tentang fiqih yang ditulis tahun 1960 (Nurussalam,
t.t), Al-Barakat al-Jumu'ah (berbicara tentang gramatika Arab), Thariqat al-
Hushul ila Ghayat al-Ushul (Surabaya: Diantarna, 2000), Pesanren Mencari
Makna (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), Al-Bayan al-Mulamma'an Alfadz al-
Lumd (Semarang: Thoha Putra, 1999),dan masih banyak lainya.
5
jauh lebih mungkin dan di perlukan, karena dikalangan islam manapun tidak ada
perintah sungguh-sungguh menyatakan ijtihad itu haram, dan harus
berkesimpulan pada periode (asr) harus ada orang atau beberapa orang yang
mampu berperan sebagai mujtahid.
Di kalangan ahli fiqih, ijtihad merupakan terminologi yang berjenjang, ada
yang di golongkan ijtihad mutlak ada pula yang di golongkan ijtihad muqoyad
atau muntazib, yang di hindari, dalam kitab all rad ala mad afsadd fi al ard, as
suyuti dengan tandas pertama dalah ijtihadnya seorang ulama dalam bidang fiqih,
bukan saja menggali hukum baru, tetapi juga memakai metode baru hasil
pemikiran orisinil, diantara tingkat ijtihad para peletak madzhab yang ada pada
masa-masa pertumbuhan fiqih sekitar abad 2-3 H. Jumlanya mencapai belasan
namun karena seleksi sejarah yang diikuti hanyalah 4, yaitu : Abu Hanfifah
(peletak madzhab hanafi ), Malik Bin Annas (Peletak Madzhab
Maliki),Muhammad Bin Idris Asyafii (Peletak Madzhab Syafii), Ahmad Bin
Hambal (Peletak Madzhab Hambali).
Dalam pembahasan ijtihad muqoyyad atau muntazib adalah ijtihad yang
terbatas pada upaya penggalian hukum (Istinbath Al Ahkam) dengan piranti atau
metode yang dipinjam dari hasil pemikiran orang lain. Misalnya dalam lingkup
mazhab syafii kita mengenal nama- nama seperti Al Nawawi, Al Rafii atau Imam
Haramain mereka adalah segolongan orang yang telah melakukan fungsi itu
dengan otoritas yang diakui ( mutamad), tetapi metode (manhaj ) yang digunakan
adalah manhaj syafi`i, dan begitu pula imam Abu Yusuf dalam lingkungan
Madzhab Hanafi dan sebagainya, madzhab tidak lain adalah metode penggalian
hukum, bukan hukum yang di hasilkan dengan metode itu sendiri.
3) Kaidah kaidah pengambilan hukum
Kaidah-kaidah pengambilan hukum yang diciptakan ulama dahulu masih
bisa di terapkan sebagai metode hingga sekarang. Sifat kaidah-kaidah tersebut
adalah aglabiah (berlaku secara umum, general) hingga ada perkecualian yang
tidak bisa di selesekan oleh kaidah kaidah yang tidak berlakau secara aglabiah
yang tidak memadai lagi. Kasus-kasus yang di kecualikan lebih banya dari
pada yang bisa di cakupnya.
Satu kaidah dalam ushul fiqih yang dikatakan membuat fiqih yang secara
kontekstual adalah : al ibrah bi umum al lafdhi la bil khusus al sabab yang di
terjemahkan “ yang menjadi perhatian di dalam menetapkan hukum fiqih adalah
6
rumusan : (tekstual) satu dalil, bukan sebab yang melatar belakangi turunnya
ketentuan (dalil).
4) Ijtihad dari Segi Fikih Kontekstual
Istilah pembaharuan fiqih sebenarnya kurang tepat, karena selama ini kaidah
dalam ushul fiqih atau qowaid fiqhiyyah sebagai perangkat menggali fikih
sampai saat ini tetap relevan tidak perlu diganti aatau mungkin yang lebih tepat
adalah pengembangan fiqih melalui kaidah-kaidah menuju fiqih
kontekstual.Kegiatan semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad dalam
pegertian istilahi, melainkan ijtihad dalam pengertian bahasa.
5) Fikih Kontekstual dalam Pandangan K.H Sahal Mahfudz
Melihat dari devinisi ijtihad yang menerangkan tentang bagaimana untuk
mengistimbatkhn hukum syar`i.2 Secara maksimal yang berkaitan dengan
perbuatan manusia secara langsung dari dalail tafshili ( yang terinci ) Al Quran
dan Al Hadits bahwasanya sangat berkaitan bila di pahami dari sudut pandang
fiqih kontekstual, K.H Sahal Mahfudz berpendapat bahwa asumsi formalistik
terhadap fiqih masih menjadi masalah laten, sehinggga tidak jarang dalam hal ini
kitab kuning, di anggap sebagai kitab suci ke dua setelah Al Quran yang harus di
berlakukan sebagai norma dogmatis dan tidak bisa di ganggu gugat, karena itu
menggali fiqih yang bernuansa sosial adalah sangat urgen.
6) Berprinsip pada Masslahah Amanah
Islam yang menyebutkan sebagai rahmatan lil alamin maupun kafatan li al
nas, sungguhnya adalah kebanggaan yang melahirkan beban berat, sebab kedua
kalimah itu akan memberi pengertian bahwa islam adalah ajaran yang
universal. Disinilah beban itu muncul sebab dengan itu semua ia harus
beradaptasi dengan seluruh umat manusia yang sangat beragam baik karena
perbedaan geografis maupun kebudanyaanya sehingga dalam pemahaman
syariah secara kontekstual (muqtada al hal) salah satu rangkaian kegiatan ijtihad,
sedang kontekstual ini memerlukan kemampuan membaca perkembangan sosial.
Kemampuan seperti ini memang ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang
mujtahid, namun K.H Sahal Mahfudz sangat mengutamakan kemaslahatan
(kepentingan masyrakat).3
7
BAB III
KESIMPULAN
Bahwasanya dalam pandangan KH. Sahal Mahfudz, ijtihad adalah sesuatu yang sangat
di perlukan dan sebagai suatu kebutuhan, bukan suatu yang diharamkan di karenakan pada
zaman nabi ijtihad sudah ada dan sekalipun dalam Al Quran tidaka di temukan bahwa hukum
ijtihad adalah haram
Bila membandingkan metode pengambilan hukum antara kyai Sahal Mahfudz dengan
imam syafi`i sangatlah berbedakarena metode imam syafi`i lebih condong kepada metode qiyas
( analogo ), karena menurut belia maslahat sudah terkumpul pada illat, tetapi hukum yang
ihasilakan melalui qiyas tidak boleh tergantung pada maslahat yang tidak tegas rumusan
maupun ukurannya. Sedang sahal mahfudz lebih condong kepada kaidah kaidah pengambilan
hukum yang di ciptakan ulama yaitu aghlabiah ( berlaku secara umum, global atau general ).
Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqih sosial didasarkan atas keyakinan
bahwa fiqih harus di baca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan
manusia yaitu kebutuhan primer ( dharuruyah) fiqih sosial bukan sekedar Qias untuk melihat
setiap persoalan dari kaca mata hitam putih sebagaiman cara pandang fiqih yang lazim di
temukan, tetapi fiqih sosial lebih menempatkan fiqih sebagai paradigma pemaknaan secara
sosial.
8
DAFTAR PUSTAKA