Anda di halaman 1dari 11

METODE PEMAHAMAN HADIS AL DAHLAWI

MAKALAH
Disusun sebagai Tugas
Pada Matakuliah Ma‟anil Hadist
Dosen Pengampu Dr. Munawir, S. Th.I., MSI

Oleh :
Angron Sari (1917501097)
Ahmad Firdaus (1917501069)
Nurhikmah Alawiyah (1917501065)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


JURUSAN QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. KH., SAIFUDIN ZUHRI PURWOKERTO
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Beberapa ulama yang meyakini bahwa semua sunnah Nabi sebagai hukum yang
mengikat sehingga semua yang Nabi kerjakan harus ditaati, sehingga jika ada pihak yang tidak
mengamalkannya dianggap ingkar sunnah. Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwa selain
Rasul, Muhammad juga adalah manusia biasa yang tumbuh dalam budaya dan lokalitas,
sehingga hadis yang bersumber dari fitrah manusia untuk meniru Muhammad tidak wajib, karena
itu bukan bentuk hukumnya. Selain itu, berbagai macampenemuan dan teknologi membutuhkan
penilaian yang cukup cepat terhadap kebutuhanpemahaman hadis Nabi. Interaksi antar budaya
yang berkembang dengan ajaran islam yangb ersumber dari teks, kemudian berhadapan dengan
fakta yang lebih berat dan tentu rumit.

Untuk menjawab hal tersebut, al-Dahlawi menawarkan pemahamannya tentang konsep


hadis dengan klasifikasih sunnah tabligh risalahdan sunnah tabligh ghairu risalah dengan
kriterianya masing-masing. Dalam makalah ini akan dipaparkan pemahaman hadis menurut al-
Dahlawi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Al-Dahlawi?
2. Bagaimana metode pemahaman hadis Al-Dahlawi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mendeskripsikan biografi Al-Dahlawi.
2. Untuk mendeskripsikan metode pemahaman hadis Al-Dahlawi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Al Dahlawi

Nama lengkapnya adalah Syah Al-Islam Qutb Al-Din Ahmad Waliyullah Bin „Abd Al-
Rahim Bin Wajihudin Bin Mu‟azam Bin Ahmad Bin Muhamad Bin Qawam Al-Din Al-„Umari
Al-Dahlawi. Beliau dilahirkan pada hari rabu tanggal 14 syawwal tahun 1114 H dikota kecil
daerah Delhi yang bernama Phulat. Al-Dahlawi wafat pada bulan muharram tahun 1176H tepat
diusia beliau 62 tahun dikota Delhi dan beliau dimakamkan disamping orang tuanya.1

Dilihat dari segi namanya yang menggunakan gelar Syah menunjukkan ia dari keluarga
terhormat. Ayahnya adalah Syah Abd ar-Rahim seorang sufi dan ulama besar pada zamannya.
Ayahnya adalah seorang murid terkemuka dari seorang ulama besar, Mirza Muhammad Zahid
al-Harawi (w. 1111 H). Kebesaran ayahnya itu dibuktikan dengan dimasukkannya sebagai team
penyusun Fatawa „Alamgiri atau yang dikenal dengan Fatawa Hindiyah, sebuah kodifikasi fiqh
(Mazhab Hanafi) yang dibuat atas perintah Raja Aurangzeb Bahadur Alamgir (w. 1118 H).

Beliau menikah berusia 14 tahun kemudian ayahnya membaiatnya dan beliau disibukkan
dengan kesibukan Syah-Syah Naqshabandiyah, sebab orang tuanya termasuk pemimpin lokal
tarekat Naqshabandiyah. Pada tahun 1131 H, bertepatan dengan usianya yang belum genap 17
tahun, ayahnya meninggal dunia. Meskipun masih muda, beliau tetap bersemangat untuk
meneruskan perjuangan ayahnya mengajar madasrasah Rahimiyah dan menjadi mursyid. 2

Dengan dibekali ilmu oleh ayahnya, Syah Waliyullah al-Dahlawi tumbuh sebagai
seorang yang mampu mengajari semua aspek ajaran Islam. Dapat di golongkan dalam studi tiga
tahapan. Tahapan pertama, al-dahlawi tidak lebih dari umur 7 tahun beliau sudah hafal Alquran
seluruhnya. Tahap kedua, beliau belajar kepada orang tua nya ilmu pengetahuan di masanya

1 Ahmad Syah Waliyullah ibn Abdurrahim al-Dahlawi, Hujjat Allah al-Balighah, (Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyyah, t.t), hlm. 12.
2 Fatichatus Sa‟dyah, Tesis: Pemikiran Hadis Shah Waliyullah Al-Dahlawi tentang Metode Pemahaman Hadis,
(Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2018).
seperti ilmu fiqih, ahlak, tasawuf, matematika, filsafat, kedokteran dan ilmu pengetahuan yang
lainnya. Dihatamkan ketika umur 15 tahun. Tahap ketiga, Syah Waliyullah al-Dahlawi pergi ke
Hijaz pada tahun 1143 H dan kembali ke Indian 1145 H. Selama dua tahun itu Ia berguru pada
ulama dan mashayih di Harramayn belajar Hadis dan ilmu-ilmu lainnya.Dalam perjalanannya,
beliau ditemani oleh paman dari ibunya yakni Syah Muhammad al-Barihawi al-Falti. di antara
karya-karya Syah waliyullah al-Dahlawi adalah11:

Dalam bidang Alquran:

1. Fath al-Rahman fi Tarjamah Alquran berbahasa Persia dan telah dicetak.


2. Muqaddimah fi Qawanin al-Tarjamah berbahasa Persia dan telah dicetak. Kitab ini
merupakan catatan kecil tentang dasar-dasar penerjemahan Alquran.
3. Al-Fawz al-Kabir fi Usul al-Tafsir berbahasa Persia dan telah dicetak. Kitab ini
merupakan catatan penting dalam sarah pembahasan tafsir.
4. Fath al-Khabir bima la Budda min Hifzih fi „Ilm al-Tafsir berbahasa Arab dan telah
dicetak.
5. Ta‟wil al-Ahadith fi Rumuz Qasas al-Anbiya‟ berbahasa Arab dan telah dicetak. Kitab
ini merupakan catatan dalam penjelasan cerita Nabi-Nabi.

Dalam bidang hadis:

1. Arba‟un Hadithan Musalsalah bi al-Ashraf fi Ghalib Sanadiha berbahasa Arab dan telah
dicetak.
2. Al-Durr al-Thamin fi Mubasharat al-Nabi al-Amin berbahasa Arab dan telah dicetak.
3. Al-Nawadir min al-Ahadith Sayyid al-Awa‟il wa al-Awakhir berbahasa Arab dan telah
dicetak.
4. Al-Maswa fi Ahadith al-Muwatta‟ berbahasa Arab dan telah dicetak. Kitab ini
merupakan syarah dari kitab Muwatta‟ karya Imam Malik.
5. Al-Musaffa fi Ahadith al-Muwatta‟ berbahasa Persia dan telah dicetak.
6. Sharh Tarajim Sahih al-Bukhari berbahasa Arab dan telah dicetak
7. Al-Irshad fi Muhimmat „Ilm al-Isnad berbahasa Arab dan telah dicetak.

B. Metode Pemahaman Hadis Al-Dahlawi


Segala sesuatu butuh cara untuk mengetahui maksud tertentu, begitupula dengan hadis
Nabi, butuh metode pemahaman agar hadis itu mampu diketahui, dimengerti, dipahami,
kemudian diamalkan. Di dalam kamus bahasa Indonesia, metode adalah cara yang teratur
berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan tersebut);
cara kerja yang teratur dan bersistem untuk dapat melaksanakan suatu kegiatan dengan mudah
guna mencapai maksud yang ditentukan. Metodologi juga berasal dari kata “method” yang
berarti cara atau tekhnik, metode juga diartikan sebagai cara teratur yang digunakan untuk
melaksanakan pekerjaan agar tercapai tujuan sesuai yang dikehendaki.

Pemahaman berasal dari kata paham yang berarti pengertian, pendapat atau pikiran, aliran
atau haluan pandangan, mengerti benar atau tahu benar, pandai dan mengerti benar (tentang
suatu hal). Sementara pemahaman adalah proses, cara perbuatan memahami atau memahamkan.
Jadi, metode pemahaman hadis adalah cara yang ditempuh sesorang untuk memahami hadis.
Menurut Syah Waliyullah al-Dahlawi ada dua macam ilmu yang berasal dari Nabi saw.
Keduanya telah dicatat dalam buku-buku hadis. Pertama adalah ilmu Nabi yang meliputi
berbagai hal yang menjadi perangkat untuk menyebarkan risalahnya. Menurut al-Dahlawi setiap
hadis yang diriwayatkan oleh Nabi dan dikodifikasikan dalam kitab-kitab hadis terdapat dua
macam, yaitu:

1. Pemahaman Hadis Sunnah Risalah (Tabligh Risalah)

Hadis sunnah risalah adalah hadis yang disampaikan jalan risalah (ma sabiluhu sabilu
tabligh al risalah). Hadis ini muncul dari diri Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah dan
harus ditaati, karena bisa dikatakan bahwa apa yang diterima Nabi Muhammad pada kedudukan
tersebut merupakan wahyu atau ijtihad Nabi Muhammad dengan bimbingan wahyu3. Dasar yang
dipakai dalam hal ini adalah QS. Al-Hasyr ayat 7:
۟ ‫سى ُل فَ ُخذُوهُ َو َها نَ َه ٰى ُك ْن َع ْنوُ فَٲنت َ ُه‬
. . . ۚ ‫ىا‬ َّ ‫ َو َها ٓ َءات َٰى ُك ُن‬. . .
ُ ‫ٱلز‬
“. . . Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah. . .”

3 Ahmad Syah Waliyullah ibn Abdurrahim al-Dahlawi, Hujjat Allah al-Balighah, (Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyyah, t.t), hlm. 241.
Menurut al- Dahlawi jenis hadis yang termasuk kategori hadis sunnah risalah adalah
sebagai berikut: pertama, ilmu-ilmu tentang hari akhirat dan keajaiban-keajaiban realitas
malaikat yang semuanya berdasar atas wahyu dari Allah. Kedua, aturan-aturan tentang syariat,
batasan-batasan ibadah, dan masalah-masalah irtifaqat (muamalah sesama manusia). Sebagian
dari hal tersebut merupakan hasil wahyu yang diberikan oleh Allah. Sementara sebagian yang
lainnya merupakan hasil ijtihad Nabi Muhammad yang setingkat dengan wahyu, sebab Allah
melindungi Nabi Muhammad dari pemikiran yang salah. Ketiga, yaitu kebijakan-kebijakan
praktis (hikam al-mursalah) dan kemaslahatan mutlak yang Nabi Muhammad tidak
menetapkannya untuk waktu tertentu dan tidak pula menentukan batasannya, seperti contohnya
penjelasan Nabi tentang yang baik dan buruk. Hal tersebut termasuk ijtihad Nabi, akan tetapi
Allah sebelumnya telah memberikan prinsip-prinsip irtifaqat atau bisa dikatakan berdasarkan
bimbingan wahyu. Keempat, yaitu keutamaan-keutamaan perbuatan dan sifat-sifat istimewa dari
orang yang berbuat kebaikan. Sebagaian dari hal ini berdasar dari wahyu dan sebagian yang yang
lainnya berdasar dari ijtihad Nabi. 4 Contoh penjelasan hadis tentang disyariatkannya puasa.
Menurut al-Dahlawi, puasa disyariatkan untuk menundukan hawa nafsu. Dengan kutipan hadis
Nabi ‫فإن الصىم لو وجاء‬. Hal ini berbeda dengan penjelasan-penjelasan pada umumnya.Biasanya
hanya dikatakan bahwa puasa adalah upaya seorang hamba untuk menunaikan kewajiban
terhadap Tuhan-Nya. Diantara contohnya yang lain adalah ketika al-Dahlawi mengutip beberapa
hadis dan memberikan penjelasan dibawah ini5:
‫ رحن هللا رجال هسحا إذا ابع و إذا اشزتي و إذا اقتضي‬:‫قال صلّي هللا عليى وسلن‬
“Nabi SAW bersabda: Allah SWT merahmati lelaki yang memudahkan ketika menjual dan
membeli dan juga orang yang meminta haknya.”
Setelah hadis tersebut al-Dahlawi memberikan penjelasan bahwa kedermawanan adalah pokok
dari akhlak yang dapat menjernihkan jiwa dan melepaskan dari kesalahan-kesalahan, dan dengan
itu pula terbangun sifat tolong-menolong sesama manusia. Transaksi jual beli dsn permintaan
akan menjadi prasangka dari kedermawanan. Oleh karena itu, Nabi mensunnahkan sikap
tersebut6. Selanjutnya penjelasan al-Dahlawi dalam hadis lain:

4 Ahmad Syah Waliyullah ibn Abdurrahim al-Dahlawi, Hujjat Allah al-Balighah, (Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyyah, t.t), hlm. 142-143.
5 Fatichatus Sa‟dyah, Tesis: Pemikiran Hadis Shah Waliyullah Al-Dahlawi tentang Metode Pemahaman Hadis,
(Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2018), hlm. 85-88.
6 Ahmad Syah Waliyullah ibn Abdurrahim al-Dahlawi, Hujjatullah al-Balighah, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyyah, t.t), hlm. 28.
‫هن تىضأ فأحسن الىضىء خزجت خطاايو حىت ختزج هن أظفاره‬
“Barang siapa yang berwudhu, dan menyempurnakan wudhunya, maka kesalahan-kesalahannya
keluar dari tubuhnya sampai ujung-ujung kukunya.”
Dalam menjelaskan hadis tetntang keutamaan amal tersebut, al-Dahlawi mengatakan bahwa
kebersihan memberikan pengaruh pada jiwa, dapat menyucikan jiwa sehingga diikuti oleh
malaikat, dapat melupakan keadaan-keadaan yang kotor. Oleh karena itu, kekhususan-
kekhususan yang terdapat dalam kebersihan ini merupakan kekhususan dalam berwudhu, dimana
wudhu merupakan salah satu tanda kebersihan7.

2. Pemahaman Hadis Sunnah Ghairu Risalah ( Ghairu Tabligh Risalah)8


Hadis ghairu tasyri‟iyyah, yaitu hadis yang tidak termasuk dalam jalan penyampaian
risalah (ma laisa min babtabligh al-risâlah). Tabligh al-risalah merupakan hadis atau sunnah
Nabi yang substansinya berkaitan dengan perintah dalam ajaran Islam. Sedangkan ghairu tabligh
al-risalah adalah hadis atau sunnah Nabi yang tidak berkaitan dengan perintah ajaran agama
Islam. Jika Muhammad berada dalam posisi ini, maka tidak wajib ditaati, sebab kapasitasnya
adalah sebagai manusia biasa.

Menurut al-Dahlawi, yang termasuk dalam kategori ghairu tasyri’iyyah atau ma laisa
min bab tabligh al-risalah ini adalah: pertama, ilmu-ilmu tentang pengobatan (medis).
Rasulullah Saw melalui sabdanya mengatakan bahwa obat penyakit ini adalah itu dan obat
penyakit ini adalah ini, padahal Rasulullah Saw bukanlah diutus sebagai tabib atau dokter yang
tugasnya menyembuhkan penyakit fisik atau mengajarkan dunia pengobatan, melainkan sebagai
seorang Nabi yang membawa risalah. Kalaupun beliau pernah berkata tentang masalah
pengobatan, maka bukan bagian dari hukum dan risalah, tetapi sebagai bagian dari sisi
kemanusiaan beliau. Karena itu,berobat dengan apa yang pernah disebutkan Nabi tidak
berkonsekuensi hukum wajib. Seringkali kita mendapatkan Rasulullah mengatakan tentang suatu
obat, maka seolah-olah penggunaannya menjadi bagian dari syariat Islam. Padahal ketika itu
perkataan Muhammad bukanlah sebagai seorang Nabi yang mengajarkan pensyariatan
obatobatan itu, tetapi lebih sebagai seorang yang hidup di suatu masa dan wilayah tertentu, dan

7 Ahmad Syah Waliyullah ibn Abdurrahim al-Dahlawi, Hujjatullah al-Balighah, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyyah, t.t), hlm.295.
8 Johar Arifin dan M. Ridwan Hasbi, Klasifikasi Sunnah Tasyti’yah dan Ghairu Tasyri’iyah Perspektif Pemikiran
Ahmad Syah Waliyullah Al-Dahlawi, Jurnal An-Nida, Vol. 43, No. 1, 2019, hlm. 30-35.
sebagai bagian dari masyarakat yang punya pergaulan luas, wajar kalau beliau memiliki
pengetahuan yang banyak termasuk dalam masalah obat-obatan.

Contoh pemahaman hadis ghairu tasyriyah adalah hadis-hadis berikut ini:

Ketika beliau menyebutkan bekam, kayu india, jintan hitam atau celak dari itsmid, beliau
tidak mengatakan hal itu sebagai bagian dari syariat Islam, sehingga bila seseorang tidak
menggunakannya tidak berdampak pada dosa atau kemaksiatan. Kedua, ilmu-ilmu yang
didapatkan melalui pengalaman. Hal ini seperti pesan yang tercakup dalam hadis “lebih baik jika
kalian terdorong untuk memperoleh untuk jihad seekor kuda hitam yang punya cahaya keputih-
putihan di dahinya.” Begitu juga dengan anak panah yang dilepaskan saat peperangan, meskipun
hadisnya menyebutkan bahwa “siapa yang melepaskan anak panah di medan perang, maka dia
akan mendapat ini dan ini.” Padahal intinya adalah ikut beperang dan bukan pada penggunaan
anak panahnya. Di zaman sekarang ini, senjata yang kita gunakan bukan lagi anak panah, tetapi
senapan otomatis, pelontar granat atau roket. Begitu juga denga kayu ara‟ yang sering digunakan
untuk bersiwak (menggosok gigi), bukan pada kayunya, namun pada menggosok giginya. Bahwa
kayu ara‟ itu punya khasiat ini dan itu, silahkan saja. Tetapi Islam tidak pernah menetapkan
bahwa siwak yang menggunakan kayu ara‟ saja yang disunnahkan. Kayu ara‟ adalah alat untuk
bersiwak yang dikenal di masa itu. Ketiga, berbagai topik yang biasa Nabi bicarakan layaknya
pembicaraan orang kebanyakan. Keempat, segala hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan
yang sifatnya juz‟iyyah (temporal) dan bukan sebagai kebijakan yang berlaku selamanya bagi
seluruh umat, seperti hadis tentang ramal. Kelima, segala hal yang berkaitan dengan adat
kebiasaan Nabi dan bukan masalah ibadah (ritual keagamaan), misalnya cara tidur Nabi, cara
berjalan, cara berpakaian, dan lain-lain. contohnya adalah hadis tentang jenggot. Jenggot
hanyalah kebiasaan yang terjadi di kalangan orang Arab, walaupun ada teks hadisnya.
Memelihara jenggot tidaklah wajib, walaupun Nabi membiarkan jenggot, karena jenggot
merupakan bagian dari tradisi Arab ketika itu.Walaupun sunnah tersebut adalah sunnah ghairu
tasyri‟iyyahyang menurut al-Dahlawi dan beberapa ulama yang pro klaim sunnah ghairu
tasyri‟iyyah bahwa sunnah jenis ini tidak memiliki otoritas dalam syariat sehingga tidak
berkaitan dengan pahala dan dosa, tetapi kalau sunnah ini diamalkan semata-mata untuk taqlid
kepada Rasulullah Saw dengan tidak membebani diri, maka itu akan terhitung sebagai ibadah
karena telah dianggap mengikuti Rasulullah Saw. Misal yang lain, dalam salah satu kasus yang
dianggap ghairutasyri‟iyyah, Rasululah senantiasa mendahulukan kaki kanan untuk masuk ke
Masjid ataupun ke rumah beliau, makan dengan tangan kanan, mendahulukan kaki kiri ketika
hendak masuk ke kamar mandi, lebih senang menggunakan pakaian berwarna putih, tidak
menyukai makanan yang berbau menyengat seperti bawang putih, mengenakkan gamis, dan lain
sebagainya. Terkadang juga sebuah hadis yang dianggap ghairu tasyri‟iyyah adalah upaya Nabi
untuk membedakan umat Islam dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Misalnya hadis yang
memerintahkan untuk menyisir rambut menjadi belah dua. Itu adalah reaksi Nabi ketika melihat
bahwa kaum Yahudi sering menyisir rambut mereka ke depan dan kaum Nashrani menyisir
rambut mereka lebih condong ke arah kanan. Kemudian beliau bersabda “Khallifuhum fi
umurihim” (berbedalah kalian dengan mereka pada seluruh aspek kehidupan mereka).
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Menurut al-Dahlawi setiap hadist yang diriwayatkan oleh Nabi dan dikodifikasikan dalam
kitab-kitab hadist terdapat dua macam : Pertama tabligh risalah yakni hadist yang ada dan harus
disampaikan dan diikuti oleh umat-Nya. Pembagian ini berdasarkan surah al-Hasr ayat 7. Secara
garis besar, hal-hal yang tercakup dalam tabligh risalah menurut al-Dahlawi antara lain adalah
segala syariat ,hikam mursalah (kebijakan-kebijakan praktis) atau yang berkaitan dengan akhlak
dan hadist-hadist yang berkaitan dengan fada’il a’mal (keutamaan-keutamaan mengerjakan suatu
amalan). Semua hadist yang berkaitan dengan beberapa unsur tersebut merupakan tabligh ar-
Risalah. Kedua, yang tidak termasuk urusan penyebaran risalah (ghayr tabligh risalah),yang
didasarkan kepada kepada sifat kemanusiaan,baik pengalaman,tradisi dan maslahat parsial yang
kadang-kadang mengalami kesalahan dan kurang tepat, sesuai dengan sabda Nabi SAW. “Aku
hanya manusia biasa. Jika aku memerintahkan kalian dalam hal yang berkaitan dengan
agama,maka ambillah dan laksanakan. Akan tetapi,jika aku memerintahkan kalian dalam urusan
menurut pendapatku sendiri, maka sesunguhnya aku hanya manusia biasa.”
DAFTAR PUSTAKA

al-Dahlawi, Ahmad Syah Waliyullah ibn Abdurrahim. Tt. Hujjatullah al-Balighah. Juz I.
(Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah)
Arifin, Johar dan M. Ridwan Hasbi. 2019. Klasifikasi Sunnah Tasyti’yah dan Ghairu Tasyri’iyah
Perspektif Pemikiran Ahmad Syah Waliyullah Al-Dahlawi. Jurnal An-Nida. Vol. 43. No.
1.
Sa‟dyah, Fatichatus. 2018 Tesis: Pemikiran Hadis Shah Waliyullah Al-Dahlawi tentang Metode
Pemahaman Hadis. (Surabaya: UIN Sunan Ampel).

Anda mungkin juga menyukai