CABANG-CABANGNYA
Bab 1
Pendahuluan
MANUSIA dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber dari
pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini
merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam
agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat
otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah Alquran dan Hadis Rasulullah SAW.
Allah telah menganugerahkan kepada umat kita para pendahulu yang selalu menjaga Alquran
dan hadis Nabi SAW. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian
di antara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Alquran dan ilmunya yaitu para mufassir.
Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadis Nabi dan ilmunya, mereka
adalah para ahli hadis.
Salah satu bentuk nyata para ahli hadis ialah dengan lahirnya istilah Ulumul Hadis(Ilmu Hadis)
yang merupakan salah satu bidang ilmu yang penting di dalam Islam, terutama dalam mengenal
dan memahami hadis-hadis Nabi SAW. Karena hadis merupakan sumber ajaran dan hukum Islam
kedua setelah dan berdampingan dengan Alquran. Namun begitu perlu disadari bahwa hadis-
hadis yang dapat dijadikan pedoman dalam perumusan hukum dan pelaksanaan ibadah serta
sebagai sumber ajaran Islam adalah hadis-hadis yang Maqbul (yang diterima), yaitu hadis sahih
dan hadis hasan. Selain hadis maqbul, terdapat pula hadis Mardud, yaitu hadis yang ditolak serta
tidak sah penggunaannya sebagai dalil hukum atau sumber ajaran Islam. Bahkan bukan tak
mungkin jumlah hadis mardud jauh lebih banyak jumlahnya daripada hadis yang maqbul.
Untuk itulah umat Islam harus selalu waspada dalam menerima dan mengamalkan ajaran yang
bersumber dari sebuah hadis. Artinya, sebelum meyakini kebenaran sebuah hadis, perlu dikaji
dan diteliti keotentikannya sehingga tidak terjerumus kepada kesia-siaan. Adapun salah satu cara
untuk membedakan antara hadis yang diterima dengan yang ditolak adalah dengan mempelajari
dan memahami Ulumul Hadis yang memuat segala permasalahan yang berkaitan dengan hadis.
Bahasan masalah
Pengertian ulumul hadis
Sejarah perkembangan ilmu hadis
Bab 2
Pembahasan
Pengertian Ulumul Hadis
Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadis yang
mengandung dua kata, yaitu ulum dan al-Hadis. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk
jamak dari ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung
beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak.
Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik
berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau
sesudahnya. Sedangkan menurut ahli ushul fiqh, hadis adalah: perkataan, perbuatan, dan
penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian. Adapun sebelum
kenabian tidak dianggap sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan
apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi
setelah kenabian. Adapun gabungan kata ulum dan al-Hadis ini melahirkan istilah yang
selanjutnya dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadis yang memiliki pengertian
ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW.
Pada mulanya, ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri
sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya, sepertiIlmu al-Hadis al-
Sahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadis
secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibn
Main (234H/848M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Saad (230H/844) menulis Al
Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-Ilal dan Al-Nasikh wal Mansukh, serta
banyak lagi yang lainnya.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadis, karena
masing-masing membicarakan tentang Hadis dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa
berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya
dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah
digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis,
sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis setelah
keadaannya menjadi satu adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis,
karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu
yang terpisah) menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus yang nama lainnya
adalahMusthalahul Hadis.1
1
http://istanailmu.com/2011/02/15/pengertian-dan-sejarah-ilmu-hadis/html
karena itu bagian dari eksistensinya, dan hidup umat ini tiada berarti tanpa dengan agama. Oleh
karenanya Allah mewajibkan dalam agama untuk mengikuti dan menaati Rasul-Nya, menjalani
semua apa yang dibawa beliau, dan meneladani kehidupannya.
Kedua : Dorongan Sejarah
Dalam sejarah, umat manusia banyak dihadapkan pada pertentangan dan halangan sehingga
mendorong untuk menjaga warisan mereka dari penyusupan yang menyebabkan terjadinya fitnah
dan saling bermusuhan serta tipu muslihat.
Dan umat Islam yang telah merobohkan pilar kemusyrikan, dan mendobrak benteng Romawi dan
Persia, menghadapi musuh-musuh bebuyutan, tahu benar bahwa kekuatan umat ini terletak pada
kekuatan agamanya, dan tidak dapat dihancurkan kecuali dari agama itu sendiri, dan salah satu
jalannya adalah pemalsuan terhadap hadis. Dari sini, kaum muslimin mendapat dorongan yang
kuat untuk meneliti dan menyelidiki periwayatan hadis, dan mengikuti aturan-aturan periwayatan
yang benar, agar mereka dapat menjaga warisan yang agung ini dari penyelewengan dan
penyusupan terhadapnya sehingga tetap bersih, tidak dikotori oleh aib maupun oleh keraguan.
Dan di antara aturan-aturan yang diberlakukan pada masa sahabat adalah:
1- Mengurangi periwayatan hadis .
Mereka khawatir dengan banyaknya riwayat akan tergelincir pada kesalahan dan kelalaian, dan
menyebabkan kebohongan terhadap Rasul SAW. Selain itu mereka juga khawatir dengan
memperbanyak periwayatan akan menyibukkan umat Islam terhadap as-Sunnah dan
mengabaikan Al-Quran
2- Ketelitian dalam periwayatan.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima hadis tanpa adanya perawi yang benar-benar
dapat dipercaya, karena mereka sangat takut terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadis Nabi
SAW.
3- Kritik terhadap riwayat.
Adapun bentuk kritik terhadap riwayat adalah dengan cara memaparkan dan membandingkan
riwayat dengan Al-Quran, jika bertentangan maka mereka tinggalkan dan tidak
mengamalkannya.
Ketelitian dan sikap hati-hati para Sahabat Nabi SAW tersebut diikuti pula oleh para ulama yang
datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah munculnya
hadis-hadis palsu, yakni sekitar tahun 41 H setelah masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi
Thalib r.a. Semenjak itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad Hadis dengan
mempraktikkan ilmu al-jarah wa al-tadil, dan sekaligus mulai pulalah ilmu ini tumbuh dan
berkembang.
Setelah munculnya kegiatan pemalsuan hadis dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,
maka beberapa aktivitas tertentu dilakukan oleh para Ulama Hadis dalam rangka memelihara
kemurnian hadis, yaitu seperti:
a) melakukan pembahasan terhadap sanad hadis serta penelitian terhadap keadaan setiap para
perawi hadis, hal yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan;
b) melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber hadis agar dapat mendengar langsung
dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut melaluinya;
c) melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang
lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dhaif-an atau kepalsuan suatu
hadis.
Demikianlah kegiatan para ulama hadis di abad pertama Hijrah yang telah memperlihatkan
pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Hadis. Bahkan pada akhir abad pertama itu telah terdapat
beberapa klasifikasi hadis, yaitu: Hadis Marfu, Hadis Mawquf, Hadis Muttashil, dan Hadis
Mursal. Dari macam-macam hadis tersebut, juga telah dibedakan antara hadis maqbul, yang pada
masa berikutnya disebut dengan hadis shahih dan hadis hasan, serta hadis mardud yang
kemudian dikenal dengan hadis dhaif dengan berbagai macamnya.
Pada abad kedua Hijrah, ketika hadis telah dibukukan secara resmi atas prakarsa Khalifah Umar
bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri, para ulama yang
bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadis tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan
Ilmu Hadis yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka. Mereka memperhayikan
ketentuan-ketentuan hadis shahih, demikian juga keadaan para perawinya. Hal ini dilakukan
lantaran semakin banyaknya para penghafal hadis yang telah wafat.
Pada abad ketiga Hijrah yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan
Hadis, mulailah ketentuan dan perumusan kaidah-kaidah Hadis ditulis dan dibukukan, namun
masih bersifat parsial.Yahya ibn Main (w. 234H/848M) menulis tentang Tarikh ar-Rijal,
Muhammad ibn Saad (w. 230H/844M) menulis Al-Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M)
menulis Al-Ilal, dan lain-lain.
Pada abad keempat dan kelima hijrah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas
tentang Ilmu Hadis yang bersifat komprehensif. Selanjutnya, pada abad setelah itu mulailah
bermunculan karya-karya di bidang Ilmu Hadis ini yang sampai saat ini masih menjadi referensi
utama dalam membicarakan ilmu hadis. Adapun ulama yang pertama kali menyusun kitab dalam
bidang ini adalah al Qadhi Abu Muhammad al Hasan bin Abdurrahman bin Chalad ar
Ramaharmuzi (wafat pada tahun 360 H), kitabnya Al Muhaddits al Fashil Baina al Rawi wa al
Wai. (oleh: Indra L Muda) 2
CABANG-CABANG ILMU HADITS
Para Ulama Hadis telah membagi Ilmu Hadis kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan
Ilmu Hadis Dirayah, yaitu:
2
http://istanailmu.com/2011/02/15/pengertian-dan-sejarah-ilmu-hadis/html
1. cara periwayatan hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara
penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lain.
2. cara pemeliharaan hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.
Hakikat Riwayat, yaitu kegiatan periwayatan hadis dan penyandarannya kepada orang
yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdis, yaitu perkataan seorang perawi,
haddasana fulan (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau ikhbar, seperti
perkataan: akhbarana fulan (telah mengabarkan kepada kami si Fulan).
Syarat-Syarat Riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya
dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul
al-Hadis), seperti sama (perawi mendengar langsung bacaan hadis dari seorang
guru), qiraah (murid membacakan catatan hadis dari gurunya dihadapan guru
tersebut), ijazah (member izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu hadis dari
seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya),munawalah (menyerahkan suatu hadis yang
tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan hadis untuk
seseorang), Ilam (member tahu seseorang bahwah hadis-hadis tertentu adalah
koleksinya), washiyyat(mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dimilikinya),
dan wajadah(mendapatkan koleksi tertentu tentang hadis dari seorang guru.
Macam-macam Riwayat, yaitu seperti periwayatan muttsahil (periwayatan yang
bersambung mulai dari perawi pertama sampai kepada perawi terakhir,ataumunqathi
(periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, atau di akhir, dan lainnya.
Hukum Riwayat, yakni al-qabul (diterimannya suatu riwayat karena telah memenuhi
persyaratan tertentu, dan al-radd (ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak
terpenuhi.
Keadaan para Perawi, maksudnya adalah keadaan mereka dari segi keadilan mereka
(al-adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh).
Syarat-syarat Mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika
menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan
riwayat (syarat pada al-add).
Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan hadis di dalam kitab al-
musnad, al-mujam, atau al-ajza dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun
hadis-hadis Nabi SAW.
1. segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad hadis
haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang
menuliskan atau membukukan hadis tersebut. Oleh karenanya tidak dibenarkan suatu
rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau
tersamar;
2. segi keterpercayaan sanad (siqat al-sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang terdapat di
dalam sanad suatu hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan
atau dokumentasi hadisnya);
3. segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz);
4. segi keselamatannya dari cacat (illat); dan
5. tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.3
3
http://syahrulhsb.wordpress.com/pendidikan/
Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu
Hadits Riwayah dan Dirayah ialah:
dan yang sudah dipahami karena jarang dipakai, sehingga ilmu ini akan membantu dalam
memahami hadits tersebut.
f. Ilmu Nasikh wal Mansukh
Adalah ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan menasikhkannya.
Apabila didapati sesuatu hadits yang maqbul tak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut
muhkam. Dan jika dilawan oleh hadits yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan dengan tidak
sukar maka hadits itu dinamai muhtaliful hadits.
Jika tidak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu
dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh.
g. Ilmu Talfiqil hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antar hadits yang berlawanan lahirnya.
Dikumpulkan itu ada kalanya dengan mentahsikhkan yang amm, atau mentaqyidkan yang
mutlak, atau dengan memandang banyak kali terjadi.
h. Ilmu Tashif wat Tahrif
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai
mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
i. Ilmu Asbabi Wurudil Hadits
Yaitu ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan waktu
beliau menuturkan itu.
Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits dalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab
timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan
menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.
Disamping itu, ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara
komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih
dahulu di antara dua hadits yang Pertentangan. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa
ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-
456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-
Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Tarif Fi Asbab Wurud
Al- hadits Al-Syarif.
j. Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits
Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya bertentangan
atau ilmu yang menerangkan tawil hadits yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan
hadits lain.
Oleh sebagaian ulama dinamakan dengan Mukhtalaf Al-Hadits atau Musykil Al-Hadits, atau
semisal dengan itu. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan
fiqih .4
4
http://myant2526.blogspot.com/2010/05/blog-post.html
kesimpulan
dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian dari ilmu hadis atau ulumul hadis
adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat,
atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.
adapun sejarah perkembangan ilmu hadis terjadi sejak dimulainya periwayatan hadis di dalam
Islam, terutama setelah Rasul SAW wafat,sejak abad pertama hingga kelima hijriah dan yang
mendasari lahir dan berkembangnya Ilmu Hadis terdiri dari 2 (dua) hal pokok, yaitu adanya:
(1) dorongan agama, dan (2) dorongan sejarah.
Adapun cabang ilmu hadis dibagi menjadi 2, yaitu:
Ilmu Dirayatul Hadits dan Ilmu Riwayatul Hadits
Dan Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah terdiri dari 10
cabang,yaitu:
Ilmu Rijalul Hadits, Ilmu Jarhi wat Tadil, Ilmu Fannil Mubhammat, Ilmu Ilalil Hadits, Ilmu
Ghoriebil Hadits, Ilmu Nasikh wal Mansukh, Ilmu Talfiqil hadits, Ilmu Tashif wat Tahrif, Ilmu
Asbabi Wurudil Hadits, Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits
saran
saran kami untuk para pembaca agar dapat mengambil intisari atau kesimpulan dari makalah
ini.dan kami sebagai penyusun makalah ini mengharapkan kritik dan saran,karena kami hanyalah
manusia yang tak luput dari kesalahan.
daftar pustaka
1
http://istanailmu.com/2011/02/15/pengertian-dan-sejarah-ilmu-hadis/html
2
http://istanailmu.com/2011/02/15/pengertian-dan-sejarah-ilmu-hadis/html
3
http://syahrulhsb.wordpress.com/pendidikan/
4
http://myant2526.blogspot.com/2010/05/blog-post.html
BAB I
PENDAHULUAN
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
a. Ulumul Hadis adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadis Nabi SAW.
b. Ilmu Hadis Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan,
dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW. Objek kajiannya adalah Hadis Nabi SAW dari
segi periwayatan dan pemeliharaannya.
c. Ilmu Hadis Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang kumpulan kaidah-kaidah dan
masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi di terima atau di tolaknya.
Rawi adalah orang yang menyampaikan Hadis dari satu orang kepada yang lainnya; Marwi
adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW atau kepada Sahabat dan Tabi`in. Ilmu Hadis Dirayah inilah yang selanjutnya disebut
dengan Ulumul Hadis.
d. Cabang-cabang Ulumul Hadis diantaranya adalah:
Ilmu Rijal al-Hadis
Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Ilmu Fannil Mubhamat
Ilmu Mukhtalif al-Hadis
Ilmu `Ilalil Hadits
Ilmu Gharibul-Hadits
Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
e. Ada banyak Ulama` yang mengarang kitab tentang masing-masing cabang dari cabang-cabang
Ulumul Hadis.
3.2 SARAN
Untuk mengetahui informasi tentang sebuah Hadis baik dari segi sanad maupun matannya maka
perlu di ketahui terlebih dahulu ilmu-ilmu yang mempelajari tentang hal tersebut.
Untuk mendapatkan informasi yng sesuai dengan keinginan kita, maka kita harus sesuikan
dengan kitab yang membahas tentang informasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. Dr. Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits,
Pustaka Rizki Putra, Semarang 2005
Muh. Zuhri, Prof. Dr. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Tiara Wacana Yogya
(anggota IKAPI), Yogyakarta 2003
Subhi As-Shalih Dr. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta 2007
Nawir Yuslem, DR. MA, Ulumul Hadis, Mutiara Sumber Widya (angota IKAPI) 2001
"Kecacatan pada perawi hadits karena sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitannya."
Adapun at-ta'dil, yang dari segi bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan), sedangkan menurut
istilah berarti lawan dari al-jarh, yaitu pembersih atau penyucian perawi dan ketetapan bahwa ia
adil atau dabit.*3
3. Ilmu Fannul Mubhamat
Yang dimaksud dengan ilmu ini ialah:
"Ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut didalam sanad."
4. Ilmu Tashhif Wat Tahrif
Ilmu tashhif wat tahrif adalah ilmu ilmu yang berusaha menerangkan hadits-haditas yang sudah
diubah titik atau syakalnya (mushhaf).
"Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (yang dinamai mushahhaf),
dan bentuknya yang dinamai muharraf."
5. Ilmu Ilalil Hadits
Kata Ilal adalah bentuk jama dari kata al-illah yang menurut bahasa berarti "al-marrad (penyakit
atau sakit), menurut ulama muhaddisis, istilah "illlah" berarti sebab yang tersembunyi atau
samar-samar yang berakibat tercemarnya hadits, akan tetrapi yang kelihatan adalah kebaikannya,
yakni tidak terlihat adanya kecacatan.
"Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat merusak
hadits."
Adapun dalam buku Mudasir:
"Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadits,
misalnya mengatakan muttasil terhadap hadits yang munqati, menyebut marfu terhadap hadits
mauquf, memasukkan hadits kedalam hadits lain, dan hal-hal yang seperti itu."
6. Ilmu nasikh Wal Mansukh
Yang dimaksud ilmua an-nasikh wal mansukh disini ialah terbatas sekitar nasikh dan mansukh
pada hadits.
An-naskh menurut istilah menurut pendapat ulama usul ialah "syari" mengangkat (membatalkan)
sesuatu hukum syara dengan menggunakan dallil syary yang datang kemudian. Sedangkan
menurut Endang Soetari ilmu nasikh wal mansukh ialah ilmua yang menerngakan hadits-hadits
yang sudah diamasukkan dan menassakhkannya.
7. Ilmu Gharibil Hadits
Menurut Ibn Salah yang dimaksud dengan gharib al hadits ialah:
"ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafadz-lafadz hadits yang
jauh dan sulit dipahami, karena (lafadz-lafadz tersebut) jarang digunakan."
8. Ilmu Asbab Wurud Al Hadits
Asbab adalah jama dari sabab yang menurut ahli bahasa, asbab diartikan dengan al-habl (tali).
Yaitu yang menurut lisan al-arab berarati saluran, yang artinya adalah segala sesuatu yang
menghubungkan suatu benda dengan benda lainnya. Adapun menurut istilah
"Segala sesuatu yang mengantar pada tujuan."
Menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy ilmu asbab wurud al hadits ialah ilmu yang
menerangkan sebab-sebab nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya nabi menuturkan itu.
9. Ilmu Talfiqil Hadits
Ilmu talfiqil hadits ialah
"Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlainan lahirnya."
10. Ilmu Mushthalah ahli hadits
Ilmu mushthalah ahli hadits ialah:
"Ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli
hadits)."
11. Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Ilmu mukhtalif al-hadits ialah:
"Ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan atau
berlawanan agar pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya
sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami isi dan kandungannya dengan
menghilangkan kemusyikitan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya."
Jadi jelaslah, dari definisi diatas kita dapat menarik beberapa point , yaitu :
Objek Ilmu Hadits Riwayah adalah matan atau isi hadits yang disandarkan kepada Nabi,
Sahabat dan Tabiin.
Ilmu Hadits Riwayah mempelajari periwayatan yang mengakumulasikan apa, siapa dan
dari siapa suatu riwayat.
Fokus kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah Matan Hadits. Namun tidak mungkin ada
matan tanpa disertai Sanad Hadits.
Sedangkan Ilmu Hadits ialah seperangkat kaidah yang mengatur tentang anatomi dan
morfologi hadits. Pengolahan anatomi hadits disebut Ilmu Hadits Riwayah, dan
pengolahan morfologi hadits disebut Ilmu Hadits Dirayah. Dua bidang ilmu itu bergerak
terus, dan berkembang sesuai kebutuhan, untuk menformatisasikan isi hadits Nabi kepada
lokasi atau kepada perkembangan masyarakat.
Ilmu Hadits Riwayah ialah studi hermeneutika atas teks hadits atau informasi tentang
ungkapan isi hadits Nabi dari berbagai segi. Kitab Kuning mengulas masalah ini dengan
sebutan Syarah Hadits, dan Hasyiyah atau Taliqat. Semua berkaitan dengan ilmu kalam,
ilmu fiqh dan atau ilmu lainnya.
Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar
Muhammad bin Syihab az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz)
dan Syam (Suriah). Dalam sejarah perkembangan hadis, az-Zuhri tercatat sebagai ulama pertama
yang menghimpun hadis Nabi SAW atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz atau Khalifah
Umar II (memerintah 99 H/717 M-102 H /720 M).
Meskipun demikian, ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulunah SAW sendiri,
bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para
sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya
mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak
pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW.
Kehadiran hadits sebagai sumber pokok ajaran islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini
berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi boleh atau
tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah. Terlepas dari itu, perbedaan sahabat dalam
memahami hadits pun menjadi hal yang penting untuk ditelaah lebih lanjut, karena perbedaan
pemahaman tersebut mengakibatkan periwayatan pun menjadi berbeda. Hal inilah yang menjadi
salah satu penyebab suatu hadits diperselisihkan oleh para ulama tentang kehujjahannya.
Perbedaan pemahaman hadits yang dilakukan para sahabat antara tekstual dengan kontekstual
melahirkan apa yang disebut dengan Hadits Riwayah Bil-lafdzi dan Hadits Riwayah Bil-
mana.
1. 1. HADITS RIWAYAH BIL-LAFDZI
Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang
mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata
lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz
ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui
perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai berikut:
1. ???? ???? ???? ???? ???? ???? ????? (Saya mendengar Rasulullah saw)
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain, dan
barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat
duduknya di neraka. (HR. Muslim dan lain-lainnya)
2. ?????? ???? ???? ???? ???? ???? ????? (Menceritakan kepadaku Rasulullah saw)
Artinya: Telah bercerita kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi bin Abdur
Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Siapa yang beramadhan
dengan iman dan mengharap pahala, dihapus doasa-dosanya yang telah lalu.
3. ?????? ???? ???? ???? ???? ???? ????? (Mengkhabarkan kepadaku Rasulullah saw)
4. ???? ???? ???? ???? ???? ???? ????? (Saya melihat Rasulullah saw berbuat)
Artinya: Dari Abbas bin Rabi ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium
Hajar Aswad dan ia berkata: Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu
yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat
Rasulullah saw. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat
langsung bertemu dengan Nabi saw dalam meriwayatkan hadits. Oleh karenanya para ulama
menetapkan hadits yang diterima dengan cara itu menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf.
Meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja
sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa
yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para
sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat
tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu
kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa
yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya.
Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketikan hadits-hadits
belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-
kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain
meskipun maknanya tetap.
Adapun contoh hadits manawi adalah sebagai berikut:
1. Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi saw, yang bermaksud menyerahkan
dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya
Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak
memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat
Al-Quran. Maka Nabi saw berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau
kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Al-Quran.
Ilmu Hadits Dirayah, menurut bahasa dirayah berasal dari kata dara-yadri-daryan yang berarti
pengetahuan. Maka seringkali kita mendengar Ilmu Hadits Dirayah Disebut-sebut sebagai
pengetahuan tentang ilmu Hadits atau pengantar ilmu hadits.
Menurut imam Assyuthi, Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat
periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi,
syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Disebut dengan juga ilmu Musthalahul Hadits undang-undang (kaidah-kaidah) untuk
mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan al-Hadits, sifat-sifat
rawi dan lain sebagainya.
Obyek Ilmu Hadits Riwayah : meneliti kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan
matannya). Menurut sebagian ulama, yang menjadi obyeknya ialah Rasulullah SAW sendiri
dalam kedudukannya sebagai Rasul Allah. Faedahnya atau tujuan ilmu ini : untuk menetapkan
maqbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolaknya) suatu hadits dan selanjutnya untuk
diamalkannya yang maqbul dan ditinggalnya yang mardud.
Ulama hadits berbeda dalam memberikan definisi ilmu hadsit dirayah, meskipun dari berbagai
definisi itu ada kemiripan batasab-batasan definisi. Ilmu hadits dirayah adalah pembahasan
masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayahkan, apakah bisa diterima atau
ditolak.
Ibn Akfani berpendapat, ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang dapat mengetahui hakikat
riwayah, syarat-syarat, macam-macam dan hokum-hukumnya, ilmu yang dapat mengetahui
keadaan para rawi, syarat-syarat rawi dan yang diriwayahkannya serta semua yang berkaitan
dengan periwayahannya.
Ulama lain berpendapat, ilmu hadits dirayah adalah ilmu undang-undang yang dapat mengetahui
keadaan sanad dan matan. Definisi ini lebih pendek dari definisi di atas. Sedangkan definisi lain
sebagaimana di sebutkan ibnu hajar, definisi paling baik dari berbagai definisi ilmu hadits
dirayah adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat memperkenalkan keadaan-
keadaan rawi dan yang diriwayahkan.
Berbagai definisi di atas banyak kemiripan, pada dasarnya semua definisi itu sama yakni
pengetahuan tentang rawi dan yang diriwayahkan atau sanad dan matannya baik juga berkaitan
dengan pengetahuan tentang syarat-syarat periwayahan, macam-macamnya atau hukum-
hukumnya.
Istilah lain yang dipakai oleh ulama ahli hadits terhadap ilmu hadits dirayah adalah ilmu ushul
al-hadits. Pada mulanya pembahasan yang menyangkut ilmu hadits dirayah sangat beragam.
Kemudian muncullah beberapa ilmu yang bertalian dengan kajian analisis dan semuanya
terangkum dalam satu nama, yakni ilmu hadits. Munculnya berbagai ilmu tersebut diakibatkan
banyaknya topik tentang hadits dirayah tersebut dengan tujuan dan metodenya berbeda-beda.
Berikut di antara ilmu-ilmu yang bermunculan dari berbagai ragam topik ilmu dirayah;
1. Ilmu Jarah Wa Al-Tadil
Ilmu ini membahas para rawi, sekiranya masalah yang membuat mereka tercela atau bersih
dalam menggunakan lafad-lafad tertentu. Ini adalah buah ilmu tersebut dan merupakan bagian
terbesarnya.
1. Ilmu Tokoh-Tokoh Hadits
Dengan ilmu ini dapat diketahui apakah para rawi layak menjadi perawi atau tidak. Orang yang
pertama di bidang ini adalah al-bukhari (256 H). dalam bukunya thabaqat, ibn saad (230 H)
banyak menjelaskannya.
1. Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits
Iamam Nawawi berkata dalam kitab al-Taqrib, ini adalah salah satu disiplin ilmu dirayah yang
terpentinng. Ilmu ini membahas hadits-hadits yang secara lahiriyah bertentangan, namun ada
kemumkinan dapat diterima dengan syarat. Jelasnya, umpamanya ada dua hadits yang yang
makna lahirnya bertentangan, kemudian dapat diambil jalan tengah, atau salah satunya ada yang
di utamakan.
Misalnya sabda rasulullah SAW, tiada penyakit menular dan sabdanya dalam hadits lain
berbunyi, Larilah dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari singa. Kedua hadits tersebut
sama-sama shahih. Lalu diterapkanlah jalan tengah bahwa sesungguhnya penyakit tersebut tidak
menular dengan sendirinya. Akan tetapi allah SWT menjadikan pergaulan orang yang sakit
dengan yang sehat sebagai sebab penularan penyakit.
Di antara ulama yang menulis tentang ilmu mukhtalaf al-hadits adalah imam syafiI (204 H), Ibn
Qutaibah (276 H), Abu Yahya Zakariya Bin Yahya al-Saji (307 H) dan Ibnu al-Jauzi (598 H).
1. Ilmu Ilal Al-Hadits
Ilmu ini membahas tetentang sebab-sebab tersembunyinya yang dapat merusak keabsahan suatu
hadits. Misalnya memuttasilkan hadits yang mungkati, memarfukan hadits yang maukuf dan
sebagainya. Dengan demikian menjadi nyata betapa pentingnya ilmu ini posisinya dalam disiplin
ilmu hadits.
1. Ilmu Gharib Al-Hadits
ilmu ini membahas tentang kesamaran makna lafad hadits. Karena telah berbaur dengan bahasa
arab pasar. Ulama yang terdahulu menyusun kitab tentang ilmu ini adalah abu hasan al-nadru ibn
syamil al-mazini, wafat pada tahun 203 H.
1. ilmu Nasakh Wa Al-Mansukh Al-Hadits
ilmu nasakh wa al-mansukh al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang
bertentangan yang hukumnya tidak dapat dikompromikan antara yang satu dengan yang
lain.yang dating dahulu disebut mansukh (hadits yang dihapus) dan yang datang kemudian
disebut nasikh (hadits yang menghapus).
Pengetahuan ilmu tentang nasikh mansukh ini merupakan ilmu yang sangat penting untuk dan
wajib dikuasai oleh seorang yang akan mengkaji hokum syariat. Sebab tidak mungkin bagi
seseorang yang akan membahas tentang hokum syarI sementara ia tidak mengenal dan
menguasai ilmu tentang nasikh mansukh.
Al-hazimi berkata: disiplin ilmu ini (nasikh mansukh) termasul kesempurnaan ijtihad. Karena,
rukun yang paling penting dalam beriitihad adalah pengetahuan tentang penulilan hadits, dan
sedangkan faidah dari pengetahuan tentang penikilan adalah pengetahuan tentang nasikh dan
mansukh.
Nasikh adalah yang menghapus atau membatalkan. Kadang-kadang nasikh ini di lakukan oleh
nabi sendiri, seperti, sabdanya, Aku pernah melarang ziarah kubur, lalu sekarang berziarahlah,
karena itu akan mengingattkanmu pada akhirat.
Pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurahman bin
Khalad Ramahumuzi (w.360 H)
Pokok pembahasan ilmu dirayah itu dua, yaitu :
1. rijal al-sanad
2. jarah-tadil.
Dari pembahasan dua ulasan itu muncul penilaian, bahwa suatu matan hadits dinilai shahih, atau
hasan atau dlaif. Kata penilaian seperti itu biasa disebut Mushthalah al-Hadits.
1. 1. Rijal al-Sanad
sering disebut riwayat perawi al-hadits, yaitu untaian informasi tentang sosok perawi yang
menceritakan matan hadits dari satu rawi kepada rawi yang lain, sampai pada penghimpun
hadits. Informasi itu menceritakan setiap rawi, dari segi kapan dia lahir dan wafatnya, siapa
guru-gurunya, kapan tahun belajarnya, siapa murid-murid yang berguru kepadanya, dari daerah
mana dia, kedatangan dia ke seorang guru kapan, dalam keadaan sehat, atau campur aduk kata-
katanya (ikhtilath), atau dalam periwatan hadits terdapat illat (cacad) bagi perawi, atau bagi
matan hadits, dan begitulah seterusnya.
Dari satu segi, persyaratan perawi hadits adalah muslim, aqil-baligh, kesatria (adalah) dan
kuat ingatan (dlabith), baik dlabith imgatan atau dlabit catatan Sedangkan cara penyampaiannya
bisa menggunakan pendengaran teks dari guru kepada murid, murid membaca teks di depan
guru, ijazah, timbang terima teks dari guru ke murid, tulisan guru yang terkirimkan,
pengumuman guru, wasiat, dan penemuan tulisan guru oleh murid (wijadah). Semua bisa
dikembangan dengan teknologi sekarang, seperti konsep dlabith bisa ditambah dengan catatan,
atau website, atau sms dan sebagainya..
Tingkatan perawi hadits pertama adalah shahabat Rasulullah Saw. yaitu seseorang yang pernah
bertemu Rasulullah Saw. dalam keadaan hidup, sadar dan beriman (Islam) sampai dia wafat
dalam keadaan Islam.
Teknik penulisan matan hadits, sanadnya dimulai dari penyebutan sahabat Nabi, tabiin, tabi al-
tabiin dan murid-muridnya, sampai guru perawi hadits yang ditulis oleh penghimpun hadits.
Semua penyajian seperti itu biasanya ditulis oleh ulama mutaqaddimin dalam kitab karangannya
masing-masing. Sedangkan penulisan ulama mutaakhirin dalam kitab-kitabnya hanya
menyebutkan sahabat Nabi dan nama penghimpun matan hadits itu saja, seperti sebutan :
Rawahu al-Bukhari dari Ibn Umar dan sebagainya. Penyajian seperti itu, baik penyajian ulama
mutaqaddimin atau ulama mutaakhrin.
1. 2. Jarah-tadil
adalah unsur ilmu hadits yang penting dalam menentukan perawi hadits, diterima atau ditolak
matan haditsnya. Dengan kata lain hadits Nabi dinilai shahih atau tidak, didasarkan pada
penilaian itu. Dari segi lain, klasifikasi tingkat tinggi-rendahnya nilai hadits pun, ditentukan oleh
unsur itu juga. Atas dasar itu, hampir semua kitab Ulum al-Hadits, baik karya ulama
mutaqaddimin atau mutaakhirin, selalu membahas jarah tadil.
Kitab-kitab yang membahas jarah-tadil banyak sekali, dengan metoda dan penyajian materi
yang berbeda-beda. Tokoh yang pertama kali memperhatikan jarah tadil sebagai ilmu, adalah
Ibn Sirin (w.110 H), Al-Syabi (w.103 H), Syubah, (w.160 H), dan al-imam Malik (w. 179 H.).
Sedangkan tokoh yang pertama kali menulis kitab jarah-tadil adalah Yahya ibn Main (168-223
H), Ali ibn al-Madini (161-234 H), dan Ahmad ibn Hanbal (164-241 H). Kemudian bermunculan
kitab-kitab yang menulis jarah tadil.
Jarah tadil pada dasarnya diangkat dari ayat-ayat al-Quran, antara lain ayat 6 Surat al-Hujurat,
dan beberapa hadits Nabi Saw. Kemudian pemahaman terhadap ayat dan hadits itu dikongkritkan
oleh ahli hadits untuk dijadikan sebagai konsep jarah tadil. Kemudian konsep itu diterapkan
pada setiap orang yang akan menceritakan hadits Nabi. Sebenarnya, pekerjaan itu sudah
dilakukan oleh pengamal hadits sejak dari zaman Rasulullah, zaman sahabat Nabi, dan ulama
berikutnya. Tetapi gagasan itu baru dinormatifkan sebagai ilmu hadits, pada zaman tabiin,
seperti tersebut di atas.
Jarah tadil adalah sebuah ilmu yang menurut sifat dan tabiatnya adalah berkembang. Tetapi
sesudah karya Ibn Hajar al-Asqallani, kitab yang muncul berikutnya hanya mengutip apa adanya,
sehingga tidak ada komentar baru. Tulisan ini ingin mengajak pembaca untuk mengolah jarah-
tadil menjadi sebuah ilmu yang berkembang.
Pengembangan jarah tadil berangkat dari dua kelompok pembahasan, yaitu :
1. berangkat dari unsur rawi (pembawa hadits) dan unsur takhrij (metoda pengeluaran
predikat jarah atau tadil pada seorang rawi yang ada dalam sanad).
2. unsur dalil unsur penilaian. Yaitu unsur alasan ditetapkannya jarah atau tadil kepada
seorang rawi, dan unsur norma-norma penilaian jarah atau tadil itu sendiri. Dua
kelompok itulah merupakan pilar utama dalam bangunan Ilmu Hadits Dirayah.
Secara rinci, fokus pengembangan jarah tadil tersebar berdasarkan dua pemilahan.
1. Pemilahan matan hadits, seperti hadits akidah, hadits hukum, hadits muamalah, hadits
sosial, hadits kepribadian, dan sebagainya.
2. Pemilahan rawi dari segi jarah atau tadil berdasarkan jenjang kaidahnya, sehingga
muncul pengkelompokkan ulama pemikir jarah tadil menjadi ulama mutasyaddidin,
ulama mutawassithin, atau ulama mutasahilin. Semua itu berangkat dari penilaian mereka
terhadap rawi, sehingga ada rawi yang disepakati jarahnya, ada yang disepakati adilnya,
dan yang paling banyak adalah ualam yang diikhtilafkan penilaian jarah dan tadilnya.
Atas dasar itu, jarah-tadil dapat diterapkan pada konteks yang berbeda-beda.
Selain itu, Ilmu Hadits Dirayah juga mengolah matan hadits, dari segi penawaran beberapa
metoda yang diperlukan oleh Ilmu Hadits Riwayah. Model-model pengolahan itu banyak sekali,
tetapi dalam tulisan ini hanya disajikan dua model saja, yaitu matan hadits dan kebudayaan, atau
mekanisme matan hadits.
Matan hadits dan kebudayaan terdiri atas tiga masalah, yaitu (1) bentuk-bentuk hadits Nabi
meliputi hadits qudsi, hadits nabawi bukan qudsi, jawami al-kalim, hadits dzikir dan doa, hadits
riwayat bi al-makna, dan aqwal al-shahabah. Semua dikutip untuk dikembangkan, setelah
ditafsirkan oleh para ulama dalam bentuk kitab. Penafsiran ulama dalam kitab-kitab itu disebut
format hadits Gambarannya adalah sebagai berikut :
1. Matan Hadits Nabi dan kebudayaan (Format dan formatisasi oleh matan hadits)
Format hadits dinilai agama, sedangkan kehidupan masyarakat dinilai budaya, maka penerapan
hadits kepada masyarakat disebut formatisasi. Yaitu pengolahan konsep penerapan hadits Nabi
kepada masyarakat, sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh hadits itu. Unsur penerapan
formatisasi ada lima, yaitu :
1. Penyusun konsep syarah yang berinisiatip untuk mengembangkan format hadits .
1. Nasikh Mansukh fi al-Hadits.
2. Misi format baik verbal atau non-verbal yang memiliki nilai, norma, gagasan, atau
maksud yang dibawakan oleh format hadits.
3. Alat atau wahana yang digunakan oleh penyusun konsep, untuk menyampaikan pesan
formatisasi kepada masyarakat.
4. Halayak atau komentator yang menerima formatisasi dari penyusun konsep,
5. Gambaran atau tanggapan yang terjadi pada penerima format setelah melihat formatisasi.
Unsur ini tetap diperlukan untuk melihat perkembangan formatisasi.
Teori nasikh-mansukh diterapkan, ketika ada dua hadits yang isinya kelihatan bertentangan, dan
susah dijadikan istinbath sebagai dalil hukum. Teori ini dikembangkan oleh Ilmu Ushul Fiqh
ketika membahas hadits sebagai dalil hukum. Contohnya seperti sabda Rasulullah Saya
melarang kamu sekalian tentang ziarah ke kuburan. Maka ziarahilah ke kuburan, karena itu
mengingatkan kamu ke akhirat. Riwayat Malik, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmizi dan al-Nasai.
Hampir semua kitab Dirayah Hadits membahas tentang nasikh-mansukh. Tokoh yang pertama
kali menulis Dirayah tentag ini adalah Qatadah ibn Diamah (w.118 H), tetapi kitab itu tidak
dicetak sampai sekarang. Disusul oleh kitab Nasikh al-hadits wa mansukhuh karya Al-Atsram
(w. 261 H), disusul lagi oleh kitab Nasikh al-Hadits wa Mansukhuh karya Ibn Syahin (w. 386
H). Tetapi kitab yang banyak beredar adalah Al-Itibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar
karya Abu Bakar al-Hamdzani (w. 584 H).
Teori ini membahas tentang latarbelakang datangnya sebuah hadits yang diterima oleh seorang
rawi (shahabat). Pembahasan ini sama seperti ungkapan Ilmu Asbab al-Nuzul dalam Ulum al-
Quran. Dalam kaitan ini, wurud al-hadits juga banyak membahas persesuaian (munasabat)
antara satu matan hadits dengan matan hadits yang lain. Tokoh yang pertama kali membahas
tentang Asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hafsh al-Ukburi (w. 468 H). Tetapi kitab yang lebih
lengkap adalah Al-Bayan wa al-Tarif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif karya Ibn Hamzah al-
Dimasyqi (w. 1120 H).
Nasikh-Mansukh dan Asbab Wurud al-Hadits adalah dua teori Ilmu Hadits Dirayah yang
berdekatan sasaranya, dan saling menunjang dalam penerapan makna. Nasikh-Mansukh dalam
hadits tidak dapat diketahui tanpa melihat Wurud al-Hadits lebih dahulu. Hadits yang datang
pertama disebut mansukh, dan hadits berikutnya disebut nasikh. Dua teori itu banyak dibahas
oleh kitab-kitab Ulum al-Hadits.
Jika nasikh-mansukh dan wurud al-hadits hanya diolah dengan pendekatan tekstualis, seperti
filosofis, atau yuridis, tologis saja, maka ilmu hadits tidak dapat berkembang. Salah satu model
pengembangan masalah ini adalah menggunakan pendekatan interdisipliner, atau ilmu
komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Setidaknya ada dua sistem nilai yang diterapkan pada makna
hadits yang berinteraksi, baik interaksi antara hadits dengan hadits, atau hadits dengan kasus
yang melingkari. Dua sistem itu adalah sistem internal dan sistem eksternal (maa fi al-hadits dan
maa haul al-hadits).
Sistem internal adalah semua sistem nilai yang dibawakan oleh sebuah hadits, ketika ia
diterapkan pada satu makna, atau pada maksud hadits yang dituju. Nilai itu terlihat ketika hadits
itu diberi interpretasi seperti nilai akidah, hukum fiqh, akhlak, nasihat, doa dan sebagainya.
Dalam istilah lain, sistem internal mencakup juga pola pikir, kerangka rujukan, struktur kognitif,
atau juga sikap, yang dikandung oleh matan hadits.
Sedangkan sistem eksternal terdiri atas unsur-unsur yang ada dalam lingkungan di luar isi matan
hadits. Lingkungan itu, termasuk struktur yang mendorong munculnya matan hadits, atau
kejadian yang melatarbelakangi tampilnya sebuah hadits, atau jawaban Rasulullah yang muncul
karena pertanyaan sahabat. Lebih dari itu, pemecahan sebuah hadits yang ditulis oleh seorang
perawi pun bisa diterima berdasarkan latarbelakang munculnya pemecahan itu.
Ulama pertama yang membukukan ilmu hadis dirayah adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi
(265-360 H) dalam kitabnya, al-Muhaddis al-Fasil bain ar-Rawi wa al- wa iz (Ahli Hadis yang
Memisahkan Antara Rawi dan Pemberi Nasihat). Sebagai pemula, kitab ini belum membahas
masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap. Kemudian muncul al-Hakim an-Naisaburi (w. 405
H/1014 M) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Marifah U1um al-Hadis (Makrifat Ilmu
Hadis).
Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari sahabat, tabiin, maupun dari
angkatan sesudahnya. Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi penerima
hadits dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan
seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab
yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis.
Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadis itu terdiri dari sanad
dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari
pengetahuan. Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya
menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-
riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja,
Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau
para pemuat hadis maudu. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-
sebab dipandang adil dengan menyebut kata -kata yang dipakai untuk itu serta martabat
perkataan.
Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang di dalam ilmu
hadits disebut Mutalif dan Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama-nama perawi yang
sama namanya, lain orangnya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. Ini
dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan dan
sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama
Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Musytabah. Dan ada juga yang
hanya menyebut tanggal wafat.
Ilmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan
tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu
yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah: Ilmu yang
menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang
penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan
tentang martabat-martabat kata-kata itu. Ilmu Jarhi wat Tadil dibutuhkan oleh para ulama
hadits karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang
dari Nabi dan mana yang bukan.
Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak
terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat.Menurut keterangan
Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-
keadaan para perawi sejak zaman sahabat.
Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadits ialah Ibnu Abbas (68
H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H).
Di antara tabiin ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H).
Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah
baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-
kan hadits, adakalanya karena me- rafa-kan hadits yang sebenarnya mauquf dan adakalanya
karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).
Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya Al Jarhu wat Tadil karya Abdur Rahman Bin
Abi Hatim Ar Razy.
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan
hadis. Yakni menyambung yang munqati, merafakan yang mauqu memasukkan satu hadits ke
dalam hadits yang lain dan yang serupa itu Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan
kesahihan hadis.
Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan sehalus-halusnya. Tak
dapat diketahui penyakit-penyakit hadits melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan
yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap
sanad dan matan-matan hadits.
Menurut Syaikh Manna Al-Qaththan bahwa cara mengetahui illah hadits adalah dengan
mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan kedhabithan
mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat
diketahui apakah hadits itu mutal (ada illatnya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada
illat pada hadits tersebut maka dihukuminya sebagai hadits tidak shahih .
Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim (327 H),
kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini
adalah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-
Hakim.
1. 4. Ilmun nasil wal mansuh
ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya.Apabila
didapati suatu hadits yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadits tersebut
dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadits yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan
dengan mudah maka hadits itu dinamai Mukhatakiful Hadits. Jika tak mungkin dikumpul dan
diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan yang
terdahulu dinamai Mansuh.
Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mamuh ini, diantaranya Ahmad ibnu
Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu
Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang
menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang
dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H)
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi
menurunkan itu. Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits adalah ilmu yang
menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui
sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.
Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadits, sebagaimana ilmu
Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran. Disamping itu, ilmu ini mempunyai
fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga
membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang
Pertentangan. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis
tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn
Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H)
denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Tarif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas
ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian
dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al
Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H.
Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits-hadits yang isinya berlawanan.Cara
mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang amm, atau menaqyidkan yang
mutlak, atau dengan memandang banyaknya yang terjadi. Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu
Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-
Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H).
Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad
Syakir dan baik sekali nilainya.
ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam sanad.
Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu diringkas dan
dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat.
Perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih bukhari diterangkan dengan
selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al-Asqallanni dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
Yang dimaksudkan dalam ilmu haddits ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadits yang dalam
matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang sudah dipahami karena jarang dipakai, sehingga
ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut. Kitab yang terkenal dalam ilmu ini
diantaranya Al-Faiqu fi Gharibil Hadits karya Imam Zamakhsyary
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai
mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
1. 10. Ilmu Tawarikhir Ruwah
Ilmu tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggap kapan
mendengar dari gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya,
perantauannya, keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan per haditsan. Kitab
Tawarikhir Ruwah yang terkenal At-Tarikhul-Kabir karya Imam Bukhary dan Tarikh
Baghdad karya Imam Al Khatib Baghdady.
1. 11. Ilmu Thabaqotur Ruwah
Ilmu yang pembahasannya diarahkan kepada kelompok orang-orang (rawi) yang berserikat
dalam suatu alat pengikat yang sama.
Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya Thabaqatur Ruwah karya Al Hafidz Abu
Amr Khalifah Bin Khayyath Asy Syaibany.
Ilmu yang menitik beratkan kapan dan dimana atau di waktu apa hadits itu diucapkan atau
peebuatan itu dilakukan Rasulullah saw. Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya
Mahasinul Ishthilah karya Imam Sirajuddin Abu Hafsh Amar Bin Salar Al-Bulqiny.
Ilmu yang membahas hadits hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, untuk
dikompromikan, sebagaimana halnya membahas hadits hadits yang sukar dipahami atau diambil
isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikat-hakikatnya.
Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya Musykilul Hadits wa Bayanuhu karya Abu
Bakr Muhammad Bin Al Hasan (Ibnu Furak) Al Anshary Al Asbihany.
CABANG ILMU HADITS DAN KEGUNAANNYA
joko purwanto
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250). Dalam sejarah, puncak
kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar yang
tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah
maupun bidang pengetahuan lainnya . Berdasarkan bukti historis ini menggambarkan bahwa
periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadits berjalan seiiring dengan perkembangan
pengetahuan lainnya.
Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Quran telah memerintahkan orang-orang beriman
menuntut pengetahuan. Dengan demikian prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan
kemajuan umat Islam
Meskipun asbab al-Nuzul dan asbab al Wurud terbatas pada peristiwa dan pertanyaan yang
mendahului nuzul (turun) Al-Quran dan wurud hadits, tetapi kenyataannya justru tercipta
suasana keilmuan pada hadits Nabi SAW. Tak heran jika saat ini muncul berbagai ilmu hadits
serta cabang-cabangnya untuk memahami hadits Nabi, sehingga As-Sunnah sebagai sumber
hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta diamalkan umat Islam sesuai dengan yang
dimaksudkan Rasulullah.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun batasan-batasan masalah atau batasan pembahasan makalah ini adalah:
1. Apa definisi ilmu hadits?
2. Apa saja cabang-cabang ilmu hadits dan apa kegunaan masing-masing cabang-cabang ilmu
hadis?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1. mengetahui definisi ilmu hadits
2. mengetahui cabang-cabang dan ilmu hadits serta kegunaanya
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ILMU HADITS
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ulumul al-
hadist). ulum al-hadist terdiri dari 2 kata, yaitu ulum dan Al-hadist. Kata ulum dalam bahasa
arab adalah bentuk jamak dari ilm, jadi berarti ilmu-ilmu; sedangkan al-hadist di kalangan
Ulama Hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan,
perkataan, taqrir, atau sifat. (Mahmud al-thahhan, Tatsir Mushthalah al-hadist (Beirut: Dar Al-
quran al-karim, 1979), h.14) dengan demikian, gabungan kata ulumul-hadist mengandung
pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadits nabi sholallahu alaihi wasallam.
Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan
matan, apakah diterima atau ditolak. Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu
hadits, yakni illmu yang berpautan dengan hadits, banyak ragam macamnya.
B. CABANG-CABANG ILMU HADITS DAN KEGUNAANNYA
Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat
(riwayah) dan ilmu hadits diroyat (diroyah) .
1. Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadits kepada Sahiburillah, Nabi
Muhammad SAW. dari segi kelakuan para perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan
mereka dan dari segi keadaan sanad. Ilmu hadis riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara
penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada
orang lain dan membukukan hadis dalam suatu kitab.
Menurut Syaikh Manna A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits: sabda
Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliau dari segi periwayatannya
secara detail dan mendalam. Faidahnya: menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam
periwayatannya .
Sementara itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara menerima,
menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan dalam suatu Kitab Hadits.
Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya,
baik mengenai matan maupun sanadnya.
Adapun kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan yang
salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab berita yang beredar pada umat Islam
bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi,
atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.
Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu
Hadits Riwayah dan Dirayah ialah:
a) IImu Rijalil Hadis
llmu Rijalil Hadis ialah:
Artinya:Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari sahabat, tabiin, maupun
dari angkatan sesudahnya .
Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi penerima hadits dari Rasulullah
dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini
diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para
perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis.
Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadis itu terdiri dari sanad
dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari
pengetahuan. Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya
menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-
riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja,
Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau
para pemuat hadis maudu. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-
sebab dipandang adil dengan menyebut kata -kata yang dipakai untuk itu serta martabat
perkataan.
Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang di dalam ilmu
hadits disebut Mutalif dan Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama-nama perawi yang
sama namanya, lain orangnya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. Ini
dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan dan
sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama
Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Musytabah. Dan ada juga yang
hanya menyebut tanggal wafat.
b) Ilmul Jarhi Wat Takdil
Ilmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan
tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu
yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah:
Artinya: Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi
dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang
khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.
Ilmu Jarhi wat Tadil dibutuhkan oleh para ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat
dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang dari Nabi dan mana yang bukan.
Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak
terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat. Menurut keterangan
Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-
keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan
perawi-perawi hadits ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik
(93 H).
Di antara tabiin ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H).
Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah
baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-
kan hadits, adakalanya karena me- rafa-kan hadits yang sebenarnya mauquf dan adakalanya
karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).
c) IImu Illail Hadis
Ilmu IllaIl Hadis, ialah:
Artinya: Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat
mencacatkan hadis.
Yakni menyambung yang munqati, merafakan yang mauqu memasukkan satu hadits ke dalam
hadits yang lain dan yang serupa itu Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan
hadis.
Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan sehalus-halusnya. Tak
dapat diketahui penyakit-penyakit hadits melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan
yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap
sanad dan matan-matan hadits.
Menurut Syaikh Manna Al-Qaththan bahwa cara mengetahui illah hadits adalah dengan
mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan kedhabithan
mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat
diketahui apakah hadits itu mutal (ada illatnya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada
illat pada hadits tersebut maka dihukuminya sebagai hadits tidak shahih .
Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim (327 H),
kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini
adalah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-
Hakim.
d) Ilmun nasil wal mansuh
Ilmun nasih wal Mansuh, ialah:
Artinya: ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang
menasihkannya.
Apabila didapati suatu hadits yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadits
tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadits yang sederajatnya, tetapi
dikumpulkan dengan mudah maka hadits itu dinamai Mukhatakiful Hadits. Jika tak mungkin
dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan
yang terdahulu dinamai Mansuh.
Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mamuh ini, diantaranya Ahmad ibnu
Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu
Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang
menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang
dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H)
e) Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis
Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis, ialah:
Artinya: Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-
masanya Nabi menurunkan itu.
Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits adalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab
timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan
menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.
Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadits, sebagaimana ilmu
Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran. Disamping itu, ilmu ini mempunyai
fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga
membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang
Pertentangan. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis
tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn
Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H)
denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Tarif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas
ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian
dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al
Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H
f) Ilmu Talfiqil Hadis
Ilmu Talfiqil Hadis, ialah:
Artinya: Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits-hadits yang isinya
berlawanan.
Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang amm, atau menaqyidkan yang
mutlak, atau dengan memandang banyaknya yang terjadi. Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu
Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-
Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H).
Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad
Syakir dan baik sekali nilainya.
g) Ilmu Fannil Mubhammat
Ilmu fannil Mubhamat adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut
dalam matan, atau di dalam sanad.
Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu diringkas dan
dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat.
Perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih bukhari diterangkan dengan
selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al-Asqallanni dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
h) Ilmu Ghoriebil Hadits
Yang dimaksudkan dalam ilmu haddits ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadits yang dalam
matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang sudah dipahami karena jarang dipakai, sehingga
ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut.
i) Ilmu Tashif wat Tahrif
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai
mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
2. Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu Dirayatul Hadits, atau Ilmu Ushulur Riwayah dan disebut juga dengan Ilmu Musthalah
Hadits.
Menurut kata sebagian ulama Tahqiq, Ilmu Dirayatul Hadits adalah ilmu yang membahas cara
kelakuan persambungan hadits kepada Shahibur Risalah, junjungan kita Muhammad SAW dari
sikap perawinya, mengenai kekuatan hafalan dan keadilan mereka, dan dari segi keadaan sanad,
putus dan bersambungnya, dan yang sepertinya.
Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya Al-Haditsu wal Muhadditsun, memberikan definisi Ilmu
Ushulur Riwayah atau Ilmu Riwayatul Hadits adalah ilmu yang membahas tentang hakikat
periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya, hukum-hukumnya, dan keadaan perawi-
perawinya dan syarat-syaratnya, macam-macam yang diriwayatkan dan hal-hal yang
berhubungan dengan itu.
Adapun obyek Ilmu Hadits Dirayah ialah meneliti kelakuan para rawi dan keadaan marwinya
(sanad dan matannya). Dari aspek sanadnya, diteliti tentang keadilan dan kecacatannya,
bagaimana mereka menerima dan menyampaikan haditsnya serta sanadnya bersambung atau
tidak. Sedang dari aspek matannya diteliti tentang kejanggalan atau tidaknya, sehubungan
dengan adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.
Dalam penjelasannya, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan:
a. hakikat periwayatan adalah menyampaikan berita dan menyandarkannya kepada orang yang
menjadi sumber berita itu.
b. Syarat-syarat periwayatan adalah syarat-syarat perawi di dalam menerima hal-hal yang
diriwayatkan oleh gurunya, apakah dengan jalan mendengar langsung atau dengan jalan ijazah,
atau lainnya.
c. Macam-macam periwayatan, apakah sanadnya itu bersambung-sambung atau putus dan
sebagainya.
d. Hukum-hukumnya, artinya diterima atau ditolaknya apa yang diriwayatkannya itu.
e. Keadaan perawi dan syarat-syaratnya, yaitu adil tidaknya dan syarat-syarat menjadi perawi
baik tatkala menerima hadits maupun menyampaikan hadits.
f. Macam-macam yang diriwayatkan, ialah apakah yang diriwayatkannya itu berupa hadits Nabi,
atsar atau yang lain.
g. Hal-hal yang berhubungan dengan itu, ialah istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli hadits.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Dalam pengertian ilmu hadits dapat kita ketahui dari asal kata yang membentuk istilah tersebut,
dengan demikian kita dapat mengetahui sekilas tentang istilah tersebut. Dalam ilmu hadis
terdapat beberapa cabang yang digunakan untuk membedakan objek pembahasan diantara
masing-masing cabang tersebut kemudian dari masing-masing cabang tersebut terdapat cabang
objek pembahasan yang lebih khusus.
Masing-masing cabang tersebut mempunyai istilah tersendiri yang mendeskripsikan objek
bahasan tertentu. Dengan begitu pembahasan tentang objek kajian dikelompokkan di masing-
masing cabang tersebut.
B. SARAN
Dari seluruh isi makalah, baik mengenai pembahasan maupun hasil pemaparan dapat dikaji lebih
lanjut untuk mengembangkan tentang objek pengkajian. Dapat pula membuat perbandingan
mengenai objek pembahasan tersebut bagi siapapun yang berkeinginan mengembangkan dan
mencari lebih banyak penjelasan mengenai pengertian ilmu hadis, yang masih belum terdapat
dalam makalah
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad-Mudzakir. 1998. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia
Anwar, Muh. 1981. Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas
Al-Khaththan, Syaikh Manna. 2005. Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. 2005. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits .Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra
Assaidi, Saadullah. 1996. Hadis-hadis Sekte. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Zuhri. 2005. Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya